Memahami dan melaksanakan Fardhu Kifayah dengan sempurna
Setiap muslim yang meninggal dunia berhak mendapatkan penghormatan terakhir dari saudaranya yang masih hidup, yang dikenal sebagai sholat jenazah. Ini bukan sekadar ritual, melainkan manifestasi nyata dari ukhuwah Islamiyah, pengakuan akan kefanaan dunia, serta permohonan ampunan yang tulus bagi almarhum di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hukum melaksanakan sholat jenazah adalah Fardhu Kifayah, sebuah kewajiban kolektif yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian komunitas muslim, maka gugurlah dosa bagi muslimin yang lain.
Sholat ini berbeda secara fundamental dari sholat wajib lima waktu maupun sholat sunnah lainnya. Perbedaan utama terletak pada struktur, di mana sholat jenazah tidak melibatkan ruku’ dan sujud. Seluruh rangkaiannya dilaksanakan dalam posisi berdiri (Qiyam), terdiri dari empat kali takbir yang diikuti oleh bacaan-bacaan khusus. Kemudahan dalam pelaksanaannya mencerminkan urgensi dan pentingnya kewajiban ini agar dapat dipenuhi oleh setiap muslim dalam kondisi apapun.
Definisi Fardhu Kifayah: Kewajiban yang dibebankan kepada seluruh umat Islam di suatu wilayah. Jika telah dilaksanakan oleh sekelompok muslim yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban tersebut bagi yang lainnya. Jika tidak ada sama sekali yang melaksanakannya, maka seluruh muslim di wilayah tersebut berdosa.
Kewajiban mengurus jenazah, yang meliputi memandikan (Al-Ghusl), mengkafani (At-Takfin), mensholatkan (Ash-Shalah), dan menguburkan (Ad-Dafin), merupakan rangkaian ibadah yang sangat ditekankan. Sholat jenazah, khususnya, adalah kesempatan terakhir bagi orang yang hidup untuk memberikan bekal spiritual kepada saudaranya yang telah wafat, memohonkan rahmat dan kemudahan di alam barzakh.
Menurut pandangan mayoritas ulama, termasuk Mazhab Syafi'i, sholat jenazah diklasifikasikan sebagai ibadah yang harus memenuhi syarat dan rukun tertentu agar sah. Syarat-syarat yang berlaku sama dengan sholat biasa, yaitu suci dari hadats kecil dan besar, suci badan, pakaian, dan tempat, serta menghadap kiblat. Namun, syarat mengenai aurat bagi jenazah hanya sebatas kewajiban menutupinya saat dimandikan dan dikafani. Bagi yang mensholatkan, harus memenuhi syarat kesucian seperti sholat pada umumnya.
Penting untuk diingat bahwa sholat jenazah dilaksanakan sebagai doa, bukan sebagai ritual ruku' dan sujud. Fokus utama dari ibadah ini adalah permohonan ampunan, bukan dzikir rutinitas. Oleh karena itu, semua bacaan setelah takbir difokuskan pada Al-Fatihah, sholawat, dan doa pengampunan.
Sebelum pelaksanaan sholat, terdapat dua set syarat yang harus dipenuhi: syarat yang berkaitan dengan jenazah itu sendiri dan syarat yang berkaitan dengan orang yang sholat (Mushalli).
Proses memandikan dan mengkafani yang merupakan prasyarat mutlak harus dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian, memastikan tubuh jenazah bersih dan tertutup sempurna, menggunakan minimal tiga lapis kain kafan untuk jenazah laki-laki dan lima lapis untuk jenazah perempuan (meliputi kerudung, gamis, dan tiga lapis kain lilitan).
Diagram posisi sholat jenazah, menunjukkan jenazah diletakkan melintang (sejajar kiblat) di depan Imam.
Salah satu kekhususan dalam sholat jenazah adalah penentuan posisi berdiri Imam terhadap jenazah. Sunnah mengajarkan posisi yang berbeda berdasarkan jenis kelamin:
Perbedaan ini bertujuan untuk menghormati dan menunjukkan fokus doa pada bagian yang paling utama dari jenazah. Para ma’mum (jamaah) berdiri di belakang Imam, merapatkan shaf, sebagaimana sholat pada umumnya.
Terdapat lima rukun utama sholat jenazah yang harus dipenuhi agar sholat tersebut dianggap sah, ditambah satu rukun yang merupakan syarat utama.
