Alasan Mengapa Anjing Dianggap Haram dalam Ajaran Islam

Pertanyaan mengenai status hukum anjing dalam Islam, khususnya terkait keharamannya, seringkali muncul di kalangan umat Muslim. Pemahaman yang mendalam mengenai alasan kenapa anjing haram sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan praktik yang tidak sesuai dengan syariat. Dalam Islam, terdapat sejumlah dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan mengenai anjing.

Dalil-dalil Keharaman Anjing

Salah satu sumber utama yang membahas hal ini adalah firman Allah SWT dalam Al-Qur'an, Surah Al-Ma'idah ayat 4, yang menjelaskan tentang makanan yang halal dan haram. Meskipun ayat ini secara eksplisit tidak menyebutkan anjing, namun ada tafsir dan pemahaman dari para ulama yang merujuknya pada hewan-hewan yang dianggap najis.

Lebih lanjut, banyak hadis Nabi Muhammad SAW yang secara spesifik menyebutkan mengenai anjing. Salah satu hadis yang paling sering dikutip adalah riwayat dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa memelihara anjing, maka setiap hari pahala amalnya berkurang satu qirath, kecuali anjing penjaga kebun atau ternak." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memberikan indikasi kuat bahwa memelihara anjing tanpa keperluan syar'i memiliki konsekuensi negatif terhadap pahala. Konsep 'qirath' sendiri merupakan satuan yang besar dalam pahala amal, sehingga pengurangan satu qirath setiap hari menunjukkan adanya ketidaksetujuan syariat terhadap kepemilikan anjing secara sembarangan.

Najisnya Anjing

Alasan utama keharaman anjing dalam Islam adalah karena tubuhnya dianggap sebagai najis mughallazah (najis berat). Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA:

"Jika seekor anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaknya ia membasuhnya tujuh kali, yang pertama dengan tanah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Sucikan bejana salah seorang di antara kalian jika anjing menjilatnya, dengan membasuhnya tujuh kali, yang pertama dengan tanah." (HR. Muslim)

Perintah untuk membasuh tujuh kali, terutama yang pertama dengan tanah, merupakan penekanan bahwa jilatan anjing meninggalkan semacam 'kontaminasi' yang harus disucikan dengan cara khusus. Ini berbeda dengan najis ringan atau sedang yang cara menyucikannya lebih sederhana. Mayoritas ulama memahami najis mughallazah ini mencakup air liur, ludah, dan seluruh bagian tubuh anjing yang bersentuhan dengan benda lain.

Oleh karena itu, jika ada bagian tubuh seorang Muslim yang terkena najis anjing, maka bagian tersebut wajib dibersihkan dengan cara yang sesuai syariat, yaitu dibasuh tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan dari najis anjing.

Pengecualian dalam Kepemilikan Anjing

Penting untuk dicatat bahwa Islam tidak melarang mutlak keberadaan anjing. Terdapat alasan kenapa anjing haram untuk dipelihara tanpa keperluan, namun ada pengecualian yang diperbolehkan. Pengecualian ini meliputi:

Dalam kasus-kasus ini, keberadaan anjing memiliki tujuan yang jelas dan bermanfaat secara syar'i. Namun, bahkan dalam kepemilikan yang diperbolehkan, umat Muslim tetap dianjurkan untuk berhati-hati agar tidak bersentuhan langsung dengan najis anjing tanpa disucikan.

Implikasi Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari

Memahami alasan kenapa anjing haram memiliki implikasi praktis dalam kehidupan seorang Muslim. Ini berarti umat Muslim harus berhati-hati dalam:

Pengetahuan ini bertujuan untuk menjaga kesucian diri dan ibadah seorang Muslim, serta memelihara hubungan yang harmonis dengan ajaran agama. Penting untuk selalu merujuk pada sumber-sumber syariat yang terpercaya dan berkonsultasi dengan ulama jika ada keraguan.

🏠 Homepage