Pertanyaan mengenai status anjing dalam Islam, khususnya apakah haram disentuh dan mengapa, seringkali muncul di kalangan umat Muslim. Pemahaman yang mendalam diperlukan untuk menjawab isu ini dengan tepat, merujuk pada sumber-sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadis, serta interpretasi para ulama.
Secara langsung, Al-Qur'an tidak secara eksplisit menyebutkan anjing sebagai hewan yang najis atau haram disentuh dalam satu ayat yang spesifik. Namun, terdapat beberapa ayat yang seringkali dikaitkan atau diinterpretasikan terkait dengan status anjing. Salah satu yang paling sering dirujuk adalah kisah Ashabul Kahfi (penghuni gua) dalam Surah Al-Kahfi:
"Dan anjing mereka mengulurkan kedua lengannya di muka gua itu. Jika kamu melihat mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan dari mereka pasti akan terisi rasa takut." (QS. Al-Kahfi [18]: 18)
Dalam ayat ini, anjing disebutkan sebagai bagian dari kelompok yang berlindung di gua. Keberadaan anjing ini tidak dicela atau dihukumi haram. Namun, penafsiran ulama bervariasi mengenai makna dan implikasinya.
Ayat lain yang terkadang dikaitkan adalah tentang larangan memakan hewan tertentu, namun anjing tidak masuk dalam kategori yang disebutkan secara langsung sebagai haram untuk dikonsumsi dalam Al-Qur'an, berbeda dengan babi.
Sebagian besar landasan hukum mengenai status anjing dalam Islam bersumber dari Hadis Nabi Muhammad SAW. Terdapat beberapa Hadis yang secara jelas menyatakan bahwa anjing menjilat wadah makanan adalah najis, dan bahwa malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar.
Salah satu Hadis yang paling sering dikutip adalah:
"Barangsiapa memelihara anjing, maka pahala amalnya berkurang setiap hari sebanyak satu qirath, kecuali anjing penjaga pertanian atau anjing penjaga ternak." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis lain menyebutkan:
"Sucinya wadah salah seorang dari kalian apabila dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah." (HR. Muslim)
Dari Hadis-hadis ini, para ulama fiqih menyimpulkan bahwa air liur (serta bagian tubuh lain) anjing dianggap sebagai najis mughallazah (najis berat) bagi mazhab Syafi'i dan Maliki. Hal ini yang kemudian melahirkan pandangan bahwa menyentuh anjing yang basah atau terkena air liurnya mengharuskan penyucian. Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang sedikit berbeda, menganggap anjing sebagai najis ringan yang penyuciannya cukup sekali saja.
Beberapa alasan mengapa anjing dianggap memiliki status khusus terkait kenajisan dalam fiqih Islam antara lain:
Penting untuk dicatat bahwa Islam tidak melarang memelihara anjing sepenuhnya. Terdapat pengecualian yang sangat jelas, yaitu untuk tujuan penjagaan:
Dalam kasus-kasus ini, memelihara anjing diperbolehkan dan bahkan bisa mendapatkan pahala jika dilakukan dengan niat yang benar dan sesuai syariat. Namun, tetap ada anjuran untuk menjaga kebersihan dan menghindari kontak langsung yang berlebihan.
Bagi umat Muslim, menyentuh anjing secara langsung, terutama jika anjing tersebut basah atau memiliki air liur, memerlukan tindakan penyucian. Ini berarti membersihkan bagian tubuh yang terkena najis dengan air, dan bagi mazhab Syafi'i, perlu diikuti dengan pembasuhan menggunakan tanah pada salah satu dari tujuh basuhan jika terkena air liur. Jika hanya tersentuh kering, sebagian ulama berpendapat tidak perlu penyucian khusus, namun tetap disunnahkan untuk mencuci tangan.
Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kontemporer mengenai tingkat kenajisan anjing secara keseluruhan dan bagaimana menyikapinya di era modern, terutama dalam konteks interaksi sosial di negara-negara non-Muslim atau ketika berhadapan dengan anjing peliharaan yang bersih. Namun, sikap kehati-hatian dan menjaga kebersihan diri sesuai tuntunan syariat adalah prinsip yang utama.
Sumber rujukan: Al-Qur'an, Hadis Shahih, Kitab-kitab Fiqih Mazhab Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan penafsiran ulama.