I. Pengantar Fiqih Jamak Takkhir
Ibadah shalat lima waktu merupakan tiang agama yang wajib dilaksanakan dalam kondisi apa pun. Namun, Islam adalah agama yang memudahkan (dinul yusri), bukan menyulitkan. Oleh karena itu, syariat memberikan keringanan (rukhsah) bagi umatnya yang menghadapi uzur tertentu, seperti dalam perjalanan jauh atau keadaan darurat lainnya.
Salah satu bentuk keringanan utama yang diberikan adalah Jamak, yaitu menggabungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu pelaksanaan. Pembahasan ini secara spesifik akan mengupas tuntas metode Jamak Takkhir untuk shalat Maghrib dan Isya, yang dilaksanakan secara keseluruhan di waktu shalat Isya.
Pemahaman yang komprehensif mengenai tata cara, syarat, rukun, dan niat yang benar adalah krusial agar pelaksanaan ibadah ini sah dan diterima di sisi Allah SWT. Artikel ini akan menyajikan pembahasan ini secara mendalam, merujuk pada kaidah-kaidah fiqih yang kokoh dari empat mazhab utama, khususnya Mazhab Syafi'i yang banyak dianut di Indonesia.
II. Memahami Definisi dan Jenis Jamak
A. Pengertian Jamak Secara Bahasa dan Istilah
Secara etimologi, kata ‘Jamak’ (جمع) berarti mengumpulkan, menggabungkan, atau menyatukan. Dalam konteks syariat Islam, Jamak shalat merujuk pada pengumpulan dua shalat fardhu yang berpasangan untuk dilaksanakan pada satu waktu. Shalat-shalat yang boleh dijamak adalah Dzhuhur dengan Ashar, serta Maghrib dengan Isya. Shalat Subuh tidak diperkenankan untuk dijamak dengan shalat lainnya.
B. Jenis-Jenis Jamak Shalat
Terdapat dua jenis Jamak yang dikenal dalam fiqih Islam, dan keduanya bergantung pada waktu pelaksanaan shalat: Jamak Taqdim dan Jamak Takkhir.
- Jamak Taqdim (جمع تقديم): Pelaksanaan shalat fardhu yang kedua dikerjakan di waktu shalat fardhu yang pertama. Contoh: Melaksanakan Maghrib dan Isya pada waktu Maghrib.
- Jamak Takkhir (جمع تأخير): Pelaksanaan shalat fardhu yang pertama ditunda dan dikerjakan di waktu shalat fardhu yang kedua. Inilah fokus utama pembahasan kita: melaksanakan Maghrib dan Isya sepenuhnya di waktu Isya.
Gambar 1: Simbolisasi Musafir dan Keringanan Shalat
C. Hukum Dasar Pelaksanaan Jamak Takkhir
Hukum asal Jamak Takkhir adalah boleh (jaiz) dan merupakan keringanan yang disunnahkan bagi orang yang memenuhi syarat uzur, terutama perjalanan. Pelaksanaan shalat Jamak Takkhir ini adalah pengakuan syariat terhadap kesulitan yang mungkin dihadapi seorang Muslim, sehingga ia tidak perlu meninggalkan kewajibannya, namun diberikan kemudahan dalam manajemen waktu.
Penting ditekankan bahwa Jamak Takkhir Maghrib dan Isya tidak boleh digabungkan dengan Qashar (memendekkan rakaat), karena shalat Maghrib adalah shalat witir (ganjil) yang tidak bisa dipendekkan. Jadi, Maghrib tetap 3 rakaat dan Isya tetap 4 rakaat.
III. Dasar Hukum dan Dalil Syar’i Jamak Takkhir
A. Dalil dari Hadits Nabi SAW
Keabsahan Jamak shalat, baik Taqdim maupun Takkhir, didukung oleh sejumlah hadits sahih. Dalil utama yang menjadi landasan bagi ulama adalah praktik Rasulullah ﷺ sendiri:
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Rasulullah ﷺ pernah menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar, serta antara Maghrib dan Isya di Madinah, bukan karena ketakutan dan bukan pula karena dalam perjalanan.” (HR. Muslim).
