Ilustrasi waktu Dhuha dan semangat ibadah di pagi hari.
Sholat Dhuha adalah salah satu ibadah sunnah yang sangat ditekankan (Sunnah Muakkadah) dalam Islam. Ibadah ini dilakukan ketika matahari mulai meninggi, kira-kira sebatang tombak, hingga waktu menjelang tengah hari (zawal). Meskipun sunnah, keutamaan sholat Dhuha sangatlah agung, sering kali disandingkan dengan pahala sedekah untuk seluruh persendian tubuh manusia, bahkan sebagai wasilah terbukanya pintu rezeki yang tak terduga.
Artikel ini hadir sebagai panduan komprehensif, merinci setiap aspek dari pelaksanaan sholat Dhuha, mulai dari penentuan waktu yang paling ideal, lafaz niat yang benar, tata cara per raka'at, bacaan surat sunnah, variasi jumlah raka'at, hingga keutamaan spiritual dan duniawi yang dijanjikan oleh Allah SWT.
Sholat Dhuha dikategorikan sebagai Sunnah Muakkadah, yang berarti ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dan jarang ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ. Para ulama sepakat bahwa mengamalkannya secara rutin menunjukkan ketundukan hamba yang mendahulukan akhirat sebelum memulai hiruk pikuk duniawi. Ini adalah investasi spiritual di awal hari, yang dampaknya terasa sepanjang hari, bahkan hingga akhirat.
Penting untuk dipahami bahwa Dhuha bukan sekadar ritual, melainkan manifestasi rasa syukur atas kesehatan dan kemampuan tubuh untuk bergerak. Setiap manusia memiliki 360 persendian, dan setiap sendi tersebut membutuhkan sedekah. Sholat Dhuha, dengan dua raka’at saja, telah mencukupi kewajiban sedekah atas seluruh persendian tersebut, menjadikannya amalan yang efisien dan penuh berkah.
Pemahaman yang tepat mengenai waktu Dhuha sangat krusial, karena ibadah ini sangat bergantung pada posisi matahari. Jika dilakukan terlalu pagi (sebelum matahari benar-benar meninggi), maka ia terhitung Sholat Isyraq, atau jika terlalu sore (mendekati Dzuhur), dikhawatirkan sudah masuk waktu makruh.
Waktu Dhuha dimulai setelah matahari terbit dan meninggi seukuran sebatang tombak, atau kira-kira 15 hingga 20 menit setelah waktu syuruq (matahari terbit). Para fuqaha menetapkan durasi ini untuk memastikan bahwa sholat dilakukan di luar waktu yang dimakruhkan, yaitu saat matahari baru saja terbit.
Isyraq vs Dhuha: Perlu dibedakan antara Sholat Isyraq dan Sholat Dhuha. Sholat Isyraq (terkadang disebut Sholat Syuruq) adalah sholat dua raka'at yang dilakukan setelah seseorang berdzikir di tempat sholatnya usai sholat subuh, hingga matahari terbit dan meninggi. Walaupun waktu pelaksanaannya berdekatan, para ulama sering memandangnya sebagai amalan yang berbeda atau Isyraq sebagai permulaan dari Dhuha yang memiliki keutamaan khusus (setara haji dan umrah sempurna).
Waktu yang paling utama (afdal) untuk melaksanakan sholat Dhuha adalah ketika panas matahari mulai menyengat (ishtadda al-harr). Ini biasanya terjadi sekitar seperempat hingga sepertiga waktu antara terbitnya matahari dan waktu zawal (Dzuhur). Di Indonesia, waktu ini umumnya jatuh sekitar pukul 09.00 hingga 10.30 pagi, tergantung lokasi dan musim.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sholat Awabin (sholat Dhuha) adalah ketika anak-anak unta mulai kepanasan.” (HR. Muslim). Ungkapan ini secara simbolis menunjukkan bahwa waktu terbaik adalah saat suhu udara sudah cukup tinggi, yaitu ketika matahari sudah benar-benar tegak dan cahayanya mulai terasa terik.
Waktu sholat Dhuha berakhir tepat sebelum matahari tergelincir (zawal), yang merupakan permulaan waktu Sholat Dzuhur. Agar terhindar dari keraguan, sholat Dhuha sebaiknya sudah selesai setidaknya 10-15 menit sebelum masuknya waktu Dzuhur.
Mulai: 15-20 menit setelah matahari terbit (Syuruq).
