Sejak kemunculan pandemi COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2, banyak informasi simpang siur beredar di masyarakat, terutama mengenai pengobatan. Salah satu topik yang paling sering menimbulkan kebingungan adalah penggunaan antibiotik untuk COVID-19. Penting untuk memahami perbedaan mendasar antara infeksi virus dan bakteri agar penanganan medis yang diterima tepat sasaran dan efektif.
Mengapa Antibiotik Tidak Bekerja Melawan COVID-19?
Antibiotik adalah kelas obat yang dirancang khusus untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Mekanisme kerjanya menargetkan struktur sel bakteri yang unik, seperti dinding sel atau proses replikasi DNA bakteri.
Di sisi lain, COVID-19 disebabkan oleh virus, yaitu SARS-CoV-2. Virus adalah entitas biologis yang jauh lebih sederhana dan tidak memiliki dinding sel seperti bakteri. Virus juga mereplikasi diri dengan cara menginfeksi sel inang (manusia) dan menggunakan mesin sel inang tersebut. Karena perbedaan fundamental ini, antibiotik sama sekali tidak memiliki target aksi pada SARS-CoV-2. Mengonsumsi antibiotik untuk penyakit yang disebabkan oleh virus—seperti flu biasa, pilek, atau COVID-19—sama efektifnya dengan meminum gula batu; tidak memberikan manfaat terapeutik terhadap patogen penyebab penyakit utama.
Kapan Antibiotik Diperlukan Saat Sakit COVID-19?
Meskipun COVID-19 adalah penyakit virus, terdapat situasi di mana dokter mungkin meresepkan antibiotik. Ini terjadi ketika pasien COVID-19 mengalami infeksi bakteri sekunder atau koinfeksi. Infeksi sekunder adalah kondisi di mana sistem kekebalan tubuh yang sudah melemah akibat infeksi virus utama menjadi rentan terhadap serangan bakteri. Contoh umum adalah pneumonia bakterial yang berkembang setelah fase pemulihan atau saat penyakit COVID-19 sedang aktif.
Poin Penting: Antibiotik diresepkan HANYA jika dokter menduga atau mengonfirmasi adanya infeksi bakteri yang menyertai atau mengikuti infeksi COVID-19, bukan untuk melawan virus SARS-CoV-2 itu sendiri.
Risiko Penggunaan Antibiotik yang Tidak Tepat
Penyalahgunaan atau penggunaan antibiotik yang tidak perlu saat menderita COVID-19 membawa risiko serius yang jauh lebih besar daripada manfaatnya. Risiko utama adalah munculnya resistensi antibiotik. Ketika antibiotik digunakan secara sembarangan, bakteri baik maupun bakteri jahat dalam tubuh dapat mengembangkan mekanisme pertahanan diri, membuatnya kebal terhadap obat tersebut di masa depan.
Resistensi antibiotik adalah ancaman kesehatan global. Jika seseorang kemudian benar-benar menderita infeksi bakteri yang serius (misalnya, sepsis atau pneumonia bakteri berat), antibiotik yang tadinya efektif mungkin tidak lagi manjur karena paparan yang tidak perlu sebelumnya. Selain itu, antibiotik dapat mengganggu mikrobioma usus yang sehat, menyebabkan efek samping seperti diare atau infeksi jamur.
Perawatan yang Direkomendasikan untuk COVID-19
Fokus utama dalam penanganan COVID-19 adalah terapi suportif dan, untuk kasus sedang hingga berat, obat antivirus atau anti-inflamasi yang telah terbukti efektif melawan virus itu sendiri atau untuk mengelola respons inflamasi tubuh yang berlebihan (badai sitokin).
- Antipiretik dan Analgesik: Untuk meredakan demam dan nyeri (seperti parasetamol).
- Isolasi dan Istirahat: Memberikan waktu bagi sistem imun untuk melawan virus.
- Oksigenasi: Untuk kasus yang menyebabkan kesulitan bernapas.
- Obat Antiviral: Obat yang secara spesifik menargetkan replikasi SARS-CoV-2, yang diresepkan sesuai indikasi dokter.
- Steroid (misalnya Deksametason): Digunakan pada pasien rawat inap dengan kebutuhan oksigen tinggi untuk menekan inflamasi berlebihan.
Kesimpulan
Secara tegas, antibiotik untuk COVID-19 tidak efektif sebagai pengobatan utama karena COVID-19 disebabkan oleh virus, bukan bakteri. Konsumsi antibiotik tanpa indikasi medis yang jelas saat terpapar COVID-19 hanya meningkatkan risiko resistensi antibiotik dan mengganggu keseimbangan flora normal tubuh. Selalu ikuti panduan pengobatan yang diberikan oleh profesional kesehatan yang telah mendiagnosis dan memantau kondisi Anda secara langsung.