Anjing dalam Tinjauan Islam: Membedah Hukum Najis, Manfaat, dan Ketetapan Fiqh

Pendahuluan: Meluruskan Pertanyaan Dasar Mengenai Anjing dan Al-Qur'an

Pertanyaan mengenai status hukum anjing dalam Islam, khususnya apakah ia diharamkan, seringkali memicu perdebatan yang kompleks. Jawaban atas pertanyaan ini tidak dapat ditemukan secara eksplisit dan tunggal dalam satu ayat Al-Qur'an yang menyatakan 'Anjing itu haram.' Untuk memahami mengapa anjing dikaitkan dengan status 'haram' atau setidaknya 'najis yang berat' dalam persepsi umat Islam, kita harus melakukan penelusuran mendalam terhadap sumber-sumber syariat, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadits), serta bagaimana metodologi hukum Islam (Fiqh) menginterpretasikannya.

Dalam kerangka Fiqh, hukum suatu entitas atau tindakan dapat dibagi menjadi lima kategori utama: wajib, sunnah, mubah (boleh), makruh (dibenci), dan haram (dilarang). Anjing, secara spesifik, tidak diletakkan secara kategoris dalam status haram secara menyeluruh seperti halnya babi atau khamr (minuman keras). Sebaliknya, status hukumnya sangat terkait dengan masalah taharah (kesucian) dan interaksi manusia dengannya. Pemahaman yang populer bahwa anjing adalah ‘haram’ seringkali merupakan simplifikasi dari hukum yang lebih bernuansa, di mana status kenajisannya yang ‘berat’ (najis mughallazhah) menjadi fokus utama perbincangan.

Kajian ini akan menguraikan secara rinci posisi anjing dalam Al-Qur'an—di mana ia disajikan dalam konteks yang netral atau bahkan positif—lalu beralih ke Hadits, yang memberikan batasan-batasan hukum yang lebih ketat, khususnya terkait air liurnya. Kemudian, kita akan membandingkan pandangan empat mazhab Fiqh utama: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai perbedaan pendekatan dalam penetapan hukum najasah dan kepemilikan anjing.

1. Tinjauan Al-Qur'an: Anjing dalam Konteks yang Berbeda

Sangat penting untuk dicatat bahwa Al-Qur'an, sebagai sumber hukum primer, tidak pernah secara langsung mengharamkan anjing atau memerintahkan umat Islam untuk membenci hewan tersebut. Anjing disebutkan dalam dua konteks utama, dan keduanya bersifat deskriptif, bukan preskriptif hukum larangan.

1.1 Kisah Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua)

Penyebutan anjing yang paling terkenal dalam Al-Qur'an terdapat dalam Surah Al-Kahfi (18:18). Kisah ini menceritakan sekelompok pemuda beriman yang tertidur di dalam gua, dan mereka ditemani oleh seekor anjing yang setia:

"…Sedang anjing mereka menjulurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Sekiranya kamu melihat mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan ketakutan, dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi rasa kecemasan terhadap mereka."

Dalam konteks ayat ini, anjing tersebut berperan sebagai penjaga. Ia disifatkan sebagai bagian dari rombongan orang-orang shalih yang diselamatkan Allah. Kehadiran anjing ini sama sekali tidak dicela atau dianggap mencemari kesucian para pemuda tersebut. Para ulama tafsir sering menggunakan kisah ini untuk menunjukkan bahwa anjing memiliki potensi untuk menjadi makhluk yang mulia karena fungsinya yang bermanfaat dan kesetiaannya. Jika anjing adalah entitas yang haram secara mutlak atau najis secara menyeluruh, sulit membayangkan ia akan ditempatkan dalam narasi yang sedemikian rukun dengan hamba-hamba Allah yang terpilih. Oleh karena itu, hukum haram secara absolut tidak dapat ditarik dari dalil Al-Qur'an.

1.2 Anjing dan Hukum Berburu

Konteks kedua adalah mengenai pemanfaatan anjing dalam berburu, yang diatur dalam Surah Al-Ma'idah (5:4). Ayat ini merinci makanan yang dihalalkan, termasuk hasil buruan yang ditangkap oleh binatang buas atau anjing yang telah dilatih:

"Mereka menanyakan kepadamu: 'Apakah yang dihalalkan bagi mereka?' Katakanlah: 'Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu latih untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu...'"

Ayat ini secara eksplisit mengizinkan umat Islam untuk memakan hasil buruan yang ditangkap oleh anjing pemburu. Meskipun ada perdebatan Fiqh mengenai apakah air liur anjing yang mengenai buruan membatalkan kesuciannya (yang akan dibahas di bagian Hadits), fakta bahwa syariat mengizinkan pemanfaatan anjing untuk tujuan berburu adalah bukti kuat bahwa anjing bukanlah entitas yang haram atau terlarang untuk dimiliki. Keharusan melatih anjing menunjukkan nilai fungsional yang diakui oleh syariat. Pemanfaatan ini menunjukkan anjing memiliki status yang lebih tinggi daripada hewan yang diharamkan secara mutlak.