Sholat jenazah dimulai dengan niat dan diakhiri dengan salam, melalui empat takbir yang memisahkan setiap rangkaian doa. Tidak ada jeda ruku' atau sujud di antara takbir-takbir tersebut.
Setelah berdiri menghadap kiblat dan jenazah berada di depan, tanamkan niat dalam hati. Niat disesuaikan apakah jenazah laki-laki atau perempuan, serta posisi Anda (Imam atau Ma'mum).
Contoh Niat (Jika Jenazah Laki-laki):
"Ushalli 'ala hadzal mayyiti arba'a takbiraatin fardhal kifaayati imaaman/ma'muman lillaahi ta'ala."
Artinya: "Aku niat sholat atas mayit laki-laki ini empat takbir fardhu kifayah sebagai imam/ma'mum karena Allah Ta'ala."
Setelah niat, angkat kedua tangan setinggi telinga (seperti sholat biasa) sambil mengucapkan:
اَللّٰهُ أَكْبَرُ
Allahu Akbar.
Letakkan tangan di bawah dada (sedekap). Ini adalah Takbiratul Ihram.
Segera setelah Takbiratul Ihram, jamaah membaca Surat Al-Fatihah, tanpa didahului doa Iftitah. Pembacaan dilakukan secara pelan (sirr), kecuali jika ia menjadi Imam, yang disunnahkan mengeraskan bacaan (jahr) pada beberapa bagian untuk didengar ma’mum, meskipun mazhab Syafi'i cenderung pada sirr secara keseluruhan.
Analisis Al-Fatihah di sini menekankan permohonan hidayah dan pengakuan tauhid yang menjadi dasar bagi permohonan ampunan yang akan disampaikan selanjutnya.
Setelah selesai membaca Al-Fatihah, tanpa mengangkat tangan, ucapkan Takbir kedua:
اَللّٰهُ أَكْبَرُ
Allahu Akbar.
Setelah Takbir kedua, baca sholawat Ibrahimiyah (sholawat yang dibaca saat Tasyahhud Akhir):
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Allahumma shalli ‘ala Muhammadin wa ‘ala aali Muhammadin kamaa shallaita ‘ala Ibraahiima wa ‘ala aali Ibraahiima, innaka hamiidum majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammadin wa ‘ala aali Muhammadin kamaa baarakta ‘ala Ibraahiima wa ‘ala aali Ibraahiima, innaka hamiidum majiid.
Makna sholawat ini adalah permohonan agar Allah melimpahkan rahmat dan keberkahan kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang telah dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim AS. Ini menunjukkan penghormatan yang sangat tinggi sebelum kita mengajukan permohonan bagi jenazah. Hubungan antara memuji Nabi dan mendoakan jenazah adalah bahwa doa yang didahului dengan pujian kepada Allah dan sholawat kepada Rasul-Nya lebih mustajab (mudah dikabulkan).
Setelah selesai membaca sholawat, ucapkan Takbir ketiga:
اَللّٰهُ أَكْبَرُ
Allahu Akbar.
Setelah Takbir ketiga, ini adalah momen inti dari sholat jenazah, yaitu mendoakan almarhum. Doa yang dibaca harus disesuaikan dengan jenis kelamin jenazah.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ
Allaahummaghfirlahu warhamhu wa 'aafihi wa'fu 'anhu, wa akrim nuzulahu wa wassi' mudkhalahu, waghsilhu bil-maa’i wats-tsalji wal-baradi, wa naqqihi minal-khathaayaa kamaa yunaqqats-tsaubul abyadhu minad-danasi, wa abdilhu daaran khairan min daarihi, wa ahlan khairan min ahlihi, wa zaujan khairan min zaujihi, wa adkhilhul jannata wa a'idzhu min 'adzabil qabri wa min 'adzabin naar.
Terjemahan dan Analisis:
Doa yang agung ini mencakup spektrum permohonan yang luas. Dimulai dengan permintaan dasar: "Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, berilah keselamatan kepadanya, dan maafkanlah dia." Selanjutnya, doa ini mencakup permohonan kenyamanan di alam kubur ("akrim nuzulahu wa wassi' mudkhalahu"). Bagian yang paling metaforis adalah pembersihan dosa, yang diibaratkan membersihkan pakaian putih dari noda dengan air, salju, dan embun. Ini menunjukkan tingkat kesucian yang diminta. Akhirnya, doa tersebut memohon penggantian yang lebih baik di akhirat (rumah, keluarga, pasangan) dan perlindungan dari siksa kubur dan neraka. Setiap frasa memiliki implikasi teologis yang mendalam, mengakui kelemahan manusia dan keagungan ampunan Allah.
