Kenapa Yesus Disebut Tuhan? Mengungkap Dasar Kepercayaan Kristen

Pertanyaan "kenapa Yesus disebut Tuhan" merupakan inti dari teologi Kristen dan membedakannya dari banyak agama lain. Bagi miliaran umat Kristen di seluruh dunia, pengakuan terhadap Yesus sebagai Tuhan adalah landasan iman, ibadah, dan harapan mereka. Namun, bagi mereka yang tidak akrab dengan doktrin Kristen, atau bahkan bagi orang Kristen yang baru mendalami iman, pertanyaan ini mungkin memunculkan kebingungan atau memerlukan penjelasan yang mendalam. Artikel ini akan mengupas tuntas dasar-dasar biblis, teologis, dan historis yang menopang kepercayaan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, Putra Allah yang menjelma.

Kita akan menjelajahi bagaimana Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, memberikan kesaksian yang konsisten tentang keilahian Yesus. Kita akan melihat klaim-klaim yang dibuat oleh Yesus sendiri, pengakuan dari para rasul dan penulis Alkitab lainnya, serta sifat-sifat ilahi dan perbuatan-perbuatan yang hanya bisa dilakukan oleh Tuhan yang Mahakuasa. Lebih lanjut, kita akan membahas bagaimana doktrin ini berkembang dalam sejarah gereja awal dan bagaimana hal itu memiliki implikasi yang mendalam bagi keselamatan dan kehidupan rohani umat percaya. Memahami keilahian Yesus bukan sekadar wacana akademis, melainkan fondasi yang krusial untuk memahami tujuan kedatangan-Nya ke dunia, pekerjaan-Nya di kayu salib, kebangkitan-Nya, dan janji-Nya akan kehidupan kekal.

I. Fondasi Keilahian Yesus dalam Perjanjian Lama: Ramalan dan Pra-Eksistensi

Meskipun Yesus secara eksplisit dikenal dan diakui sebagai Tuhan dalam Perjanjian Baru, benih-benih keilahian-Nya sudah tertanam jauh dalam narasi dan nubuat Perjanjian Lama. Para penulis Perjanjian Baru seringkali merujuk kembali pada teks-teks kuno ini untuk menegaskan identitas Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan, yang memiliki sifat-sifat ilahi yang unik.

A. Nubuat Mesianik yang Mengisyaratkan Keilahian

Beberapa nubuat dalam Perjanjian Lama, meskipun tidak secara langsung menyebut "Yesus adalah Tuhan," memberikan gambaran tentang Mesias yang melampaui sekadar manusia biasa, bahkan mengisyaratkan sifat ilahi:

B. "Malaikat TUHAN" dan Theophany dalam Perjanjian Lama

Dalam beberapa kisah Perjanjian Lama, muncul sosok yang disebut "Malaikat TUHAN" (Malakh YHWH) atau "Malaikat Yahweh" yang tampaknya lebih dari sekadar utusan biasa. Sosok ini berbicara dengan otoritas ilahi, menerima penyembahan, dan bahkan diidentifikasi sebagai TUHAN sendiri. Contohnya:

Banyak teolog Kristen menafsirkan penampakan "Malaikat TUHAN" ini sebagai penampakan pra-inkarnasi dari Putra Allah, yaitu Yesus Kristus. Ini adalah cara Allah untuk menyatakan diri-Nya dalam bentuk yang dapat dilihat dan berinteraksi dengan manusia, jauh sebelum kelahiran-Nya di Betlehem. Ini menunjukkan pra-eksistensi Yesus dan natur ilahi-Nya yang sudah aktif dalam sejarah keselamatan Perjanjian Lama.

C. Kesimpulan tentang Perjanjian Lama

Perjanjian Lama menyediakan fondasi yang kuat bagi keilahian Yesus. Melalui nubuat-nubuat yang mengisyaratkan sifat-sifat ilahi Mesias, dan melalui penampakan-penampakan ilahi yang diidentifikasi sebagai "Malaikat TUHAN," Alkitab Ibrani telah mempersiapkan pembaca untuk kedatangan sosok yang bukan hanya seorang nabi atau raja manusia, tetapi Tuhan sendiri yang datang dalam rupa manusia. Ini adalah jembatan penting yang menghubungkan ekspektasi Mesianik Yudaisme dengan penggenapan dalam diri Yesus Kristus.