Kesimpulan dari Tinjauan Al-Qur'an: Hukum haram yang sering dipersepsikan oleh masyarakat mengenai anjing tidak berasal dari larangan eksplisit dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an mengakui keberadaan, fungsi, dan manfaat anjing (penjaga, pemburu) tanpa melarangnya.

2. As-Sunnah dan Penetapan Hukum Najis Mughallazhah (Najis Berat)

Jika Al-Qur'an tidak mengharamkan anjing, dari mana munculnya batasan ketat dan hukum 'najis' yang berat? Jawabannya terletak pada sumber hukum kedua, yaitu As-Sunnah (Hadits Nabi Muhammad ﷺ). Hadits memberikan rincian praktis mengenai tata cara ibadah dan kesucian (taharah) yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an.

2.1 Hadits tentang Air Liur Anjing (Riq al-Kalb)

Inti dari hukum najasah anjing berpusat pada air liurnya. Hadits yang paling terkenal dan menjadi landasan utama bagi mayoritas ulama (terutama Mazhab Syafi'i dan Hanbali) adalah Hadits riwayat Abu Hurairah:

"Apabila anjing menjilat wadah air salah seorang dari kalian, maka cara membersihkannya adalah dengan membuang air tersebut, kemudian mencuci wadah itu tujuh kali, salah satunya dengan tanah (atau debu)." (HR Muslim)

Perintah khusus untuk mencuci tujuh kali—salah satunya dengan debu atau tanah (turab)—menunjukkan bahwa kenajisan air liur anjing adalah kenajisan yang unik dan berat (najis mughallazhah). Kenajisan biasa (seperti air kencing atau kotoran manusia/hewan lain) umumnya cukup dibersihkan sekali atau sampai sifat najisnya hilang. Perlakuan pembersihan yang spesifik dan intensif inilah yang menjadi alasan mengapa anjing dianggap 'bermasalah' dalam konteks kesucian ritual (taharah) dan ibadah.

Para fuqaha (ahli fikih) bersepakat bahwa perintah tujuh kali pencucian dengan debu ini merupakan penetapan dari syariat yang tidak dapat dinalar sepenuhnya (ta'abbudi), menunjukkan adanya kekhususan pada najasah tersebut. Oleh karena itu, meskipun anjing itu sendiri mungkin tidak haram, interaksi yang melibatkan air liurnya memerlukan prosedur pembersihan yang ketat yang berpotensi menyulitkan kehidupan sehari-hari jika anjing dipelihara di dalam rumah.

2.2 Hadits Mengenai Malaikat dan Rumah

Selain masalah najasah, terdapat Hadits lain yang memberikan batasan terkait pemeliharaan anjing di dalam rumah, yaitu Hadits tentang malaikat:

"Malaikat (Rahmat) tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar (patung)." (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini seringkali menjadi dalil mengapa pemeliharaan anjing sebagai hewan peliharaan biasa (pet) di dalam ruangan dilarang atau dimakruhkan. Kehadiran anjing dikhawatirkan menghalangi masuknya malaikat rahmat, yang dapat berdampak pada berkah dan spiritualitas rumah tangga tersebut. Namun, para ulama menekankan bahwa larangan ini ditujukan pada anjing yang dipelihara tanpa kebutuhan yang sah (seperti anjing hias atau teman bermain di dalam rumah), dan bukan pada anjing yang memiliki fungsi praktis yang dibenarkan syariat.

3. Pandangan Empat Mazhab Fiqh Utama Mengenai Status Anjing

Meskipun Hadits mengenai air liur anjing jelas, terdapat perbedaan mendasar di antara empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) dalam menentukan: (a) apakah seluruh tubuh anjing najis, dan (b) prosedur pembersihan yang diperlukan.

3.1 Mazhab Syafi'i: Pandangan Paling Ketat

Mazhab Syafi'i, yang merupakan mazhab dominan di Asia Tenggara, memegang pandangan yang paling ketat mengenai anjing.

  1. Status Najis: Seluruh tubuh anjing (rambut, kulit, keringat, air liur) dianggap najis mughallazhah (najis berat).
  2. Dalil: Mereka berargumen bahwa jika air liur anjing, yang keluar dari tubuhnya, dianggap najis berat, maka sumbernya—yaitu tubuh anjing itu sendiri—juga harus dianggap najis.
  3. Pembersihan: Segala sesuatu yang bersentuhan dengan anjing dalam keadaan basah wajib dicuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah.
  4. Implikasi: Pandangan ini secara efektif membatasi interaksi umat Syafi'i dengan anjing. Memelihara anjing di dalam rumah (kecuali untuk tujuan yang sah) dianggap sangat makruh atau bahkan haram karena risiko kontaminasi dan kesulitan menjaga kesucian untuk ibadah.