Hadits ini membuka pintu keringanan yang lebih luas. Ulama menafsirkan hadits ini sebagai kebolehan menjamak karena adanya ‘hajat’ (kebutuhan) yang mendesak, asalkan hal itu tidak dijadikan kebiasaan. Namun, dalam konteks perjalanan (safar), hukumnya lebih tegas dan disepakati kebolehannya.
B. Fokus pada Jamak karena Safar
Dalil khusus mengenai jamak karena safar lebih eksplisit, menunjukkan bahwa keringanan ini adalah bagian dari sunnah perjalanan:
Anas bin Malik pernah berkata: “Apabila Rasulullah ﷺ berangkat safar sebelum tergelincir matahari (masuk waktu Dzuhur), beliau mengakhirkan Dzuhur ke waktu Ashar, kemudian menjamak keduanya. Dan jika beliau berangkat setelah tergelincir matahari, beliau shalat Dzuhur di waktunya kemudian berangkat. Dan jika beliau melakukan Jamak Maghrib dan Isya, beliau mengakhirkan keduanya sampai waktu Isya (Jamak Takkhir).” (HR. Bukhari dan Muslim, redaksi disarikan).
Hadits ini secara jelas menunjukkan praktik Jamak Takkhir Maghrib dan Isya oleh Nabi Muhammad ﷺ. Jika waktu Maghrib telah tiba, tetapi Nabi sedang dalam keadaan safar dan melanjutkan perjalanannya, beliau menunda shalat Maghrib untuk dikerjakan bersama Isya di waktu Isya. Ini menunjukkan bahwa Jamak Takkhir adalah metode yang sah dan diajarkan.
C. Prinsip Kemudahan (Taysir) dalam Syariat
Dasar teologis yang lebih luas adalah prinsip Taysir (kemudahan). Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“...Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” (QS. Al-Baqarah: 185).
Keringanan Jamak Takkhir adalah manifestasi langsung dari prinsip ini, memungkinkan seorang musafir untuk fokus pada perjalanannya tanpa harus terbebani oleh kekhawatiran tertinggalnya waktu shalat, asalkan ia tetap melaksanakan shalat tersebut dalam rentang waktu Isya.
IV. Syarat-Syarat Sah Jamak Takkhir Maghrib dan Isya
Untuk memastikan Jamak Takkhir sah, ada beberapa syarat mutlak yang harus dipenuhi. Syarat-syarat ini berbeda sedikit antara Jamak Taqdim dan Jamak Takkhir, terutama terkait niat dan tertib.
A. Uzur yang Membolehkan Jamak (Safar/Perjalanan)
Syarat utama adalah adanya uzur yang diakui syariat. Mayoritas ulama menyepakati bahwa uzur utama adalah perjalanan (safar) yang memenuhi kriteria berikut:
- Jarak Minimal (Masafah Qasr): Perjalanan harus mencapai jarak yang membolehkan Qashar shalat, yaitu minimal 2 marhalah (sekitar 81-85 km, tergantung interpretasi). Perjalanan yang kurang dari jarak ini pada umumnya tidak membolehkan Jamak kecuali ada uzur lain (seperti sakit atau hujan lebat ekstrem, yang akan dibahas terpisah).
- Tujuan Jelas dan Bukan Maksiat: Perjalanan harus memiliki tujuan yang jelas dan bukan dalam rangka melakukan perbuatan maksiat (misalnya, perjalanan untuk mencuri). Jika perjalanan itu sendiri adalah maksiat, keringanan syariat tidak berlaku.
