Mengapa Anjing dan Babi Haram dalam Islam: Perspektif Syariat dan Ilmu Pengetahuan

Islam, sebagai agama yang komprehensif, mengatur setiap aspek kehidupan umatnya, mulai dari ibadah hingga muamalah (interaksi sosial), termasuk di dalamnya adalah pedoman mengenai makanan dan minuman. Ketetapan hukum halal dan haram ini bukan sekadar aturan tanpa dasar, melainkan memiliki hikmah yang mendalam, baik yang dapat dijangkau oleh akal manusia maupun yang merupakan bagian dari ketaatan mutlak terhadap perintah Ilahi. Di antara sekian banyak ketetapan tersebut, pengharaman konsumsi daging babi dan aturan khusus terkait anjing seringkali menjadi sorotan dan menimbulkan pertanyaan. Artikel ini akan mengupas tuntas alasan di balik pengharaman anjing dan babi dalam Islam, menelusuri dasar-dasar syariat, serta meninjau perspektif ilmu pengetahuan modern yang seringkali selaras dengan ajaran agama.

Ilustrasi Babi Ilustrasi Anjing
Simbol larangan untuk babi dan anjing dalam Islam.

Dasar Hukum Pengharaman Babi dalam Islam

Pengharaman babi dalam Islam adalah salah satu hukum yang paling jelas dan tidak memiliki perbedaan pendapat di antara ulama. Sumber utama pengharaman ini datang langsung dari Al-Qur'an dan diperkuat oleh sunah Nabi Muhammad ﷺ. Allah SWT telah menetapkan babi sebagai hewan yang kotor (najis) dan dagingnya haram untuk dikonsumsi. Mari kita telaah lebih jauh dasar-dasar syariatnya.

1. Ayat-ayat Al-Qur'an yang Mengharamkan Babi

Al-Qur'an secara eksplisit menyebutkan pengharaman babi di beberapa surat. Ayat-ayat ini menjadi landasan utama bagi umat Muslim untuk tidak mengonsumsi daging babi dan segala produk turunannya. Empat ayat utama yang sering dijadikan rujukan adalah:

a. Surat Al-Baqarah Ayat 173

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan bukan karena Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Ayat ini secara langsung dan tanpa keraguan menyebutkan "daging babi" (لَحْمَ الْخِنزِيرِ) sebagai salah satu dari empat hal yang diharamkan. Ini adalah pernyataan yang sangat jelas, menunjukkan bahwa pengharaman babi bukan sekadar larangan kecil, melainkan hukum pokok yang fundamental dalam syariat Islam. Konteks ayat ini adalah tentang makanan yang diharamkan secara umum, menegaskan status babi di samping bangkai dan darah.

b. Surat Al-Ma'idah Ayat 3

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib yang demikian itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma'idah: 3)

Ayat ini memberikan daftar yang lebih panjang tentang makanan yang diharamkan, dan sekali lagi, "daging babi" (وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ) disebutkan secara eksplisit. Penempatan larangan babi dalam daftar ini, di antara berbagai jenis bangkai dan sembelihan yang tidak sesuai syariat, menegaskan statusnya sebagai makanan yang secara fundamental tidak layak dan dilarang untuk umat Muslim. Ayat ini juga dikenal sebagai ayat yang menyatakan kesempurnaan Islam, menunjukkan bahwa aturan-aturan ini adalah bagian integral dari agama yang sempurna.

c. Surat An-Nahl Ayat 115

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dihajatkan kepada selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 115)

Ayat ini mirip dengan Al-Baqarah: 173, mengulang kembali empat larangan utama termasuk daging babi. Pengulangan ini bukan tanpa makna; ia berfungsi untuk menekankan dan memperkuat hukum tersebut, menghilangkan keraguan sedikit pun bagi mereka yang ingin memahami ajaran Islam. Konsistensi dalam ayat-ayat Al-Qur'an tentang masalah ini menunjukkan pentingnya kepatuhan terhadap larangan ini.

