Mengapa Anjing Dianggap Haram dalam Islam?
Pertanyaan mengenai status anjing dalam Islam, khususnya alasan mengapa hewan ini sering kali dianggap haram untuk disentuh, dimakan, atau dijadikan peliharaan di dalam rumah, merupakan topik yang kerap diperdebatkan. Pemahaman yang benar tentang pandangan Islam terhadap anjing penting untuk menjawab rasa penasaran dan menghindari kesalahpahaman.
Pandangan mayoritas ulama Islam, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW, menyatakan bahwa air liur anjing, dan sebagian tubuhnya, dihukumi najis. Ini berarti bahwa jika seseorang terkena air liur anjing, maka ia wajib mensucikan diri dengan cara tertentu sebelum dapat melaksanakan ibadah seperti shalat.
Dalil-dalil dalam Islam
Dasar utama mengenai kenajisan anjing berasal dari beberapa hadis Nabi Muhammad SAW. Salah satu hadis yang paling sering dirujuk adalah sabda beliau:
"Jika salah seorang di antara kalian menjilatnya (air liur anjing), maka hendaklah ia membasuh tujuh kali, yang pertama dengan tanah." (HR. Muslim)
Hadis ini secara jelas menunjukkan bahwa air liur anjing adalah najis yang memerlukan pembersihan khusus. Konsep najis dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan kebersihan fisik, tetapi juga terkait dengan kesucian yang disyaratkan untuk beribadah.
Ada juga hadis lain yang menguatkan pandangan ini, di antaranya:
- Hadis tentang malaikat tidak masuk rumah yang ada anjing atau gambar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing atau gambar (patung)." (HR. Bukhari dan Muslim)
- Hadis tentang berwudhu karena memegang anjing. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa memegang kemaluannya, maka hendaklah berwudhu." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Para ulama mengaitkan hadis ini dengan keharaman memegang anjing secara langsung.
Interpretasi Ulama dan Mazhab
Meskipun mayoritas ulama berpendapat bahwa anjing adalah najis, terdapat perbedaan pandangan dalam detailnya. Sebagian besar ulama sepakat bahwa air liur anjing dihukumi najis berat (najis mughallazah). Namun, apakah seluruh tubuh anjing juga dihukumi najis, dan sejauh mana kenajisan itu, menjadi perbedaan pandangan antar mazhab:
- Mazhab Hanafi: Berpendapat bahwa bulu anjing tidak najis, dan anjing hanya dianggap najis pada air liurnya saja. Jika tubuh anjing bersentuhan dengan pakaian, pakaian tersebut tidak langsung menjadi najis kecuali jika ada air liur atau kotoran yang menempel.
- Mazhab Maliki: Berpendapat bahwa anjing tidak najis sama sekali, baik air liur maupun tubuhnya. Mereka menafsirkan hadis-hadis tersebut sebagai anjuran untuk membersihkan diri dari kontak fisik dengan anjing, bukan karena anjing itu sendiri najis.
- Mazhab Syafi'i dan Hanbali: Menganggap seluruh tubuh anjing, termasuk air liurnya, adalah najis. Mereka menekankan perlunya tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah, jika terkena air liur anjing.
Perbedaan ini berimplikasi pada praktik sehari-hari umat Islam, terutama dalam hal membersihkan diri dan lingkungan.
Tujuan di Balik Aturan Syariat
Penting untuk dipahami bahwa aturan syariat Islam selalu memiliki hikmah dan tujuan yang mulia. Terkait dengan anjing, beberapa alasan di balik penetapan hukum tersebut antara lain:
- Kebersihan dan Kesehatan: Pada zaman dahulu, anjing sering kali membawa penyakit dan parasit. Menghindari kontak fisik yang berlebihan atau memelihara anjing di dalam rumah dapat dianggap sebagai langkah preventif untuk menjaga kesehatan masyarakat dan kebersihan lingkungan tempat tinggal.
- Kesucian Ibadah: Ibadah dalam Islam menuntut kesucian lahir dan batin. Kenajisan anjing berkaitan dengan menjaga kesucian yang diperlukan untuk beribadah, seperti shalat.
- Menghargai Makhluk Lain: Islam mengajarkan kasih sayang terhadap semua makhluk Allah, termasuk hewan. Namun, kasih sayang ini bukan berarti mengabaikan aturan syariat yang telah ditetapkan.
Pengecualian dan Praktik Modern
Meskipun demikian, Islam juga mengakui adanya kebutuhan dan kegunaan anjing dalam konteks tertentu. Ada pengecualian yang diperbolehkan, seperti:
- Anjing Penjaga: Memelihara anjing untuk menjaga rumah, kebun, atau ternak diperbolehkan oleh sebagian ulama, asalkan tempat tinggalnya terpisah dari tempat tinggal manusia.
- Anjing Pemburu: Memanfaatkan anjing untuk berburu juga merupakan praktik yang dibolehkan, dengan syarat-syarat tertentu yang dijelaskan dalam fiqih.
- Anjing Penolong (K9): Dalam konteks modern, peran anjing sebagai anjing penolong bagi penyandang disabilitas (misalnya anjing pemandu bagi tuna netra) atau anjing pelacak untuk keperluan kepolisian dan kemanusiaan sering kali menjadi subjek diskusi. Beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa memelihara anjing dalam kasus-kasus seperti ini dibolehkan karena ada maslahat yang lebih besar, namun tetap dengan memperhatikan adab dan kebersihan.
Dalam praktiknya, umat Islam diharapkan mengembalikan segala urusan kepada para ulama yang kompeten dan memahami fiqih secara mendalam untuk mendapatkan fatwa yang tepat sesuai dengan kondisi masing-masing.
Kesimpulannya, hukum mengenai anjing dalam Islam didasarkan pada dalil-dalil syariat yang mengatur tentang kenajisan dan kebersihan. Meskipun terdapat perbedaan pandangan mazhab, mayoritas sepakat bahwa ada aspek kenajisan yang perlu diperhatikan, terutama pada air liur anjing. Pemahaman yang benar terhadap ajaran Islam akan membantu umat Muslim menjalankan ibadahnya dengan baik dan menjaga keharmonisan dalam berinteraksi dengan makhluk ciptaan Allah.