Jika jenazah perempuan, dhamir (kata ganti) 'hu' diganti menjadi 'ha' (untuk dia perempuan):
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا وَعَافِهَا وَاعْفُ عَنْهَا...
Allaahummaghfirlahaa warhamhaa wa 'aafihaa wa'fu 'anhaa...
Pergantian ini harus dilakukan secara konsisten di seluruh rangkaian doa. Kegagalan menyesuaikan dhamir tidak membatalkan sholat, namun mengurangi kesempurnaannya dalam konteks bahasa Arab.
Jika waktu sempit atau jamaah tidak hafal doa panjang, minimal disunnahkan membaca doa singkat:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ
Allahummaghfirlahu warhamhu. (Ya Allah ampunilah dia dan rahmatilah dia).
Durasi pembacaan doa ini sangat fleksibel. Imam disunnahkan memanjangkan doa pada takbir ketiga ini, memberikan kesempatan kepada ma’mum untuk menyempurnakan permohonan mereka bagi almarhum.
Setelah selesai mendoakan jenazah, ucapkan Takbir keempat:
اَللّٰهُ أَكْبَرُ
Allahu Akbar.
Setelah Takbir keempat, baca doa singkat yang ditujukan untuk jenazah dan juga untuk diri sendiri serta keluarga almarhum.
اللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ
Allahumma laa tahrimnaa ajrahu, wa laa taftinnaa ba'dahu, waghfirlanaa walahu.
Artinya: "Ya Allah, janganlah Engkau haramkan kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau beri cobaan kepada kami setelahnya, ampunilah kami dan ampunilah dia."
Doa ini mengandung unsur permohonan keselamatan bagi yang hidup. Kita meminta agar pahala sholat jenazah ini tetap tercatat, dan meminta perlindungan agar sepeninggal almarhum, kita tidak diuji dengan cobaan yang dapat menjerumuskan kita, baik berupa kesedihan berlebihan maupun pengabaian terhadap syariat.
Beberapa ulama juga menyarankan penambahan doa untuk seluruh muslimin, mengingat kebaikan sholat jenazah adalah doa yang bersifat umum dan penuh keberkahan.
Setelah selesai membaca doa pada Takbir keempat, sholat diakhiri dengan salam. Salam disunnahkan dilakukan dengan dua kali menoleh, sebagaimana sholat fardhu, namun Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan salam sekali. Mayoritas ulama menyarankan salam ke kanan dan ke kiri.
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
Assalamu 'alaikum wa rahmatullaah.
Salam pertama adalah rukun, sementara salam kedua adalah sunnah. Setelah salam, rangkaian sholat jenazah telah selesai.
Syariat Islam memberikan panduan yang jelas untuk berbagai kondisi, termasuk saat jenazah adalah anak kecil atau ketika jenazah tidak hadir di tempat sholat.
Jika jenazah adalah anak kecil yang belum baligh, tata cara sholatnya sama, namun terdapat perbedaan signifikan pada niat dan doa setelah Takbir ketiga.
Niat: Niat disesuaikan (misalnya: 'ala hadzal mayyitish shaghiri - atas mayit kecil ini).
Doa Khusus Anak Kecil: Karena anak kecil meninggal dalam keadaan suci dari dosa (fitrah), doa tidak berfokus pada permohonan ampunan, melainkan pada permohonan rahmat dan syafa'at bagi kedua orang tuanya.
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا لِوَالِدَيْهِ وَسَلَفًا وَذُخْرًا وَعِظَةً وَاعْتِبَارًا وَشَفِيعًا وَثَقِّلْ بِهِ مَوَازِينَهُمَا وَأَفْرِغِ الصَّبْرَ عَلَى قُلُوبِهِمَا وَلاَ تَفْتِنْهُمَا بَعْدَهُ وَلاَ تَحْرِمْهُمَا أَجْرَهُ
Allahummaj’alhu farathan li walidaihi, wa salafan wa dzukhran, wa 'izhatan wa'tibar, wa shafii'an, wa tsaqqil bihi mawazinahumaa, wa afrighish shabra 'ala qulubihimaa, wa laa taftinhumaa ba'dahu, wa laa tahrimhumaa ajrahu.
