Pertanyaan fundamental mengenai mengapa Yesus dari Nazaret harus berakhir di kayu salib merupakan inti sentral dari seluruh ajaran Kristen. Peristiwa penyaliban bukanlah sekadar tragedi historis atau hukuman yang keliru, melainkan sebuah titik kulminasi dari rencana ilahi yang telah dirancang sejak awal penciptaan. Untuk memahami kedalaman peristiwa ini, kita harus menyelaminya melalui tiga lensa utama: lensa historis-politik, lensa teologis-soteriologis (doktrin keselamatan), dan lensa nubuat.
Tindakan penyaliban—sebuah metode hukuman Romawi yang paling brutal dan memalukan—menawarkan jawaban yang kompleks. Secara permukaan, Yesus disalib karena dianggap sebagai ancaman politik oleh Kekaisaran Romawi dan ancaman agama oleh otoritas Yahudi. Namun, di bawah permukaan peristiwa manusiawi ini, terbentang makna rohani yang jauh lebih agung: pemenuhan janji penebusan universal bagi umat manusia yang jatuh dalam dosa.
Peristiwa yang mengarah pada penyaliban terjadi di tengah-tengah situasi sosial dan politik yang sangat tegang di Yudea. Wilayah tersebut berada di bawah pendudukan Kekaisaran Romawi, dan rakyat Yahudi mendambakan seorang Mesias yang akan membebaskan mereka secara fisik dari cengkeraman penjajah. Konflik ini menciptakan situasi yang berbahaya bagi siapa pun yang mengklaim otoritas, terutama otoritas kerajaan.
Penyaliban adalah hukuman yang secara eksklusif diperuntukkan bagi budak, pemberontak, perampok, dan mereka yang dianggap melakukan penghasutan (sedition) terhadap kekaisaran. Hukuman ini bertujuan ganda: untuk melenyapkan ancaman dan untuk memberikan pelajaran mengerikan kepada siapa pun yang berani menantang Pax Romana (Kedamaian Romawi). Meskipun klaim Yesus bahwa Dia adalah Raja bukan berasal dari dunia ini, label yang dipakukan di atas salib-Nya—INRI (Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum, Yesus Orang Nazaret Raja Orang Yahudi)—dengan jelas menunjukkan bahwa tuduhan resmi Romawi adalah penghasutan politik.
Gubernur Pontius Pilatus, meskipun merasa Yesus tidak bersalah atas kejahatan politik, berada di bawah tekanan besar. Tugas utamanya adalah menjaga stabilitas. Jika ia membiarkan seseorang yang diklaim sebagai 'Raja Yahudi' bebas, Pilatus berisiko dituduh tidak setia kepada Kaisar Tiberius, yang dapat mengakhiri karier atau bahkan nyawanya. Oleh karena itu, Pilatus memilih stabilitas politik jangka pendek dan meredam protes publik dengan menyerahkan Yesus untuk disalibkan, meskipun ia secara simbolis mencuci tangan dari tanggung jawab moralnya.
Di pihak pemimpin agama Yahudi, khususnya Sanhedrin (Mahkamah Agama) yang dipimpin oleh Imam Besar Kayafas, ancaman Yesus bersifat teologis dan otoritatif. Yesus menantang tradisi lisan, mengklaim otoritas untuk mengampuni dosa (yang hanya merupakan hak prerogatif Allah), dan berani menyebut Bait Suci sebagai 'rumah perampok.' Puncak kemarahan mereka terjadi ketika Yesus dengan jelas menjawab pertanyaan Imam Besar, "Apakah Engkau Mesias, Anak dari Yang Diberkati?" dengan jawaban afirmatif.
Bagi Sanhedrin, klaim keilahian Yesus merupakan tindakan yang tidak dapat diterima, yaitu menghujat (blasphemy). Di mata mereka, Yesus adalah seorang penyesat yang layak dihukum mati sesuai dengan Hukum Musa. Mereka menggunakan tuduhan agama ini sebagai alat untuk memanipulasi otoritas Romawi, mengubah tuduhan penghujatan menjadi tuduhan politik (klaim Raja) sehingga Pilatus terpaksa mengambil tindakan.