II. Klaim Langsung dan Tidak Langsung Yesus tentang Keilahian-Nya

Klaim keilahian Yesus bukanlah sekadar hasil interpretasi para pengikut-Nya setelah kematian-Nya, melainkan sesuatu yang secara konsisten diungkapkan oleh Yesus sendiri selama pelayanan-Nya di bumi. Klaim-klaim ini seringkali disampaikan secara tersirat, memerlukan pemahaman konteks Yudaisme pada masa itu, namun ada pula yang sangat eksplisit sehingga memicu reaksi keras dari para pemimpin agama Yahudi.

A. Klaim Eksklusif yang Menyamakan Diri dengan Allah Bapa

Yesus sering membuat pernyataan yang secara langsung atau tidak langsung menempatkan diri-Nya pada tingkat yang sama dengan Allah Bapa, sesuatu yang sangat mengejutkan bagi pendengar Yahudi yang monoteis:

B. Mengklaim Atribut dan Otoritas Ilahi

Yesus juga menunjukkan keilahian-Nya melalui tindakan dan klaim yang berkaitan dengan atribut dan otoritas yang hanya dimiliki oleh Tuhan:

C. Penggunaan Gelar "Anak Manusia" dan "Anak Allah"

D. Kesimpulan tentang Klaim Yesus Sendiri

Secara konsisten, perkataan dan perbuatan Yesus menunjuk pada identitas ilahi-Nya. Dia tidak hanya mengklaim otoritas yang hanya dimiliki oleh Tuhan, tetapi juga menerima penyembahan dan membuat pernyataan yang secara eksplisit menyamakan diri-Nya dengan Allah Bapa. Reaksi keras dari para pemimpin Yahudi pada zaman-Nya justru menjadi bukti bahwa mereka sepenuhnya memahami implikasi dari klaim-klaim ini: Yesus mengklaim diri-Nya sebagai Tuhan.

III. Kesaksian Para Rasull dan Penulis Perjanjian Baru

Setelah kebangkitan Yesus dan pencurahan Roh Kudus, pemahaman para murid tentang identitas Yesus mengalami transformasi yang mendalam. Mereka mulai secara terang-terangan dan tanpa ragu menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Kesaksian mereka membentuk dasar teologi Kristen yang kemudian berkembang.

A. Pengakuan oleh Para Rasul dalam Injil dan Kisah Para Rasul

B. Paulus dan Surat-Suratnya: Teologi Keilahian Kristus yang Mendalam

Rasul Paulus, seorang mantan penganiaya orang Kristen yang kemudian menjadi salah satu penyebar Injil terbesar, mengembangkan teologi Kristus yang sangat kaya, secara konsisten menegaskan keilahian Yesus.

C. Penulis Ibrani: Superioritas dan Keilahian Yesus

Kitab Ibrani dimulai dengan pernyataan agung tentang keilahian dan keunggulan Yesus:

D. Kitab Wahyu: Alfa dan Omega

Dalam Kitab Wahyu, Yesus Kristus disebut dengan gelar-gelar yang hanya pantas bagi Tuhan:

E. Kesimpulan tentang Kesaksian Perjanjian Baru

Para penulis Perjanjian Baru, yang adalah saksi mata atau orang-orang yang sangat dekat dengan saksi mata kehidupan Yesus, secara konsisten dan tegas menyatakan keilahian Yesus Kristus. Mereka menyatakannya sebagai Pencipta, Pemelihara, Pengampun dosa, penerima penyembahan, dan setara dengan Allah Bapa dalam esensi dan kekuasaan. Kesaksian mereka adalah pilar utama bagi doktrin keilahian Kristus dalam kekristenan.

IV. Atribut dan Perbuatan Ilahi Yesus

Selain klaim langsung dan kesaksian para rasul, tindakan dan sifat-sifat yang ditunjukkan Yesus selama pelayanan-Nya di bumi juga secara meyakinkan menunjukkan bahwa Dia adalah Tuhan. Yesus memanifestasikan atribut-atribut yang secara tradisional hanya dikaitkan dengan Allah.