Ideal: Ketika matahari sudah tinggi dan panas mulai terasa (sekitar pukul 09.00 - 10.30).
Selesai: Tepat sebelum waktu Dzuhur tiba (Zawal).
Sholat Dhuha dapat dilaksanakan paling sedikit dua raka'at dan paling banyak dua belas raka'at. Ketentuan ini memberikan fleksibilitas bagi umat Muslim untuk melaksanakannya sesuai dengan kemampuan dan waktu yang tersedia, namun selalu ditekankan agar dilakukan dalam format dua raka'at salam, dua raka'at salam.
Prinsip Pelaksanaan: Setiap sholat Dhuha harus disempurnakan dengan salam setiap dua raka'at. Ini berarti, jika seseorang ingin sholat empat raka'at, ia harus melakukan 2 raka'at pertama dengan satu salam, kemudian dilanjutkan 2 raka'at kedua dengan satu salam lagi. Prinsip ini memastikan bahwa setiap dua raka'at merupakan sholat yang berdiri sendiri dan sah.
Kesempurnaan sholat Dhuha tidak terletak pada jumlah raka'at semata, melainkan pada keikhlasan dan istiqomah (kontinuitas) dalam pelaksanaannya. Membiasakan dua raka'at secara konsisten lebih baik daripada melakukan 12 raka'at sekali-sekali.
Meskipun Sholat Dhuha memiliki tata cara yang serupa dengan sholat sunnah dua raka'at lainnya, terdapat beberapa sunnah spesifik yang dianjurkan untuk menjadikannya lebih sempurna dan sesuai dengan tuntunan Nabi ﷺ.
Niat harus hadir di dalam hati saat memulai Takbiratul Ihram. Pengucapan niat (talaffuz) secara lisan bukanlah syarat sah, namun sering dilakukan untuk membantu memantapkan hati, terutama dalam madzhab Syafi'i. Niatnya harus spesifik menyebut sholat Dhuha.
أُصَلِّي سُنَّةَ الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
(Ushalli sunnatadh-dhuha rak’ataini mustaqbilal qiblati lillâhi ta’âlâ.)
Artinya: "Aku niat sholat sunnah Dhuha dua raka'at menghadap kiblat karena Allah Ta’ala."
Mengucapkan "Allahu Akbar" sambil mengangkat kedua tangan setinggi telinga atau bahu. Ini adalah permulaan sholat yang mengharamkan segala perbuatan di luar sholat.
Disunnahkan membaca Doa Iftitah setelah takbiratul ihram. Doa ini berfungsi untuk memuji Allah dan menyatakan diri tunduk kepada-Nya.
Setelah Iftitah, dilanjutkan dengan membaca Al-Fatihah, yang merupakan rukun sholat. Tanpa Al-Fatihah, sholat tidak sah.
Sunnah yang paling utama adalah membaca Surah Asy-Syams (Surah ke-91) setelah Al-Fatihah. Surah ini memiliki 15 ayat dan fokus pada sumpah Allah atas berbagai ciptaan-Nya dan perbedaan antara jiwa yang suci dan jiwa yang kotor.
Jika tidak hafal Asy-Syams, boleh diganti dengan surah pendek lainnya, namun memilih Surah yang dianjurkan Nabi ﷺ akan memberikan pahala lebih.
Gerakan-gerakan ini dilakukan sama seperti sholat fardhu, dengan tumaninah (berhenti sejenak) pada setiap gerakan. Tumaninah adalah rukun yang tidak boleh ditinggalkan.
Raka'at kedua dimulai dengan Takbir intiqal (takbir perpindahan) dan dilanjutkan dengan membaca Al-Fatihah.
Sunnah yang paling utama adalah membaca Surah Adh-Dhuha (Surah ke-93) setelah Al-Fatihah. Surah ini memiliki 11 ayat dan merupakan penguatan bagi Rasulullah ﷺ bahwa Allah tidak meninggalkannya, serta janji akan nikmat di akhirat.
Jika digabungkan (Asy-Syams dan Adh-Dhuha), kedua surah ini memberikan makna spiritual yang mendalam, sangat relevan dengan waktu Dhuha, yaitu waktu ketika cahaya mulai meninggi.
Setelah sujud kedua di raka'at kedua, duduk untuk Tasyahud Akhir, membaca bacaan Tasyahud, Shalawat Ibrahimiyyah, dan doa sebelum salam. Sholat diakhiri dengan mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri.