Jika konteks historis menjelaskan *bagaimana* dan *oleh siapa* Yesus disalibkan, maka teologi menjelaskan *mengapa* hal itu harus terjadi. Inti dari Kekristenan terletak pada pengakuan bahwa penyaliban adalah tindakan penyelamatan ilahi, yang dikenal sebagai Penebusan (Atonement).
Menurut pandangan teologis, jurang pemisah antara Allah yang Mahakudus dan manusia yang jatuh dalam dosa (kejatuhan manusia di Taman Eden) terlalu besar untuk dijembatani oleh upaya manusia semata. Dosa, dalam teologi, bukanlah sekadar kesalahan, melainkan pelanggaran terhadap karakter Allah yang sempurna. Konsekuensi dari pelanggaran ini adalah maut—keterpisahan rohani dari Allah.
Allah bersifat adil; Dia harus menghukum dosa. Pada saat yang sama, Allah bersifat kasih; Dia ingin menyelamatkan manusia ciptaan-Nya. Salib adalah titik temu yang paradoks antara Keadilan dan Kasih Allah. Jika dosa diabaikan, Keadilan Allah tercemar. Jika manusia dihukum secara permanen, Kasih Allah tidak terwujud.
Konsep Penebusan menyatakan bahwa hukuman yang seharusnya ditanggung oleh setiap manusia karena dosanya, ditimpakan kepada Yesus Kristus, Sang Anak Allah yang tidak berdosa. Ini adalah inti dari doktrin Penggantian Hukuman (Substitutionary Atonement).
Keagungan dari rencana ini terletak pada kenyataan bahwa hanya Pribadi yang sempurna dan ilahi yang dapat memberikan kurban yang nilainya tak terbatas, cukup untuk menebus seluruh dosa umat manusia di sepanjang zaman. Kurban-kurban hewan dalam Perjanjian Lama hanya bersifat sementara dan simbolis; kurban Yesus bersifat final dan definitif.
Tradisi Yudaisme kuno berpusat pada sistem kurban yang dilakukan oleh para imam di Bait Suci. Setiap kurban adalah pengingat bahwa dosa menuntut pertumpahan darah. Yesus disalibkan untuk menggenapi dan mengakhiri sistem kurban ini. Ia berperan ganda:
Salib adalah mezbah kekal. Ketika Yesus berseru, "Sudah Selesai," itu bukan seruan kekalahan, melainkan deklarasi kemenangan bahwa harga penebusan telah dibayar lunas. Ikatan utang dosa yang memisahkan manusia dari Penciptanya telah dilunasi sepenuhnya melalui darah-Nya.
Salib berfungsi sebagai jembatan yang mengatasi permusuhan antara Allah dan manusia yang disebabkan oleh dosa. Melalui kematian Kristus, pendamaian (rekonsiliasi) terjadi. Manusia yang tadinya berada dalam status musuh Allah, kini diberi kesempatan untuk menjadi anak-anak Allah.
Mekanisme pendamaian ini menuntut kesediaan Allah untuk menanggung murka-Nya sendiri atas dosa, dan Ia menanggungnya dalam diri Anak-Nya. Ini memastikan bahwa meskipun Allah tetap menjunjung tinggi standar keadilan-Nya, Ia juga dapat menawarkan pengampunan berdasarkan kasih karunia, yang diterima melalui iman.
Dalam pemahaman teologis yang mendalam, penyaliban bukanlah kegagalan Mesias, tetapi justru pekerjaan Mesias yang paling penting. Jika Yesus tidak wafat, Ia hanya akan menjadi seorang guru moral atau nabi yang hebat; namun, karena Ia wafat dan bangkit, Ia adalah Juru Selamat.
Salah satu aspek terpenting dari mengapa Yesus disalibkan adalah bahwa peristiwa tersebut bukanlah kejutan atau kecelakaan, melainkan rencana ilahi yang telah ditetapkan sejak kekekalan dan dinubuatkan secara rinci dalam Kitab Suci Ibrani (Perjanjian Lama).
