Seni Madihin: Ekspresi Budaya Melalui Syair
Madihin, sebuah seni pertunjukan sastra lisan yang berkembang pesat di kalangan masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan, terus mempesona dengan keunikan dan kekayaannya. Seni ini tidak hanya sekadar hiburan semata, tetapi juga menjadi media penting dalam penyampaian pesan moral, nasihat, kritik sosial, hingga refleksi kehidupan. Esensi dari madihin terletak pada liriknya yang puitis, penuh makna, dan seringkali disajikan dengan gaya berbalas pantun antara dua penampil yang disebut pamadihin. Kemampuan berimprovisasi, kepiawaian merangkai kata, serta pemahaman mendalam terhadap konteks budaya menjadi kunci keberhasilan seorang pamadihin.
Keindahan lirik madihin terletak pada kemampuannya untuk merangkai kata-kata sederhana menjadi ungkapan yang mendalam dan menggugah. Dengan struktur yang seringkali mengikuti kaidah pantun, madihin mampu menyampaikan pesan yang kompleks secara lugas namun tetap artistik. Pembawaan yang dinamis, diiringi alat musik sederhana seperti rebana atau gendang, menambah daya tarik visual dan auditori pertunjukan madihin. Lebih dari sekadar syair, madihin adalah cerminan kearifan lokal dan cara masyarakat Banjar berinteraksi serta memahami dunia di sekitar mereka.
Setiap lirik madihin memiliki lapisan makna yang kaya. Ada yang mengangkat tema keagamaan, mengajak pendengar untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Lirik-lirik jenis ini biasanya mengandung kutipan ayat suci atau hadis yang diolah sedemikian rupa agar mudah dipahami oleh masyarakat luas. Nasihat tentang pentingnya berbakti kepada orang tua, menjaga silaturahmi, dan berbuat baik juga sering menjadi topik utama.
Selain itu, madihin juga kerap digunakan sebagai alat untuk memberikan kritik sosial yang halus namun menusuk. Melalui sindiran atau perumpamaan, pamadihin dapat menyuarakan ketidakadilan, kesenjangan sosial, atau perilaku buruk yang terjadi di masyarakat tanpa terkesan menggurui. Pendekatan ini membuat pesan kritik lebih mudah diterima dan direnungkan oleh khalayak. Tidak jarang pula, lirik madihin membahas fenomena-fenomena kekinian, tren, atau kejadian menarik yang sedang hangat dibicarakan, menunjukkan bahwa seni ini mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Keakraban dan kekeluargaan juga menjadi nilai yang sering diusung dalam madihin. Lirik-lirik yang menyentuh hati, mengingatkan akan pentingnya kebersamaan, saling tolong-menolong, dan menjaga keharmonisan dalam keluarga serta lingkungan. Bahkan, dalam acara-acara sukacita seperti pernikahan atau perayaan hari besar, madihin dapat menjadi penambah suasana meriah dengan lirik-lirik yang jenaka dan menghibur.
Memahami lirik madihin akan lebih mudah jika kita melihat contoh konkretnya. Perhatikan penggalan lirik berikut yang seringkali muncul dalam pertunjukan madihin, yang menggambarkan pentingnya bersyukur dan tidak berputus asa:
Anak itik disurung batingkat,
Batingkat bungas batingkat tana.
Rezeki nang datang disyukuri haja nikmat,
Jangan sampai kita malala.
Dalam penggalan ini, pamadihin menggunakan metafora sederhana untuk menyampaikan pesan. "Anak itik disurung batingkat" mungkin terdengar seperti objek biasa, namun maknanya merujuk pada hal-hal yang datang atau diberikan kepada kita. Baris kedua, "Batingkat bungas batingkat tana," bisa diartikan sebagai rezeki yang datang dalam berbagai bentuk, baik yang tampak menyenangkan (bungas) maupun yang mungkin terasa sulit (tana/berat). Inti pesannya ada di baris ketiga dan keempat: "Rezeki nang datang disyukuri haja nikmat, Jangan sampai kita malala." Ini adalah ajakan eksplisit untuk selalu bersyukur atas segala karunia yang diberikan Tuhan, sekecil apapun itu, dan tidak boleh berputus asa atau mengeluh jika menghadapi kesulitan. Madihin mengajarkan filosofi ketahanan mental dan penerimaan terhadap takdir.
Contoh lain dapat berupa sindiran halus terhadap gaya hidup konsumtif:
Di pasar orang bakalahi,
Ambil duit haja tarus bumbung.
Baju lawan sapatu baru dibari,
Tapi amun ditakuni ibarat kosong.
Di sini, pamadihin menyoroti orang yang gemar membeli barang-barang mewah (baju dan sepatu baru) namun sebenarnya tidak memiliki kekayaan yang memadai atau bahkan memiliki utang. Ungkapan "ibarat kosong" menyiratkan bahwa penampilan luar yang mewah tidak mencerminkan kestabilan finansial sebenarnya. Ini adalah bentuk kritik sosial agar masyarakat lebih bijak dalam mengelola keuangan dan tidak terjebak pada gaya hidup pamer.
Madihin adalah warisan budaya tak benda yang sangat berharga. Dengan popularitasnya yang masih bertahan dan kemampuannya untuk beradaptasi, madihin memiliki potensi besar untuk terus hidup dan berkembang. Dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah, komunitas, maupun masyarakat luas, sangat diperlukan untuk menjaga kelestariannya. Upaya-upaya seperti penyelenggaraan festival madihin, workshop, dokumentasi lirik-lirik madihin, serta pengenalan seni ini kepada generasi muda melalui dunia pendidikan, adalah langkah-langkah krusial.
Mempelajari dan mengapresiasi lirik madihin tidak hanya memberikan pemahaman tentang seni sastra lisan Banjar, tetapi juga membuka wawasan tentang nilai-nilai kehidupan, kearifan lokal, dan cara berkomunikasi yang efektif. Melalui syair-syairnya, madihin mengajak kita untuk merenung, belajar, dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Seni madihin membuktikan bahwa budaya lisan dapat tetap relevan dan bermakna di era modern ini, asalkan kita mau menjaga dan melestarikannya.