Penekanan Tumaninah: Dalam sholat sunnah maupun fardhu, penting sekali menjaga tumaninah. Terkadang, karena buru-buru melaksanakan Dhuha di sela-sela kesibukan pagi, kita lupa akan kewajiban untuk diam sejenak di setiap gerakan. Tumaninah membedakan sholat yang sah dan yang tidak sah menurut banyak madzhab.
Jika Anda memilih empat raka'at, lakukan dua sholat terpisah: 2 raka'at salam, lalu ulangi niat dan lakukan 2 raka'at salam lagi. Pada set kedua, Surah yang dibaca boleh sama (Asy-Syams dan Adh-Dhuha) atau Surah lainnya, seperti Al-Kafirun dan Al-Ikhlas, untuk variasi.
Setelah menunaikan sholat Dhuha, disunnahkan untuk berdzikir dan membaca doa khusus yang populer dan penuh makna. Doa ini secara eksplisit memohon keberkahan rezeki dari Allah SWT, baik rezeki yang sulit dijangkau, tersembunyi, maupun yang masih berada di langit.
اَللَّهُمَّ إِنَّ الضُّحَاءَ ضُحَاؤُكَ وَالْبَهَاءَ بَهَاؤُكَ وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ
(Allâhumma innadh dhuhâ’a dhuhâ’uka, wal bahâ’a bahâ’uka, wal jamâla jamâlika, wal quwwata quwwatuka, wal qudrata qudratuka, wal ‘ismata ‘ishmatuka.)
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya waktu Dhuha adalah waktu Dhuha-Mu, keindahan adalah keindahan-Mu, keelokan adalah keelokan-Mu, kekuatan adalah kekuatan-Mu, kekuasaan adalah kekuasaan-Mu, dan perlindungan adalah perlindungan-Mu.”
Bagian pertama ini merupakan pengakuan mutlak bahwa semua keindahan, kekuatan, dan waktu yang ada adalah milik Allah. Kita memuji-Nya sebelum mengajukan permohonan. Ini adalah adab yang diajarkan dalam berdoa, yaitu mendahulukan pujian dan pengakuan keagungan Allah.
اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ رِزْقِي فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ وَإِنْ كَانَ فِي الأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَإِنْ كَانَ مُعْسَرًا فَيَسِّرْهُ وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَإِنْ كَانَ بَعِيْدًا فَقَرِّبْهُ
(Allâhumma in kâna rizqî fis-samâ’i fa anzilhu, wa in kâna fil ardhi fa akhrijhu, wa in kâna mu’assiran fa yassirhu, wa in kâna harâman fathahhirhu, wa in kâna ba‘îdan faqarribhu.)
Artinya: “Ya Allah, jika rezekiku berada di langit, maka turunkanlah. Jika berada di bumi, maka keluarkanlah. Jika sulit (sukar) didapat, maka mudahkanlah. Jika (tercampur) haram, maka sucikanlah. Jika jauh, maka dekatkanlah.”
Bagian inti doa ini mencakup permohonan yang sangat komprehensif terkait rezeki. Kita memohon kepada Allah, Sang Pemberi Rezeki, untuk mengatasi lima hambatan utama rezeki: letaknya (langit/bumi), kesulitannya, keharamannya, dan jaraknya. Permintaan ini mencakup rezeki material maupun rezeki spiritual, seperti ketenangan hati, kesehatan, dan ilmu yang bermanfaat.
بِحَقِّ ضُحَائِكَ وَبَهَائِكَ وَجَمَالِكَ وَقُوَّتِكَ وَقُدْرَتِكَ آتِنِي مَا آتَيْتَ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ
(Bihaqqi dhuhâ’ika wa bahâ’ika wa jamâlika wa quwwatika wa qudratika, âtinî mâ âtaita ‘ibâdakas shâlihîn.)
Artinya: “Dengan hak Dhuha-Mu, keindahan-Mu, keelokan-Mu, kekuatan-Mu, dan kekuasaan-Mu, berikanlah kepadaku apa yang Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih.”
Penutup doa ini merupakan penekanan kembali, menggunakan kemuliaan waktu Dhuha dan sifat-sifat Allah sebagai perantara (tawassul) agar permohonan kita dikabulkan. Ini adalah harapan agar kita tidak hanya diberi rezeki, tetapi juga dimasukkan dalam golongan hamba-hamba yang shalih yang mendapatkan nikmat dunia dan akhirat.
