Ilustrasi keseimbangan dan refleksi mengenai hukum anjing.
Pertanyaan mengenai status anjing dalam Islam, apakah haram atau tidak, merupakan salah satu topik yang seringkali memicu diskusi panjang dan beragam interpretasi di kalangan umat Muslim. Perdebatan ini tidak hanya melibatkan aspek ritual ibadah, tetapi juga menyentuh dimensi sosial, kesehatan, dan filosofis. Untuk memahami pandangan Islam secara komprehensif, penting untuk menggali lebih dalam dasar-dasar hukum, perbedaan madzhab fiqih, serta hikmah di balik setiap ketentuan.
Bagi sebagian besar umat Muslim, anjing seringkali diasosiasikan dengan konsep 'najis' (tidak suci), khususnya air liurnya. Namun, tidak semua madzhab memiliki pandangan yang sama ketatnya, dan ada pengecualian yang diakui dalam syariat untuk tujuan-tujuan tertentu. Artikel ini akan mengulas secara mendalam berbagai aspek terkait hukum anjing dalam Islam, mencoba menyajikan perspektif yang seimbang dan informatif agar pembaca dapat memahami kompleksitas dan nuansa yang ada.
Kita akan memulai dengan menelusuri sumber-sumber utama hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadits Nabi Muhammad SAW, untuk mencari rujukan langsung maupun tidak langsung mengenai anjing. Setelah itu, kita akan membahas konsep najis dalam Islam dan bagaimana air liur anjing dikategorikan. Bagian terpenting dari pembahasan ini adalah meninjau perbedaan pendapat di antara empat madzhab fiqih utama – Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali – yang masing-masing memiliki interpretasi dan fatwa yang berbeda mengenai status anjing.
Selain aspek fiqih, artikel ini juga akan menyentuh dimensi kesehatan dan kebersihan yang relevan dengan anjing, serta perannya dalam masyarakat dari sudut pandang sejarah dan budaya. Dengan demikian, diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman yang holistik dan tercerahkan mengenai topik ini, menjauhkan diri dari kesalahpahaman atau pandangan yang terlalu simplistis.
Dasar Hukum Anjing dalam Islam: Al-Qur'an dan Hadits
Untuk memahami mengapa anjing menjadi subjek perdebatan hukum dalam Islam, kita harus merujuk pada sumber-sumber hukum utama: Al-Qur'an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Al-Qur'an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi, sementara Hadits adalah perkataan, perbuatan, atau ketetapan (taqrir) Nabi yang menjadi penjelas dan pelengkap Al-Qur'an.
Al-Qur'an: Rujukan Tak Langsung
Secara eksplisit, Al-Qur'an tidak menyatakan anjing sebagai hewan yang haram untuk dipelihara atau disentuh, sebagaimana babi yang secara tegas diharamkan dalam beberapa ayat. Namun, ada beberapa ayat yang secara tidak langsung menyebutkan anjing:
- Surah Al-Kahf (18): Ayat 18: Ayat ini menceritakan kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditemani oleh seekor anjing yang menjaga mereka di pintu gua. Anjing tersebut disebutkan dengan istilah kalbuhum (anjing mereka). Penggunaan ini menunjukkan bahwa anjing dapat berfungsi sebagai penjaga dan tidak ada celaan langsung terhadap keberadaan anjing tersebut. Ini sering dijadikan argumen bahwa anjing bukanlah makhluk yang intrinsik najis atau jahat dalam pandangan Islam, melainkan memiliki fungsi tertentu.
- Surah Al-Ma'idah (5): Ayat 4: Ayat ini membahas tentang makanan yang dihalalkan, termasuk hasil buruan yang ditangkap oleh anjing yang telah terlatih. Allah berfirman, "Dihalalkan bagimu yang baik-baik. Dan (makanan hasil buruan) yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu ajari menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atasnya..." Ayat ini secara jelas membolehkan memakan hasil buruan yang ditangkap oleh anjing pemburu yang terlatih, dengan syarat nama Allah disebut saat melepaskannya. Ini menunjukkan bahwa anjing pemburu memiliki status yang sah dan hasil tangkapannya tidak menjadi najis karena sentuhan anjing tersebut.
Dari Al-Qur'an, kita tidak menemukan larangan mutlak terhadap anjing. Justru, ada pengakuan terhadap fungsi anjing sebagai penjaga dan pemburu. Oleh karena itu, hukum mengenai anjing lebih banyak diturunkan dari Hadits dan interpretasi ulama.
Hadits Nabi Muhammad SAW: Sumber Utama Hukum Anjing
Sebagian besar hukum dan etika terkait anjing dalam Islam bersumber dari Hadits Nabi Muhammad SAW. Ada beberapa kelompok Hadits yang perlu diperhatikan:
1. Hadits tentang Kenajisan Air Liur Anjing (Najis Mughallazhah)
Ini adalah Hadits yang paling sering dikutip dan menjadi dasar utama pandangan sebagian besar madzhab mengenai kenajisan anjing. Hadits ini menjelaskan cara membersihkan bejana yang telah dijilat anjing:
- Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaklah ia mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah." (HR. Muslim)
- Dalam riwayat lain disebutkan, "...yang pertama dengan tanah." (HR. Muslim)
Hadits ini sangat penting karena menetapkan air liur anjing sebagai najis tingkat berat (najis mughallazhah) yang memerlukan tata cara penyucian khusus: tujuh kali cucian, salah satunya dengan tanah atau sabun pengganti tanah di masa modern (menurut beberapa ulama). Ini berbeda dengan najis ringan atau sedang yang cukup dicuci dengan air biasa. Para ulama dari madzhab Syafi'i dan Hanbali menjadikan Hadits ini sebagai landasan bahwa seluruh anjing itu najis, bukan hanya air liurnya, karena air liur berasal dari tubuh anjing.
