Hukum Anjing dalam Islam: Panduan Fiqih Mendalam dan Perbedaan Mazhab

Pendahuluan: Memahami Konsep Najis dan Haram dalam Syariat

Pertanyaan mengenai kedudukan anjing dalam hukum Islam merupakan salah satu topik yang paling sering diperdebatkan dan dipahami secara beragam di kalangan umat Muslim global. Untuk memahami secara komprehensif kenapa anjing haram atau, lebih tepatnya, najis dalam konteks ritual, kita harus terlebih dahulu membedakan antara dua istilah kunci dalam Fiqih: *Haram* dan *Najis*.

Haram merujuk pada suatu perbuatan, objek, atau konsumsi yang dilarang secara mutlak oleh syariat. Pelakunya akan mendapat dosa. Contohnya adalah mengonsumsi daging babi atau meminum khamr (minuman keras). Sementara itu, Najis merujuk pada benda-benda yang secara ritual dianggap kotor dan harus disucikan jika mengenai badan, pakaian, atau tempat shalat. Najis tidak selalu haram; misalnya, air kencing manusia adalah najis, tetapi menyentuhnya tidak otomatis mendatangkan dosa. Sebaliknya, sesuatu yang haram tidak selalu najis (misalnya, emas bagi laki-laki adalah haram dipakai, tetapi suci secara zat).

Dalam konteks anjing, perdebatan utama berkisar pada status kenajisannya (najis) dan implikasi hukum interaksi dengannya, bukan semata-mata status keharamannya untuk dimiliki (dengan pengecualian tertentu).

I. Sumber Primer Hukum Kenajisan Anjing

Dasar hukum mengenai status anjing dalam Islam bersumber dari dua pilar utama: Al-Qur'an dan Sunnah (Hadits Nabi Muhammad ﷺ). Meskipun Al-Qur’an menyebutkan anjing dalam konteks yang relatif netral atau bahkan positif (seperti anjing Ashabul Kahfi, atau anjing pemburu yang halal dimakan hasil buruannya), sumber utama yang menetapkan kenajisan adalah Hadits sahih.

A. Analisis Hadits tentang Pencucian Bejana

Hadits yang paling fundamental dan menjadi sandaran utama bagi kebanyakan mazhab (terutama Syafi’i dan Hanbali) adalah Hadits mengenai bejana yang dijilat anjing. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

"Apabila seekor anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaklah ia mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah (debu)." (Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya).

Hadits ini menetapkan protokol pensucian yang sangat spesifik dan ketat, yang dikenal sebagai pensucian Najis Mughallazah (najis berat). Protokol tujuh kali cuci dengan salah satunya menggunakan tanah (atau zat pembersih lain yang memiliki fungsi serupa) adalah unik dan hanya diterapkan pada dua jenis kenajisan dalam Fiqih: anjing dan babi. Penetapan ritual pensucian yang sedemikian rincinya ini menunjukkan tingkat kenajisan yang luar biasa tinggi pada air liur anjing.

B. Hadits tentang Pengurangan Pahala dan Kehadiran Malaikat

Selain masalah kenajisan ritual, ada hadits lain yang membahas aspek non-ritual kepemilikan anjing, yang seringkali berkontribusi pada pandangan umum mengenai larangan interaksi berlebihan dengan hewan ini. Hadits-hadits ini umumnya berfokus pada dua poin:

  1. Pengurangan Pahala: Rasulullah ﷺ bersabda bahwa siapa pun yang memelihara anjing, kecuali anjing penjaga ternak atau anjing pemburu, maka amalnya akan dikurangi setiap hari sebesar satu atau dua Qirath (bagian pahala). Ini menunjukkan bahwa kepemilikan anjing (tanpa tujuan yang disyariatkan) memiliki konsekuensi spiritual negatif.
  2. Malaikat Rahmat: Beberapa hadits juga menyebutkan bahwa Malaikat Rahmat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar (patung). Ini memperkuat gagasan bahwa anjing, secara umum, mengganggu suasana kerohanian dan ibadah dalam rumah.
Ilustrasi Fiqih: Dua simbol anjing yang dihalangi oleh Kitab Fiqih, menggambarkan perbedaan pandangan hukum anjing dalam Islam.

II. Perbedaan Mazhab Utama dalam Status Kenajisan (Najis Mughallazah)

Meskipun Hadits pensucian bejana disepakati keabsahannya, interpretasi mengenai apa yang sebenarnya najis dari anjing—apakah hanya air liurnya, seluruh tubuhnya, ataukah pengecualian berlaku—menghasilkan perbedaan pandangan yang signifikan di antara empat mazhab Fiqih besar:

A. Mazhab Syafi’i dan Hanbali (Pandangan Paling Ketat)

Kedua mazhab ini berpegangan pada Hadits Abu Hurairah secara harfiah dan menjadikannya dasar hukum yang paling ketat:

🏠 Homepage