3.2 Mazhab Hanbali: Serupa Tetapi dengan Nuansa

Mazhab Hanbali memiliki pandangan yang sangat mirip dengan Syafi'i mengenai kenajisan air liur.

  1. Status Najis: Seperti Syafi'i, air liur anjing adalah najis mughallazhah.
  2. Pembersihan: Prosedur tujuh kali cuci dan satu kali debu dipegang teguh.
  3. Perbedaan Nuansa: Terdapat sebagian ulama Hanbali yang lebih fokus pada air liur dan kotoran, tetapi pandangan umum tetap mengarah pada kenajisan seluruh tubuh, mirip Syafi'i, dengan penekanan kuat pada Hadits pencucian.

Maliki Tubuh Tahir Syafi'i/Hanbali Najis Mughallazhah Perbedaan Status Najasah Anjing

3.3 Mazhab Maliki: Pandangan Paling Longgar

Mazhab Maliki, yang banyak diikuti di Afrika Utara, memiliki pandangan yang paling longgar dan berbeda secara fundamental.

  1. Status Najis: Tubuh anjing (rambut, kulit) dianggap tahir (suci) secara inheren, meskipun air liur dan kotorannya tetap najis.
  2. Dalil: Mereka menafsirkan Hadits pencucian tujuh kali sebagai perintah yang bersifat ta'abbudi (ritualistik) yang hanya berlaku untuk air liur anjing yang masuk ke dalam wadah makanan atau minuman. Mereka berargumen bahwa Hadits tersebut tidak secara otomatis menjadikan seluruh tubuh anjing najis.
  3. Pembersihan: Jika wadah dijilat, Maliki hanya mewajibkan pencucian biasa tanpa harus tujuh kali dan tanpa menggunakan debu, karena menurut mereka perintah tujuh kali cuci hanya bersifat anjuran (sunnah), bukan wajib, dalam kasus najis air liur anjing.
  4. Implikasi: Menurut Maliki, memelihara anjing di dalam rumah tidak membatalkan kesucian rumah, meskipun tetap dimakruhkan karena alasan spiritual (menghalangi malaikat). Anjing hanya dilarang bagi mereka yang tidak memiliki alasan yang sah.

3.4 Mazhab Hanafi: Posisi Tengah

Mazhab Hanafi, yang dominan di Turki, Asia Tengah, dan sebagian besar India, mengambil posisi tengah.

  1. Status Najis: Mereka menganggap air liur, air kencing, dan kotoran anjing adalah najis biasa (bukan mughallazhah). Namun, tubuh dan bulunya tidak dianggap najis selama kering.
  2. Dalil: Hanafi menafsirkan Hadits tujuh kali pencucian sebagai bentuk ritualistik yang tidak wajib untuk semua najis anjing, melainkan hanya terkait wadah air minum. Mereka menganggap kenajisan anjing setara dengan najis hewan karnivora lainnya.
  3. Pembersihan: Cukup dicuci tiga kali sampai najisnya hilang, tanpa keharusan menggunakan tanah atau debu.
  4. Implikasi: Ini membuat Hanafi lebih fleksibel dibandingkan Syafi'i, membolehkan kepemilikan anjing untuk tujuan yang sah tanpa beban pencucian yang terlalu berat.

4. Analisis Mendalam Mengenai Konsep Najis dan Thaharah

Hukum haram atau makruh terkait anjing dalam Islam sangat erat kaitannya dengan masalah kesucian ritual (thaharah), yang merupakan prasyarat utama untuk sahnya ibadah, terutama salat. Jika suatu entitas, seperti air liur anjing, memiliki status najis yang berat, maka interaksi dengannya secara otomatis menciptakan penghalang besar dalam praktik keagamaan sehari-hari.

4.1 Najis Mughallazhah (Najis Berat)

Istilah Najis Mughallazhah merujuk pada kenajisan yang paling berat dalam Islam dan hanya berlaku untuk dua entitas: air liur anjing dan babi. Penetapan status ini dilakukan berdasarkan dalil syar'i (nash) yang spesifik dan tidak dapat diubah oleh logika manusia (ta'abbudi). Prosedur pembersihan yang sangat spesifik (tujuh kali cuci, satu dengan debu) menunjukkan bahwa tujuan penetapan najasah ini mungkin bukan hanya higienis, tetapi juga spiritual dan ritualistik. Ini adalah titik di mana anjing ‘dilarang’ untuk interaksi intim di dalam rumah, bukan karena ia buruk sebagai makhluk ciptaan, tetapi karena tuntutan syariat akan kesucian yang mutlak untuk ibadah.

Perbedaan antara najis mughallazhah dan najis mutawassitah (sedang) sangat signifikan. Najis mutawassitah, seperti kotoran manusia atau air kencing, cukup dihilangkan zatnya hingga hilang bau, rasa, dan warnanya. Namun, pada najis mughallazhah, pencucian harus dilakukan secara kuantitatif (tujuh kali) dan kualitatif (dengan debu), bahkan jika najisnya sudah tidak terlihat. Ini menunjukkan keseriusan syariat dalam membatasi kontaminasi najis ini.