- Belum Niat Iqamah (Menetap): Musafir tidak boleh berniat menetap di tempat tujuan selama lebih dari batas waktu yang ditetapkan oleh mazhab, biasanya 4 hari penuh (selain hari kedatangan dan kepulangan) menurut Mazhab Syafi'i. Selama ia masih dalam status musafir, ia boleh menjamak.
B. Syarat Niat (At-Tahdid bin-Niyah)
Syarat niat dalam Jamak Takkhir adalah poin yang sangat spesifik dan membedakannya dari Jamak Taqdim. Niat menunda (mengakhirkan) shalat Maghrib harus dilakukan pada waktu shalat Maghrib itu sendiri, sebelum waktu Maghrib berakhir.
Jika seorang musafir sedang melakukan perjalanan dan waktu Maghrib tiba, ia harus memutuskan, paling lambat sebelum terbenamnya syafak (hilangnya mega merah, menandai berakhirnya waktu Maghrib), apakah ia akan:
- Mendirikan shalat Maghrib saat itu juga (Ada’).
- Menunda shalat Maghrib untuk dikerjakan bersama Isya (Jamak Takkhir).
Jika ia tidak berniat Jamak Takkhir hingga waktu Maghrib habis, maka shalat Maghribnya menjadi Qadha (terlewat) dan tidak sah dijamak sebagai Jamak Takkhir, meskipun dikerjakan di waktu Isya. Niat ini cukup dilakukan di dalam hati.
C. Syarat Tertib (At-Tartib)
Syarat tertib (berurutan) adalah rukun penting dalam pelaksanaan shalat Jamak Maghrib dan Isya. Baik Jamak Taqdim maupun Jamak Takkhir, shalat Maghrib harus selalu didahulukan, meskipun pelaksanaannya di waktu Isya. Jika Isya didahulukan, maka shalat Jamak tersebut batal menurut Mazhab Syafi'i, dan shalat Isya-nya menjadi shalat nafilah (sunnah), sementara Maghrib harus diulang.
D. Syarat Muwalah (Berkesinambungan)
Menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali, wajib adanya muwalah (berkesinambungan atau berturut-turut) antara dua shalat yang dijamak, dan antara shalat pertama dengan niat jamak (bagi Jamak Taqdim). Dalam konteks Jamak Takkhir:
- Setelah salam dari shalat Maghrib, segera berdiri untuk melaksanakan shalat Isya.
- Jeda waktu yang panjang (misalnya makan atau tidur) akan membatalkan syarat muwalah, sehingga shalat kedua tidak sah sebagai jamak, dan harus dikerjakan secara terpisah (atau dianggap qadha jika waktu Isya juga terlewat).
V. Tata Cara Pelaksanaan Jamak Takkhir Maghrib dan Isya
Pelaksanaan Jamak Takkhir Maghrib dan Isya dilakukan secara rinci sebagai berikut. Ingat, seluruh rangkaian dilakukan setelah masuknya waktu Isya.
Langkah 1: Memastikan Waktu dan Status
Musafir memastikan bahwa waktu shalat Isya telah masuk, dan ia masih berada dalam kondisi safar yang memenuhi syarat. Ia juga telah meniatkan Jamak Takkhir saat waktu Maghrib masih berlangsung.
Langkah 2: Shalat Maghrib (Sebagai Shalat Pertama)
A. Niat Shalat Maghrib
Berdiri menghadap kiblat. Niat dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram. Lafadz niat Jamak Takkhir Maghrib:
Niat Maghrib (3 Rakaat) Jamak Takkhir:
أُصَلِّي فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ جَمْعًا تَأخِيْرًا مَعَ الْعِشَاءِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى
“Ushallī fardhal-Maghribi tsalātsa raka’ātin jam’an ta’khīran ma’al-‘Isyā’i fardhan lillāhi ta’ālā.”
Artinya: “Aku niat shalat fardhu Maghrib tiga rakaat digabung (jamak) takkhir bersama Isya, fardhu karena Allah Ta’ala.”
Lakukan shalat Maghrib secara sempurna, tiga rakaat, diikuti salam.