Kedaulatan Allah (God's Sovereignty) memainkan peran kunci. Tindakan Yudas mengkhianati, Sanhedrin mendakwa, dan Pilatus menghukum, semuanya terjadi dalam kerangka kehendak bebas manusia, namun ironisnya, semua itu melayani tujuan tertinggi Allah. Rasul Petrus menegaskan hal ini dalam khotbahnya: "Dia [Yesus], diserahkan oleh ketetapan dan pengetahuan sebelumnya dari Allah, telah kamu salibkan dan bunuh dengan tangan orang-orang durhaka." (Kisah Para Rasul 2:23).
Penyaliban adalah kejahatan terbesar yang dilakukan manusia, tetapi pada saat yang sama, ia adalah kebajikan terbesar yang diizinkan oleh Allah. Ini adalah paradoks yang menunjukkan bagaimana Allah dapat menggunakan kejahatan manusia untuk mencapai tujuan penebusan-Nya.
Nubuat yang paling jelas mengenai alasan penderitaan Yesus ditemukan dalam Kitab Yesaya, khususnya Yesaya 53, yang menggambarkan ‘Hamba yang Menderita’ (The Suffering Servant). Pasal ini merinci penderitaan Kristus dengan akurasi yang menakjubkan, jauh sebelum penyaliban ditemukan sebagai metode hukuman Romawi:
Yesaya 53 secara eksplisit menyatakan bahwa penderitaan dan kematian Hamba tersebut adalah untuk tujuan penebusan pengganti: “Tuhan telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian” (Yesaya 53:6). Kematian Kristus adalah harga yang dituntut oleh keadilan Allah untuk memungkinkan pengampunan bagi manusia berdosa.
Penggenapan nubuat ini, termasuk detail kecil seperti pembagian pakaian-Nya (Mazmur 22:18), dahaga-Nya (Mazmur 22:15), dan penusukan lambung-Nya (Zakharia 12:10), menunjukkan bahwa penyaliban bukanlah peristiwa acak, melainkan skenario yang telah dituliskan dalam lembaran sejarah ilahi ribuan tahun sebelumnya.
Untuk memahami mengapa kematian di kayu salib begitu penting, kita harus mempertimbangkan bukan hanya kematian itu sendiri, tetapi juga sifat dari penderitaan yang diderita oleh Yesus—baik secara fisik maupun spiritual.
Penyaliban adalah proses yang dirancang untuk memperpanjang rasa sakit dan penghinaan hingga batas maksimal. Selain dicambuk (flagrum) yang merobek kulit dan otot, penderitaan di kayu salib meliputi:
Kematian Yesus harus nyata dan definitif untuk memastikan validitas kurban penebusan. Kerelaan Kristus menanggung penderitaan fisik yang ekstrem ini menunjukkan kasih yang tak terbatas dan totalitas kurban-Nya.
Penderitaan Kristus yang paling mendalam bukanlah cambukan atau paku, melainkan saat Ia menanggung murka Allah atas dosa seluruh dunia. Saat itu, Yesus, yang adalah Allah yang tidak pernah terpisah dari Bapa, mengalami keterpisahan spiritual yang mengerikan. Inilah makna dari seruan-Nya: "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?"
Pada momen itu, Yesus menjadi 'Dosa' itu sendiri di mata Allah yang Mahakudus. Keadilan Allah menuntut agar dosa dihukum dengan pemisahan, dan Yesus menanggung pemisahan itu, sehingga umat manusia yang percaya tidak perlu mengalaminya. Ini adalah inti dari penebusan, di mana Anak Allah yang tanpa dosa diizinkan menjadi objek murka ilahi demi orang berdosa.
Sepanjang sejarah Kekristenan, para teolog telah mengembangkan berbagai cara untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa kematian Yesus di kayu salib mencapai keselamatan. Meskipun semua model mengakui peran salib, mereka menekankan aspek yang berbeda dari pekerjaan Kristus:
Ini adalah model yang paling dominan dalam teologi Protestan dan paling dekat dengan penjelasan Yesaya 53. Teori ini berakar pada kebutuhan Keadilan Ilahi. Karena dosa melanggar kehormatan dan hukum Allah, hukuman harus dipenuhi. Yesus, sebagai pengganti yang tidak berdosa, menanggung hukuman (murka) ilahi yang seharusnya diterima oleh manusia. Dengan demikian, Keadilan Allah terpenuhi, memungkinkan pengampunan berdasarkan kurban yang sempurna.
