Kenapa Anjing Haram Dimakan? Simak Penjelasannya

Pertanyaan mengenai status keharaman daging anjing untuk dikonsumsi kerap muncul di tengah masyarakat. Dalam konteks budaya dan agama di Indonesia, khususnya bagi umat Islam, anjing umumnya dianggap sebagai hewan yang haram untuk dimakan. Namun, pemahaman ini tidak hanya bersumber dari satu pandangan, melainkan kompleks dan melibatkan berbagai aspek, mulai dari ajaran agama, kesehatan, hingga pandangan sosial.

Pandangan Agama Islam

Dalam ajaran agama Islam, status najis dan haramnya beberapa jenis hewan, termasuk anjing, disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Mayoritas ulama sepakat bahwa anjing termasuk hewan yang najis, baik air liur maupun seluruh tubuhnya. Konsep najis ini memiliki implikasi langsung pada keharaman memakan dagingnya.

Dalil yang sering dijadikan rujukan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa memelihara anjing, maka pahalanya akan berkurang setiap hari sebanyak satu qirath, kecuali anjing penjaga ladang atau ternak." Hadits lain yang lebih tegas menyatakan tentang najisnya anjing adalah hadits tentang cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, yang harus dicuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Hal ini mengindikasikan adanya sesuatu yang tidak suci atau najis pada anjing.

Karena anjing dianggap najis, maka mengonsumsi bagian dari tubuhnya, termasuk dagingnya, menjadi tidak diperbolehkan. Kategori najis ini termasuk dalam najis mughallazah (najis berat) dalam beberapa mazhab fiqih, yang memerlukan cara penyucian khusus jika terkena najis tersebut.

Aspek Kesehatan dan Kebersihan

Selain landasan agama, pandangan mengenai keharaman anjing untuk dikonsumsi juga dapat ditinjau dari sisi kesehatan dan kebersihan. Anjing, sebagai hewan yang hidup berdampingan dengan manusia, memiliki potensi menjadi perantara berbagai macam penyakit yang dapat menular ke manusia. Beberapa penyakit yang dapat ditularkan oleh anjing antara lain rabies, cacing pita, toksoplasmosis, dan berbagai infeksi bakteri.

Dalam praktik penyembelihan dan pengolahan daging, standar kebersihan sangat krusial untuk mencegah penyebaran penyakit. Mengingat potensi anjing sebagai pembawa penyakit, terutama jika tidak dikelola dengan baik dalam hal kesehatan dan kebersihan, maka memakannya dapat menimbulkan risiko kesehatan yang signifikan bagi individu maupun masyarakat luas.

Dalam banyak budaya di seluruh dunia, konsumsi daging anjing tidak umum dan bahkan dianggap tabu. Hal ini juga berkontribusi pada persepsi umum mengenai anjing sebagai hewan yang seharusnya tidak dikonsumsi, bahkan di luar konteks ajaran agama tertentu.

Perbedaan Pandangan dan Konteks Budaya

Penting untuk dicatat bahwa tidak semua masyarakat atau keyakinan memiliki pandangan yang sama mengenai anjing. Di beberapa belahan dunia, konsumsi daging anjing masih dipraktikkan sebagai bagian dari tradisi kuliner lokal. Namun, di Indonesia, pandangan mayoritas masyarakat yang beragama Islam menjadikan status keharaman anjing sebagai rujukan utama.

Secara umum, anjing di Indonesia lebih banyak diposisikan sebagai hewan peliharaan, penjaga, atau hewan terlatih. Hubungan emosional yang terjalin antara manusia dan anjing sebagai sahabat juga menjadi faktor yang membuat banyak orang enggan membayangkan mengonsumsi mereka.

Oleh karena itu, ketika membahas "kenapa anjing haram dimakan," jawaban yang paling kuat dan diterima secara luas, terutama dalam konteks Indonesia, adalah landasan ajaran agama Islam yang menggolongkan anjing sebagai hewan najis dan haram untuk dikonsumsi, ditambah dengan pertimbangan aspek kesehatan dan kebersihan.

🏠 Homepage