2. Hadits tentang Malaikat Tidak Masuk Rumah
Kelompok Hadits ini menjelaskan bahwa rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar (patung) makhluk bernyawa, tidak akan dimasuki malaikat rahmat:
- Dari Abu Thalhah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini seringkali diinterpretasikan sebagai larangan memelihara anjing di dalam rumah tanpa kebutuhan yang syar'i. Kehadiran anjing dianggap menghalangi keberkahan dan rahmat Allah. Ini menjadi salah satu alasan utama mengapa banyak Muslim enggan memelihara anjing sebagai hewan peliharaan di dalam rumah.
3. Hadits tentang Pengecualian Memelihara Anjing
Meskipun ada larangan umum, Hadits juga memberikan pengecualian yang jelas mengenai tujuan memelihara anjing:
- Dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang memelihara anjing, kecuali anjing penjaga ternak, anjing pemburu, atau anjing penjaga kebun, maka pahalanya akan berkurang setiap hari sebanyak dua qirath." (HR. Bukhari dan Muslim)
- Dalam riwayat lain disebutkan, "satu qirath." (HR. Muslim)
Pengecualian ini sangat krusial. Ini menunjukkan bahwa Islam mengakui fungsi pragmatis anjing dalam kehidupan manusia. Anjing penjaga ternak (gembala), anjing pemburu, dan anjing penjaga kebun atau pertanian dibolehkan. Dalam konteks modern, ulama seringkali memperluas pengecualian ini untuk mencakup anjing pelacak, anjing penyelamat, anjing pemandu bagi tunanetra, atau anjing terapi, selama ada kebutuhan yang sah dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat.
4. Hadits tentang Pahala Memberi Minum Anjing
Hadits ini menunjukkan aspek kasih sayang dalam Islam terhadap semua makhluk hidup, termasuk anjing, dan menegaskan bahwa berbuat baik kepada anjing adalah perbuatan yang berpahala besar:
- Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Seorang laki-laki sedang berjalan dan dia sangat kehausan. Dia menemukan sumur, lalu turun ke dalamnya dan minum. Kemudian dia keluar dan melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya dan makan tanah karena haus. Orang itu berkata, 'Anjing ini telah menderita seperti aku tadi.' Maka dia turun lagi ke sumur, mengisi sepatunya dengan air, lalu memegang sepatunya dengan mulutnya dan naik untuk memberi minum anjing itu. Allah pun bersyukur kepadanya dan mengampuni dosanya." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kami juga mendapatkan pahala (dengan berbuat baik) kepada binatang?" Beliau menjawab, "Pada setiap makhluk hidup ada pahala (berbuat baik)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menggarisbawahi pentingnya rasa kemanusiaan dan belas kasihan, serta bahwa berbuat baik kepada anjing tetap mendatangkan pahala, meskipun anjing tersebut dianggap najis. Ini memisahkan isu kenajisan ritual dari isu akhlak dan kebaikan.
Dari berbagai Hadits ini, dapat disimpulkan bahwa hukum anjing dalam Islam bukanlah hitam-putih. Ada aspek najis yang harus diperhatikan, larangan memelihara tanpa alasan yang syar'i, namun di sisi lain ada pengakuan terhadap manfaatnya dan anjuran untuk berbuat baik kepadanya.
Konsep Najis dalam Islam dan Air Liur Anjing
Untuk memahami hukum anjing, sangat penting untuk memahami konsep najis (impure/unclean) dalam Islam. Najis adalah suatu keadaan atau substansi yang dianggap kotor secara syariat dan dapat membatalkan ibadah jika bersentuhan langsung dengan pakaian, tubuh, atau tempat shalat seseorang, tanpa penyucian yang sesuai.
Jenis-jenis Najis
Dalam fiqih Islam, najis umumnya dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan tingkat kenajisannya dan cara membersihkannya:
- Najis Mukhaffafah (Ringan): Contohnya adalah air kencing bayi laki-laki yang belum makan apa-apa selain ASI dan belum mencapai usia dua tahun. Cara membersihkannya cukup dengan memercikkan air ke area yang terkena.
- Najis Mutawassithah (Sedang): Ini adalah jenis najis yang paling umum, meliputi kotoran manusia dan hewan (selain anjing dan babi), darah, nanah, muntah, bangkai (selain ikan dan belalang), khamr (minuman keras), dan lain-lain. Cara membersihkannya adalah dengan menghilangkan wujud, rasa, bau, dan warnanya (jika ada) dengan air hingga bersih.
- Najis Mughallazhah (Berat): Ini adalah jenis najis yang paling berat dan hanya ada dua jenis, yaitu najis dari anjing dan babi. Cara membersihkannya memerlukan tata cara khusus, yaitu dicuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan air yang dicampur tanah.
Air Liur Anjing sebagai Najis Mughallazhah
Sebagaimana telah disebutkan dalam Hadits, air liur anjing adalah contoh utama dari najis mughallazhah. Proses pembersihannya yang ketat—tujuh kali cuci, salah satunya dengan tanah—menunjukkan tingkat kenajisan yang dianggap serius dalam syariat Islam. Hikmah di balik pensucian dengan tanah ini seringkali dikaitkan dengan aspek higienis dan disinfektan alami dari tanah, yang pada masa itu menjadi metode pembersihan yang paling efektif terhadap bakteri atau kuman tertentu yang mungkin ada pada air liur anjing.
