Menjaga Kebersihan Diri sebagai Bagian Tak Terpisahkan dari Keimanan (Fitrah)
Dalam ajaran Islam, kebersihan bukan hanya sekadar urusan fisik, melainkan sebuah dimensi spiritual yang dikenal dengan istilah fitrah. Fitrah, secara harfiah berarti 'sifat dasar' atau 'kemurnian', merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang dianut oleh para nabi dan selaras dengan naluri murni manusia yang lurus. Memotong kuku adalah salah satu dari sepuluh perkara yang termasuk dalam fitrah ini.
Kuku yang panjang dapat menjadi tempat bersarangnya kuman dan kotoran. Dalam konteks ibadah, kotoran di bawah kuku, jika menghalangi air sampai ke kulit saat wudu atau mandi wajib, dapat mempengaruhi keabsahan thaharah (bersuci). Oleh karena itu, memotong kuku secara rutin adalah perintah kebersihan dan syarat kesempurnaan ibadah.
Alt Text: Simbol Tangan Bersih, Melambangkan Fitrah dan Kesucian.
Frekuensi potong kuku yang dianjurkan dalam Islam adalah tidak melebihi empat puluh hari. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik RA: "Kami diberi batas waktu untuk memotong kuku, mencukur bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan memotong kumis, agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh malam." Meskipun demikian, para ulama menyepakati bahwa idealnya kuku dipotong setidaknya sekali seminggu, khususnya pada hari yang memiliki keutamaan.
Secara umum, memotong kuku dihukumi Mustahab (dianjurkan) atau Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Meninggalkannya hingga kuku menjadi sangat panjang dan kotor adalah makruh tanzih (dibenci tapi tidak sampai haram), dan jika dibiarkan hingga melewati batas 40 hari, sebagian ulama berpendapat bahwa hal tersebut mendekati haram atau sangat dilarang, karena melanggar batasan waktu yang ditetapkan dalam hadits.
Meskipun diperbolehkan memotong kuku kapan saja, hari yang paling utama untuk melaksanakan sunnah ini adalah Hari Jumat. Tujuannya adalah untuk bersuci dan memperindah diri sebelum melaksanakan shalat Jumat, yang merupakan hari raya mingguan umat Islam. Para ulama dari Madzhab Syafi’i dan Hanbali sangat menganjurkan memotong kuku pada hari ini, bersamaan dengan mandi, bersiwak, dan memakai wewangian.
Dalam kondisi tertentu, memotong kuku dapat berubah menjadi wajib. Ini terjadi ketika kuku tersebut sudah sangat panjang sehingga menahan kotoran (wasakh) di bawahnya, yang mana kotoran tersebut menghalangi air sampai ke kulit saat berwudu atau mandi wajib (ghusl). Jika thaharah seseorang terhalang, maka wajib baginya menghilangkan penghalang tersebut, termasuk memotong kuku.
Bagian terpenting dari sunnah memotong kuku adalah mengenai urutan jari. Walaupun tidak ada hadits yang secara eksplisit menyatakan urutan yang baku dan mutlak untuk tangan, para ulama telah menyusun beberapa metode yang berlandaskan pada prinsip mendahulukan yang kanan (Tayamun) dan mengikuti praktik yang diriwayatkan dari beberapa sahabat.
Urutan ini sering dianggap sebagai yang paling utama (afdhal) karena menerapkan prinsip memulai dari kanan dan mengakhirinya di jari yang lebih besar, atau mengikuti pola putaran yang sistematis. Urutan yang sering diajarkan adalah:
Setelah selesai dengan tangan kanan, pindah ke tangan kiri. Urutan tangan kiri dimulai dari jari kelingking hingga jari jempol, secara berurutan.
Total: 10 jari selesai. Urutan ini dikenal sebagai urutan yang mengalir atau muwallah, di mana setiap jari memiliki giliran yang jelas.
