Kenapa Anjing Haram untuk Disentuh: Memahami Perspektif Keagamaan dan Kebersihan

Pertanyaan mengenai hukum menyentuh anjing, terutama bagi umat Muslim, seringkali menimbulkan perdebatan dan kebingungan. Berbagai pandangan muncul, mulai dari yang menganggap najis mutlak hingga yang lebih toleran dengan syarat-syarat tertentu. Artikel ini akan mengupas tuntas berbagai perspektif terkait hukum menyentuh anjing, berakar pada dalil-dalil agama dan pertimbangan kebersihan.

Dalil-Dalil Keagamaan

Dalam Islam, ada beberapa dalil yang seringkali menjadi rujukan utama terkait anjing. Salah satu yang paling terkenal adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, yang menyatakan bahwa malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar (makhluk bernyawa), anjing, atau junub (orang yang berhadas besar). Hadits ini seringkali diinterpretasikan sebagai indikasi bahwa anjing memiliki status tertentu yang dapat menghalangi keberkahan atau kehadiran malaikat.

Selain itu, terdapat juga hadits lain yang membahas mengenai liur anjing. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian, maka basuhlah sebanyak tujuh kali, dan yang kedelapan kalinya dengan tanah." Penekanan pada pencucian berulang kali dan penggunaan tanah menunjukkan adanya kotoran atau najis yang melekat pada air liur anjing, yang kemudian dikaitkan dengan status najisnya.

Dari dua hadits utama tersebut, mayoritas ulama sepakat bahwa anjing itu najis. Namun, terkait apakah najisnya itu najis mughallazhah (najis berat yang memerlukan tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah) atau najis mukhaffafah (najis ringan), terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian berpendapat bahwa semua bagian anjing, termasuk air liurnya, adalah najis mughallazhah karena sifatnya yang umum. Sementara yang lain berpendapat bahwa hanya air liurnya yang tergolong najis mughallazhah, dan bagian tubuh lainnya adalah najis mukhaffafah.

Interpretasi dan Praktik Lapangan

Perbedaan mengenai jenis najis ini berdampak pada praktik lapangan. Jika anjing dianggap najis mughallazhah, maka menyentuh bagian tubuh anjing secara langsung (tanpa penghalang) akan mengharuskan area yang terkena najis untuk dibersihkan dengan cara yang telah disebutkan dalam hadits (tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah). Hal ini yang kemudian melahirkan pemahaman di masyarakat bahwa anjing haram untuk disentuh, dalam artian sentuhan tersebut mengharuskan adanya penyucian khusus.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa pemahaman "haram disentuh" seringkali dipahami secara kaku. Dalam konteks fiqih Islam, ketika sesuatu itu najis, bukan berarti haram untuk bersentuhan, melainkan mengharuskan penyucian setelahnya. Ada perbedaan antara keharaman suatu benda itu sendiri (seperti babi) dengan najisnya sesuatu yang bisa disucikan.

Ada pula pandangan yang lebih moderat, yang berpendapat bahwa anjing itu suci (thahir), namun air liurnya yang najis. Pandangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa anjing adalah hewan yang diciptakan Allah dan banyak manfaatnya, serta tidak secara eksplisit dinyatakan haram secara zatnya oleh Al-Qur'an. Namun, pandangan ini kurang populer dibandingkan mayoritas ulama yang menyatakan anjing najis.

Pertimbangan Kebersihan

Di luar perdebatan fiqih, penting juga untuk mempertimbangkan aspek kebersihan. Anjing, seperti hewan peliharaan lainnya, dapat membawa bakteri, virus, dan parasit yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia jika tidak dijaga kebersihannya. Bulu anjing, air liur, dan kotorannya bisa menjadi medium penularan berbagai penyakit.

Oleh karena itu, baik dari perspektif agama maupun kesehatan, menjaga jarak dan kebersihan saat berinteraksi dengan anjing adalah tindakan yang bijak. Jika memang diperlukan untuk menyentuh anjing (misalnya untuk merawat atau menyelamatkan), maka penting untuk segera mencuci tangan dan bagian tubuh yang terkena dengan sabun dan air mengalir. Bagi umat Muslim yang berpegang pada pandangan najis mughallazhah, penyucian khusus mungkin diperlukan sesuai dengan kaifiyah yang diajarkan.

Kesimpulan

Secara umum, mayoritas ulama Islam memandang anjing sebagai hewan yang najis, terutama air liurnya. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil hadits yang kuat. Namun, pemahaman "haram disentuh" lebih mengacu pada kewajiban untuk mensucikan diri atau pakaian setelah bersentuhan, bukan larangan mutlak untuk bersentuhan. Selain itu, aspek kebersihan fisik juga menjadi pertimbangan penting dalam berinteraksi dengan anjing.

Penting bagi setiap individu untuk kembali kepada sumber-sumber ajaran Islam yang terpercaya dan berkonsultasi dengan para ulama atau cendekiawan Muslim yang kompeten untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif mengenai masalah ini, serta menerapkannya sesuai dengan kondisi dan mazhab yang dianut.

🏠 Homepage