Artinya: "Ya Allah, jadikanlah ia simpanan bagi kedua orang tuanya, pendahulu, dan bekal. Jadikanlah ia pelajaran, renungan, dan pemberi syafaat. Beratkanlah timbangan mereka karenanya, limpahkanlah kesabaran di hati keduanya, janganlah Engkau beri cobaan kepada keduanya setelah kepergiannya, dan janganlah Engkau haramkan pahalanya bagi keduanya."
Fokus doa ini adalah pada ketahanan dan pahala orang tua, karena anak yang meninggal sebelum baligh dijamin masuk surga, dan kematiannya menjadi ujian bagi orang tuanya.
Sholat Gaib adalah sholat jenazah yang dilakukan tanpa kehadiran jenazah di tempat sholat. Hukum Sholat Gaib menjadi perdebatan di kalangan ulama. Mazhab Syafi'i membolehkannya, berdasarkan hadits ketika Nabi SAW mensholati Raja Najasyi di Ethiopia, yang meninggal di sana, tanpa jasadnya hadir di Madinah.
Syarat Sholat Gaib:
Mayoritas ulama kontemporer sepakat bahwa Sholat Gaib disyariatkan terutama untuk jenazah yang tidak mungkin dihadiri atau disholatkan di tempatnya meninggal, seperti mereka yang meninggal di daerah konflik, atau tokoh besar yang manfaat sholatnya diharapkan dapat menyebar luas.
Cara pelaksanaannya sama persis dengan sholat jenazah biasa, hanya berbeda pada niat dan ketiadaan jasad di depan Imam.
Jika seseorang datang dan mendapati sholat jenazah sudah berjalan (misalnya sudah Takbir kedua atau ketiga), ia langsung bergabung dan mengucapkan Takbiratul Ihram, lalu mengikuti Imam.
Ketika Imam mengucapkan salam, ma'mum yang masbuq wajib menyempurnakan sisa takbir yang tertinggal. Prioritas bacaan yang harus dikejar adalah sebagai berikut:
Dalam kondisi mendesak, jika dikhawatirkan jenazah segera diangkat, ulama membolehkan untuk mengutamakan doa jenazah setelah Takbir ketiga, bahkan jika itu berarti mengabaikan Al-Fatihah atau Sholawat (walaupun ini menyalahi rukun mazhab Syafi'i).
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu membedah setiap elemen bacaan dan mengaitkannya dengan tujuan akhir dari ibadah ini.
Mazhab Syafi'i dan Hanbali menegaskan bahwa membaca Al-Fatihah adalah rukun. Alasannya adalah hadits Nabi SAW: “Tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” Meskipun sholat jenazah tidak memiliki ruku’ dan sujud, ia tetap dikategorikan sebagai ‘Sholat’ (doa dengan perbuatan dan perkataan tertentu), sehingga rukun utama sholat (yaitu Al-Fatihah) harus dipenuhi.
Al-Fatihah adalah pujian yang sempurna kepada Allah. Dengan memuji Allah dan mengakui keesaan-Nya sebelum berdoa, kita menempatkan diri dalam posisi yang paling rendah dan memohon dengan harapan yang paling tinggi.
Memilih Sholawat Ibrahimiyah, yang merupakan sholawat terpanjang dan termulia yang diajarkan Nabi, menunjukkan penghormatan yang luar biasa. Sholawat ini mengingatkan kita pada janji keberkahan dan rahmat yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Dalam konteks sholat jenazah, Sholawat berfungsi sebagai penghubung dan pembuka pintu rahmat. Kita memohon rahmat bagi Nabi SAW, dan dengan perantaraan rahmat tersebut, kita berharap rahmat yang sama turun kepada jenazah.
Bagian ini adalah esensi dari seluruh sholat jenazah. Setiap frasa doa adalah cerminan dari kebutuhan dasar seorang hamba yang telah meninggal dunia.
“Allaahummaghfirlahu warhamhu” (Ya Allah ampunilah dia dan rahmatilah dia). Ampunan (Maghfirah) adalah penghapusan dosa, sedangkan Rahmat adalah pemberian kebaikan. Jenazah sangat membutuhkan Maghfirah karena ia tidak bisa lagi beramal untuk menghapus dosanya. Rahmat diperlukan agar ia mendapatkan ketenangan di alam barzakh.
“Wa 'aafihi wa'fu 'anhu” (Berilah keselamatan kepadanya dan maafkanlah dia). Permintaan keselamatan mencakup perlindungan dari siksa kubur dan siksa api neraka. Kata 'Afwu (maaf) adalah pengampunan yang lebih mendalam, penghapusan catatan dosa secara total, berbeda dari Maghfirah yang hanya menutupinya.