Langkah 3: Jeda Singkat (Muwalah)
Setelah salam shalat Maghrib, disunnahkan untuk segera berdiri tanpa diselingi aktivitas yang memisahkan, seperti berbincang panjang, makan, atau minum. Jeda singkat yang dibolehkan hanya sekadar iqamah atau bergeser tempat sedikit.
Langkah 4: Shalat Isya (Sebagai Shalat Kedua)
B. Niat Shalat Isya
Segera setelah Maghrib, berdiri lagi untuk shalat Isya. Niat dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram. Lafadz niat Jamak Takkhir Isya:
Niat Isya (4 Rakaat) Jamak Takkhir:
أُصَلِّي فَرْضَ الْعِشَاءِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ جَمْعًا تَأخِيْرًا مَعَ الْمَغْرِبِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى
“Ushallī fardhal-‘Isyā’i arba’a raka’ātin jam’an ta’khīran ma’al-Maghribi fardhan lillāhi ta’ālā.”
Artinya: “Aku niat shalat fardhu Isya empat rakaat digabung (jamak) takkhir bersama Maghrib, fardhu karena Allah Ta’ala.”
Lakukan shalat Isya secara sempurna, empat rakaat, diikuti salam.
Perhatian Penting: Dalam Jamak Takkhir, tidak ada persyaratan khusus untuk Qashar (memendekkan). Namun, jika musafir memenuhi syarat Qashar (perjalanan di atas 81 km), ia disunnahkan untuk meng-Qashar shalat Isya menjadi dua rakaat. Jika di-Qashar, niat shalat Isya harus diubah menjadi ‘raka’ātain qashran’ (dua rakaat diqashar).
VI. Rukun dan Analisis Fiqih Mendalam Mengenai Jamak Takkhir
Untuk memahami legitimasi Jamak Takkhir secara utuh, kita perlu meninjau rukun-rukun yang harus dipenuhi, serta perbedaan pendapat di antara mazhab fiqih mengenai batas waktu dan uzur.
A. Rukun Utama Jamak Takkhir
Rukun adalah elemen inti yang tanpanya ibadah menjadi tidak sah. Dalam Jamak Takkhir Maghrib dan Isya, rukun yang harus dipenuhi meliputi:
- Waktu Pelaksanaan: Seluruh shalat dilaksanakan di waktu Isya. Jika shalat pertama (Maghrib) dilakukan di luar waktu Isya (misalnya, setelah terbit fajar), maka hukumnya menjadi Qadha, bukan Jamak Takkhir yang sah.
- Niat Takkhir: Niat menunda shalat Maghrib harus dilakukan sebelum waktu Maghrib berakhir. Ini adalah rukun yang sering terabaikan. Jika seseorang menunda tanpa niat, ia berdosa karena menunda shalat hingga habis waktunya, meskipun kemudian ia melaksanakannya di waktu Isya.
- Tertib (Maghrib didahulukan): Shalat Maghrib harus didahulukan, kemudian shalat Isya. Tidak ada pengecualian dalam tertib ini untuk pasangan Maghrib dan Isya.
- Memenuhi Syarat Uzur: Keberadaan uzur (safar, sakit, atau uzur syar’i lainnya) harus ada saat memulai shalat pertama dan terus berlanjut hingga salam pada shalat kedua.
B. Perbedaan Pendapat Mengenai Muwalah (Jeda)
Sebagaimana disebutkan, Mazhab Syafi'i dan Hambali mewajibkan Muwalah (berkesinambungan). Jika ada jeda yang lama (misalnya lebih dari sekadar waktu azan dan iqamah), Jamak Takkhir tersebut dianggap batal. Shalat kedua (Isya) harus dilakukan sebagai shalat Adā' (tunai) yang berdiri sendiri.