Sebagian ulama, khususnya dalam riwayat tertentu di Madzhab Hanbali, berpendapat bahwa mendahulukan yang kanan haruslah dimulai dari jari yang paling mulia, yaitu jempol, lalu mengalir ke kelingking, kemudian pindah ke tangan kiri dimulai dari jempol hingga kelingking. Meskipun ini adalah pandangan minoritas, ia tetap dianggap sah.
Imam An-Nawawi, seorang ulama besar Madzhab Syafi'i, menyatakan bahwa meskipun urutan di atas adalah yang paling dianjurkan, jika seseorang memotong kukunya tanpa mengikuti urutan tersebut (misalnya, memotong secara acak atau mendahulukan tangan kiri), potongannya tetap sah dan dia telah melaksanakan sunnah memotong kuku. Urutan hanyalah masalah keutamaan (afdhaliyah), bukan syarat sah.
Berbeda dengan kuku tangan yang memiliki beberapa pendapat urutan, para ulama lebih sepakat mengenai urutan pemotongan kuku kaki. Prinsip dasarnya adalah memulai dari anggota tubuh yang kanan, bergerak dari luar ke dalam (dari kelingking menuju jempol), dan mengakhirinya di kaki kiri, bergerak dari dalam ke luar (dari jempol menuju kelingking).
Dimulai dari jari kelingking kanan, bergerak ke arah dalam hingga berakhir di ibu jari (jempol) kaki kanan.
Dimulai dari ibu jari (jempol) kaki kiri, bergerak ke arah luar hingga berakhir di jari kelingking kaki kiri.
Alt Text: Ilustrasi Alat Pemotong Kuku (Nail Clipper).
Dianjurkan menggunakan alat yang tajam dan bersih, seperti pemotong kuku modern atau gunting kecil. Pastikan pemotongan dilakukan dengan rapi, menghindari pemotongan terlalu dalam yang dapat melukai kulit (cantengan). Kuku harus dipotong hingga bagian putihnya hilang, namun tidak sampai menyentuh bagian daging merah.
Dalam Islam, kuku yang terpotong, rambut yang dicukur, atau darah yang keluar, dikategorikan sebagai bagian dari tubuh manusia. Para ulama berbeda pendapat mengenai cara terbaik membuangnya, namun terdapat tiga pandangan utama:
Imam Ahmad bin Hanbal menekankan pentingnya adab ini. Beliau berkata: "Jika kamu memotong kuku atau mencukur rambut, kuburkanlah. Jangan biarkan di kamar mandi atau WC."
Setelah memotong kuku, dianjurkan membersihkan jari-jari, membasuh tangan, dan bahkan melaksanakan wudu baru, terutama jika potong kuku dilakukan untuk persiapan shalat Jumat. Hal ini melengkapi proses pembersihan fitrah diri.
Walaupun konsep memotong kuku adalah universal dalam Islam, rincian urutan telah menjadi subjek diskusi panjang di kalangan fuqaha (ahli fiqih). Memahami keragaman pandangan ini menunjukkan fleksibilitas syariat dan kedalaman ijtihad para ulama.
Madzhab Syafi’i sangat cenderung pada urutan berpola (Telunjuk Kanan hingga Jempol Kanan, dilanjutkan Kelingking Kiri hingga Jempol Kiri). Urutan ini didasarkan pada dalil qiyas (analogi) yang menyamakan potong kuku dengan sunnah-sunnah tayamun lainnya, serta riwayat yang disebutkan oleh ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin, meskipun riwayat tersebut sering dikritik dari segi sanadnya.
Imam Al-Nawawi (Syafi’i) menyatakan bahwa urutan ini adalah yang paling utama, tetapi menegaskan bahwa jika seseorang memotongnya tanpa urutan, ia tetap mendapatkan pahala sunnah, asalkan ia memulai dengan tangan kanan.
Ulama Hanafi menekankan bahwa tujuan utama adalah kebersihan. Mereka lebih fleksibel dalam urutan. Yang penting adalah memulai dari tangan kanan dan mengakhirinya di tangan kiri. Beberapa ulama Hanafi bahkan berpendapat bahwa tidak ada urutan khusus yang harus diikuti secara ketat, kecuali memastikan bahwa kebersihan telah dicapai, dan prinsip tayamun (memulai dari kanan) diterapkan.