d. Surat Al-An'am Ayat 145

قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau sembelihan yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Al-An'am: 145)

Ayat ini tidak hanya menyatakan pengharaman daging babi, tetapi juga memberikan alasan penting: "karena sesungguhnya semua itu kotor" (فَإِنَّهُ رِجْسٌ). Kata rijs dalam bahasa Arab berarti kotor, najis, menjijikkan, atau tercela. Ini memberikan indikasi bahwa pengharaman babi tidak hanya karena perintah semata, tetapi juga karena sifat intrinsik babi yang dianggap kotor dan tidak bersih dalam pandangan syariat. Penjelasan ini memperkuat pemahaman bahwa Islam adalah agama yang menjaga kebersihan, kesucian, dan kesehatan.

2. Hadits Nabi Muhammad ﷺ tentang Babi

Sunah Nabi Muhammad ﷺ sebagai penjelas Al-Qur'an juga menegaskan dan memperkuat hukum pengharaman babi. Meskipun ayat Al-Qur'an sudah sangat jelas, hadits-hadits berikut semakin mengukuhkan keyakinan umat Muslim:

a. Hadits tentang Pelarangan Jual Beli Babi

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (minuman keras), bangkai, babi, dan patung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini tidak hanya mengharamkan konsumsi, tetapi juga memperluas larangan ke aktivitas ekonomi terkait babi, yaitu jual beli. Ini menunjukkan bahwa babi, dalam pandangan Islam, adalah komoditas yang secara menyeluruh tidak boleh diperdagangkan oleh umat Muslim karena status haramnya yang fundamental. Larangan ini mencakup seluruh bagian babi dan segala produk yang berasal darinya.

3. Konsensus Ulama (Ijma')

Tidak ada ulama dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) yang memiliki perbedaan pendapat mengenai pengharaman babi. Ijma' (konsensus) ulama telah terbentuk sejak zaman Sahabat Nabi hingga hari ini bahwa daging babi, lemaknya, tulangnya, kulitnya, dan semua bagian tubuhnya adalah haram untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan dalam bentuk apapun, kecuali dalam kondisi darurat yang mengancam nyawa, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an.

Hikmah Ilmiah di Balik Pengharaman Babi

Meskipun dasar utama pengharaman babi adalah perintah Allah SWT yang wajib ditaati, ilmu pengetahuan modern seringkali menemukan hikmah di balik perintah-perintah tersebut, yang semakin memperkuat keyakinan. Penelitian ilmiah telah menunjukkan berbagai risiko kesehatan yang terkait dengan konsumsi daging babi.

Babi (Kotor/Haram) Ilmu Pengetahuan Risiko Kesehatan Penyakit
Ilustrasi babi yang diharamkan dengan penemuan ilmu pengetahuan terkait risiko kesehatan.

1. Kandungan Parasit dan Bakteri Berbahaya

Babi dikenal sebagai inang bagi berbagai parasit dan bakteri yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Beberapa di antaranya adalah:

Kecenderungan babi untuk memakan segala sesuatu, termasuk kotorannya sendiri, mempertinggi risiko terpapar dan menjadi inang bagi patogen-patogen ini. Sistem pencernaan babi juga relatif cepat, yang berarti banyak parasit dan racun mungkin tidak sepenuhnya terurai sebelum masuk ke dalam tubuhnya.

2. Kandungan Lemak dan Kolesterol Tinggi

Daging babi dikenal memiliki kandungan lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi. Konsumsi berlebihan lemak jenuh dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL (kolesterol jahat) dalam darah, yang merupakan faktor risiko utama penyakit jantung koroner, aterosklerosis, dan stroke. Tingginya kalori dari lemak ini juga berkontribusi pada obesitas dan masalah kesehatan terkait lainnya.

