Pertanyaan mengenai keabsahan puasa sering kali muncul ketika seseorang mengalami kondisi medis tertentu yang melibatkan keluarnya sesuatu dari tubuh, termasuk darah. Salah satu kasus yang memerlukan pembahasan mendalam dari sudut pandang fiqih adalah ketika seseorang buang air besar (BAB) dan mendapati adanya darah yang keluar. Apakah keluarnya darah melalui dubur saat BAB, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, dapat membatalkan ibadah puasa yang sedang dijalankan?
Untuk menjawab hal ini, kita harus memahami terlebih dahulu prinsip dasar dalam Islam mengenai hal-hal yang dapat membatalkan puasa (mufthirat), serta bagaimana para ulama dari berbagai mazhab memandang definisi keluarnya sesuatu dari salah satu dua lubang (qubul dan dubur) yang tidak lazim. Pembahasan ini akan diuraikan secara rinci, mencakup perbedaan pendapat (khilafiyah) dan kondisi spesifik terkait pendarahan.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa pembatal puasa meliputi tiga kategori utama. Kategori yang paling relevan dengan masalah keluarnya darah saat BAB adalah kategori kedua, yaitu hal-hal yang keluar dari tubuh, meskipun fokus utama pembatal puasa adalah hal-hal yang *masuk* ke dalam tubuh (seperti makan, minum, dan memasukkan benda ke lubang alami).
Darah yang keluar saat BAB berada dalam kategori kedua. Namun, ulama membedakan secara tegas antara darah yang membatalkan wudu (yang umumnya keluar dari dua lubang) dan darah yang membatalkan puasa. Tidak semua hal yang membatalkan wudu secara otomatis membatalkan puasa.
Dalam konteks fiqih puasa, pendarahan yang keluar dari dubur, terutama saat atau setelah buang air besar, terbagi dalam beberapa skenario medis dan hukum, seperti wasir (hemoroid), fisura ani, atau penyakit usus lainnya.
Keluarnya darah dari dubur, pada dasarnya, bukanlah haid maupun nifas. Oleh karena itu, hukumnya harus dikembalikan kepada kaidah umum mengenai keluarnya darah selain dari kedua kondisi tersebut. Hukum yang paling kuat (Jumhur Ulama) menetapkan bahwa keluarnya darah (selain haid/nifas) dari salah satu dua lubang tidak membatalkan puasa, selama darah tersebut bukan darah haid/nifas dan tidak terjadi akibat praktik medis yang melibatkan dimasukkannya sesuatu ke dalam lubang dubur (seperti transfusi darah atau pemasangan supositoria yang masuk ke rongga dalam).
Untuk memahami mengapa darah yang keluar saat BAB tidak membatalkan puasa, penting untuk membandingkannya dengan kondisi lain yang melibatkan keluarnya darah atau isi perut:
Meskipun mayoritas ulama sepakat bahwa darah BAB tidak membatalkan puasa, perlu dijelaskan secara rinci pandangan masing-masing mazhab, karena detail hukumnya melibatkan definisi 'keluarnya sesuatu' dan 'hilangnya kekuatan' (keletihan) akibat darah yang hilang.
Mazhab Syafi'i sangat jelas mengenai hal-hal yang membatalkan puasa. Mereka berpegangan pada kaidah bahwa pembatal puasa harus berupa masuknya sesuatu ke dalam rongga (jauf) atau melalui lubang alami secara sengaja (kecuali haid, nifas, dan muntah sengaja).
Hukum Darah BAB menurut Syafi'i: Puasa tidak batal. Keluarnya darah dari dubur tidak termasuk dalam daftar pembatal puasa. Luka internal, wasir, atau penyakit lain yang menyebabkan darah keluar melalui kotoran (feses) tidak merusak keabsahan puasa. Darah yang keluar melalui lubang dubur adalah najis yang membatalkan wudu, tetapi tidak membatalkan puasa.
Syafi'iyah menekankan bahwa pembatalan puasa terjadi jika ada sesuatu yang mencapai batas dalam (al-jauf). Keluarnya darah dari dubur, meskipun dapat melemahkan fisik, tidak memenuhi syarat fiqih sebagai pembatal. Bahkan darah yang sangat banyak sekalipun, selama tidak menyebabkan puasa ditinggalkan karena alasan syar'i (seperti sakit parah), puasa tetap dianggap sah.
Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang juga cenderung tidak membatalkan puasa dalam kasus ini. Mereka fokus pada konsep ‘sampai ke rongga’ (wusul ila al-jauf) sebagai pembatal utama. Mereka tidak menganggap keluarnya darah dari dubur, baik sedikit maupun banyak, sebagai pembatal puasa.