Namun, Mazhab Maliki dan Hanafi memiliki pandangan yang berbeda. Mazhab Hanafi umumnya tidak mengakui Jamak kecuali di padang Arafah dan Muzdalifah (pada saat haji). Sementara Mazhab Maliki lebih lunak mengenai Muwalah dalam Jamak Takkhir. Mereka berpendapat, karena dua shalat itu sudah berada dalam satu waktu yang luas (waktu Isya), jeda yang lama tidak membatalkan Jamak Takkhir, selama kedua shalat tersebut diselesaikan sebelum habisnya waktu Isya.
Bagi yang mengikuti Mazhab Syafi'i, menjaga Muwalah adalah keharusan mutlak untuk keabsahan Jamak Takkhir.
Gambar 2: Ilustrasi Penggabungan Waktu Maghrib dan Isya di Waktu Isya
C. Hukum Lupa Niat Takkhir
Ini adalah masalah fiqih yang sangat sering terjadi di kalangan musafir. Seseorang yang dalam perjalanan, saat Maghrib tiba, ia sibuk dan berasumsi ia akan menjamak, tetapi ia lupa mengucapkan niat (atau menghadirkan niat di hati) untuk mengakhirkan shalat hingga waktu Maghrib habis.
Menurut Mazhab Syafi'i, jika waktu Maghrib telah habis (ditandai dengan hilangnya mega merah), dan ia belum meniatkan takkhir, shalat Maghrib tersebut telah terlewat (Qadha'). Ketika ia melaksanakan Maghrib di waktu Isya, shalat itu dihukumi Qadha, bukan shalat Jamak Takkhir. Meskipun shalat Qadha tetap wajib dilakukan, ia kehilangan kemudahan Jamak Takkhir dan dihukumi berdosa karena menunda shalat fardhu tanpa niat uzur yang sah di waktunya.
Oleh karena itu, sangat ditekankan agar musafir yang ingin Jamak Takkhir harus segera memastikan niatnya di waktu shalat yang pertama (waktu Maghrib), meskipun ia belum melaksanakan shalat tersebut.
D. Menggabungkan Jamak dan Qashar
Dalam Jamak Takkhir Maghrib dan Isya di waktu Isya, hukum Qashar hanya berlaku untuk shalat Isya, karena Isya adalah shalat empat rakaat. Shalat Maghrib (tiga rakaat) tidak boleh diqashar.
Jika musafir memenuhi syarat Qashar:
- Lakukan Maghrib 3 rakaat (Niat Jamak Takkhir).
- Lakukan Isya 2 rakaat (Niat Jamak Takkhir dan Qashar).
Jika musafir hanya Jamak (misalnya karena hujan lebat atau sakit, yang tidak membolehkan Qashar):
- Lakukan Maghrib 3 rakaat (Niat Jamak Takkhir).
- Lakukan Isya 4 rakaat (Niat Jamak Takkhir tanpa Qashar).
VII. Uzur Selain Safar yang Membolehkan Jamak Takkhir
Meskipun mayoritas dalil mengaitkan Jamak dengan safar, ulama juga membahas uzur lain yang membolehkan Jamak, termasuk Jamak Takkhir Maghrib dan Isya. Diskusi ini sering melibatkan perbedaan pandangan antar-mazhab.
A. Jamak Karena Sakit (Al-Maradh)
Mazhab Hambali, dan sebagian ulama Mazhab Syafi'i (seperti Imam Nawawi), memandang bahwa sakit yang berat hingga menyulitkan seseorang untuk melaksanakan setiap shalat pada waktunya secara terpisah adalah uzur yang membolehkan Jamak, baik Taqdim maupun Takkhir. Syaratnya, penyakit tersebut harus menyebabkan kesulitan yang benar-benar tidak tertahankan (masyaqqah).
Contoh: Pasien yang terikat pada jadwal pengobatan atau operasi yang ketat, atau pasien yang mengalami inkontinensia parah sehingga sulit menjaga wudhu setiap kali masuk waktu shalat. Dalam kasus ini, Jamak Takkhir Maghrib dan Isya sangat meringankan beban pasien.
