Pertanyaan mengenai keberadaan makhluk seperti anjing dan babi, yang dalam ajaran agama tertentu dinyatakan haram untuk dikonsumsi, seringkali muncul di benak banyak orang. Sebagian orang mungkin bertanya-tanya, mengapa Tuhan menciptakan hewan-hewan tersebut jika memang ada larangan terkait dengannya? Ini adalah pertanyaan teologis dan filosofis yang mendalam, dan jawabannya seringkali tidak sesederhana yang dibayangkan.
Penting untuk memahami bahwa penciptaan makhluk hidup oleh Tuhan seringkali memiliki tujuan yang lebih luas daripada sekadar ketersediaan untuk konsumsi manusia. Dalam perspektif agama samawi, khususnya Islam, penciptaan alam semesta beserta segala isinya adalah bukti kekuasaan dan kebijaksanaan Sang Pencipta. Setiap makhluk diciptakan dengan peran dan fungsinya masing-masing dalam ekosistem ciptaan-Nya.
Anjing, misalnya, telah lama dikenal sebagai sahabat manusia. Sejak zaman kuno, mereka telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti penjagaan, perburuan, penggembalaan ternak, bahkan sebagai hewan pelacak dan penyelamat. Kemampuan mereka dalam berkomunikasi dengan manusia, kesetiaan, dan naluri pelindungnya telah menjadikan mereka bagian integral dari kehidupan manusia di banyak budaya. Meskipun dalam beberapa tradisi keagamaan menyentuh anjing dianggap najis, bukan berarti keberadaan mereka secara fisik tidak memiliki manfaat atau fungsi ekologis.
Demikian pula dengan babi. Meskipun dagingnya diharamkan oleh sebagian agama besar, babi memiliki peran dalam siklus alam sebagai omnivora yang membantu membersihkan lingkungan dengan memakan bangkai dan sisa-sisa makanan. Dalam rantai makanan, mereka juga bisa menjadi sumber makanan bagi predator lain di alam liar. Di beberapa negara dan budaya yang tidak memiliki larangan tersebut, daging babi merupakan sumber protein yang penting. Ini menunjukkan bahwa manfaat suatu ciptaan bisa bersifat multifaset dan bergantung pada konteks budaya serta aturan yang berlaku.
Dalam banyak ajaran agama, hukum atau aturan yang ditetapkan oleh Tuhan seringkali berfungsi sebagai ujian bagi hamba-Nya. Larangan mengonsumsi daging anjing dan babi bukanlah karena hewan-hewan tersebut adalah ciptaan yang buruk atau tidak berguna, melainkan sebagai bentuk perintah ilahi yang menguji ketaatan umat-Nya. Ketaatan terhadap perintah-Nya, bahkan ketika alasan di baliknya tidak sepenuhnya dipahami oleh akal manusia, merupakan salah satu bentuk ibadah dan penyerahan diri kepada Sang Pencipta.
Pertanyaan "mengapa diciptakan jika haram?" bisa dijawab dengan analogi. Misalnya, Tuhan menciptakan air yang begitu vital bagi kehidupan, namun ada pula air yang bisa mematikan jika tertelan dalam jumlah tertentu atau terkontaminasi. Atau, Tuhan menciptakan api yang memberikan kehangatan dan energi, namun juga bisa membakar dan menghancurkan jika tidak dikelola dengan baik. Keberadaan sesuatu bukan semata-mata untuk digunakan secara bebas, melainkan juga mengandung potensi bahaya atau larangan tertentu sesuai dengan ketetapan-Nya.
Penting untuk membedakan antara status penciptaan suatu makhluk dan aturan mengenai interaksi manusia dengannya, terutama dalam hal konsumsi. Keberadaan anjing dan babi sebagai makhluk hidup adalah bagian dari keragaman ciptaan Tuhan. Larangan untuk mengonsumsi daging mereka adalah perintah ibadah yang spesifik, yang memiliki hikmah di baliknya baik yang diketahui manusia maupun yang hanya diketahui oleh Sang Pencipta.
Hikmah larangan ini bisa jadi berkaitan dengan kesehatan, kebersihan spiritual, atau memang sebagai ujian ketaatan semata. Sebagian ulama berpendapat bahwa diharamkannya babi dikarenakan sifatnya yang cenderung memakan segala sesuatu, termasuk kotoran, yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan jika dikonsumsi. Sementara anjing, selain aspek kebersihan dalam beberapa tradisi, mungkin juga diharamkan untuk mencegah manusia terlalu mengagung-agungkan atau meniru sifat-sifat hewan tersebut yang tidak sesuai dengan martabat manusia.
Pada akhirnya, pertanyaan ini mengajak kita untuk merenungkan lebih dalam tentang kebesaran dan keluasan ilmu Tuhan. Kita sebagai manusia memiliki keterbatasan dalam memahami segala hikmah di balik penciptaan dan perintah-Nya. Oleh karena itu, keyakinan dan keimanan terhadap kebijaksanaan-Nya adalah pondasi utama dalam menyikapi segala ketetapan-Nya, termasuk keberadaan makhluk-makhluk yang hukum konsumsinya telah diatur. Keberadaan anjing dan babi adalah bukti bahwa penciptaan alam semesta jauh melampaui kebutuhan dan pemahaman sempit manusia, melainkan mencakup berbagai dimensi fungsi dan tujuan ilahi yang tak terduga.