Pertanyaan mengenai keberadaan anjing di dunia, sementara hukum Islam mengharamkan interaksi tertentu dengannya, seringkali menimbulkan kebingungan. Bagi umat Muslim, memahami ajaran agama secara komprehensif adalah kunci untuk menjawab persoalan seperti ini. Alih-alih melihatnya sebagai sebuah kontradiksi, pemahaman yang mendalam justru menyingkap kebijaksanaan ilahi di balik penciptaan segala makhluk.
Dalam ajaran Islam, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah SWT. Keberadaan setiap makhluk, mulai dari yang paling kecil hingga yang paling besar, memiliki tujuan dan hikmah tersendiri yang hanya diketahui sepenuhnya oleh Sang Pencipta. Manusia diberikan akal untuk merenungi kebesaran-Nya, bukan untuk mempertanyakan atau menyangsikan kehendak-Nya. Anjing, seperti hewan lainnya, adalah bagian dari ekosistem yang diciptakan Allah.
Banyak hewan yang diciptakan memiliki manfaat bagi kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Anjing, dalam berbagai konteks di luar hukum fiqih Muslim terkait najis dan keharaman menjadikannya peliharaan dalam pengertian tertentu, memiliki peran penting dalam sejarah peradaban manusia. Mereka dikenal karena kesetiaan, kecerdasan, dan kemampuan membantu. Peran ini bisa berupa penjagaan, pemburuan, penyelamatan, hingga sebagai hewan terapi. Keberadaan mereka di muka bumi, terlepas dari status hukum terkait kebersihan dalam Islam, adalah bukti dari keluasan dan keragaman ciptaan Allah.
Ketika berbicara tentang anjing dalam Islam, yang paling sering dibahas adalah hukum mengenai najisnya air liur dan sentuhan fisik yang membuatnya harus disucikan. Mayoritas ulama sepakat bahwa air liur anjing adalah najis berat (mughallazah) yang memerlukan cara penyucian khusus. Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW secara jelas menjelaskan hal ini, seperti sabda beliau yang memerintahkan untuk mencuci bejana yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah.
Namun, penting untuk dicatat bahwa status najis ini tidak berarti anjing itu sendiri adalah makhluk yang "buruk" atau "tercela" secara mutlak. Hukum Islam yang mengatur tentang najis berkaitan erat dengan menjaga kebersihan dan kesucian diri, pakaian, serta tempat ibadah umat Muslim. Ini adalah bentuk penjagaan agar ibadah yang dilakukan sah dan diterima. Anjing diciptakan untuk tujuan dan fungsi yang beragam di alam ini, dan ketentuan hukum dalam Islam mengatur bagaimana seorang Muslim berinteraksi dengan mereka demi menjaga kesucian ritual mereka.
Dalam beberapa konteks, anjing juga memiliki peran yang diakui dalam syariat, seperti anjing pemburu yang dilatih untuk berburu. Hewan buruan yang ditangkap oleh anjing pemburu yang terlatih diperbolehkan untuk dikonsumsi setelah disembelih sesuai syariat, meskipun anjing itu sendiri tetap memiliki hukum najis terkait air liurnya.
Pertanyaan seperti "mengapa anjing diciptakan padahal haram" bisa menjadi ujian keimanan bagi seorang Muslim. Alih-alih mencari jawaban yang bersifat rasional-materialistik semata, jawaban yang paling tepat adalah berserah diri pada kehendak Allah dan memahami hikmah di balik ketetapan-Nya. Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan yang agung, dan pemahaman manusia tentang tujuan tersebut seringkali terbatas.
Keberadaan anjing mengajarkan kita tentang relativitas dalam hukum. Apa yang mungkin dianggap najis dalam satu konteks (ritual ibadah) tidak serta merta menjadikannya makhluk yang "diharamkan" untuk ada di dunia atau dihindari sepenuhnya dari kehidupan. Manusia diperintahkan untuk berinteraksi dengan segala makhluk ciptaan Allah dengan cara yang bijak dan sesuai ajaran-Nya. Ini termasuk menghargai peran ekologis mereka serta memahami batasan dalam interaksi pribadi terkait ibadah.
Pada intinya, keberadaan anjing di dunia tidak bertentangan dengan hukum Islam terkait keharaman kontak fisik atau air liurnya. Ini adalah dua sisi mata uang yang berbeda: satu adalah eksistensi ciptaan Allah dengan segala fungsinya di alam, dan yang lainnya adalah aturan fiqih yang dirancang untuk menjaga kesucian ritual umat Muslim. Memahami keduanya secara seimbang akan membawa ketenangan hati dan memperdalam keyakinan akan kebijaksanaan Sang Pencipta.