B. Jamak Karena Hujan Lebat (Al-Matar)
Menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali, hujan lebat yang disertai angin kencang yang menyulitkan untuk pergi ke masjid dapat membolehkan Jamak. Namun, Mazhab Syafi'i hanya membolehkan Jamak Taqdim (menggabungkan di waktu pertama) karena hujan, dan hanya jika dilakukan di masjid secara berjamaah, bukan untuk shalat di rumah.
Adapun Jamak Takkhir karena hujan, sebagian besar ulama Mazhab Syafi'i tidak membolehkannya. Alasannya, begitu hujan reda, kesulitan (uzur) sudah hilang, dan shalat Maghrib harusnya sudah dikerjakan di waktunya. Jika hujan berlanjut hingga waktu Isya, maka shalat Maghrib menjadi Qadha, kecuali jika hujan tersebut memenuhi kategori darurat yang lebih tinggi (seperti banjir total atau bencana alam).
C. Jamak Karena Kesulitan Umum (Al-Hajat)
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang disebutkan di awal (Nabi menjamak bukan karena takut dan bukan karena safar), ulama seperti Ibn Sirin, Asyhab, dan Al-Qaffal membolehkan Jamak karena hajat atau kebutuhan yang mendesak, asalkan tidak dijadikan kebiasaan.
Contoh Hajat: Petugas medis yang sedang menjalankan operasi panjang yang tidak bisa ditinggalkan, atau pengemudi transportasi publik yang terjebak macet total (tidak bisa berhenti untuk shalat Maghrib) dan harus menunda hingga waktu Isya. Dalam situasi seperti ini, Jamak Takkhir lebih utama untuk mencegah terlewatnya shalat secara total. Namun, penggunaan uzur hajat ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan bukan untuk alasan sepele.
VIII. Elaborasi Fiqih dan Perbedaan Mazhab dalam Jamak Takkhir
Kedalaman fiqih Jamak Takkhir mencakup banyak detail yang berbeda antar mazhab. Memahami perbedaan ini sangat penting bagi mereka yang berada dalam kondisi safar yang kompleks atau bagi mereka yang memilih mengikuti pandangan mazhab tertentu.
A. Pandangan Mazhab Hanafi (Tidak Mengakui Jamak Biasa)
Mazhab Hanafi memiliki pandangan yang paling ketat. Mereka berpegangan teguh bahwa setiap shalat harus dilaksanakan pada waktunya masing-masing (kecuali di Arafah dan Muzdalifah saat Haji). Mereka menafsirkan hadits-hadits Jamak bukan sebagai ‘Jamak Hakiki’ (penggabungan fisik), melainkan ‘Jamak Suri’ (penggabungan secara tampilan waktu).
Implikasi Jamak Suri pada Maghrib dan Isya: Seorang musafir Hanafi akan melaksanakan Maghrib di akhir waktu Maghrib (sebelum mega merah hilang) dan langsung segera melaksanakan Isya begitu waktu Isya masuk (di awal waktu Isya). Secara tampilan, dua shalat ini dikerjakan berturut-turut, tetapi secara syar'i, masing-masing dikerjakan pada batas waktunya.
B. Perbedaan Definisi Batas Waktu Maghrib
Waktu Maghrib berakhir ketika syafak (mega merah) hilang. Namun, ulama berbeda pendapat mengenai batas akhir waktu shalat Isya, yang sangat relevan untuk Jamak Takkhir. Jika shalat Maghrib dan Isya dijamak di waktu Isya, shalat harus selesai sebelum:
- Akhir Waktu Ikhtiyari (Pilihan): Batas waktu hingga pertengahan malam (separuh waktu antara Maghrib dan Subuh).