Madzhab Maliki, secara umum, tidak mewajibkan urutan tertentu. Mereka berpendapat bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang secara eksplisit menetapkan urutan jari demi jari. Oleh karena itu, Maliki lebih menekankan pada waktu (Hari Jumat) dan kepatuhan terhadap batas 40 hari, daripada urutan detail jari.
Hanbali cenderung berpegang pada prinsip umum: dahulukan tangan kanan, kemudian tangan kiri, dan dahulukan kaki kanan, kemudian kaki kiri. Mengenai urutan jari, mereka mengutip beberapa riwayat yang saling bertentangan (dari Jempol ke Kelingking atau sebaliknya), sehingga banyak ulama Hanbali menyimpulkan bahwa yang terpenting adalah kuku kanan didahulukan.
Kesimpulan Fiqih: Urutan yang paling sering diikuti di dunia Muslim kontemporer adalah urutan berpola (telunjuk kanan, dsb.) karena dianggap paling sistematis. Namun, semua madzhab sepakat bahwa memulai dari tangan kanan adalah bagian yang paling ditekankan dari sunnah.
Salah satu hikmah terbesar memotong kuku adalah menghindari menyerupai perilaku yang dibenci oleh syariat. Kuku panjang dianggap sebagai ciri khas sebagian kelompok non-Muslim atau kebiasaan kuno yang identik dengan gaya hidup yang jauh dari kebersihan, seperti kuku panjang yang menjadi tempat tinggal setan.
Dalam beberapa riwayat, kuku panjang juga diidentikkan dengan kebiasaan orang-orang Majusi (penyembah api) atau kaum pagan yang tidak menjaga kebersihan diri. Dengan memotong kuku, umat Islam menegaskan identitas mereka sebagai komunitas yang mengutamakan kemurnian.
Secara medis, kuku adalah salah satu tempat penumpukan patogen tertinggi di tubuh manusia, terutama bagi mereka yang bekerja atau beraktivitas manual. Islam mewajibkan kebersihan maksimal karena berkaitan langsung dengan ibadah (wudu dan shalat). Kuku yang kotor dapat membawa penyakit, sehingga memotongnya adalah tindakan pencegahan (hifzh an-nafs, menjaga jiwa).
Sebagaimana telah disinggung, kotoran yang menumpuk di bawah kuku dapat menghalangi air wudu atau mandi wajib menyentuh kulit. Jika ini terjadi, thaharah seseorang tidak sah, dan ibadahnya terancam batal. Memotong kuku memastikan setiap bagian dari anggota wudu tersentuh air, yang merupakan syarat mutlak sahnya bersuci.
Hukum potong kuku bagi wanita sama dengan laki-laki, yaitu termasuk bagian dari fitrah dan dianjurkan. Wanita juga wajib menjaga kuku agar tidak menjadi sarang kotoran dan tidak melampaui batas 40 hari.
Namun, muncul pertanyaan mengenai kuku panjang sebagai perhiasan (adornment). Jika kuku dibiarkan panjang untuk perhiasan (terutama dalam konteks modern) dan kuku tersebut dihias (seperti cat kuku atau nail art), maka terdapat dua pertimbangan fiqih yang penting:
Para ulama kontemporer sepakat bahwa menjaga kebersihan dan kepatuhan pada batas waktu 40 hari lebih utama daripada alasan perhiasan.
Perbedaan pendapat terbesar muncul pada posisi jempol kanan. Ada riwayat yang mengutamakan jempol kanan di awal, berdasarkan analogi bahwa jempol adalah jari yang paling kuat dan utama. Namun, ulama yang mendukung metode Syafi'i (Telunjuk Kanan, diakhiri Jempol Kanan) berdalil bahwa Rasulullah ﷺ menyukai memulai dari kanan untuk segala sesuatu yang mulia, dan mengakhirinya di tempat yang memiliki kehormatan (seperti mengakhiri memotong dengan jari yang 'sempurna' sebelum pindah ke tangan kiri).