Model ini menekankan bahwa Salib adalah medan pertempuran di mana Kristus meraih kemenangan atas musuh-musuh spiritualitas manusia: Dosa, Maut, dan Iblis. Kematian di kayu salib adalah umpan; tampaknya Iblis telah menangkap Yesus, tetapi kebangkitan menunjukkan bahwa Iblis telah tertipu dan kekuasaannya dipatahkan. Yesus disalibkan untuk "melucuti kekuasaan pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa," mengalahkan mereka melalui salib (Kolose 2:15).
Teori ini berfokus pada kasih Allah yang diungkapkan melalui salib. Yesus disalibkan untuk menunjukkan kedalaman kasih Allah kepada manusia. Kematian-Nya seharusnya menggerakkan hati orang berdosa untuk bertobat dan merespons dengan kasih. Dalam model ini, salib berfungsi terutama sebagai teladan yang memotivasi perubahan moral internal, bukan sebagai pembayaran hukuman legal.
Model ini, yang populer di gereja awal, memandang manusia sebagai budak Iblis akibat Dosa. Kematian Kristus adalah harga tebusan yang dibayarkan kepada Iblis untuk membebaskan tawanan manusia. Meskipun konsep tebusan ini kemudian dimodifikasi (karena Allah tidak 'berhutang' kepada Iblis), fokusnya adalah pada pembebasan dari perbudakan kekuasaan gelap.
Teori ini mengemukakan bahwa salib adalah demonstrasi publik tentang betapa seriusnya dosa di mata Allah yang adalah Penguasa alam semesta. Yesus tidak harus menanggung hukuman penuh untuk setiap dosa individu, tetapi kematian-Nya menunjukkan kepada seluruh alam semesta bahwa hukum Allah tidak bisa dilanggar tanpa konsekuensi. Kematian-Nya menjaga kehormatan hukum Allah sementara Allah tetap dapat memberikan pengampunan.
Alasan fundamental mengapa Yesus disalibkan meluas jauh melampaui kebutuhan individu untuk diselamatkan; ini melibatkan pemulihan seluruh tatanan kosmik.
Dosa tidak hanya merusak hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga merusak alam semesta secara keseluruhan. Kitab Suci mengajarkan bahwa melalui Kristus, segala sesuatu di sorga maupun di bumi didamaikan dengan Allah, setelah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus (Kolose 1:20). Penyaliban adalah bagian dari proses pemulihan alam semesta yang lebih besar menuju kebaruan eskatologis.
Salib menetapkan standar tertinggi dari kasih tanpa pamrih (Agape). Rasul Yohanes menulis bahwa "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita." (1 Yohanes 4:10). Kematian Kristus adalah tindakan tertinggi dari kemurahan hati yang melampaui pemahaman manusia, menunjukkan bahwa kasih sejati adalah kesediaan untuk menyerahkan segalanya demi kepentingan orang lain.
Ada beberapa pandangan yang mencoba mengecilkan atau meniadakan makna teologis dari salib, namun pandangan-pandangan ini gagal menjelaskan keseluruhan narasi Kitab Suci dan klaim Kristus sendiri.
Sebagian sejarawan sekuler berpendapat bahwa Yesus hanyalah seorang aktivis politik yang gagal, yang dihukum mati oleh Roma karena dianggap mengancam kedamaian. Walaupun Yesus memang dihukum karena alasan politik (klaim Raja), pandangan ini gagal menjelaskan bagaimana pengikut-Nya, yang awalnya kecewa dan ketakutan, tiba-tiba diubah menjadi pemberita yang berani setelah kebangkitan. Lebih penting lagi, ia mengabaikan klaim-klaim Yesus tentang tujuan-Nya datang, yaitu "untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:45).
Beberapa kritik terhadap Teori Penggantian Hukuman menyatakan bahwa Allah yang penuh kasih tidak akan menuntut pembayaran darah atau kurban kekerasan. Namun, pandangan ini seringkali meremehkan betapa seriusnya dosa dalam kaitannya dengan kekudusan Allah. Keadilan ilahi tidak boleh dianggap remeh. Allah tidak menginginkan kekerasan demi kekerasan, tetapi Dia mengharuskan adanya tindakan yang secara sempurna memuaskan tuntutan keadilan-Nya, dan karena kasih-Nya, Dia sendiri yang menyediakan jalan tersebut dalam diri Kristus.