- Akhir Waktu Dharuri (Darurat): Batas waktu hingga Subuh.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa Jamak Takkhir harus dilaksanakan sebelum waktu Ikhtiyari habis. Jika dilaksanakan setelah tengah malam, shalat tersebut sah sebagai Qadha, tetapi ada khilaf (perbedaan) mengenai keabsahan status Jamak Takkhir-nya, terutama jika alasannya adalah kelalaian.
C. Status Musafir di Tengah Shalat
Bagaimana jika seorang musafir memulai shalat Maghrib (niat Jamak Takkhir) tetapi di tengah-tengah shalat ia sampai di tempat tujuan dan berniat menetap (niat iqamah) sebelum menyelesaikan shalat Isya?
Menurut Mazhab Syafi'i dan Hambali, jika niat iqamah dilakukan sebelum shalat kedua (Isya) dimulai, maka shalat Jamak Takkhir batal. Ia harus melaksanakan shalat Isya secara normal (4 rakaat) sebagai shalat wajib yang berdiri sendiri, karena uzur safar telah hilang.
Jika niat iqamah dilakukan setelah shalat Maghrib selesai dan sebelum shalat Isya dimulai, maka syarat Jamak (yang mewajibkan uzur berlanjut) gugur. Ia harus shalat Isya secara tunai (Adā') 4 rakaat.
D. Jamak Takkhir Saat Mengikuti Imam Muqim
Jika seorang musafir Jamak Takkhir (Maghrib dan Isya) mengikuti imam yang berstatus mukim (tidak safar), ia tetap harus mengikuti imam secara sempurna:
- Maghrib: Ikuti imam 3 rakaat.
- Isya: Jika imam mukim shalat Isya 4 rakaat, makmum musafir (yang berniat qashar) wajib menyempurnakan 4 rakaat. Musafir yang bermakmum kepada mukim tidak boleh meng-qashar, meskipun ia sedang safar. Ini adalah bagian dari kaidah 'mengikuti imam'.
Sebaliknya, jika ia menjadi imam bagi makmum mukim, ia boleh melaksanakan niat qasharnya (2 rakaat Isya). Namun, ia harus memberi tahu makmum mukim bahwa ia adalah musafir sehingga makmum mukim bisa menyempurnakan shalatnya setelah imam salam.
E. Pembahasan Detail Mengenai Niat di Waktu Maghrib
Mengapa niat Takkhir begitu penting di waktu Maghrib?
Para fuqaha menjelaskan bahwa niat takkhir adalah manifestasi dari keputusan seorang mukallaf (orang yang dibebani syariat) untuk menggunakan rukhshah (keringanan). Jika ia tidak mengambil keputusan di waktu shalat itu berlangsung, maka ia dianggap lalai, dan shalat tersebut menjadi terlewat. Niat ini berfungsi sebagai izin syar'i untuk memindahkan shalat dari waktu asalnya (Maghrib) ke waktu shalat kedua (Isya). Tanpa izin ini, penundaan adalah dosa. Oleh karena itu, memastikan niat saat Maghrib tiba adalah langkah terpenting dalam Jamak Takkhir.
IX. Tanya Jawab Populer (FAQ) Mengenai Jamak Takkhir
Q1: Apakah boleh Jamak Takkhir jika tidak Qashar?
Jawab: Ya, sangat boleh. Jamak dan Qashar adalah dua rukhshah yang terpisah. Qashar hanya berlaku untuk shalat 4 rakaat dan memerlukan jarak safar yang memadai. Jamak bisa dilakukan karena safar, sakit, atau hajat, bahkan pada jarak yang tidak membolehkan Qashar (walaupun hal ini diperdebatkan). Maghrib tetap 3 rakaat dan Isya tetap 4 rakaat (jika tidak Qashar).
Q2: Sampai kapan batas waktu Jamak Takkhir Maghrib dan Isya?