Urutan tangan cenderung lebih fleksibel dan berpola sirkular, sedangkan urutan kaki lebih kaku (kanan luar ke dalam, kiri dalam ke luar). Ini didasarkan pada analogi membersihkan tubuh. Jari-jari tangan digunakan untuk berbagai kegiatan, dan pola sirkular dianggap sebagai cara membersihkan yang paling menyeluruh. Kaki, di sisi lain, memerlukan pembersihan yang dimulai dari luar (area yang paling rentan kotor) dan diakhiri dengan pola yang sistematis.
Para fuqaha membahas status kuku yang terpotong dalam konteks najis. Mayoritas ulama berpendapat bahwa potongan kuku (seperti rambut dan bagian tubuh yang terpisah) bukanlah najis. Namun, mereka tetap menekankan adab penguburan atau pembuangan yang layak karena menghormati bagian dari bani Adam (anak cucu Adam). Menghormati bagian tubuh ini adalah bagian dari ajaran spiritual.
Untuk memahami kedalaman hukum potong kuku, perlu ditelaah bagaimana para ulama klasik menafsirkan hadits fitrah. Hadits fitrah memberikan landasan hukum, namun tidak merinci teknis pelaksanaannya, sehingga ijtihad (penalaran hukum) menjadi sangat penting dalam menentukan urutan yang ideal.
Imam Al-Baihaqi, salah satu ulama hadits terkemuka, mencatat bahwa tidak ada riwayat yang pasti dan sangat kuat (shahih li dzatihi) yang menetapkan urutan potong kuku secara detail. Namun, ia cenderung mendukung prinsip tayamun (mendahulukan kanan) dalam segala hal yang bersifat membersihkan atau memuliakan. Ketidakpastian dalam riwayat urutan ini justru menjadi alasan mengapa Madzhab Maliki dan sebagian Hanbali memberikan kelonggaran, selama kebersihan terjaga.
Dalam kitab-kitab fiqih, sering ditemukan istilah 'al-takhayyur' (memilih) dalam urutan potong kuku. Jika seseorang menemukan kesulitan dalam menghafal urutan yang spesifik, maka ia cukup memastikan bahwa ia memulai dari tangan kanan. Keutamaan pahala terletak pada pelaksanaan sunnah fitrah itu sendiri, bukan pada kepatuhan absolut pada skema urutan tertentu.
Masalah kuku menjadi sangat krusial saat seseorang harus melaksanakan mandi wajib (ghusl). Jika seseorang memiliki kuku yang sangat panjang dan di bawahnya terdapat kotoran yang tebal (seperti adonan atau cat yang menghalangi air), maka kuku tersebut harus dibersihkan atau dipotong agar air bisa merata ke seluruh permukaan kulit. Jika air tidak merata, mandi junub dianggap tidak sah, dan segala ibadah yang memerlukan thaharah pun ikut batal. Ini menegaskan bahwa potong kuku bukan sekadar kosmetik, melainkan syarat sah ibadah.
Ibnu Qudamah, seorang fuqaha Hanbali, menjelaskan bahwa jika seseorang membiarkan kotoran di bawah kukunya menumpuk hingga ia ragu apakah air telah sampai atau tidak, maka ia wajib membersihkannya sebelum shalat. Jika pembersihan itu membutuhkan pemotongan kuku, maka potong kuku tersebut menjadi wajib seketika itu juga.
Salah satu larangan (mahdurat) saat seseorang sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah (dalam keadaan ihram) adalah memotong kuku. Melanggar larangan ini akan dikenakan fidyah (denda). Larangan ini semakin menyoroti bahwa kuku dianggap sebagai bagian dari anggota tubuh yang statusnya khusus dalam syariat. Seorang yang sedang ihram dilarang menghilangkan bagian tubuhnya secara sengaja, termasuk rambut dan kuku, hingga ia selesai dari tahallul.