Perumpamaan pembersihan dengan air, salju, dan embun adalah ungkapan puitis yang bermakna pembersihan dosa secara menyeluruh dari segala bentuk kotoran. Salju dan embun melambangkan pembersihan yang paling murni dan lembut, menunjukkan permintaan rahmat yang lembut dari Allah.
Melaksanakan sholat jenazah membawa hikmah yang sangat besar, baik bagi yang meninggal maupun bagi yang hidup:
Ilustrasi posisi berdiri (Qiyam) dengan tangan diangkat untuk Takbiratul Ihram, posisi dasar dalam sholat jenazah.
Dalam sholat fardhu, mengangkat tangan hanya dilakukan pada Takbiratul Ihram dan saat akan ruku’/bangun dari ruku’. Namun, dalam sholat jenazah, para ulama memiliki perbedaan pandangan mengenai hukum mengangkat tangan pada setiap takbir (Takbir kedua, ketiga, dan keempat).
Untuk menghindari perselisihan, mengikuti sunnah yang menyatakan mengangkat tangan pada setiap takbir (empat kali) adalah pandangan yang kuat dan banyak diamalkan.
Secara umum, seluruh bacaan dalam sholat jenazah (Al-Fatihah, Sholawat, Doa) disunnahkan untuk dibaca secara pelan (sirr). Hal ini dikarenakan sholat jenazah lebih dominan sebagai doa (munajat) daripada dzikir. Hanya Takbir yang diucapkan dengan keras oleh Imam agar didengar oleh ma’mum. Meskipun demikian, Imam terkadang mengeraskan sedikit bagian dari Al-Fatihah agar ma'mum mengetahui bahwa Imam sudah beralih ke rukun berikutnya.
Setelah sholat jenazah selesai, disunnahkan bagi jamaah untuk tetap mendoakan jenazah secara individu sebelum jenazah diangkat. Sholat jenazah adalah rangkaian terakhir di masjid atau musholla sebelum jenazah dibawa ke pemakaman (makam).
Larangan Sholat di Waktu Tertentu: Terdapat larangan umum sholat (termasuk sholat jenazah) pada tiga waktu terlarang (matahari terbit, tepat di tengah hari, dan saat matahari terbenam). Namun, jika jenazah hadir pada saat itu, para ulama memberikan kelonggaran (rukhshah) untuk segera mensholatkannya tanpa menunda, karena menunda pengurusan jenazah bertentangan dengan sunnah.
Seseorang yang meninggal sebagai Syahid (di medan perang) memiliki kekhususan hukum. Mayoritas ulama berpendapat bahwa Syahid tidak perlu dimandikan, tidak perlu dikafani (cukup dengan pakaian yang ia gunakan), dan tidak perlu disholatkan. Dalilnya adalah perlakuan Nabi SAW terhadap para syuhada Uhud. Meskipun demikian, sebagian ulama, termasuk Imam Syafi'i, berpendapat bahwa mensholatkan Syahid tetap dianjurkan, walaupun memandikannya dihilangkan. Pendapat yang kuat adalah mengabaikan pensholatan bagi syahid fi sabilillah, karena jasad mereka suci dan langsung menuju surga.
Kesempurnaan sholat jenazah tidak hanya terletak pada ketepatan rukun dan urutan takbir, tetapi juga pada hadirnya hati dan kekhusyukan saat memohon. Ketika kita mengucapkan doa untuk jenazah, kita sedang berdiri sebagai saksi kebaikan dan permohonan ampunan dari seluruh komunitas muslim yang hadir.
Setiap takbir dalam sholat jenazah memiliki arti penting yang mendalam:
Sholat jenazah adalah pelajaran tentang bagaimana umat Islam memperlakukan akhir kehidupan saudaranya. Ini adalah pengakuan bahwa setiap jiwa akan kembali kepada Allah, dan bekal terbaik yang dapat diberikan oleh orang yang hidup adalah doa yang tulus dan ikhlas.
Semoga panduan mendalam ini membantu setiap muslim untuk melaksanakan fardhu kifayah ini dengan ilmu yang benar, kesadaran yang tinggi, dan kekhusyukan yang sempurna, sehingga manfaat doa yang dipanjatkan benar-benar sampai kepada jenazah, dan pahala yang dijanjikan Allah diperoleh oleh yang mensholatkan.