4.2 Mengapa Debu (Turab) Digunakan?

Penggunaan debu atau tanah dalam proses pencucian (disebut tathhir) adalah elemen kunci yang membedakan anjing. Ulama modern dan kontemporer telah meninjau aspek ilmiah dari Hadits ini, meskipun niat utamanya tetap ta'abbudi. Secara ilmiah, tanah yang mengandung mineral dan sifat abrasif dapat berperan sebagai disinfektan alami, khususnya dalam menghilangkan kuman yang mungkin resisten yang dibawa oleh anjing. Namun, dari sudut pandang Fiqh, keberadaan debu itu adalah kewajiban ritual. Jika air liur anjing mengenai pakaian, wadah, atau kulit, kewajiban untuk menggunakan debu menunjukkan betapa beratnya status kenajisan tersebut.

Jika seseorang mengikuti pandangan Mazhab Syafi'i, kontaminasi dari air liur anjing membuat salatnya tidak sah sampai ia melakukan ritual pencucian yang lengkap. Ketidakpraktisan menjaga taharah inilah yang secara efektif menempatkan anjing di luar ruang hidup domestik umat Islam yang taat, dan ini yang sering disalahartikan sebagai ‘haram mutlak’.

5. Pengecualian Syar'i: Kebutuhan yang Dibenarkan (Darurah dan Maslahah)

Walaupun terdapat batasan ketat mengenai kenajisan anjing, hukum Islam selalu mengakui prinsip pengecualian berdasarkan kebutuhan (darurah) dan kemaslahatan (maslaha). Inilah yang membedakan anjing dari babi, di mana tidak ada pengecualian yang jelas untuk kepemilikannya.

5.1 Anjing Penjaga (Kalb al-Hirasah)

Umat Islam diizinkan, bahkan dianjurkan dalam kondisi tertentu, untuk memelihara anjing jika memiliki fungsi yang sah dan diperlukan. Salah satu fungsi yang paling jelas adalah menjaga keamanan.

Hadits Nabi ﷺ menyatakan bahwa seseorang yang memelihara anjing tanpa alasan yang sah (berburu, menjaga ternak, atau menjaga ladang) akan kehilangan pahala (qirath) dari amalannya setiap hari. Implikasinya, jika ada alasan yang sah, hukuman kehilangan pahala tersebut tidak berlaku. Anjing penjaga, baik untuk rumah, properti, atau komunitas, adalah pengecualian yang disepakati oleh mayoritas ulama.

Kepemilikan anjing penjaga harus dilakukan dengan batasan: anjing tersebut harus ditempatkan di luar area ibadah atau di tempat yang terpisah dari hunian utama. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan manfaatnya sambil meminimalkan risiko kontaminasi najis pada area salat dan ibadah.

5.2 Anjing Berburu (Kalb al-Sayd)

Seperti yang telah disinggung dalam Surah Al-Ma'idah (5:4), anjing yang dilatih untuk berburu diizinkan. Ini menegaskan bahwa syariat menghargai peran fungsional anjing. Meskipun hasil buruan yang ditangkap anjing mungkin terkontaminasi air liur najis, para ulama Fiqh (termasuk Syafi'i dan Hanbali) memberikan keringanan khusus dalam hal ini. Mereka berargumen bahwa karena buruan tersebut harus dicuci dan najasah anjing berburu dianggap sebagai konsekuensi yang tidak dapat dihindari (darurah), maka buruan tersebut tetap halal dimakan, asalkan telah dilakukan pencucian minimal.

5.3 Anjing Pelacak dan Layanan (Modern Fiqh)

Di era kontemporer, muncul pertanyaan mengenai anjing layanan (service dogs), anjing pelacak narkoba, anjing penyelamat (SAR), atau anjing pemandu bagi penyandang disabilitas. Para ulama kontemporer cenderung menggunakan prinsip maslahah mursalah (kemaslahatan umum yang tidak ada dalil spesifiknya) dan prinsip darurah untuk mengizinkan kepemilikan jenis anjing ini, bahkan jika interaksi fisik lebih intensif. Misalnya, seorang tunanetra yang membutuhkan anjing pemandu diizinkan untuk memilikinya, karena kebutuhan fungsionalnya dianggap lebih mendesak daripada penghindaran najasah mutlak. Prinsip ini menegaskan kembali bahwa larangan yang ada adalah bersyarat, bukan absolut.

Diskusi mengenai anjing pelacak, misalnya, menunjukkan fleksibilitas hukum Islam. Jika anjing digunakan untuk tugas kemanusiaan atau penegakan hukum, kenajisan yang mungkin terjadi ditoleransi demi kemaslahatan yang lebih besar. Ini semakin menguatkan bahwa anjing bukanlah 'haram' secara dzat (esensi), melainkan 'terikat' oleh hukum najasah yang memerlukan perhatian khusus dalam taharah.