Agar keutuhan artikel ini mencapai kedalaman yang diperlukan, kita perlu membedah lebih jauh konsep fundamental: mengapa kurban tunggal Yesus ini, dan bukan kurban lain, merupakan kebutuhan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar.
Sistem kurban dalam Taurat (Hukum Musa) berfungsi sebagai bayangan dari hal-hal yang akan datang. Setiap tahun, Imam Besar harus memasuki Ruang Mahakudus dan mempersembahkan darah untuk penebusan dosa umat. Meskipun ritual ini penting, ada kekurangan inheren:
Yesus, yang adalah Allah yang menjadi manusia (inkarnasi), menawarkan kurban yang unik. Kemanusiaan-Nya memungkinkan-Nya mati sebagai pengganti kita, dan Keilahian-Nya memberikan kurban itu nilai kekal yang tak terbatas, mengakhiri siklus pengulangan kurban.
Teologi Kristen mengajarkan bahwa manusia tidak hanya berdosa melalui tindakan, tetapi juga mewarisi sifat dosa dari Adam (Dosa Warisan). Ini berarti bahwa setiap orang dilahirkan dalam keadaan keterpisahan dari Allah, membutuhkan penebusan sejak lahir.
Oleh karena itu, penebusan haruslah sebuah tindakan radikal yang mengubah status ontologis (keberadaan) manusia, bukan hanya mengampuni kejahatan yang dilakukan. Kematian Yesus menghasilkan 'pertukaran besar'—dosa kita dipindahkan kepada-Nya, dan kebenaran-Nya dipindahkan kepada kita. Ini adalah dasar dari doktrin pembenaran (Justification) melalui iman.
Penyaliban Yesus bukan hanya tentang menunjukkan kasih, tetapi juga tentang menegaskan bahwa Hukum Allah—standar kekudusan-Nya—adalah kekal dan tak terlanggar. Jika Allah hanya mengatakan, "Saya maafkan saja," tanpa adanya pembayaran utang, itu berarti Hukum-Nya tidak berharga dan Keadilan-Nya dapat dikompromikan.
Salib menunjukkan dua hal yang luar biasa: betapa mengerikannya dosa (membutuhkan kurban Anak Allah) dan betapa besarnya kasih Allah (Dia rela memberikan Anak-Nya). Jika ada cara lain yang lebih mudah bagi Allah untuk mengampuni dan mendamaikan manusia tanpa mengorbankan Anak-Nya, Dia pasti sudah melakukannya. Perjuangan Yesus di Getsemani—"Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripada-Ku"—menegaskan bahwa jalan salib adalah satu-satunya jalan.
Mengapa Yesus harus mati dengan cara yang begitu mengerikan dan memalukan? Mengapa tidak mati secara damai atau dengan metode eksekusi yang lebih terhormat?
Kitab Ulangan menyatakan: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu" (Ulangan 21:23). Rasul Paulus menjelaskan dalam Galatia 3:13 bahwa Kristus menebus kita dari kutuk Hukum Taurat dengan menjadi kutuk bagi kita. Yesus harus mati dengan cara yang memikul kutukan ilahi—digantung di kayu—agar kutukan yang seharusnya menimpa kita dapat dipindahkan sepenuhnya kepada-Nya.
Kematian di kayu salib adalah kematian yang paling memalukan, di mana korban diekspos dalam keadaan telanjang. Hal ini memastikan bahwa Yesus menanggung bukan hanya penderitaan fisik tetapi juga penghinaan total dan pemutusan hubungan sosial—menjadi 'yang dikutuk' secara sempurna.
Hukum Perjanjian Lama menetapkan bahwa tanpa penumpahan darah, tidak ada pengampunan dosa (Ibrani 9:22). Penyaliban, melalui cambukan, mahkota duri, paku, dan tombak, memastikan pertumpahan darah yang maksimal dan sah sebagai kurban penebusan. Darah Kristus, sebagai darah kurban Perjanjian Baru yang sempurna, adalah meterai dari perjanjian abadi antara Allah dan manusia.
Alasan penyaliban Yesus memiliki resonansi yang meluas, mengubah peradaban, konsep keadilan, dan pandangan manusia terhadap penderitaan.
