Anjing, hewan yang dikenal sebagai sahabat manusia, seringkali memunculkan pertanyaan menarik terkait statusnya dalam beberapa ajaran agama dan budaya. Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah mengenai kenapa anjing bisa haram. Pemahaman mengenai hal ini tidak hanya terbatas pada satu ajaran saja, melainkan melibatkan interpretasi keagamaan, terutama dalam Islam, serta nuansa budaya yang berkembang. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai aspek yang melatarbelakangi pandangan tersebut.
Dalam Islam, status anjing menjadi topik yang cukup dibahas. Mayoritas ulama sepakat bahwa air liur anjing dihukumi najis mughallazah (najis berat). Hal ini didasarkan pada beberapa hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satu hadis yang sering dirujuk adalah sabda beliau: "Sucinya wadah salah seorang dari kalian apabila dijilat anjing adalah dengan membasuhnya tujuh kali, yang pertama dicampur dengan tanah." (HR. Muslim).
Penafsiran dari hadis ini kemudian meluas. Najisnya air liur anjing seringkali dikaitkan dengan keharaman memelihara anjing secara umum, terutama jika tidak ada keperluan mendesak. Keharaman ini bukan berarti anjing itu sendiri adalah makhluk yang buruk atau hina, melainkan lebih kepada aspek kesucian dan kebersihan dalam ibadah. Dalam shalat, seorang Muslim harus berada dalam kondisi suci dari najis. Jika anjing sering berada di dekatnya atau bahkan masuk ke dalam rumah, dikhawatirkan akan terkena najisnya, sehingga memerlukan pembersihan ekstra.
Namun, perlu dicatat bahwa pandangan mengenai anjing tidak sepenuhnya hitam putih. Ada pengecualian bagi anjing yang dipelihara untuk tujuan tertentu yang diperbolehkan dalam Islam, seperti:
Bahkan dalam kasus ini, ada aturan dan adab yang harus diperhatikan, seperti menjaga kebersihan anjing tersebut dan tempatnya, serta memastikan tidak mengganggu tetangga. Air liur anjing tetap dianggap najis, sehingga kontak langsung dengan bagian tubuh yang basah memerlukan pembersihan sesuai syariat.
Di luar konteks ajaran Islam, pandangan terhadap anjing sangatlah beragam. Di banyak budaya Barat, anjing justru sangat dihormati dan dianggap sebagai anggota keluarga. Mereka seringkali diperlakukan dengan kasih sayang yang luar biasa, dirawat kesehatannya, dan bahkan dilibatkan dalam berbagai aktivitas sosial. Keterikatan emosional antara manusia dan anjing di budaya-budaya ini sangat kuat.
Perbedaan pandangan ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk sejarah, tradisi, dan interpretasi terhadap interaksi manusia dengan hewan. Beberapa budaya mungkin memiliki kepercayaan atau cerita rakyat yang membentuk persepsi mereka tentang anjing.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, penting untuk memahami bahwa setiap keyakinan dan tradisi memiliki landasan dan alasannya sendiri. Bagi umat Muslim, larangan atau kehati-hatian dalam berinteraksi dengan anjing lebih berakar pada tuntunan agama demi menjaga kesucian dan kebersihan dalam beribadah. Ini bukan berarti ada kebencian terhadap hewan tersebut, melainkan sebuah panduan dalam menjalani kehidupan sesuai ajaran yang diyakini.
Oleh karena itu, ketika membahas "kenapa anjing bisa haram", fokus utamanya adalah pada interpretasi ajaran Islam yang menekankan pentingnya kesucian, khususnya dalam hal najis. Di sisi lain, penghargaan terhadap anjing sebagai sahabat setia juga tetap diakui dalam konteks yang berbeda, di mana anjing memiliki peran penting dalam kehidupan manusia di berbagai belahan dunia.
Memahami perbedaan pandangan ini penting untuk menciptakan toleransi dan saling menghargai antar individu dari latar belakang agama dan budaya yang berbeda. Setiap pandangan memiliki konteksnya sendiri dan patut dipahami tanpa perlu menghakimi.