Penting untuk dicatat bahwa kenajisan ini bersifat ritual (syar'i), bukan berarti anjing itu sendiri adalah makhluk yang buruk. Kenajisan ini lebih berkaitan dengan syarat sahnya ibadah, khususnya shalat, di mana seseorang harus suci dari hadas dan najis.
Perdebatan tentang Bagian Anjing yang Najis
Meskipun air liur anjing secara umum disepakati sebagai najis mughallazhah, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai bagian lain dari anjing:
- Seluruh Tubuh Anjing (Syafi'i dan Hanbali): Menurut madzhab Syafi'i dan Hanbali, seluruh bagian anjing—termasuk bulu, kulit, dan keringatnya—dianggap najis, karena air liur yang berasal dari tubuhnya adalah najis mughallazhah. Oleh karena itu, jika seorang Muslim menyentuh anjing dengan tangan basah atau sebaliknya, atau terkena bulu anjing yang basah, ia wajib membersihkan tangannya dengan tata cara najis mughallazhah.
- Hanya Air Liur dan Kotorannya (Hanafi): Madzhab Hanafi berpendapat bahwa hanya air liur, air kencing, dan kotoran anjing yang najis. Tubuh dan bulu anjing, selama tidak ada najis basah yang menempel, dianggap suci (tahir) namun makruh bersentuhan. Mereka berdalil bahwa anjing pemburu dan penjaga diizinkan dan tidak mungkin menghindarkan diri sepenuhnya dari sentuhan bulu anjing.
- Anjing Seluruhnya Suci (Maliki): Madzhab Maliki memiliki pandangan yang paling longgar. Mereka berpendapat bahwa anjing secara keseluruhan, termasuk air liurnya, adalah suci (tahir). Mereka menafsirkan Hadits tentang pencucian tujuh kali dengan tanah sebagai perintah ibadah (ta'abbudi) yang tidak menunjukkan kenajisan intrinsik, melainkan lebih sebagai bentuk ketaatan atau karena alasan kesehatan yang lebih umum. Mereka juga berdalil dari Hadits tentang anjing pemburu yang hasil tangkapannya halal dimakan tanpa perlu dicuci ulang dari bekas gigitan anjing.
Perbedaan pandangan ini menunjukkan kompleksitas fiqih dan pentingnya memahami berbagai interpretasi untuk menghindari pandangan yang sempit. Namun, mayoritas ulama di Indonesia yang mengikuti madzhab Syafi'i cenderung memegang pendapat bahwa seluruh bagian anjing adalah najis, terutama air liurnya.
Perbedaan Madzhab Fiqih Mengenai Anjing
Pembahasan mengenai anjing dalam Islam tidak lengkap tanpa menelaah perbedaan pendapat di antara empat madzhab fiqih Sunni utama: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Setiap madzhab memiliki metodologi dan interpretasi dalil yang berbeda, menghasilkan pandangan yang beragam.
1. Madzhab Syafi'i
Madzhab Syafi'i adalah madzhab yang paling ketat dalam pandangannya terhadap anjing, dan ini adalah madzhab yang mayoritas dianut di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
- Status Kenajisan: Menurut Imam Syafi'i dan para pengikutnya, seluruh bagian anjing—termasuk kulit, bulu, keringat, air liur, dan bahkan kotorannya—dianggap sebagai najis mughallazhah (najis berat). Ini berarti jika seseorang bersentuhan langsung dengan anjing dalam keadaan basah (baik tangan atau anjingnya) atau terkena bulu anjing yang basah, maka ia wajib melakukan pencucian dengan tata cara najis mughallazhah, yaitu dicuci tujuh kali, salah satunya dengan air yang dicampur tanah atau sabun.
- Dasar Hukum: Pandangan ini didasarkan pada Hadits tentang pencucian bejana yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Madzhab Syafi'i menginterpretasikan bahwa jika air liurnya najis, maka asal muasal air liur (yaitu tubuh anjing itu sendiri) juga najis.
- Memelihara Anjing: Memelihara anjing di dalam rumah tanpa kebutuhan syar'i yang jelas (seperti untuk berburu, menjaga ternak, atau menjaga kebun/lahan pertanian) adalah haram atau makruh tahrim (mendekati haram), karena dapat mengurangi pahala dan menghalangi malaikat rahmat masuk ke dalam rumah.
- Pengecualian: Pengecualian diperbolehkan untuk anjing pemburu, anjing penjaga ternak, dan anjing penjaga kebun. Hasil buruan yang ditangkap anjing pemburu halal dimakan setelah dibasuh secara umum, tanpa perlu pencucian mughallazhah pada dagingnya, meskipun ulama Syafi'i menganjurkan membasuh bagian yang terkena air liur anjing.
Oleh karena itu, bagi pengikut Madzhab Syafi'i, interaksi dengan anjing memerlukan kehati-hatian ekstra dalam hal kebersihan dan kesucian untuk memastikan sahnya ibadah.
2. Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi memiliki pandangan yang lebih moderat dibandingkan Syafi'i.
- Status Kenajisan: Menurut Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya, hanya air liur, air kencing, dan kotoran anjing yang dianggap najis. Adapun tubuh dan bulu anjing, mereka berpendapat bahwa itu adalah suci (tahir). Namun, bersentuhan dengan bulu anjing tanpa alasan yang jelas tetap dianggap makruh tanzih (tidak disukai, tetapi tidak sampai haram).
- Dasar Hukum: Mereka berdalil bahwa Hadits tentang pencucian tujuh kali hanya menyebutkan air liur anjing yang menjilat bejana, bukan seluruh tubuhnya. Selain itu, mereka merujuk pada praktik anjing pemburu dan penjaga yang seringkali bersentuhan dengan pemiliknya atau pakaiannya tanpa ada perintah khusus untuk mencuci seluruh tubuh atau pakaian dengan tujuh kali cucian tanah.