Hukum Darah BAB menurut Hanafi: Puasa tidak batal. Hanafi juga tidak menganggap bekam (pengeluaran darah) sebagai pembatal puasa, apalagi darah yang keluar secara spontan karena kondisi internal seperti wasir. Yang membatalkan adalah pendarahan yang setara dengan haid atau nifas, atau tindakan memasukkan sesuatu ke dubur.
Hanafiyah bahkan menganggap puasa tidak batal jika darah keluar karena luka di tubuh, atau mimisan yang parah. Oleh karena itu, darah yang bercampur dengan feses saat BAB, yang merupakan hasil dari luka internal atau wasir, secara mutlak tidak membatalkan puasa.
Mazhab Hanbali sedikit lebih ketat dibandingkan dua mazhab di atas dalam hal pembatalan puasa yang berkaitan dengan keluarnya darah, khususnya karena mereka menganggap bekam membatalkan puasa (berdasarkan hadis: "Orang yang berbekam dan yang dibekam batal puasanya"). Namun, penerapan hukum ini tidak otomatis berlaku untuk semua jenis pendarahan.
Hanbali berpendapat bahwa pembatal puasa adalah setiap keluarnya darah dalam jumlah besar yang menyebabkan hilangnya kekuatan (seperti bekam), kecuali jika keluarnya darah itu tidak disengaja dan tidak bertujuan untuk melemahkan, serta bukan berasal dari saluran utama haid/nifas. Darah BAB (Wasir/Fisura) termasuk dalam kategori luka yang tidak disengaja.
Hukum Darah BAB menurut Hanbali: Mayoritas pendapat Hanbali menyatakan puasa tidak batal. Meskipun Hanbali ketat mengenai bekam, darah yang keluar saat BAB karena penyakit atau luka internal (wasir) tidak memiliki tujuan melemahkan dan umumnya dianggap berbeda dari darah yang dikeluarkan melalui bekam. Jika darah yang keluar sangat sedikit dan bercampur feses, itu jelas tidak membatalkan. Jika banyak, tetap tidak batal, kecuali jika pendarahan tersebut sangat parah hingga memerlukan transfusi atau menyebabkan pingsan yang berkepanjangan.
Mazhab Maliki memiliki pandangan yang sangat inklusif terhadap keabsahan puasa dan sangat membatasi jenis pembatal. Mereka fokus pada makan, minum, dan jima' (hubungan intim) secara sengaja sebagai pembatal utama.
Hukum Darah BAB menurut Maliki: Puasa tidak batal sama sekali. Keluarnya darah karena wasir atau luka lainnya (termasuk muntah yang tidak disengaja atau bekam) tidak membatalkan puasa dalam pandangan Maliki. Mazhab Maliki hanya fokus pada hal-hal yang masuk ke perut, dan hanya mengakui haid/nifas sebagai pembatal yang keluar dari tubuh.
Kesimpulan Mazhab: Seluruh empat mazhab utama sepakat bahwa pendarahan yang terjadi saat BAB atau disebabkan oleh wasir/luka internal, dalam kondisi normal, tidak membatalkan puasa. Perbedaan pandangan hanya ada pada kasus bekam yang disengaja (Hanbali membatalkan, lainnya tidak).
Pendarahan akibat wasir (hemoroid) adalah penyebab paling umum dari keluarnya darah saat BAB. Penting untuk membedakan antara darah sedikit yang menempel pada feses atau kertas toilet, dengan pendarahan hebat yang mungkin memerlukan penanganan medis.
Jika darah yang keluar hanya sedikit, bercampur dengan feses, atau hanya berupa flek, puasa sama sekali tidak terpengaruh. Ini hanya najis yang harus dibersihkan (istinja) untuk keabsahan salat, tetapi tidak berkaitan dengan keabsahan puasa.
Bagaimana jika pendarahan sangat parah sehingga menyebabkan tubuh lemas, pusing, atau bahkan memerlukan perawatan intensif (seperti transfusi darah)?
Oleh karena itu, jika darah keluar hebat tetapi tidak menyebabkan seseorang jatuh sakit parah dan tidak memerlukan transfusi, puasa tetap sah. Keabsahan puasa hanya hilang jika pendarahan tersebut menjadi pemicu untuk membatalkan puasa karena alasan sakit yang mengancam.