6. Analisis Spiritual: Implikasi Hadits Mengenai Malaikat Rahmat

Aspek spiritual dari pemeliharaan anjing di rumah, yaitu kaitannya dengan malaikat rahmat, memberikan dimensi lain pada hukum anjing yang melampaui sekadar kenajisan fisik. Hadits yang menyebutkan malaikat tidak memasuki rumah dengan anjing atau gambar (patung) sering ditafsirkan sebagai larangan untuk memelihara anjing hias (anjing tanpa fungsi praktis yang sah).

6.1 Mengapa Malaikat Tidak Masuk?

Para ulama memberikan beberapa tafsiran mengapa malaikat rahmat (yang membawa berkah dan spiritualitas) enggan memasuki rumah tersebut:

Penting untuk dibedakan, Hadits ini berbicara tentang malaikat rahmat, bukan malaikat pencatat amal (Raqib dan Atid) atau malaikat maut, yang tetap masuk ke rumah apa pun kondisinya. Larangan ini lebih terkait dengan berkah (barakah) dan kondisi spiritual rumah tersebut.

7. Perbedaan antara Haram dan Najis: Konsep Fiqh yang Kritis

Seringkali, istilah 'haram' dan 'najis' dicampuradukkan dalam diskusi publik, padahal keduanya memiliki makna dan konsekuensi hukum yang sangat berbeda dalam Fiqh.

7.1 Haram (Dilarang Mutlak)

Sesuatu yang haram adalah sesuatu yang dilarang oleh syariat, dan melakukannya mendatangkan dosa. Contoh: Memakan babi atau meminum khamr. Jika suatu zat itu haram, maka ia juga najis. Zat yang haram dilarang untuk dikonsumsi, digunakan, atau dimiliki tanpa alasan syar'i yang sangat kuat.

7.2 Najis (Kotoran Ritual)

Sesuatu yang najis adalah kotoran ritual yang menghalangi sahnya ibadah. Tidak semua yang najis itu haram. Contoh: Air kencing manusia adalah najis, tetapi tidak haram (kita tidak berdosa karena memproduksinya, tetapi wajib membersihkannya untuk salat). Darah dan nanah adalah najis tetapi bukan haram. Kenajisan anjing—terutama air liurnya—menempatkannya dalam kategori najis yang harus dibersihkan secara khusus. Tubuh anjing, menurut Maliki dan Hanafi, tidak najis, tetapi air liurnya adalah najis (berat atau sedang).

Penerapan pada Anjing: Anjing tidak haram secara zatnya. Ia haram jika dipelihara sebagai hewan peliharaan hias di dalam rumah (karena menimbulkan kerugian pahala dan najasah). Namun, ia menjadi mubah (boleh) jika dipelihara untuk kebutuhan fungsional yang sah. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengatakan anjing secara keseluruhan adalah 'haram menurut Al-Qur'an,' melainkan kita harus mengatakan bahwa ‘interaksi dengan anjing memerlukan perhatian khusus terkait hukum najasah yang ditetapkan melalui Hadits.’

Perbedaan ini adalah fondasi mengapa mayoritas umat Islam yang memegang teguh Fiqh Syafi'i menghindari kontak dengan anjing, karena takut terbebani oleh kewajiban pencucian tujuh kali. Keharusan pencucian ini menjadikan interaksi dengan anjing, khususnya di area padat dan basah, tidak praktis dan berisiko membatalkan taharah mereka.

8. Isu Kontemporer: Anjing Peliharaan dan Pandangan Moderat

Di tengah masyarakat modern, peran anjing sebagai hewan pendamping telah meningkat, memunculkan diskusi kembali di kalangan ulama kontemporer yang mencari solusi yang lebih fleksibel, terutama bagi komunitas Muslim minoritas di Barat.

8.1 Hukum Menjual dan Membeli Anjing

Terdapat Hadits yang melarang hasil penjualan anjing, yang sering diinterpretasikan oleh Syafi'i dan Hanbali sebagai larangan jual beli anjing secara umum. Namun, ulama Hanafi dan Maliki, serta sebagian ulama modern, berargumen bahwa larangan tersebut berlaku untuk anjing yang tidak memiliki manfaat (anjing hias). Anjing yang memiliki manfaat (penjaga, berburu) sah untuk dijual atau dibeli, karena syariat menghargai manfaatnya.

8.2 Studi Sains dan Kebersihan

Beberapa cendekiawan kontemporer berpendapat bahwa Hadits mengenai pencucian tujuh kali dengan debu mungkin juga memiliki dimensi kebersihan yang mendalam. Mereka menunjukkan bahwa debu mengandung zat yang dapat menetralisir virus atau bakteri tertentu yang ditemukan di air liur anjing, seperti yang diteliti oleh beberapa ilmuwan Muslim. Meskipun demikian, mereka tetap menekankan bahwa aspek ritualistik (ta'abbudi) dari perintah tersebut harus dipertahankan. Pendekatan ini mencoba menjembatani antara keyakinan ritual dan pemahaman modern tanpa menghilangkan perintah syar'i.