- Memelihara Anjing: Memelihara anjing di dalam rumah dianggap makruh tanzih jika tanpa kebutuhan syar'i. Namun, memelihara anjing untuk tujuan berburu, menjaga rumah, atau ternak adalah mubah (boleh).
- Interaksi: Jika bulu anjing kering bersentuhan dengan pakaian atau tubuh, tidak dianggap najis dan tidak perlu dicuci khusus. Namun, jika ada air liur atau kotoran anjing, maka wajib dibersihkan.
Pandangan Hanafi memberikan sedikit kelonggaran, membedakan antara kenajisan air liur/kotoran dengan tubuh anjing secara umum.
3. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki adalah yang paling longgar dalam pandangannya, dianut secara luas di Afrika Utara.
- Status Kenajisan: Madzhab Maliki berpendapat bahwa anjing secara keseluruhan, termasuk air liurnya, adalah suci (tahir) dan bukan najis. Mereka menafsirkan Hadits tentang pencucian tujuh kali dengan tanah sebagai perintah ta'abbudi (ibadah yang harus ditaati tanpa harus mencari tahu alasannya secara rasional) atau sebagai tindakan kebersihan yang sangat dianjurkan, bukan sebagai indikasi kenajisan intrinsik anjing.
- Dasar Hukum: Mereka merujuk pada Al-Qur'an (Surah Al-Ma'idah ayat 4) yang membolehkan hasil buruan anjing tanpa menyebutkan keharusan mencuci bekas gigitannya. Jika anjing itu sendiri najis, dan air liurnya najis, maka hasil buruan tersebut seharusnya menjadi najis. Karena dihalalkan tanpa syarat pencucian khusus, maka anjing dianggap suci. Mereka juga mempertimbangkan praktik umum di masa Nabi di mana anjing-anjing sering berkeliaran di pasar atau tempat umum tanpa ada perintah keras untuk menghindari atau membersihkan diri secara khusus dari sentuhan mereka.
- Memelihara Anjing: Memelihara anjing di dalam rumah tanpa kebutuhan yang jelas tetap dianggap makruh tanzih (tidak disukai) karena alasan yang disebutkan dalam Hadits tentang malaikat tidak masuk rumah, namun bukan karena kenajisannya. Untuk keperluan syar'i (penjaga, pemburu), memelihara anjing hukumnya mubah.
- Interaksi: Jika bersentuhan dengan anjing, baik basah maupun kering, tidak perlu dicuci khusus. Hanya perlu berwudhu ulang jika menyentuh anjing membatalkan wudhu (menurut sebagian Maliki, menyentuh binatang hidup tidak membatalkan wudhu).
Pandangan Maliki sangat berbeda, mengklasifikasikan anjing sebagai makhluk yang suci, namun tetap makruh jika dipelihara di dalam rumah tanpa tujuan syar'i.
4. Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali memiliki pandangan yang mirip dengan Syafi'i, meskipun ada sedikit perbedaan dalam detail.
- Status Kenajisan: Seperti Syafi'i, madzhab Hanbali menganggap seluruh bagian anjing (termasuk air liur, air kencing, kotoran, dan bulu) sebagai najis mughallazhah. Oleh karena itu, jika seseorang bersentuhan dengan anjing dalam keadaan basah, atau terkena air liur atau bulunya yang basah, wajib dicuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah.
- Dasar Hukum: Mereka juga berpegang teguh pada Hadits tentang pencucian bejana tujuh kali dengan tanah.
- Memelihara Anjing: Memelihara anjing di dalam rumah tanpa kebutuhan syar'i adalah haram atau makruh tahrim, dan dapat mengurangi pahala. Pengecualian diberikan untuk anjing pemburu, penjaga ternak, dan penjaga kebun.
Secara umum, dalam konteks kenajisan dan interaksi, pandangan Hanbali sangat mendekati pandangan Syafi'i, menekankan kehati-hatian dan prosedur pembersihan yang ketat.
Tabel Ringkasan Perbedaan Madzhab:
| Aspek | Syafi'i | Hanafi | Maliki | Hanbali |
|---|---|---|---|---|
| Status Kenajisan | Seluruh tubuh anjing (termasuk air liur, bulu) adalah najis mughallazhah. | Hanya air liur, kencing, dan kotoran yang najis. Tubuh & bulu suci (makruh disentuh). | Seluruh tubuh anjing (termasuk air liur) adalah suci (tahir). | Seluruh tubuh anjing (termasuk air liur, bulu) adalah najis mughallazhah. |
| Cara Pembersihan (jika terkena) | 7 kali cucian, salah satunya dengan tanah/penggantinya. | Jika terkena air liur/kotoran: 7 kali cucian, salah satunya dengan tanah. Jika bulu kering: tidak perlu. | Tidak perlu pencucian khusus (cukup cuci biasa jika ingin bersih fisik). | 7 kali cucian, salah satunya dengan tanah/penggantinya. |
| Memelihara di Rumah (tanpa alasan syar'i) | Haram/Makruh Tahrim (karena kenajisan & menghalangi malaikat). | Makruh Tanzih (karena menghalangi malaikat). | Makruh Tanzih (karena menghalangi malaikat). | Haram/Makruh Tahrim (karena kenajisan & menghalangi malaikat). |
| Pengecualian (memelihara) | Untuk berburu, menjaga ternak/kebun. | Untuk berburu, menjaga ternak/kebun/rumah. | Untuk berburu, menjaga ternak/kebun/rumah. | Untuk berburu, menjaga ternak/kebun. |
Tabel ini menyajikan ringkasan umum; detail fiqih mungkin lebih kompleks di setiap madzhab.