A. Atribut Kekuasaan Ilahi

B. Atribut Moral Ilahi

C. Perbuatan Penebusan yang Hanya Bisa Dilakukan Tuhan

D. Kesimpulan tentang Atribut dan Perbuatan Ilahi

Atribut-atribut kekuasaan, pengetahuan, kehadiran, kekekalan, dan kesempurnaan moral yang ditunjukkan Yesus, serta perbuatan-perbuatan seperti penciptaan, pemeliharaan, penebusan, dan penghakiman, semuanya adalah karakteristik yang hanya dimiliki oleh Tuhan. Yesus tidak hanya berbicara tentang menjadi Tuhan, tetapi Dia hidup, bertindak, dan berkuasa sebagai Tuhan dalam segala aspek.

V. Doktrin Teologis: Inkarnasi dan Tritunggal

Untuk memahami sepenuhnya mengapa Yesus disebut Tuhan, kita harus menyelami dua doktrin teologis fundamental dalam kekristenan: Inkarnasi dan Tritunggal. Kedua doktrin ini tidak hanya menjelaskan identitas Yesus, tetapi juga bagaimana Allah berinteraksi dengan ciptaan-Nya dan menyediakan keselamatan bagi umat manusia.

A. Inkarnasi: Allah Menjadi Manusia

Inkarnasi adalah doktrin bahwa Putra Allah yang kekal, Pribadi kedua dari Tritunggal, mengambil natur manusiawi dan menjadi manusia sejati dalam diri Yesus Kristus, tanpa kehilangan keilahian-Nya. Ini adalah misteri sentral iman Kristen. Yohanes 1:14 dengan jelas menyatakan: "Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran."

B. Tritunggal: Satu Allah dalam Tiga Pribadi

Doktrin Tritunggal adalah upaya untuk memahami bagaimana Allah itu Esa, namun eksis sebagai tiga Pribadi yang berbeda namun setara: Allah Bapa, Allah Anak (Yesus Kristus), dan Allah Roh Kudus. Doktrin ini tidak mengajarkan tiga Allah, melainkan satu Allah yang memiliki tiga Pribadi.

C. Kesimpulan tentang Inkarnasi dan Tritunggal

Doktrin Inkarnasi dan Tritunggal adalah pilar fundamental yang menjelaskan "bagaimana" Yesus bisa disebut Tuhan. Inkarnasi menjelaskan Dia sebagai Allah yang menjadi manusia untuk menyelamatkan kita, sementara Tritunggal menjelaskan Dia sebagai salah satu dari tiga Pribadi ilahi yang membentuk satu Allah yang kekal. Kedua doktrin ini bekerja bersama untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang identitas unik Yesus Kristus.

VI. Sejarah Gereja Awal dan Konsolidasi Doktrin Keilahian Kristus

Meskipun Perjanjian Baru telah dengan jelas menegaskan keilahian Yesus, pemahaman dan perumusan doktrin ini tidak terjadi tanpa pergumulan. Gereja awal menghadapi berbagai tantangan teologis dan filosofis yang memaksa mereka untuk merumuskan secara lebih presisi kepercayaan mereka tentang Yesus. Proses ini memuncak dalam berbagai konsili ekumenis yang menghasilkan kredo-kredo penting.

A. Tantangan Awal dan Perdebatan

Pada abad-abad awal kekristenan, muncul berbagai pandangan mengenai identitas Yesus yang seringkali menyimpang dari ajaran para rasul:

B. Kontroversi Arianisme dan Konsili Nicea (325 M)

Kontroversi yang paling signifikan dan meluas adalah Arianisme, yang dipromosikan oleh Arius, seorang presbiter dari Aleksandria. Arius mengajarkan bahwa:

Pandangan Arianisme ini secara efektif menolak keilahian penuh dan kekal Yesus. Jika Yesus adalah makhluk yang diciptakan, maka Dia tidak dapat menjadi Juruselamat yang ilahi, dan ibadah kepada-Nya akan menjadi penyembahan berhala.