Jika kuku seseorang patah secara tidak sengaja saat ihram, ia tidak dikenakan fidyah. Namun, jika ia memotong satu jari kuku atau lebih secara sengaja, ia wajib membayar denda, biasanya berupa puasa, sedekah, atau menyembelih hewan. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memotong kuku sebelum memasuki batas miqat (tempat memulai ihram) sebagai persiapan thaharah yang sempurna.
Isu modern yang sering muncul adalah bagaimana sunnah potong kuku berinteraksi dengan tren kosmetik. Cat kuku (kuteks) konvensional yang membentuk lapisan kedap air secara mutlak membatalkan wudu, karena menghalangi air mencapai kuku. Solusinya adalah menggunakan kuteks yang bersifat tembus air (permeable) menurut beberapa pendapat ulama kontemporer, atau yang paling aman adalah menghapusnya sebelum wudu.
Bahkan tanpa kuteks, jika kuku dibiarkan terlalu panjang sehingga kotoran menumpuk di bawahnya, ini tetap bermasalah. Kuku panjang modern yang dipertahankan hanya demi estetika, namun mengabaikan tuntutan kebersihan fitrah, bertentangan dengan semangat syariat Islam.
Jika seseorang mengalami sakit parah, lumpuh, atau memiliki keterbatasan fisik (uzur) sehingga tidak mampu memotong kukunya sendiri, ia wajib meminta bantuan orang lain. Kewajiban menjaga fitrah tidak gugur hanya karena ketidakmampuan fisik; ia beralih ke tanggung jawab orang yang merawatnya atau kerabatnya. Jika kuku dibiarkan panjang karena uzur ini hingga melewati 40 hari, ia tidak berdosa, asalkan ia telah berusaha mencari cara untuk memotongnya.
Orang tua Muslim memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan sunnah potong kuku kepada anak-anak mereka sejak dini. Ini adalah pendidikan awal tentang thaharah dan kebersihan. Menanamkan kebiasaan memotong kuku setiap hari Jumat, misalnya, akan memastikan anak tumbuh dengan kesadaran akan pentingnya fitrah.
Menjelaskan hikmah di balik sunnah—bahwa kuku yang bersih disukai Allah dan menjauhkan dari penyakit—lebih efektif daripada hanya memberikan perintah tanpa penjelasan.
Penting untuk diketahui bahwa riwayat yang menyebutkan urutan spesifik (seperti yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Ibnu Umar) sering dianggap dha'if (lemah) oleh para muhaddits (ahli hadits). Kelemahan ini menyebabkan para fuqaha tidak menjadikannya sebagai landasan hukum yang wajib, melainkan hanya sebagai panduan mustahab (dianjurkan) untuk mencapai kesempurnaan adab.
Seandainya terdapat hadits shahih yang kuat mengenai urutan potong kuku, pastilah seluruh madzhab akan sepakat. Karena tidak adanya riwayat kuat tersebut, yang tersisa adalah ijtihad berdasarkan analogi tayamun dan kebiasaan Rasulullah ﷺ dalam memulai segala sesuatu yang mulia dari sisi kanan.
Memotong kuku dalam Islam bukanlah sekadar rutinitas kebersihan, melainkan ibadah yang termasuk dalam kesempurnaan fitrah insani. Dengan mempraktikkan sunnah ini—memilih waktu yang utama (Jumat), menggunakan urutan yang dianjurkan (mengutamakan kanan), dan memastikan kebersihan total—seorang Muslim telah melaksanakan tuntunan Nabi Muhammad ﷺ dan menjaga kesucian spiritual serta fisiknya.
Pesan utama dari seluruh panduan ini adalah menjaga agar kuku tidak pernah melampaui batas waktu 40 hari. Kepatuhan pada batas waktu ini adalah manifestasi konkret dari komitmen seorang Muslim terhadap kemurnian yang diperintahkan oleh syariat. Kesempurnaan thaharah dan kesucian hati dimulai dari perhatian terhadap hal-hal yang sering dianggap remeh, termasuk sehelai kuku.