Dari tabel di atas, jelas terlihat bahwa tidak ada satu pandangan tunggal mengenai anjing dalam Islam. Perbedaan ini adalah rahmat dan menunjukkan luasnya interpretasi dalam fiqih Islam, memungkinkan umat untuk memilih pandangan yang paling sesuai dengan pemahaman dan lingkungan mereka, selama didasarkan pada dalil yang kuat.
Aspek Kesehatan dan Kebersihan dalam Islam
Selain dasar-dasar syariat, seringkali diangkat pula diskusi mengenai aspek kesehatan dan kebersihan sebagai hikmah di balik hukum-hukum terkait anjing. Islam sangat menekankan kebersihan (thaharah) baik secara fisik maupun spiritual. Ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW banyak yang mengisyaratkan pentingnya kebersihan sebagai bagian dari iman.
Potensi Penyakit dari Anjing
Secara ilmiah, anjing, seperti halnya hewan lain, dapat membawa berbagai mikroorganisme dan parasit yang berpotensi menular ke manusia. Beberapa di antaranya adalah:
- Rabies (Penyakit Anjing Gila): Ini adalah penyakit virus fatal yang menyerang sistem saraf pusat. Ditularkan melalui gigitan atau jilatan anjing yang terinfeksi pada kulit yang terluka. Meskipun vaksinasi telah mengurangi risiko, rabies tetap menjadi ancaman serius di banyak wilayah.
- Cacing Parasit (Zoonosis Cacing):
- Echinococcus granulosus (Cacing Pita Hydatid): Telur cacing ini dapat ditemukan di bulu atau kotoran anjing yang terinfeksi. Jika tertelan manusia, dapat menyebabkan kista hydatid yang berbahaya di organ internal.
- Toxocara canis (Cacing Gelang Anjing): Telurnya juga dapat ditemukan di lingkungan yang terkontaminasi kotoran anjing. Pada manusia, larva cacing ini dapat menyebabkan larva migrans visceralis (merusak organ dalam) atau larva migrans ocularis (merusak mata), terutama pada anak-anak.
- Cacing Tambang (Ancylostoma caninum): Larvanya dapat menembus kulit manusia dan menyebabkan larva migrans cutanea (ruam kulit yang gatal).
- Bakteri: Anjing dapat membawa bakteri seperti Salmonella, Campylobacter, E. coli, dan Pasteurella multocida yang dapat menyebabkan infeksi pencernaan atau infeksi luka pada manusia.
- Alergi: Meskipun bukan penyakit menular, banyak orang memiliki alergi terhadap bulu, air liur, atau sel kulit mati anjing, yang dapat menyebabkan reaksi pernapasan atau kulit.
Meskipun kemajuan medis modern memungkinkan penanganan dan pencegahan banyak penyakit ini melalui vaksinasi hewan, kebersihan yang baik, dan pengobatan, pada zaman Nabi Muhammad SAW, pengetahuan tentang mikroorganisme ini belum ada. Oleh karena itu, hukum-hukum syariat yang terkait dengan kebersihan dan kenajisan, seperti perintah mencuci tujuh kali dengan tanah, dapat dipandang sebagai bentuk perlindungan dini dari potensi bahaya kesehatan.
Hikmah Kebersihan dalam Syariat Islam
Prinsip kebersihan dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk kesehatan fisik, tetapi juga spiritual. Kebersihan adalah prasyarat untuk banyak ibadah, seperti shalat, di mana tubuh, pakaian, dan tempat harus suci dari najis. Penekanan pada kebersihan yang mendalam, bahkan untuk jenis najis tertentu, mencerminkan:
- Perlindungan Kesehatan: Mencegah penularan penyakit yang tidak diketahui penyebabnya pada masa lalu.
- Kesempurnaan Ibadah: Memastikan seorang Muslim berada dalam keadaan suci dan bersih saat berinteraksi dengan Allah SWT.
- Disiplin Diri: Mendorong umat untuk selalu menjaga kebersihan dan kehati-hatian dalam setiap aspek kehidupan.
- Simbolisme Spiritual: Membedakan antara yang suci dan yang kotor, yang pada akhirnya membawa manusia pada pemahaman tentang kesucian jiwa.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua hewan yang berpotensi membawa penyakit dianggap najis mughallazhah. Status khusus anjing (dan babi) dalam kategori najis berat menunjukkan bahwa ada hikmah lain yang mungkin lebih mendalam atau spesifik, yang melampaui sekadar pertimbangan kesehatan fisik umum.
Hubungan antara hukum syariat dan sains modern seringkali menjadi topik menarik. Beberapa ulama kontemporer mencoba mencari korelasi antara kandungan kuman/bakteri tertentu pada air liur anjing dengan efektivitas tanah sebagai disinfektan. Meskipun demikian, harus ditekankan bahwa seorang Muslim wajib mengikuti syariat karena itu adalah perintah Allah, terlepas dari apakah hikmah ilmiahnya sudah sepenuhnya terungkap atau belum. Hikmah ilmiah hanyalah penambah keyakinan, bukan dasar utama kewajiban.
Aspek Sosial dan Budaya Mengenai Anjing
Pandangan terhadap anjing tidak hanya dibentuk oleh aspek agama dan kesehatan, tetapi juga oleh faktor sosial dan budaya yang berkembang di berbagai masyarakat sepanjang sejarah.