Dalam konteks modern ini, ulama yang mengambil pandangan Maliki (bahwa tubuh anjing suci, dan hanya air liurnya yang najis, dengan pencucian biasa) sering menjadi rujukan bagi Muslim yang harus berinteraksi dengan anjing layanan atau anjing tetangga. Fleksibilitas ini memungkinkan ketaatan ritual sambil tetap berinteraksi dengan masyarakat sekitar.

Kebutuhan untuk memelihara anjing di dalam rumah bagi tujuan yang sah, seperti anjing terapi atau anjing bagi orang cacat, dipertimbangkan melalui kacamata darurah (kebutuhan mendesak). Jika ketiadaan anjing tersebut dapat menimbulkan kesulitan yang nyata dan substansial bagi individu, maka hukum asalnya (makruh/haram untuk anjing hias) dapat digantikan oleh hukum yang lebih ringan (mubah).

9. Sifat Ketaatan dan Hikmah di Balik Hukum Najis

Pada akhirnya, hukum najasah anjing mengajarkan umat Islam tentang pentingnya ketaatan pada perintah syariat, bahkan jika alasannya tidak sepenuhnya dapat dipahami secara rasional (ta'abbudi). Hikmah di balik larangan ini, meskipun kompleks, mencakup beberapa aspek:

9.1 Pemisahan Ruang Ibadah dan Duniawi

Penetapan najis mughallazhah berfungsi sebagai penanda yang memisahkan ruang ibadah yang mutlak suci (seperti area salat) dari interaksi domestik yang penuh risiko kontaminasi. Islam menekankan kesucian yang tinggi bagi pelaksanaan salat, dan anjing, karena sifatnya yang sulit dikontrol (sering menjilat), secara alami menimbulkan risiko terhadap kesucian tersebut.

9.2 Menghargai Fungsi, Bukan Sentimentalitas

Islam mendorong pemeliharaan hewan yang berfungsi dan bermanfaat. Hukum anjing memberikan batasan terhadap sentimentalitas yang berlebihan, memastikan bahwa fokus seorang Muslim tetap pada Allah dan ibadah, sementara hewan peliharaan berfungsi untuk membantu kehidupan, bukan menjadi fokus utama kasih sayang yang menggeser kewajiban spiritual.

Hukum yang memperbolehkan anjing penjaga tetapi melarang anjing hias yang ditempatkan di dalam rumah adalah manifestasi dari prinsip ini. Anjing hias seringkali dilihat sebagai pemborosan dan penyebab kontaminasi spiritual (malaikat rahmat tidak masuk), sementara anjing penjaga adalah aset yang diperlukan untuk menjaga harta dan nyawa.

10. Sintesis Hukum dan Kesimpulan Komprehensif

Untuk menyimpulkan mengapa anjing sering disebut haram, kita harus kembali pada pembedaan sumber hukum: Al-Qur'an dan Hadits.

Al-Qur'an tidak pernah menyatakan anjing itu haram, bahkan menempatkannya dalam konteks yang fungsional (berburu) dan mulia (penjaga Ashabul Kahfi).

Status 'haram' (atau makruh tahrim/sangat dibenci) muncul dari Hadits Nabi ﷺ dan interpretasi Fiqh terkait:

  1. Najis Mughallazhah (Menurut Syafi'i/Hanbali): Air liur anjing adalah najis berat yang memerlukan pencucian tujuh kali dengan debu, menjadikan interaksi dekat sangat sulit untuk menjaga taharah. Ini adalah alasan terbesar mengapa anjing dijauhkan dari kehidupan domestik.
  2. Kerugian Pahala: Memelihara anjing tanpa alasan syar'i yang sah (penjaga, berburu) menyebabkan berkurangnya pahala (qirath) setiap hari.
  3. Isu Spiritual: Kehadiran anjing yang tidak beralasan di dalam rumah menghalangi masuknya malaikat rahmat.

Oleh karena itu, kesimpulan paling akurat dalam Fiqh adalah bahwa anjing tidak haram secara mutlak, melainkan:

Dalam konteks pencarian jawaban ‘kenapa anjing haram menurut Al-Qur'an’, jawabannya adalah Al-Qur'an sendiri tidak mengharamkannya. Larangan dan pembatasan yang kita kenal berasal dari interpretasi Hadits yang berfokus pada kenajisan ritual air liurnya dan implikasi spiritual dari pemeliharaan yang tidak bertujuan. Umat Islam dianjurkan untuk mengikuti panduan mazhab yang mereka anut, sambil selalu mengingat bahwa hukum Islam bersifat kontekstual dan menghargai peran fungsional makhluk ciptaan Allah.