3. Perilaku Alami Babi yang Tidak Bersih

Babi memiliki kebiasaan hidup yang dianggap kotor dan tidak higienis. Mereka seringkali berguling-guling di lumpur atau kotoran mereka sendiri, dan dikenal sebagai hewan omnivora yang memakan hampir segala sesuatu, termasuk bangkai, sampah, dan bahkan feses mereka sendiri atau hewan lain. Perilaku ini secara intrinsik meningkatkan risiko kontaminasi dan menjadikan mereka reservoir potensial bagi berbagai patogen. Dalam pandangan Islam, kebersihan dan kesucian adalah nilai fundamental, dan perilaku babi yang demikian membuatnya tidak sesuai dengan standar 'tayyib' (baik dan bersih) yang ditetapkan untuk makanan.

Sifat babi yang gemar berkubang di tempat kotor juga mencerminkan karakter internal yang, dalam pandangan spiritual, mungkin dianggap tidak selaras dengan kemuliaan manusia yang diperintahkan untuk menjaga kebersihan lahir dan batin.

4. Genetik dan Komposisi Daging

Beberapa penelitian juga mengemukakan perbedaan genetik antara babi dengan hewan halal lainnya. Babi memiliki struktur genetik dan fisiologi tertentu yang membuatnya rentan terhadap jenis penyakit tertentu dan memiliki cara metabolisme yang unik. Meskipun detail ini masih terus diteliti, adanya korelasi antara konsumsi dan dampak kesehatan tetap menjadi area penting.

Daging babi juga memiliki komposisi protein yang unik. Proses pencernaan daging babi dalam tubuh manusia mungkin menghasilkan produk sampingan tertentu yang dianggap kurang bermanfaat atau bahkan berpotensi merugikan dalam jangka panjang, meskipun ini memerlukan penelitian lebih lanjut.

Anjing dalam Islam: Najis dan Hukum Memelihara

Berbeda dengan babi yang haram dimakan, anjing memiliki status hukum yang sedikit berbeda dalam Islam. Anjing tidak haram untuk dimakan (karena tidak ada nash yang mengharamkan konsumsi daging anjing secara langsung), namun anjing dianggap sebagai hewan yang najis mughallazhah (najis berat) dan terdapat larangan atau batasan ketat dalam memeliharanya tanpa tujuan yang syar'i.

1. Status Anjing sebagai Najis Mughallazhah

Mayoritas ulama, terutama dari mazhab Syafi'i, Hanbali, dan sebagian Maliki, berpendapat bahwa air liur anjing adalah najis mughallazhah (najis berat). Ini berarti jika seorang Muslim terkena air liur anjing, ia harus membersihkannya dengan tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah atau sabun yang memiliki efek membersihkan seperti tanah. Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad ﷺ:

a. Hadits tentang Cara Mensucikan Bejana yang Terkena Jilatan Anjing

"Apabila anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaknya ia mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan debu." (HR. Muslim)

Hadits ini secara jelas menunjukkan tingkat kenajisan anjing, khususnya air liurnya. Kenajisan ini adalah kenajisan hissi (yang dapat dirasakan) dan juga ma'nawi (spiritual). Karena air liurnya najis, maka benda yang dijilat anjing juga menjadi najis. Hal ini memiliki implikasi besar dalam kehidupan sehari-hari Muslim, terutama terkait ibadah seperti shalat, di mana kesucian pakaian dan tempat adalah syarat sah.

Beberapa mazhab lain, seperti mazhab Hanafi dan sebagian Maliki, berpendapat bahwa hanya liur anjing yang najis, dan kenajisannya tidak sampai pada tingkat mughallazhah (berat) seperti yang dijelaskan dalam hadits tersebut. Mereka berpendapat bahwa cucian dengan air saja sudah cukup, tidak harus dengan debu. Namun, pandangan mayoritas yang menganggapnya najis mughallazhah lebih kuat berdasarkan tekstual hadits.

2. Larangan Memelihara Anjing Tanpa Keperluan Syar'i

Islam membolehkan memelihara anjing untuk tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat, tetapi melarang memeliharanya sebagai hewan peliharaan di dalam rumah tanpa tujuan yang jelas. Hal ini didasarkan pada beberapa hadits:

a. Hadits tentang Pengurangan Pahala

"Barangsiapa memelihara anjing, kecuali anjing penjaga ternak, atau anjing untuk berburu, maka pahalanya akan berkurang setiap hari sebanyak satu qirath." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain, "dua qirath".