Anjing dalam Masyarakat Pra-Islam dan Awal Islam
Di banyak kebudayaan kuno, anjing memiliki peran ganda. Mereka dihargai sebagai pemburu, penjaga, dan bahkan teman. Namun, di beberapa masyarakat, anjing juga dianggap sebagai hewan yang berkeliaran, pemakan sisa, dan terkadang dikaitkan dengan hal-hal yang tidak bersih. Di Semenanjung Arab pra-Islam, anjing sering digunakan untuk berburu dan menjaga ternak, namun jarang dipelihara sebagai hewan peliharaan di dalam rumah seperti yang umum di Barat.
Ketika Islam datang, ia membawa norma-norma baru yang menekankan kebersihan dan kesucian. Perlakuan terhadap anjing mencerminkan keseimbangan antara pengakuan atas manfaat fungsionalnya dan kehati-hatian terhadap aspek kenajisannya. Islam tidak memerintahkan pembunuhan anjing secara massal (kecuali anjing gila atau yang berbahaya), bahkan Hadits tentang pahala memberi minum anjing menunjukkan nilai belas kasih universal terhadap semua makhluk Allah.
Persepsi dalam Masyarakat Muslim Kontemporer
Di sebagian besar masyarakat Muslim, terutama yang mengikuti madzhab Syafi'i, anjing jarang dipelihara sebagai hewan peliharaan di dalam rumah. Jika ada anjing, mereka biasanya ditempatkan di luar rumah untuk tujuan menjaga keamanan, berburu, atau menggembala. Interaksi fisik dengan anjing seringkali dihindari untuk menjaga kesucian (thaharah) dalam ibadah.
Namun, dalam konteks modern, muncul tantangan dan kebutuhan baru. Misalnya:
- Anjing Pemandu (Guide Dogs): Bagi tunanetra, anjing pemandu adalah alat vital untuk mobilitas dan kemandirian. Mayoritas ulama kontemporer membolehkan penggunaan anjing pemandu karena alasan darurat (dharurat) dan kebutuhan yang mendesak, bahkan jika itu berarti membawa anjing ke dalam rumah atau tempat umum. Mereka berargumen bahwa kemaslahatan dan kebutuhan individu lebih diutamakan.
- Anjing Pelacak dan Penyelamat: Anjing-anjing ini digunakan dalam operasi pencarian dan penyelamatan, deteksi narkoba atau bom, dan penegakan hukum. Fungsinya sangat penting bagi kemaslahatan publik dan keamanan negara, sehingga penggunaannya diperbolehkan tanpa keraguan.
- Anjing Terapi/Dukungan Emosional: Ini adalah area yang lebih baru dan masih diperdebatkan. Beberapa ulama menganggapnya sebagai "hajat" (kebutuhan) yang dapat membolehkan interaksi yang lebih dekat, sementara yang lain masih berhati-hati karena khawatir dapat membuka pintu ke pemeliharaan anjing tanpa tujuan syar'i yang jelas.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa fiqih Islam tidak statis, melainkan adaptif terhadap perubahan zaman dan kebutuhan manusia, selama tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar syariat.
Menghargai Anjing sebagai Makhluk Allah
Meskipun ada batasan-batasan dalam interaksi dan hukum kenajisan, Islam tetap mengajarkan untuk memperlakukan semua makhluk hidup dengan baik. Hadits tentang seorang wanita pelacur yang diampuni dosanya karena memberi minum anjing yang kehausan adalah bukti kuat dari ajaran ini. Ini menunjukkan bahwa meskipun anjing memiliki status hukum tertentu terkait kenajisan, mereka tetap makhluk ciptaan Allah yang berhak atas belas kasihan dan perlakuan baik dari manusia.
Menganiaya anjing, kelaparan, atau menyiksanya adalah tindakan yang dilarang dan berdosa dalam Islam. Seorang Muslim dianjurkan untuk bertanggung jawab jika memelihara anjing untuk tujuan yang dibenarkan, memberinya makan, minum, tempat tinggal yang layak, dan perawatan kesehatan yang diperlukan.
Dalam konteks sosial, penting untuk memahami bahwa pandangan terhadap anjing bisa berbeda di antara budaya Muslim dan non-Muslim. Sensitivitas dan saling pengertian diperlukan, terutama dalam masyarakat multikultural, untuk menghargai pilihan dan keyakinan masing-masing tanpa menghakimi.
Kontroversi dan Mitos Seputar Anjing dalam Islam
Seiring dengan beragamnya pandangan fiqih, banyak pula kontroversi dan mitos yang berkembang di masyarakat mengenai anjing dalam Islam. Penting untuk mengklarifikasi beberapa di antaranya agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Mitos 1: Anjing Seluruhnya Haram dan Najis dalam Semua Kondisi
Sebagaimana telah dibahas, ini adalah pandangan yang terlalu simplistis. Madzhab Maliki bahkan menyatakan anjing itu suci (tahir). Madzhab Hanafi membatasi kenajisan pada air liur dan kotorannya saja, bukan seluruh tubuh. Bahkan dalam madzhab Syafi'i dan Hanbali yang paling ketat, kenajisan anjing tidak membuat anjing itu sendiri haram untuk dimiliki jika ada tujuan syar'i. Hasil buruan anjing juga halal dimakan. Jadi, bukan "seluruhnya haram" dalam arti dilarang total dalam segala aspek.