Setelah doa utama, dianjurkan memperbanyak istighfar (minimal 100 kali) dan membaca dzikir berikut ini, yang juga terkait dengan ampunan:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
(Rabbighfir li watub ‘alayya innaka antat tawwâbur rahîm.)
Artinya: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (Dibaca minimal 40 atau 100 kali).
Keutamaan sholat Dhuha adalah tema yang paling banyak dibahas dalam hadits-hadits Nabi ﷺ. Manfaatnya tidak hanya terbatas pada spiritualitas, tetapi juga menjangkau keberkahan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam hal rezeki dan pengampunan dosa.
Ini adalah keutamaan Dhuha yang paling fundamental. Setiap pagi, manusia diwajibkan memberikan sedekah untuk setiap persendian di tubuhnya, yang jumlahnya 360 sendi.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap ruas anggota badan dari salah seorang kalian pada pagi hari, wajib mengeluarkan sedekah. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, memerintahkan kebaikan adalah sedekah, dan melarang kemungkaran adalah sedekah. Dan cukuplah sebagai ganti semua itu dengan dua raka’at yang ia kerjakan dari sholat Dhuha.” (HR. Muslim).
Ini menunjukkan betapa agungnya kemurahan Allah. Alih-alih harus mengeluarkan 360 sedekah yang berbeda, Allah menerima sholat dua raka'at sebagai substitusi yang sempurna. Jika seseorang melaksanakan Dhuha, maka ia telah melunasi kewajiban sedekah harian tubuhnya, menjadikannya terbebas dari tanggungan moral.
Dhuha dikenal sebagai sholat pembuka rezeki. Siapa pun yang mengerjakannya dengan istiqomah, Allah menjanjikan kecukupan dan perlindungan di hari tersebut.
Dalam hadits qudsi, Allah SWT berfirman: “Wahai anak Adam, rukuklah (sholatlah) untuk-Ku empat raka’at di awal siang, niscaya Aku akan mencukupi kebutuhanmu di sore hari.” (HR. Tirmidzi). Empat raka'at yang dimaksud oleh sebagian ulama merujuk pada sholat Dhuha. Ini bukan janji kekayaan instan, melainkan janji keberkahan dan kemudahan dalam mencari nafkah, serta dijauhkannya dari kesulitan yang memberatkan.
Meskipun Sholat Isyraq dan Dhuha memiliki perbedaan teknis waktu, banyak ulama yang menyatukan keutamaan ini dalam konteks sholat pagi. Jika seseorang sholat Subuh berjamaah, kemudian duduk berdzikir hingga matahari terbit dan meninggi, lalu melakukan dua raka'at sholat (Isyraq/Awal Dhuha), maka:
Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa sholat Subuh berjamaah, kemudian dia duduk berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian dia sholat dua raka’at, maka baginya pahala seperti pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. Tirmidzi).
Keutamaan ini sangat besar, memberikan kesempatan kepada umat Islam yang mungkin belum mampu menunaikan ibadah haji/umrah untuk mendapatkan pahala setara hanya dengan mengorbankan sedikit waktu di pagi hari untuk berdzikir.
Sholat Dhuha juga berfungsi sebagai pelebur dosa-dosa kecil yang terjadi antara waktu pagi hingga siang hari.
Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang menjaga sholat Dhuha, niscaya dosa-dosanya diampuni, walaupun dosa itu sebanyak buih di lautan.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, meskipun sanadnya diperdebatkan, namun makna ampunan dosa sholat diterima secara umum).
Ini menunjukkan bahwa Dhuha adalah sarana pembersihan spiritual harian, mempersiapkan hati dan jiwa untuk menghadapi sisa hari dalam keadaan suci.
Sholat Dhuha sering disebut Sholat Awabin. Awabin artinya orang-orang yang banyak bertaubat atau kembali kepada Allah. Orang yang senantiasa kembali kepada Allah di sela-sela kesibukannya adalah orang yang paling dicintai Allah.
Melaksanakan sholat Dhuha di waktu yang terik, saat sebagian besar orang sibuk dengan urusan dunia atau masih bersantai, menunjukkan kualitas keimanan seseorang yang memilih kembali kepada Tuhannya saat godaan dunia mulai memuncak.
Dalam praktik ibadah, terdapat beberapa rincian hukum (fiqh) yang sering menjadi pertanyaan terkait pelaksanaan sholat Dhuha, mulai dari hukum melakukannya secara berjamaah hingga menggantinya (qadha').