Untuk mengatasi perdebatan ini, Kaisar Konstantinus Agung memanggil para uskup untuk berkumpul dalam Konsili Nicea pada tahun 325 M. Di bawah kepemimpinan Athanasius, seorang diaken yang kemudian menjadi Uskup Aleksandria, konsili ini menolak Arianisme dan menegaskan bahwa Yesus adalah "homoousios" (Yunani: ομοούσιος), yang berarti "sehakikat" atau "sehakekat" dengan Bapa. Kredo Nicea yang dihasilkan menyatakan:

"Kami percaya pada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah, yang diperanakkan dari Bapa, satu-satunya Anak, yaitu dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan, bukan dibuat, sehakekat dengan Bapa, yang melalui Dia segala sesuatu dijadikan, baik yang di surga maupun yang di bumi..."

Kredo ini secara tegas mengukuhkan keilahian penuh Yesus dan kekekalan-Nya sebagai bagian dari esensi ilahi yang sama dengan Bapa. Meskipun Arianisme tidak sepenuhnya hilang, Konsili Nicea meletakkan dasar bagi doktrin Ortodoks tentang keilahian Kristus.

C. Konsili Kalsedon (451 M) dan Doktrin Dua Natur Kristus

Setelah Nicea, perdebatan bergeser pada bagaimana keilahian dan kemanusiaan Yesus berhubungan satu sama lain. Muncul berbagai pandangan:

Untuk mengatasi kontroversi ini, Konsili Kalsedon diadakan pada tahun 451 M. Konsili ini menghasilkan definisi Kalsedon yang terkenal, yang menjadi formulasi definitif gereja tentang doktrin dua natur Kristus. Definisi ini menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah:

Dengan kata lain, Yesus adalah sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia, dan kedua natur ini bersatu secara sempurna dalam satu Pribadi ilahi tanpa saling mengurangi atau mengubah. Kalsedon mengukuhkan doktrin hipostasis yang telah disinggung dalam bagian Inkarnasi.

D. Signifikansi Historis

Konsili-konsili ini, terutama Nicea dan Kalsedon, sangat penting karena mereka:

E. Kesimpulan tentang Sejarah Gereja

Sejarah gereja awal adalah kesaksian atas pentingnya doktrin keilahian Kristus. Meskipun ada banyak perdebatan dan tantangan, gereja, yang dipimpin oleh Roh Kudus dan berpegang pada kesaksian Alkitab, secara konsisten menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang sejati, sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya manusia. Perumusan doktrin ini melalui konsili-konsili memberikan kejelasan dan fondasi yang kuat bagi iman Kristen.

VII. Implikasi Teologis dan Praktis dari Keilahian Yesus

Kepercayaan bahwa Yesus adalah Tuhan bukanlah sekadar detail teologis yang abstrak; ia memiliki implikasi yang mendalam dan mengubah hidup bagi setiap aspek iman Kristen, mulai dari keselamatan pribadi hingga ibadah dan etika.

A. Implikasi bagi Keselamatan (Soteriologi)

B. Implikasi bagi Ibadah dan Doa

C. Implikasi bagi Etika dan Kehidupan Kristen

D. Kesimpulan tentang Implikasi

Singkatnya, keilahian Yesus Kristus bukan hanya sebuah dogma, melainkan kebenaran yang transformatif. Tanpa keilahian-Nya, inti pesan Injil—keselamatan dari dosa, rekonsiliasi dengan Allah, dan harapan akan kehidupan kekal—akan runtuh. Kepercayaan bahwa Yesus adalah Tuhan adalah fondasi yang kokoh bagi iman, ibadah, dan kehidupan praktis setiap orang Kristen.

VIII. Menanggapi Pertanyaan Umum dan Kesalahpahaman

Pertanyaan tentang keilahian Yesus seringkali menimbulkan kesalahpahaman, terutama bagi mereka yang tidak akrab dengan terminologi teologis Kristen atau yang memiliki latar belakang agama lain. Penting untuk mengklarifikasi beberapa pertanyaan dan keberatan umum.