Penting untuk membedakan jenis darah yang keluar dari tubuh. Para fuqaha (ahli fiqih) secara tradisional membagi darah yang keluar berdasarkan saluran dan statusnya:
Ini adalah darah haid dan nifas, yang secara eksplisit membatalkan puasa. Darah BAB bukan termasuk kategori ini.
Ini mencakup mimisan, darah gusi, darah luka potong, dan darah wasir/BAB. Darah jenis ini (selain dalam kasus bekam Hanbali), secara ijma’ (kesepakatan) tidak membatalkan puasa, kecuali jika: (1) darah tersebut ditelan, atau (2) menyebabkan sakit parah sehingga diperbolehkan berbuka.
Dalam kasus BAB keluar darah, darah tersebut adalah darah penyakit atau luka internal. Ia tidak disengaja keluar, dan keluarnya darah (seperti keluarnya feses) adalah keniscayaan fisiologis, bukan tindakan yang bertujuan melanggar rukun puasa.
Beberapa ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa yang membatalkan puasa adalah keluarnya sesuatu dari rongga kepala atau perut melalui lubang atas (seperti muntah sengaja). Mereka tidak menganggap keluarnya darah dari lubang bawah, yang secara alami selalu mengeluarkan najis (kotoran), sebagai pembatal puasa. Hal ini semakin memperkuat argumen bahwa darah BAB tidak membatalkan puasa.
Penekanan pada hukum puasa adalah *imsak* (menahan diri). Menahan diri dari makan dan minum adalah rukun. Keluarnya darah saat BAB tidak melanggar rukun *imsak*. Sebaliknya, jika seseorang berobat dengan memasukkan cairan ke dubur (seperti enema atau supositoria cair) hingga mencapai rongga perut, maka puasa batal, karena ini dianggap memasukkan sesuatu ke rongga dalam (jauf).
Meskipun puasa tetap sah, keluarnya darah saat BAB tetap membawa implikasi terhadap kesucian (thaharah) dan salat.
Untuk menghindari kerancuan, perlu ditekankan bahwa ada beberapa kondisi medis atau tindakan yang melibatkan dubur yang justru membatalkan puasa. Memahami pembatalan ini membantu menguatkan argumen bahwa darah yang keluar saat BAB tidak termasuk pembatal.
Mayoritas ulama kontemporer dan fuqaha klasik (terutama Syafi'i dan Hanbali) berpendapat bahwa memasukkan supositoria (obat padat) atau enema (cairan) melalui dubur yang mencapai rongga dalam (jauf) membatalkan puasa, karena ini dianggap memasukkan sesuatu ke dalam lubang alami (manfadz maftuh) dengan tujuan pengobatan atau nutrisi.
Perbedaan Utama: Pembatalan terjadi karena *masuknya* benda ke dalam, bukan karena *keluarnya* darah saat BAB.
Tindakan medis kolonoskopi, di mana alat dimasukkan melalui dubur ke usus besar, juga membatalkan puasa jika alat tersebut basah atau mengandung cairan/minyak, karena terjadi masuknya benda asing ke dalam rongga tubuh. Darah yang mungkin keluar setelah tindakan ini adalah akibat dari prosedur, tetapi pembatalan puasa terjadi saat alat dimasukkan, bukan saat darah keluar.
Pentingnya Niat: Jika seseorang mengalami pendarahan hebat akibat wasir dan ia terpaksa membatalkan puasa, ia harus meniatkan pembatalan karena alasan sakit (rukhsah), bukan karena keluarnya darah itu sendiri merupakan pembatal puasa.
Salah satu kekhawatiran yang muncul ketika darah keluar banyak adalah apakah puasa batal karena tubuh menjadi sangat lemah. Dalam fiqih, kelemahan fisik tidak serta merta membatalkan puasa, tetapi ia memberikan hak (rukhsah) untuk berbuka.
Jika pendarahan saat BAB menyebabkan seseorang merasa sangat lemah hingga tidak mampu melanjutkan aktivitas sehari-hari atau khawatir akan kesehatannya, ia diizinkan berbuka. Ketentuan ini sama dengan orang yang sakit parah atau sedang dalam perjalanan jauh.
Kaedah Fiqih (Qawa'id Fiqhiyyah):
"Al-masyaqqah tajlibu at-taysir" (Kesulitan akan mendatangkan kemudahan).
Jika pendarahan wasir menciptakan kesulitan yang luar biasa, maka kemudahan berbuka puasa dapat diambil, tetapi puasa tersebut wajib diqada di kemudian hari.