Secara umum, sholat Dhuha adalah sholat nafilah (sunnah) yang dianjurkan untuk dilakukan secara individual (munfarid). Berjamaah pada sholat sunnah yang tidak disyariatkan berjamaah secara rutin (seperti Tarawih atau Idul Fitri) hukumnya adalah makruh.
Namun, jika dilakukan secara sesekali atau kebetulan ada beberapa orang yang sholat bersama di satu ruangan, ini masih diperbolehkan. Pelaksanaan berjamaah yang dilarang adalah menjadikannya sebagai rutinitas yang tetap dan diselenggarakan secara formal seperti sholat fardhu, karena Rasulullah ﷺ tidak menetapkan Dhuha sebagai sholat jamaah rutin.
Membaca surah setelah Al-Fatihah dalam sholat Dhuha adalah sunnah. Meskipun sunnahnya adalah Asy-Syams dan Adh-Dhuha, sah-sah saja jika seseorang hanya membaca surah-surah pendek lainnya. Bahkan, jika seseorang lupa atau tidak sempat membaca surah tambahan dan hanya membaca Al-Fatihah, sholatnya tetap sah, namun ia kehilangan keutamaan sunnah qauliyah (sunnah ucapan) tersebut.
Bagaimana jika seseorang tertidur atau lupa melaksanakan sholat Dhuha hingga waktu zawal (Dzuhur) tiba? Sholat Dhuha adalah sholat yang memiliki batas waktu. Begitu waktu Dzuhur tiba, waktu Dhuha telah berakhir. Pada dasarnya, sholat sunnah mutlak (seperti rawatib) yang terlewat tidak dianjurkan untuk diqadha' secara mutlak, kecuali jika memang sudah menjadi rutinitas dan terlewat karena uzur (seperti tidur atau lupa).
Rasulullah ﷺ pernah mengqadha' sholat sunnah rawatib yang terlewat. Meskipun demikian, para ulama lebih condong pada pandangan bahwa jika waktu Dhuha telah lewat, maka sholatnya dianggap selesai dan tidak perlu diqadha', karena pahala yang didapat spesifik untuk sholat yang dilakukan dalam rentang waktu tersebut.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa jumlah raka'at yang paling utama adalah empat raka'at, karena hadits tentang jaminan kecukupan seringkali menyebut empat raka'at. Namun, bagi mereka yang ingin mencapai batas maksimal 12 raka'at, caranya harus tetap dengan 6 kali sholat 2 raka'at dan 6 kali salam. Tidak boleh dilakukan 4 raka'at tanpa tasyahud awal, atau 12 raka'at dengan satu kali salam seperti sholat Tarawih, karena formatnya harus terpisah.
Setiap tambahan raka'at dalam Dhuha sejatinya adalah penambahan sedekah bagi persendian, penambahan pintu rezeki, dan penambahan permohonan ampunan. Apabila seseorang merasa memiliki waktu luang dan ingin memaksimalkan ibadah di waktu mulia tersebut, melaksanakan 6, 8, atau 12 raka'at adalah pilihan yang sangat dianjurkan untuk meningkatkan kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT.
Perlu diingat, tujuan utama dari sholat sunnah adalah konsistensi. Konsistensi dalam dua raka'at lebih dicintai Allah daripada berlebihan di satu hari namun lalai di hari berikutnya. Istiqomah adalah kunci keberkahan sholat Dhuha.
Doa setelah sholat Dhuha bukan sekadar deretan kata-kata, melainkan sebuah dialog spiritual yang mendalam. Analisis per frase menunjukkan betapa cermatnya permohonan rezeki yang diajarkan dalam doa ini, mencakup dimensi fisik dan metafisik.
Pengulangan kata “...Mu” (dhuhâ’uka, bahâ’uka, jamâlika, dll) menegaskan konsep tauhid, bahwa semua kebaikan dan keagungan berasal dari Allah semata. Ini adalah pengakuan awal akan kerendahan diri hamba di hadapan Sang Pencipta.
Setiap kata kunci ini berfungsi sebagai tawassul (perantara), memohon dengan menyebutkan sifat-sifat keagungan Allah yang berkaitan dengan waktu dan kualitas ibadah yang baru saja dilakukan.