A. Jika Yesus Tuhan, Mengapa Dia Berdoa kepada Bapa?

Ini adalah pertanyaan yang sangat valid dan sering diajukan. Jawabannya terletak pada doktrin Inkarnasi dan Tritunggal. Sebagai Allah yang menjelma, Yesus memiliki dua natur yang sempurna: ilahi dan manusiawi. Ketika Yesus berdoa kepada Bapa, Dia melakukannya dalam natur manusiawi-Nya. Ini menunjukkan:

Dengan demikian, doa Yesus kepada Bapa adalah bukti sempurna dari kemanusiaan sejati-Nya dan sekaligus demonstrasi dari hubungan kekal dalam Tritunggal, bukan indikasi bahwa Dia lebih rendah dari Allah dalam esensi ilahi-Nya.

B. Jika Yesus Tuhan, Mengapa Dia Mengatakan "Bapa lebih besar dari Aku" (Yohanes 14:28)?

Pernyataan ini juga sering dikutip untuk menyangkal keilahian Yesus. Namun, seperti halnya doa-Nya, pernyataan ini harus dipahami dalam konteks inkarnasi dan peran fungsional dalam Tritunggal:

Jadi, pernyataan "Bapa lebih besar dari Aku" mengacu pada perbedaan peran dalam rencana keselamatan dan kerendahan hati Yesus dalam inkarnasi-Nya, bukan pada perbedaan dalam esensi atau keilahian. Kredo Nicea dengan jelas menyatakan bahwa Dia "sehakekat dengan Bapa," yang berarti mereka berbagi natur ilahi yang sama.

C. Bukankah Monoteisme Berarti Hanya Ada Satu Allah, Bukan Tiga?

Kekristenan secara tegas adalah agama monoteistik. Doktrin Tritunggal tidak mengajarkan tiga Allah, melainkan satu Allah dalam tiga Pribadi yang berbeda. Ini adalah misteri ilahi yang melampaui pemahaman manusia sepenuhnya, tetapi Alkitab menyaksikannya secara konsisten.

Oleh karena itu, Tritunggal adalah pemahaman tentang keesaan Allah yang kaya dan kompleks, bukan pelanggaran terhadap monoteisme. Ini adalah cara Allah menyatakan diri-Nya dalam hubungan dan penebusan.

D. Jika Yesus Tuhan, Apakah Dia Mengetahui Segala Sesuatu Selama di Bumi?

Ini terkait dengan misteri dua natur Yesus. Sebagai Allah, Dia adalah Mahatahu. Namun, dalam kemanusiaan-Nya dan dalam kerangka inkarnasi-Nya, Dia secara sukarela menerima batasan-batasan manusiawi. Misalnya, Markus 13:32 menyatakan, "Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di surga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa saja."

Jadi, Yesus Mahatahu sebagai Allah, tetapi dalam kemanusiaan-Nya, Dia memilih untuk mengalami pertumbuhan dalam hikmat dan pengetahuan, seperti manusia sejati, dalam batasan yang ditetapkan oleh Bapa untuk misi-Nya.

E. Kesimpulan tentang Pertanyaan Umum

Pertanyaan-pertanyaan ini menyoroti kompleksitas dan kedalaman doktrin keilahian Yesus. Jawaban-jawabannya selalu bermuara pada pemahaman yang tepat tentang Inkarnasi—Yesus adalah sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia—dan Tritunggal—Allah yang Esa eksis sebagai tiga Pribadi yang berbeda namun setara. Mempertimbangkan semua aspek ini akan membantu menjawab keraguan dan memperkuat pemahaman iman.

IX. Kesimpulan: Batu Penjuru Iman Kristen

Perjalanan kita dalam menggali alasan "kenapa Yesus disebut Tuhan" telah membawa kita melalui lanskap yang luas dari nubuat Perjanjian Lama, klaim-klaim provokatif yang dibuat oleh Yesus sendiri, kesaksian-kesaksian penuh keyakinan dari para rasul, manifestasi atribut dan perbuatan ilahi yang tak tertandingi, perumusan doktrin oleh gereja awal, hingga implikasi praktis bagi kehidupan setiap orang percaya. Jelaslah bahwa pengakuan terhadap Yesus sebagai Tuhan bukanlah sebuah inovasi yang sembarangan atau hasil rekayasa manusia, melainkan sebuah kebenaran yang berakar kuat dalam Kitab Suci dan dikonfirmasi oleh sejarah serta pengalaman iman.