Penting untuk dipahami bahwa, dalam pandangan ulama kontemporer, kelemahan akibat kehilangan darah tidak dikategorikan sebagai pembatal puasa itu sendiri, melainkan dikategorikan sebagai ‘sakit’ yang membolehkan seseorang untuk tidak berpuasa. Jika seseorang memilih menahan kelemahan tersebut dan tetap berpuasa hingga magrib, puasanya tetap sah dan mendapat pahala kesabaran.
Dalam kondisi tertentu, seseorang (baik pria maupun wanita) mungkin menderita pendarahan dubur kronis (seperti pada penyakit Chron's atau Ulcerative Colitis) di mana darah terus keluar atau sangat sering keluar bersamaan dengan feses atau bahkan tanpa BAB.
Status hukum orang ini dalam hal kesucian (thaharah) disamakan dengan istihadhah (darah penyakit pada wanita). Dalam hal puasa, hukumnya juga sama: puasa tetap sah.
Kesimpulan Status Puasa Bagi Penderita Pendarahan Kronis:
Para ulama menegaskan bahwa jika sesuatu yang keluar dari tubuh merupakan hasil dari penyakit internal yang tidak dapat dihindari, ia tidak boleh menjadi penghalang atau pembatal bagi ibadah utama seperti puasa, selama tidak ada unsur kesengajaan untuk memasukkan sesuatu yang membatalkan.
Mengapa muntah sengaja membatalkan puasa, sementara darah yang keluar saat BAB tidak? Ini adalah inti dari perbedaan antara "keluarnya yang menyebabkan kerusakan" dan "keluarnya yang tidak menyebabkan kerusakan pada puasa."
Muntah sengaja membatalkan puasa karena dikhawatirkan ada bagian dari muntahan (meskipun sedikit) yang kembali masuk ke dalam rongga perut. Ini memenuhi kriteria 'memasukkan sesuatu ke dalam rongga' yang diperdebatkan, yaitu masuknya sesuatu dari tenggorokan ke perut, meskipun yang masuk adalah sisa dari apa yang dikeluarkan.
Keluarnya darah dari dubur tidak memiliki risiko apapun untuk 'masuk kembali' ke dalam rongga perut melalui jalur yang sama (kecuali jika terjadi praktik enema terbalik, yang sangat tidak mungkin). Darah tersebut hanya keluar dari jalur ekskresi. Oleh karena itu, ia tidak memenuhi kriteria muntah yang disengaja atau pemasukan benda ke dalam rongga.
Dalam konteks modern, Dewan Fatwa Saudi, Al-Azhar, dan lembaga-lembaga fiqih besar lainnya telah mengeluarkan fatwa yang memperkuat pandangan jumhur ulama:
Seseorang yang mengalami kondisi ini dianjurkan untuk tetap berpuasa, namun diwajibkan berkonsultasi dengan dokter untuk mengobati sumber pendarahan (wasir atau luka), terutama jika pendarahan terjadi berulang kali. Pengobatan terhadap penyakit adalah kewajiban, sedangkan puasa adalah rukun yang harus ditunaikan jika tidak ada uzur syar'i.
Ketika seseorang mengalami pendarahan saat puasa, fokusnya harus tetap pada menjaga niat dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara eksplisit (makan, minum, jima'). Kekhawatiran berlebihan terhadap darah yang keluar tanpa sengaja dapat mengganggu konsentrasi ibadah. Islam memberikan keringanan pada hal-hal yang berada di luar kendali manusia (seperti penyakit).
Berdasarkan tinjauan mendalam terhadap prinsip fiqih dari empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) dan kaidah-kaidah yang berlaku untuk pembatal puasa, dapat disimpulkan dengan keyakinan hukum yang kuat bahwa: BAB keluar darah, baik disebabkan oleh wasir, fisura, atau luka internal lainnya, tidak membatalkan ibadah puasa.
Pembatalan hanya terjadi jika: (1) pendarahan tersebut sangat parah sehingga diizinkan berbuka karena sakit (rukhsah maradh), atau (2) jika penanganan medis terhadap pendarahan tersebut melibatkan masuknya cairan atau benda asing ke dalam rongga tubuh yang berfungsi sebagai nutrisi (seperti infus atau transfusi darah).
Bagi mereka yang mengalami pendarahan berulang saat BAB, sangat dianjurkan untuk mencari perawatan medis segera. Namun, selama puasa masih dapat ditunaikan tanpa membahayakan kesehatan, ibadah tersebut wajib dilanjutkan.
Sehingga, kaum Muslimin tidak perlu ragu atau panik. Fokus utama selama berpuasa adalah pengendalian diri dari masuknya makanan dan minuman ke dalam perut, serta pengendalian hawa nafsu.