Hadits ini menunjukkan bahwa memelihara anjing tanpa kebutuhan yang jelas (seperti berburu atau menjaga) akan mengurangi pahala pemiliknya. Ini adalah teguran keras yang menunjukkan bahwa keberadaan anjing di dalam rumah dapat membawa konsekuensi spiritual. Para ulama menafsirkan bahwa "qirath" adalah ukuran pahala yang signifikan.

b. Hadits tentang Malaikat Rahmat

"Malaikat (rahmat) tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing atau gambar (patung makhluk bernyawa)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan bahwa malaikat pembawa rahmat tidak akan memasuki rumah yang terdapat anjing di dalamnya. Kehadiran malaikat rahmat sangat penting dalam Islam, karena mereka membawa berkah, kedamaian, dan keberkahan. Oleh karena itu, umat Muslim dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang dapat menghalangi masuknya malaikat rahmat ke dalam rumah mereka.

3. Pengecualian untuk Keperluan Syar'i

Meskipun ada larangan dan batasan, Islam memberikan pengecualian yang jelas untuk memelihara anjing jika ada kebutuhan yang syar'i dan bermanfaat. Pengecualian ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang praktis dan realistis.

Dalam kasus pengecualian ini, anjing harus dipelihara di luar rumah atau di tempat khusus yang terpisah dari area shalat dan tempat suci lainnya, untuk menjaga kesucian rumah dan tempat ibadah. Interaksi dengan anjing-anjing ini juga harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kontak langsung dengan air liurnya.

Hikmah Ilmiah di Balik Ketentuan tentang Anjing

Selain alasan syar'i, ilmu pengetahuan modern juga memberikan beberapa pandangan yang relevan dengan ketentuan Islam tentang anjing, terutama terkait kesehatan dan kebersihan.

Anjing (Najis) Ilmu Pengetahuan Zoonosis Alergi
Ilustrasi anjing yang najis dengan penemuan ilmu pengetahuan terkait zoonosis.

1. Penularan Penyakit Zoonosis

Anjing dapat membawa dan menularkan berbagai penyakit zoonosis (penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia) melalui air liur, feses, urin, atau kontak langsung. Beberapa penyakit yang relevan meliputi:

Kontak yang terlalu dekat dengan anjing, terutama di dalam rumah, secara inheren meningkatkan risiko penularan penyakit-penyakit ini. Anak-anak dan individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah lebih rentan terhadap infeksi ini.

2. Alergi dan Masalah Pernapasan

Anjing juga merupakan pemicu umum alergi pada manusia. Bulu, kulit mati (dander), dan air liur anjing mengandung protein yang dapat memicu reaksi alergi pada individu yang sensitif. Gejala alergi meliputi bersin, hidung meler, mata gatal, ruam kulit, dan bahkan asma. Memelihara anjing di dalam rumah dapat memperburuk kondisi ini karena alergen menumpuk di karpet, furnitur, dan udara.

3. Masalah Kebersihan dan Higienitas

Meskipun anjing bisa dilatih, mereka secara alami memiliki perilaku yang kadang sulit dikendalikan sepenuhnya dalam konteks kebersihan rumah tangga Islami. Mereka mungkin menjilat perabotan, berjalan di tempat-tempat yang tidak bersih di luar, dan membawa masuk kotoran ke dalam rumah. Mengingat pentingnya kesucian dalam Islam, terutama untuk ibadah, menjaga kebersihan mutlak menjadi tantangan dengan keberadaan anjing di dalam rumah.