Dari lembaran-lembaran Perjanjian Lama, kita melihat bayangan Mesias yang melampaui ekspektasi manusiawi, seorang yang akan membawa gelar-gelar ilahi dan yang pra-eksistensi-Nya sudah ada sejak dahulu kala. Penampakan "Malaikat TUHAN" bahkan mengisyaratkan kehadiran ilahi Putra sebelum inkarnasi-Nya. Ini semua mempersiapkan panggung bagi kedatangan-Nya.

Ketika Yesus datang, Dia tidak menyisakan keraguan tentang identitas-Nya. Klaim-klaim-Nya seperti "Aku dan Bapa adalah satu," "sebelum Abraham ada, Aku telah ada," dan otoritas-Nya untuk mengampuni dosa atau menjadi "Tuan atas hari Sabat" secara konsisten menunjukkan bahwa Dia memandang diri-Nya sebagai setara dengan Allah. Reaksi keras dari para pemimpin Yahudi pada zaman-Nya justru menjadi bukti kuat bahwa mereka memahami implikasi ilahi dari klaim-klaim-Nya.

Para rasul, setelah menyaksikan kehidupan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus, serta setelah menerima pencurahan Roh Kudus, dengan yakin dan tanpa kompromi memberitakan bahwa Yesus adalah Tuhan. Dari pengakuan Thomas yang spontan, "Ya Tuhanku dan Allahku!", hingga teologi Kristus yang kaya dalam surat-surat Paulus yang menyebut Yesus sebagai Pencipta, Pemelihara, dan "Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita," Alkitab Perjanjian Baru secara monolitik menegaskan keilahian-Nya. Kitab Wahyu memahkotai Yesus dengan gelar-gelar seperti "Alfa dan Omega," yang secara eksklusif milik Tuhan Yang Mahakuasa.

Atribut-atribut kekuasaan, pengetahuan, kehadiran, kekekalan, dan kesempurnaan moral yang hanya bisa dimiliki oleh Allah, semuanya terwujud dalam pribadi Yesus. Mukjizat-mukjizat-Nya atas alam, penyakit, dan bahkan kematian adalah tanda-tanda kekuasaan ilahi. Peran-Nya sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Hakim akhir memperkuat status-Nya sebagai Tuhan.

Secara teologis, doktrin Inkarnasi menjelaskan "bagaimana" Allah yang kekal bisa menjadi manusia tanpa mengurangi keilahian-Nya, sebuah misteri yang memungkinkan penebusan dan wahyu ilahi. Sementara itu, doktrin Tritunggal menjelaskan "bagaimana" Yesus dapat menjadi Tuhan sambil tetap menjaga keesaan Allah, sebagai Pribadi kedua dari Allah yang Esa.

Sejarah gereja awal, dengan segala pergolakan dan perdebatan melawan bidat-bidat seperti Arianisme, menunjukkan betapa krusialnya doktrin keilahian Kristus bagi integritas iman. Konsili-konsili seperti Nicea dan Kalsedon tidak menciptakan doktrin ini, melainkan mengartikulasikan dan melindunginya dari penafsiran yang menyimpang, memastikan bahwa gereja memegang teguh kebenaran tentang Yesus sebagai "Allah sejati dari Allah sejati."

Akhirnya, implikasi dari keilahian Yesus Kristus meluas ke setiap aspek kehidupan dan iman. Keilahian-Nya menjadikan korban-Nya di kayu salib cukup untuk menyelamatkan kita, doa-doa kita dalam nama-Nya berkuasa, dan harapan kita akan kehidupan kekal memiliki dasar yang kokoh. Dia layak menerima penyembahan kita dan memiliki otoritas mutlak atas hidup kita.

Oleh karena itu, bagi umat Kristen, menyebut Yesus sebagai Tuhan bukanlah sekadar tradisi atau gelar kehormatan, melainkan inti dari iman, kebenaran fundamental yang mendefinisikan siapa Allah itu, siapa manusia itu, dan bagaimana keselamatan itu mungkin. Ia adalah batu penjuru yang di atasnya seluruh bangunan iman Kristen berdiri teguh.

🏠 Homepage