Mitos 2: Anjing Tidak Boleh Disentuh Sama Sekali
Mitos ini juga tidak sepenuhnya tepat. Jika seseorang menyentuh anjing dalam keadaan kering, dan anjingnya juga kering, menurut mayoritas ulama (termasuk Syafi'i dan Hanbali), tidak ada najis yang berpindah dan tidak perlu dicuci tujuh kali. Pencucian khusus hanya diperlukan jika terjadi sentuhan basah (baik tangan atau bulu/tubuh anjing) dengan anjing (menurut Syafi'i/Hanbali) atau jika terkena air liur/kotoran anjing (menurut Hanafi). Madzhab Maliki bahkan tidak mewajibkan pencucian khusus sama sekali. Jadi, menghindari sentuhan sepenuhnya mungkin merupakan bentuk kehati-hatian ekstrem, tetapi tidak selalu wajib secara syariat.
Mitos 3: Semua Anjing Harus Dibunuh
Ini adalah mitos yang berbahaya dan sama sekali tidak berdasar. Islam tidak pernah memerintahkan pembunuhan massal atau penyiksaan terhadap hewan, termasuk anjing. Justru, Islam mengajarkan belas kasihan kepada semua makhluk. Hadits yang menyebutkan Nabi memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing tertentu merujuk pada anjing hitam pekat yang bisu (tidak bisa melolong/menggonggong) karena dikhawatirkan adalah syaitan atau berbahaya, dan perintah ini kemudian dicabut atau ditaqyid (dibatasi) hanya pada anjing yang memang membahayakan (misalnya anjing gila atau agresif). Dalam Islam, membunuh hewan tanpa alasan yang syar'i (misalnya untuk makanan yang halal atau karena membahayakan) adalah dosa.
Mitos 4: Memelihara Anjing Membatalkan Wudhu atau Shalat
Memelihara anjing tidak secara otomatis membatalkan wudhu atau shalat. Wudhu hanya batal karena hadas (seperti buang air kecil/besar, kentut, tidur pulas, atau bersentuhan dengan lawan jenis tanpa penghalang menurut madzhab Syafi'i). Menyentuh anjing tidak termasuk pembatal wudhu. Namun, jika seseorang ingin shalat setelah bersentuhan dengan najis anjing (misalnya air liurnya), maka ia wajib membersihkan najis tersebut terlebih dahulu dari tubuh, pakaian, dan tempat shalat agar shalatnya sah. Jika najis sudah bersih, maka shalatnya sah.
Mitos 5: Anjing Itu Makhluk Terkutuk
Tidak ada dalil dalam Al-Qur'an atau Hadits yang menyatakan anjing sebagai makhluk terkutuk. Sebaliknya, anjing disebutkan dalam kisah Ashabul Kahfi dengan nada netral, dan Hadits tentang pahala memberi minum anjing menunjukkan bahwa anjing adalah makhluk yang berhak menerima kasih sayang dan kebaikan, serta dapat menjadi jalan bagi manusia untuk meraih pahala dan ampunan dari Allah SWT. Penekanan pada kenajisan ritual tidak sama dengan mengutuk eksistensi makhluk tersebut.
Mitos-mitos ini seringkali muncul karena pemahaman yang parsial atau salah tafsir terhadap dalil-dalil agama. Penting untuk selalu kembali kepada sumber yang shahih dan interpretasi ulama yang kompeten agar tidak terjebak dalam pandangan ekstrem atau keliru.
Hikmah dan Kesimpulan
Setelah menelusuri berbagai aspek hukum anjing dalam Islam, mulai dari dasar-dasar Al-Qur'an dan Hadits, konsep najis, perbedaan madzhab fiqih, hingga aspek kesehatan dan sosial, kita dapat menarik beberapa kesimpulan dan memahami hikmah di balik ketentuan-ketentuan tersebut.
Ragam Pandangan sebagai Rahmat
Salah satu hikmah terbesar dari perbedaan pendapat di kalangan ulama (ikhtilaf al-ulama) adalah rahmat bagi umat. Keragaman interpretasi ini menunjukkan keluasan fiqih Islam dan fleksibilitasnya dalam menghadapi berbagai kondisi dan kebutuhan masyarakat. Seorang Muslim dapat memilih pandangan yang paling menenteramkan hatinya dan yang sesuai dengan konteks kehidupannya, selama pilihan tersebut didasarkan pada dalil yang kuat dan pemahaman yang mendalam, bukan semata-mata mengikuti hawa nafsu.
Bagi yang tinggal di lingkungan mayoritas Syafi'i, menjaga kehati-hatian terhadap najis anjing adalah hal yang lazim. Namun, bagi yang berada dalam situasi darurat atau kebutuhan syar'i (seperti tunanetra dengan anjing pemandu), pandangan yang lebih longgar dapat diambil, misalnya dari madzhab Maliki atau pertimbangan ulama kontemporer yang memberikan fatwa sesuai kondisi.
Penekanan pada Kebersihan dan Kesucian
Islam adalah agama yang sangat menekankan kebersihan, baik fisik maupun spiritual. Ketentuan mengenai najis anjing, terutama air liurnya, dengan tata cara penyucian yang khusus, menggarisbawahi pentingnya menjaga kesucian tubuh, pakaian, dan tempat ibadah. Hikmah di baliknya bisa jadi adalah perlindungan kesehatan dari potensi bahaya yang tidak diketahui pada masa itu, serta penanaman disiplin diri dalam menjaga kebersihan.
Keseimbangan antara Manfaat dan Batasan
Islam bukanlah agama yang anti-hewan. Sebaliknya, ia mendorong umatnya untuk berbuat baik kepada semua makhluk. Anjing diakui manfaat fungsionalnya sebagai pemburu, penjaga, dan bahkan teman dalam konteks tertentu. Namun, pengakuan ini disertai dengan batasan-batasan dan aturan-aturan tertentu yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan umat Muslim dari aspek ritual, spiritual, dan kesehatan. Ini adalah bentuk keseimbangan yang bijaksana dari syariat Islam.