4. Kesehatan Mental dan Fisik (bagi hewan)

Beberapa pandangan modern juga menyoroti bahwa memelihara anjing di dalam rumah, terutama jika tidak diberikan ruang gerak dan aktivitas fisik yang cukup, dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik anjing itu sendiri. Anjing adalah hewan yang aktif dan membutuhkan stimulasi. Islam menganjurkan perlakuan baik terhadap hewan, dan jika memelihara anjing tidak dapat memenuhi kebutuhannya, maka itu juga tidak sesuai dengan etika Islam.

Prinsip Umum Halal dan Haram dalam Islam

Pengharamkan babi dan aturan khusus mengenai anjing adalah bagian dari sistem halal-haram yang lebih luas dalam Islam. Sistem ini didasarkan pada prinsip-prinsip universal yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Memahami prinsip-prinsip ini akan memberikan konteks yang lebih kaya mengenai mengapa beberapa hal diizinkan dan yang lain dilarang.

1. Prinsip Tayyib (Baik dan Suci) dan Khabith (Kotor dan Buruk)

Al-Qur'an seringkali menyebutkan konsep 'tayyib' (baik, bersih, suci, halal) sebagai lawan dari 'khabith' (buruk, kotor, najis, haram). Allah SWT berfirman:

"Dialah (Allah) yang menghalalkan bagi mereka segala yang baik (tayyibat) dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khaba'its)." (QS. Al-A'raf: 157)

Babi, dengan segala sifat dan risikonya, secara syar'i dan ilmiah masuk dalam kategori 'khabith'. Demikian pula, kenajisan anjing membuatnya tidak sesuai untuk berada dalam lingkungan yang sangat dijaga kesuciannya seperti rumah Muslim untuk tujuan non-esensial. Prinsip ini mencakup aspek fisik, spiritual, dan etis.

2. Ketaatan kepada Perintah Allah

Pada akhirnya, alasan utama seorang Muslim mengikuti ketentuan halal dan haram adalah ketaatan mutlak kepada perintah Allah SWT. Meskipun ilmu pengetahuan dapat menemukan hikmah di balik larangan tersebut, ketiadaan pemahaman ilmiah tidak akan menggugurkan kewajiban ketaatan. Allah adalah Sang Pencipta yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi makhluk-Nya. Ketaatan ini adalah bentuk ibadah dan penyerahan diri kepada kehendak Ilahi.

Keimanan mengajarkan bahwa ada kebijaksanaan di balik setiap perintah Allah, bahkan jika akal manusia belum sepenuhnya mampu menangkapnya. Penemuan ilmiah yang sejalan dengan ajaran agama hanya berfungsi sebagai penguat iman dan bukti kebenaran wahyu, bukan sebagai prasyarat validitas hukum agama.

3. Menjaga Kesucian (Taharah)

Kesucian (taharah) adalah fondasi penting dalam Islam, terutama untuk ibadah. Seorang Muslim harus suci dari hadas (kecil dan besar) serta najis (kotoran) untuk dapat beribadah. Konsep najis mughallazhah pada anjing dan sifat najis pada babi sangat terkait dengan prinsip taharah ini. Dengan menjauhkan diri dari hal-hal yang najis, seorang Muslim menjaga kesucian dirinya, pakaiannya, dan tempat ibadahnya, sehingga ibadahnya diterima oleh Allah.

Kesucian ini tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga mencakup kebersihan fisik dan spiritual. Menghindari kontak dengan najis anjing dan mengonsumsi babi adalah bagian dari upaya menjaga kesucian holistik ini.

4. Memelihara Kesejahteraan Umat

Semua hukum Islam, termasuk halal dan haram, pada dasarnya dirancang untuk memelihara lima hal pokok (maqashid syariah): agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Pengharaman babi dan ketentuan mengenai anjing juga merupakan bagian dari upaya menjaga kelima aspek ini.

Perbandingan dengan Pandangan Agama Lain

Penting untuk dicatat bahwa pengharaman babi dan batasan terkait anjing bukanlah sesuatu yang unik hanya dalam Islam. Beberapa agama dan tradisi lain juga memiliki larangan serupa atau pandangan yang mirip terhadap hewan-hewan ini, menunjukkan adanya konsistensi tertentu dalam berbagai peradaban mengenai persepsi terhadap babi dan anjing.