Permohonan rezeki dalam doa ini sangat spesifik, menunjukkan pemahaman mendalam tentang tantangan dalam mendapatkan rezeki:
Dengan melafazkan doa ini, seorang Muslim menyatakan ketergantungan totalnya kepada Allah, menyadari bahwa upaya manusiawi tidak akan pernah cukup tanpa intervensi ilahi. Ini adalah inti dari tawakkal (berserah diri) setelah berusaha.
Mengintegrasikan Doa dan Tindakan: Sholat Dhuha dan doanya harus diiringi dengan usaha yang optimal di pagi hari. Doa bukan sihir; ia adalah katalisator keberkahan bagi mereka yang bekerja keras. Sholat Dhuha memberikan energi spiritual, sementara pekerjaan adalah aplikasi fisik dari iman tersebut.
Tantangan terbesar dalam mengamalkan sholat Dhuha adalah istiqomah, terutama bagi mereka yang memiliki rutinitas kerja pagi yang padat atau harus menempuh perjalanan jauh. Namun, keutamaan yang besar menuntut komitmen yang konsisten.
Istiqomah adalah pertaruhan yang menjanjikan pahala terus menerus. Nabi ﷺ bersabda: “Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang kontinyu (berkelanjutan) meskipun sedikit.” Sholat Dhuha, meskipun hanya dua raka’at, jika dilakukan setiap hari, memiliki bobot yang luar biasa di sisi Allah SWT.
Sholat Dhuha adalah hadiah spiritual yang diberikan Allah kepada umat Nabi Muhammad ﷺ, berfungsi sebagai pembuka pintu rezeki, pelindung dari kekurangan, pengganti sedekah bagi seluruh anggota tubuh, dan pelebur dosa. Keindahan ibadah ini terletak pada pelaksanaannya di saat dunia mulai sibuk, menunjukkan bahwa hati seorang hamba tetap terikat pada Tuhannya meskipun tangan dan pikiran mulai disibukkan oleh urusan dunia.
Semoga panduan rinci mengenai cara sholat Dhuha, mulai dari niat, bacaan sunnah, hingga memahami makna doanya, dapat memotivasi kita semua untuk tidak pernah meninggalkannya. Jadikan Dhuha sebagai rutinitas yang tak terpisahkan, sumber kekuatan spiritual, dan wasilah untuk mencapai keberkahan dalam setiap aspek kehidupan kita.
Dengan mengamalkan Dhuha, kita berharap termasuk dalam golongan orang-orang Awabin, yaitu mereka yang senantiasa kembali kepada Allah dalam setiap keadaan.
Kekhusyukan (khusyu') adalah ruh dari sholat, termasuk Dhuha. Khusyu’ berarti menghadirkan hati sepenuhnya kepada Allah, memahami makna bacaan, dan meresapi setiap gerakan. Dalam konteks Dhuha, kekhusyukan adalah saat kita menyadari bahwa dua raka’at ini adalah investasi terbaik yang kita lakukan hari ini. Ini adalah saat kita meninggalkan segala hiruk pikuk pekerjaan sejenak untuk berdialog dengan Rabbul ‘Alamin. Mengingat bahwa Dhuha adalah sedekah bagi 360 persendian, bayangkan jika sedekah tersebut dilakukan dengan setengah hati; tentu nilainya berkurang. Oleh karena itu, usahakan setiap Takbiratul Ihram adalah titik di mana koneksi dunia terputus, dan fokus hanya tertuju pada Sang Pencipta.
Untuk meningkatkan khusyu’:
Walaupun secara umum disepakati minimal dua raka’at, penetapan jumlah maksimal Dhuha bervariasi antar madzhab fiqh. Mayoritas ulama, termasuk Hanabilah dan Syafi'iyyah, menetapkan batas maksimal 12 raka'at, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik yang dianggap dhaif namun diamalkan dalam masalah fadhailul a'mal (keutamaan amal). Sementara itu, Madzhab Hanafi menetapkan batas 8 raka'at, dan Madzhab Maliki memperbolehkan hingga 10 raka'at. Perbedaan ini menunjukkan adanya keluasan (tasahhul) dalam syariat mengenai ibadah sunnah. Seorang Muslim boleh memilih batas maksimal mana saja yang sesuai dengan kemampuannya, selama ia konsisten dengan prinsip 2 raka'at per salam.