Perbedaan antara mazhab dalam isu ini—terutama antara Maliki yang longgar dan Syafi'i yang ketat—memberikan ruang rahmat (rukhsah) bagi Muslim di berbagai kondisi sosial dan geografis untuk menjalankan syariat sesuai dengan tingkat kesulitan yang mereka hadapi. Namun, kehati-hatian dalam menjaga taharah tetap menjadi prioritas utama bagi setiap Muslim yang ingin salatnya diterima.

Diskursus Fiqh mengenai anjing ini adalah contoh sempurna bagaimana Islam mengatur kehidupan sehari-hari bukan hanya melalui larangan yang keras (haram), tetapi melalui serangkaian batasan dan pengecualian yang rumit, yang seluruhnya bertujuan untuk memastikan keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kesucian spiritual yang diwajibkan oleh ibadah.

Hukum ini mencakup diskusi mendalam tentang bagaimana Hadits berfungsi sebagai penjelasan dan pembatasan terhadap dalil Al-Qur'an yang lebih umum. Tanpa Hadits, hukum najasah anjing tidak akan pernah sampai pada detail pencucian tujuh kali dengan debu. Oleh karena itu, hukum anjing adalah hasil interaksi holistik antara Al-Qur'an (yang mengizinkan fungsi anjing) dan As-Sunnah (yang menetapkan batasan kesucian yang ketat pada interaksi tersebut).

Keseimbangan antara Hadits yang membatasi dan Hadits yang mengizinkan (seperti Hadits yang mencela kepemilikan anjing tanpa tujuan sah tetapi membolehkan anjing penjaga) adalah bukti bahwa syariat Islam mempertimbangkan manfaat (maslahah) dan kebutuhan (darurah) manusia dalam menetapkan hukum, menempatkan anjing pada posisi unik, jauh dari status haram mutlak, namun tetap diatur dengan ketentuan kesucian yang berat.

11. Elaborasi Fiqh: Status Rambut dan Sentuhan Kering

Salah satu area yang sangat memicu kerumitan hukum adalah status rambut anjing dan sentuhan fisik ketika anjing dan pakaian/kulit dalam keadaan kering. Dalam Mazhab Syafi'i, karena seluruh tubuh anjing dianggap najis mughallazhah, sentuhan rambut anjing kering pun dapat menimbulkan najasah. Namun, pendapat ini sering diperlunak oleh beberapa ulama kontemporer Syafi'i yang membatasi najis pada air liur (riq) saja, berargumen bahwa rambut kering tidak memindahkan najis kecuali basah.

Sebaliknya, Mazhab Maliki dan Hanafi secara tegas menyatakan bahwa rambut anjing, selama kering, adalah tahir (suci) dan tidak membatalkan wudu atau mewajibkan pencucian tujuh kali. Mereka beralasan bahwa kenajisan adalah zat yang dapat berpindah dan air liur adalah manifestasi utama najis tersebut. Jika rambut kering menyentuh pakaian kering, tidak ada pemindahan zat najis yang terjadi. Perbedaan pendapat ini sangat relevan bagi Muslim yang tinggal di lingkungan di mana anjing umum ditemui.

Jika kita meninjau lebih dalam metodologi Hanbali, mereka sering menggunakan prinsip *qiyas* (analogi) untuk memperluas hukum najis air liur ke seluruh tubuh. Logikanya adalah, zat yang sangat najis (seperti air liur) berasal dari organ yang secara internal terkait, sehingga seluruh tubuh dianggap membawa potensi najis tersebut. Namun, qiyas ini ditolak oleh Maliki, yang berpegang pada prinsip bahwa asalnya segala sesuatu adalah suci (al-aslu fil ashyaa’i al-ibahah) kecuali jika ada dalil yang jelas dan eksplisit melarangnya. Dalam hal ini, mereka berpendapat, Hadits hanya menyebutkan ‘jilatan wadah’.

11.1 Pendekatan Hanafi Terhadap Pencucian

Pendekatan Mazhab Hanafi, yang tidak mewajibkan tanah dan membatasi pencucian anjing seperti najis mutawassithah (sedang), didasarkan pada Hadits yang bersifat umum mengenai najasah, dan mereka menganggap Hadits tujuh kali cuci sebagai pengecualian yang sangat spesifik dan tidak berlaku universal untuk semua najis anjing. Menurut Hanafi, hanya dengan menghilangkan zat najisnya sudah cukup. Interpretasi ini memberikan keringanan signifikan dan menunjukkan betapa jauhnya para ulama Fiqh dalam menafsirkan Hadits yang sama.