1. Yudaisme (Agama Yahudi)

Dalam Yudaisme, babi adalah hewan yang sangat diharamkan (treif) untuk dikonsumsi, berdasarkan perintah dalam Taurat (Perjanjian Lama). Kitab Imamat 11:7-8 dengan jelas menyatakan:

"Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya terbagi dua, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Dagingnya janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram itu bagimu."

Ini menunjukkan kesamaan yang mencolok dengan larangan dalam Islam, menegaskan status babi sebagai hewan yang tidak bersih atau tidak layak untuk dikonsumsi. Anjing juga memiliki status yang rumit dalam Yudaisme; meskipun tidak dilarang sepenuhnya, mereka seringkali dipandang dengan kecurigaan karena sifatnya yang tidak bersih dan dikaitkan dengan kekejaman atau kekerasan.

2. Kekristenan Awal dan Beberapa Denominasi

Meskipun mayoritas umat Kristen saat ini tidak mengikuti larangan konsumsi babi, Gereja Kristen awal memiliki perbedaan pendapat. Beberapa kelompok Kristen di masa lalu, terutama yang berasal dari tradisi Yahudi, masih mematuhi hukum makanan dalam Perjanjian Lama. Ada juga beberapa denominasi Kristen minoritas atau sekte tertentu yang masih menahan diri dari konsumsi babi berdasarkan penafsiran mereka terhadap Kitab Suci.

3. Hindu dan Agama Timur Lainnya

Dalam Hinduisme, anjing seringkali dikaitkan dengan dewa Bhairava (manifestasi Siwa) dan dianggap sebagai wahana (kendaraan ilahi). Namun, status mereka dalam konteks kebersihan rumah tangga atau makanan sangat bervariasi. Babi juga umumnya tidak dikonsumsi secara luas di banyak wilayah India karena alasan budaya dan agama, meskipun bukan karena larangan eksplisit seperti dalam Islam atau Yudaisme.

Perbandingan ini menunjukkan bahwa isu kebersihan, kesehatan, dan status spiritual hewan tertentu adalah tema yang berulang dalam sejarah agama dan budaya manusia, memperkuat pandangan Islam tentang babi dan anjing sebagai bagian dari kebijaksanaan yang lebih besar.

Kesimpulan

Pengharaman babi dalam Islam adalah ketetapan hukum yang fundamental dan tidak bisa ditawar. Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad ﷺ secara tegas menyatakan babi sebagai hewan yang haram untuk dikonsumsi, diperkuat oleh konsensus ulama sepanjang sejarah. Hikmah di balik larangan ini juga didukung oleh penemuan ilmiah modern yang mengidentifikasi berbagai risiko kesehatan serius dari parasit, bakteri, dan kandungan lemak tinggi dalam daging babi.

Adapun anjing, Islam menetapkannya sebagai hewan yang najis mughallazhah (najis berat), terutama air liurnya, yang membutuhkan tata cara pembersihan khusus. Oleh karena itu, memelihara anjing di dalam rumah tanpa tujuan syar'i seperti berburu, menjaga, atau membantu penyandang disabilitas sangat tidak dianjurkan, bahkan dapat mengurangi pahala, karena dapat menghalangi masuknya malaikat rahmat. Namun, Islam memperbolehkan pemeliharaan anjing untuk kebutuhan yang jelas dan bermanfaat, asalkan menjaga kebersihan dan kesucian dengan memisahkan tempat anjing dari area ibadah dan tempat suci lainnya.

Pada akhirnya, dasar utama ketaatan seorang Muslim terhadap semua hukum halal dan haram adalah penyerahan diri total kepada perintah Allah SWT. Baik hikmah ilmiah maupun spiritual yang terungkap kemudian hanyalah penguat keimanan atas kebenaran ajaran Islam yang komprehensif dan sempurna. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kebersihan, kesucian, dan kesehatan umatnya, baik lahir maupun batin, demi mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

🏠 Homepage