Penyaliban membalikkan konsep kekuatan yang berlaku di dunia. Bagi Romawi, salib adalah lambang kekalahan dan kelemahan. Bagi Kekristenan, salib adalah lambang kekuatan tertinggi Allah yang diwujudkan melalui kerendahan hati dan penderitaan. Kekuatan Allah tidak terlihat dalam dominasi militer (seperti yang diharapkan orang Yahudi), melainkan dalam kurban diri yang total. Ini adalah konsep ‘hikmat salib’ yang bagi dunia dianggap sebagai kebodohan.
Melalui salib, penderitaan diangkat ke level teologis. Penderitaan Yesus tidak sia-sia; itu memiliki tujuan penebusan. Hal ini memberikan makna bagi penderitaan manusia. Ketika umat manusia menghadapi kesusahan, mereka tidak melakukannya sendirian, tetapi dalam solidaritas dengan Kristus yang juga menderita. Penderitaan menjadi jalan, bukan akhir, dan merupakan bagian dari proses pemurnian dan penebusan.
Salib juga berfungsi sebagai alat persatuan. Yesus disalibkan di bawah tuduhan yang berasal dari tiga kelompok: Sanhedrin (Yahudi), Pilatus (Romawi/pemerintahan), dan massa (umum). Dengan menanggung hukuman dari semua pihak, salib menjadi titik temu di mana semua hambatan, baik antara Yahudi dan non-Yahudi (bangsa-bangsa lain), maupun antara manusia dan Allah, dirobohkan.
Dalam Yesus, tidak ada lagi perbedaan antara budak dan orang merdeka, Yahudi dan Yunani, karena semua diselamatkan melalui kurban yang sama. Inilah alasan mendalam bagi salib: untuk menciptakan satu umat yang ditebus, dipersatukan di bawah Kepala mereka, yaitu Kristus.
Penting untuk dicatat bahwa alasan mengapa Yesus disalibkan tidak dapat dipisahkan dari alasan mengapa Ia dibangkitkan. Kematian dan Kebangkitan adalah dua sisi dari satu misi penebusan.
Jika Yesus hanya mati, kita hanya punya martir yang gagal memenuhi Hukum. Tetapi Kebangkitan adalah bukti dari Bapa bahwa kurban Anak-Nya telah diterima secara sempurna. Kebangkitan memvalidasi klaim-klaim Yesus tentang keilahian-Nya dan menunjukkan bahwa Ia telah berhasil mengalahkan maut, konsekuensi akhir dari dosa.
Penyaliban menyediakan pengampunan; Kebangkitan menyediakan hidup kekal dan pembenaran. Manusia dibenarkan bukan hanya karena Yesus mati untuk dosa kita, tetapi karena Ia bangkit kembali untuk pembenaran kita (Roma 4:25). Kebangkitan adalah jaminan bahwa mereka yang percaya kepada kurban salib juga akan dibangkitkan kepada hidup yang baru.
Pertanyaan "kenapa Yesus disalib?" pada akhirnya dijawab dengan satu kata: Kasih. Ini adalah kasih yang rela menaati Keadilan, kasih yang rela menanggung kehinaan, dan kasih yang diwujudkan dalam pengorbanan tertinggi.
Penyaliban adalah realitas historis yang tragis, sebuah persekongkolan antara kekuatan politik dan agama. Namun, dalam kerangka rencana ilahi, ia adalah strategi ilahi yang sempurna, titik balik kosmik, di mana utang dosa dilunasi, Hukum ditegakkan, dan pintu menuju pendamaian dengan Pencipta terbuka lebar. Salib berdiri sebagai monumen kekal dari kebenaran bahwa keselamatan tidak didapatkan melalui usaha manusia, melainkan melalui anugerah yang diterima melalui iman pada kurban sempurna Yesus Kristus.
Tidak ada aspek kehidupan atau iman Kristen yang dapat dipahami sepenuhnya tanpa merenungkan kedalaman makna dari kayu salib itu. Di sana, di antara langit dan bumi, Anak Allah menanggung beban yang tak terbayangkan agar manusia dapat memperoleh kesempatan untuk kembali kepada rumah Bapa yang penuh kasih.