Perbedaan interpretasi ini bukan hanya masalah teknis; ini mencerminkan filosofi hukum yang mendasar. Syafi'i dan Hanbali cenderung mengutamakan kehati-hatian dan pencegahan (sadd az-zara'i), menjauhi potensi kontaminasi sekecil apapun, sedangkan Maliki cenderung mengutamakan kemudahan dan menafsirkan nash sesuai batas minimum larangan yang eksplisit. Dalam kasus anjing, perbedaan filosofi inilah yang menciptakan jurang antara pandangan ‘anjing harus dihindari’ dan ‘anjing boleh didekati dengan hati-hati’.

12. Mengapa Anjing Tetap Diciptakan? (Hikmah Penciptaan)

Apabila syariat memberikan batasan ketat terhadap anjing, lantas mengapa Allah menciptakannya? Pertanyaan teologis ini dijawab dengan prinsip bahwa segala ciptaan Allah memiliki hikmah dan manfaat, bahkan jika ada bagian dari ciptaan tersebut yang najis atau haram bagi manusia.

Oleh karena itu, hukum anjing bukanlah pengharaman terhadap dzat ciptaan, melainkan penetapan batasan atas interaksi tertentu dengannya. Anjing adalah makhluk Allah yang mulia dalam fungsi penciptaannya, tetapi interaksi domestik yang intim dibatasi oleh hukum taharah yang ketat.

13. Penegasan Kembali: Klarifikasi Istilah dan Konteks

Agar tidak terjadi salah paham yang berulang, penting untuk kembali menegaskan bahwa pencarian dalil dalam Al-Qur'an mengenai pengharaman anjing secara mutlak akan sia-sia. Al-Qur'an menggunakan istilah-istilah yang lebih luas mengenai makanan haram, seperti babi, darah, dan bangkai, yang semuanya diharamkan dan najis secara esensi.

Anjing tidak termasuk dalam kategori pengharaman konsumsi yang sama. Permasalahannya adalah *Najis Mughallazhah* (najis yang berat), yang merupakan hukum turunan dari Hadits. Jika kita harus menggunakan istilah ‘haram’ untuk anjing, itu hanya berlaku pada kepemilikan yang tidak bermanfaat di dalam rumah. Jika ada manfaat, hukumnya menjadi mubah (boleh) atau sunnah (dianjurkan, misalnya anjing penjaga di tengah padang gurun yang berfungsi melindungi nyawa dan ternak).

Perbedaan pandangan Mazhab Maliki dan Syafi'i dalam hal ini memberikan perspektif yang sangat kaya. Bagi Maliki, yang memegang prinsip ‘tubuh anjing itu suci,’ mereka bisa dengan nyaman menjelaskan bahwa kepemilikan anjing tidak menghalangi kesucian rumah. Sementara bagi Syafi'i, yang melihat seluruh tubuh anjing najis, larangan kepemilikan di dalam rumah menjadi sangat praktis dan hampir mutlak karena tantangan dalam menjaga kesucian ibadah.

Dengan demikian, hukum Islam mengenai anjing adalah salah satu contoh terbaik dari kekayaan metodologi Fiqh yang menyeimbangkan antara teks literal (nash), kemaslahatan, dan prinsip umum kesucian. Ini menunjukkan syariat tidak statis dalam penerapannya, tetapi konsisten dalam prinsipnya: menjaga taharah dan menghindari kerugian spiritual.

Hukum yang berkaitan dengan air liur anjing adalah unik dan tidak memiliki padanan yang sama kecuali pada babi. Keunikan ini menuntut pemahaman yang cermat, menjauhkan dari generalisasi yang menyatakan anjing haram secara mutlak. Sebaliknya, anjing adalah makhluk yang boleh dimanfaatkan dengan syarat-syarat khusus terkait kesucian ritual.

Elaborasi mengenai metodologi *istislah* (pencarian maslahat) yang sering digunakan oleh ulama Maliki juga memperkuat argumen bahwa Islam selalu memprioritaskan fungsi dan kebutuhan. Dalam masyarakat pertanian, anjing adalah alat penting, dan mengharamkannya secara total akan menimbulkan kesulitan besar (masyaqqah). Oleh karena itu, batasan hukum diberikan pada ritualitas (taharah) agar ibadah tetap sah, tanpa harus mengharamkan keberadaan dan pemanfaatan hewan tersebut.

Kajian mendalam ini menegaskan bahwa setiap hukum dalam Islam memiliki dasar yang kuat dan berlapis. Status anjing bukan sekadar hasil dari pandangan subjektif, melainkan konsensus yang cermat dari ratusan tahun ijtihad (usaha keras intelektual) para ulama untuk menafsirkan perintah Tuhan dan Nabi-Nya.

Dalam konteks modern, ketika pemahaman tentang Islam seringkali disederhanakan, memahami nuansa hukum anjing menjadi sangat penting untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama yang rasional, praktis, dan adaptif, meskipun memiliki tuntutan ritual yang tinggi. Anjing tetap menjadi subjek hukum yang memerlukan kehati-hatian, namun bukan subjek pengharaman yang kaku sebagaimana yang sering disalahpahami oleh masyarakat awam.

🏠 Homepage