Tujuan Syariat adalah Kemudahan dan Kebaikan
Prinsip dasar syariat Islam adalah untuk membawa kemudahan (yusr) dan menghilangkan kesulitan (haraj), serta mencapai kemaslahatan (maslahah) bagi umat manusia. Ketika ada kebutuhan yang mendesak, syariat seringkali memberikan kelonggaran. Contoh anjing pemandu atau anjing pelacak adalah bukti bagaimana fiqih Islam dapat beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan darurat dan hajat yang penting.
Pentingnya Ilmu dan Akhlak
Memahami hukum anjing secara komprehensif juga mengajarkan kita pentingnya mencari ilmu, bertanya kepada ahlinya, dan tidak cepat menghukumi berdasarkan asumsi atau informasi yang tidak akurat. Selain itu, terlepas dari perbedaan pandangan fiqih, kewajiban untuk berlaku ihsan (berbuat baik) kepada semua makhluk, termasuk anjing, tetap tidak berubah. Menyiksa atau menganiaya anjing adalah tindakan yang dilarang dalam Islam.
Sebagai penutup, isu "mengapa anjing itu haram" bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab dengan sederhana "ya" atau "tidak". Jawabannya terletak pada nuansa dan detail hukum Islam yang kaya, yang mempertimbangkan berbagai dimensi: sumber dalil, interpretasi ulama, kondisi waktu dan tempat, serta kemaslahatan umum. Dengan pemahaman yang mendalam, seorang Muslim dapat berinteraksi dengan dunia, termasuk dengan anjing, dengan tetap menjaga komitmen pada prinsip-prinsip agamanya dan menyebarkan rahmat ke seluruh alam.
Saran Praktis bagi Muslim yang Berinteraksi dengan Anjing
Bagi umat Muslim, terutama yang tinggal di lingkungan di mana interaksi dengan anjing sering terjadi atau memiliki kebutuhan terkait anjing, berikut adalah beberapa saran praktis yang dapat diambil berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam:
1. Pahami Madzhab yang Anda Ikuti
Jika Anda tinggal di daerah yang mayoritas mengikuti madzhab Syafi'i (seperti Indonesia), maka pandangan bahwa anjing (terutama air liurnya) adalah najis mughallazhah akan menjadi panduan utama Anda. Patuhi ketentuan pembersihan tujuh kali, salah satunya dengan tanah, jika terkena najis basah dari anjing.
2. Hindari Memelihara Anjing di Dalam Rumah Tanpa Kebutuhan Syar'i
Jika Anda tidak memiliki kebutuhan syar'i yang jelas (seperti untuk berburu, menjaga ternak, menjaga kebun, atau kebutuhan medis/keamanan yang diakui), sebaiknya hindari memelihara anjing di dalam rumah. Ini sejalan dengan Hadits yang menyebutkan malaikat rahmat tidak masuk rumah yang ada anjingnya, serta menjaga rumah dari potensi najis yang bisa menyulitkan dalam ibadah.
3. Jika Ada Kebutuhan Syar'i, Tetapkan Batasan yang Jelas
Jika Anda memelihara anjing untuk tujuan yang dibenarkan (misalnya anjing penjaga, anjing pemandu, anjing pelacak), pastikan ada batasan yang jelas. Misalnya:
- Tentukan area khusus untuk anjing agar tidak bebas berkeliaran di seluruh area rumah, terutama tempat shalat.
- Biasakan membersihkan diri dan pakaian setelah berinteraksi dengan anjing, terutama jika ada sentuhan basah.
- Gunakan sarung tangan saat membersihkan kandang atau berinteraksi langsung dengan air liurnya.
- Cuci peralatan makan dan minum anjing secara terpisah.
4. Jaga Kebersihan Diri dan Lingkungan
Terlepas dari perbedaan madzhab, menjaga kebersihan adalah inti ajaran Islam. Mandi setelah berinteraksi intens dengan anjing, mencuci tangan dengan sabun dan air, serta menjaga kebersihan rumah dan lingkungan adalah praktik yang sangat dianjurkan. Ini tidak hanya untuk memenuhi syarat kesucian ibadah, tetapi juga untuk kesehatan umum.
5. Perlakukan Anjing dengan Baik
Meskipun ada batasan dalam interaksi ritual, Islam mengajarkan untuk berbelas kasih kepada semua makhluk hidup. Beri anjing makan, minum, tempat tinggal yang layak, dan jangan menyiksa atau menelantarkannya. Ingatlah Hadits tentang pahala memberi minum anjing. Kebaikan kepada hewan adalah bentuk ibadah dan dapat mendatangkan rahmat Allah.
6. Bersikap Toleran dan Paham Konteks
Dalam masyarakat multikultural, Anda mungkin akan bertemu dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda tentang anjing. Bersikaplah toleran dan hormati pilihan orang lain, sambil tetap menjaga prinsip-prinsip agama Anda. Jelaskan pandangan Anda dengan santun jika diperlukan, tanpa menghakimi atau memaksakan.
7. Cari Ilmu dari Sumber Terpercaya
Jika Anda memiliki pertanyaan atau keraguan lebih lanjut, jangan ragu untuk bertanya kepada ulama atau cendekiawan Muslim yang memiliki pemahaman mendalam tentang fiqih. Hindari mengambil informasi dari sumber yang tidak jelas atau belum diverifikasi kebenarannya.
Dengan menerapkan saran-saran ini, seorang Muslim dapat menjalani kehidupannya dengan harmonis, menjaga kesucian ibadahnya, sekaligus memenuhi tuntutan akhlak mulia dalam memperlakukan makhluk ciptaan Allah SWT.