Jika seseorang rutin melaksanakan Dhuha 12 raka'at, ia akan mendapatkan keutamaan yang sangat besar, yaitu Allah akan membangunkan baginya istana dari emas di surga (disebutkan dalam riwayat yang dilemahkan, namun diamalkan sebagai motivasi amal). Meskipun demikian, ulama menekankan kembali bahwa fokus utama harus pada kualitas ibadah, bukan hanya kuantitas. Empat raka’at yang khusyu’ lebih baik dari 12 raka’at yang tergesa-gesa.
Di luar manfaat spiritual dan pahala akhirat, sholat Dhuha memiliki efek psikologis dan praktis yang signifikan terhadap produktivitas harian. Sholat yang dilakukan di tengah kesibukan pagi berfungsi sebagai spiritual reset. Saat tubuh dan pikiran mulai lelah karena pekerjaan, jeda singkat untuk berwudhu dan sholat mengembalikan fokus dan energi.
Dalam perspektif manajemen waktu Islam, Dhuha mengajarkan bahwa keberhasilan duniawi harus diimbangi dengan investasi akhirat. Dengan meminta rezeki langsung kepada Sang Pemberi Rezeki, seorang Muslim akan merasakan ketenangan batin (sakinah) yang mengurangi stres dan kecemasan, sehingga pekerjaan dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Rezeki yang dicari dengan hati yang tenang akan lebih berkah dibandingkan rezeki yang dikejar dengan hati yang risau.
Maka dari itu, Dhuha bukan sekadar memohon rezeki uang, tetapi juga memohon rezeki waktu yang berkah, kesehatan mental, dan kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat. Semua ini merupakan elemen kunci dari produktivitas yang sukses.
Sholat Dhuha mengisi celah penting dalam siklus ibadah harian. Ia menjembatani waktu antara Subuh dan Dzuhur. Sholat ini menegaskan bahwa seluruh waktu seorang Muslim adalah milik Allah, dan tidak ada bagian hari yang boleh luput dari mengingat-Nya. Subuh memulai hari dengan janji, Dhuha mengukuhkan janji tersebut dengan aktivitas syukur dan permohonan, dan Dzuhur menjadi titik balik di tengah hari.
Mereka yang rutin melaksanakan Dhuha cenderung lebih disiplin dalam sholat fardhu dan lebih termotivasi untuk melakukan sunnah rawatib, karena mereka telah melatih diri untuk mendahulukan panggilan Allah di tengah padatnya jadwal. Sholat Dhuha adalah benteng spiritual pertama yang dibangun di pagi hari untuk menghadapi serangan godaan dan kelalaian dunia.
Keagungan Dhuha sebagai sholat Awabin harus selalu kita ingat. Kita adalah hamba yang lemah, rentan lupa dan berdosa. Setiap Dhuha adalah kesempatan kita untuk kembali, bertaubat, dan memohon pengampunan, memastikan bahwa catatan amal kita selalu diperbaharui dengan kebaikan.
Ketika mengucapkan doa Dhuha, fokuskan pengharapan pada kualitas rezeki. Rezeki yang haram, meskipun banyak, tidak akan membawa keberkahan dan dapat menghancurkan kehidupan di dunia maupun akhirat. Permintaan "فَطَهِّرْهُ" (fathahhirhu - sucikanlah) menunjukkan bahwa keselamatan dan kehalalan rezeki jauh lebih penting daripada kuantitasnya. Seorang hamba yang sholeh adalah hamba yang selalu berhati-hati dalam mencari nafkah, dan Dhuha adalah ibadah yang membantu memelihara kehati-hatian tersebut.
Permohonan agar diberi "mâ âtaita ‘ibâdakas shâlihîn" (apa yang Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih) adalah puncak dari aspirasi spiritual. Kita tidak hanya meminta rezeki seperti manusia biasa, tetapi rezeki yang dihiasi dengan keberkahan, kemudahan, dan kesucian, layaknya yang diterima oleh para wali dan orang-orang saleh terdahulu.
Dengan pemahaman yang mendalam ini, pelaksanaan Sholat Dhuha akan berubah dari sekadar gerakan rutin menjadi sebuah momen komunikasi intim dengan Allah SWT, penuh makna, dan kaya akan harapan dan keikhlasan.
Akhir kata, semoga setiap raka’at Dhuha yang kita kerjakan menjadi saksi keimanan kita di Yaumil Akhir, menjadi pelunas hutang sedekah kita, dan menjadi sebab dibukanya pintu-pintu rezeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka. Amin Ya Rabbal 'Alamin.