Jawab: Jamak Takkhir harus diselesaikan sebelum habisnya waktu shalat Isya. Menurut pendapat yang kuat (dan lebih aman), batasnya adalah hingga terbitnya fajar shadiq (masuknya waktu Subuh). Namun, jika dilakukan setelah lewat pertengahan malam (Nishful Lail), banyak ulama menganggapnya telah memasuki waktu darurat, kecuali jika ada alasan kuat yang menghalangi sebelumnya.
Q3: Apa yang terjadi jika saya lupa niat Jamak Takkhir saat Maghrib, tetapi baru ingat saat Isya?
Jawab: Berdasarkan Mazhab Syafi'i, shalat Maghrib Anda dihukumi Qadha (terlewat). Anda tetap wajib melaksanakan Maghrib 3 rakaat dan Isya 4 rakaat (atau 2 rakaat jika Qashar). Namun, Maghrib tersebut dilaksanakan sebagai shalat Qadha yang digabungkan pelaksanaannya dengan shalat Isya Adā' (tunai).
Q4: Bolehkah menjamak di rumah karena hujan sangat lebat?
Jawab: Mazhab Syafi'i hanya membolehkan Jamak (Taqdim) karena hujan lebat jika shalat dilakukan secara berjamaah di masjid yang jauh dari rumah dan mendatangkannya menimbulkan kesulitan. Jamak di rumah karena hujan tidak diakui oleh Mazhab Syafi'i, kecuali jika hujan tersebut menyebabkan banjir atau uzur darurat yang sangat ekstrem yang menyamai kondisi sakit parah atau safar.
Q5: Apakah boleh seorang musafir Jamak Takkhir ketika ia sudah berhenti dan berada di penginapan?
Jawab: Ya, asalkan ia masih berstatus musafir (belum niat menetap lebih dari batas waktu yang ditetapkan). Selama ia meniatkan Jamak Takkhir di waktu Maghrib, ia boleh melaksanakannya di penginapan ketika waktu Isya tiba.
Q6: Bagaimana jika terjadi perselisihan antara Maghrib 3 rakaat dan Isya 4 rakaat?
Jawab: Wajib hukumnya menjaga tertib. Jika seseorang terlanjur shalat Isya 4 rakaat terlebih dahulu, shalat Isya tersebut batal (tidak sah sebagai Jamak). Ia harus mengulang urutan: Maghrib 3 rakaat (niat jamak) lalu Isya 4 rakaat (niat jamak). Jika waktu Isya masih ada, shalat Isya yang pertama tadi bisa dihitung sebagai shalat nafilah (sunnah).
Q7: Bagaimana cara memastikan waktu Maghrib berakhir untuk niat Takkhir?
Jawab: Waktu Maghrib berakhir seiring hilangnya syafaq al-ahmar (mega merah). Di zaman modern, cara termudah adalah merujuk pada jadwal shalat yang akurat atau aplikasi penentu waktu shalat. Biasanya, waktu Maghrib berlangsung sekitar 1 jam 15 menit hingga 1 jam 30 menit, setelah itu waktu Isya dimulai, dan niat Jamak Takkhir Maghrib tidak lagi sah.
X. Kesimpulan dan Penegasan Pelaksanaan
Jamak Takkhir Maghrib dan Isya adalah salah satu rukhshah (keringanan) agung yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat Islam, khususnya para musafir dan mereka yang berada dalam kondisi uzur. Keringanan ini memastikan bahwa seorang Muslim dapat memenuhi kewajiban shalatnya tanpa harus mengalami kesulitan yang berlebihan (haraj).
Kunci utama keabsahan Jamak Takkhir Maghrib dan Isya terletak pada dua hal esensial: (1) Adanya uzur yang sah (terutama safar), dan (2) Niat mengakhirkan shalat Maghrib harus diteguhkan di dalam hati sebelum waktu Maghrib habis.
Setelah kedua syarat tersebut terpenuhi, pelaksanaan shalat harus dilakukan secara tertib (Maghrib kemudian Isya) di dalam waktu Isya, dan dianjurkan untuk segera berkesinambungan (muwalah) antara shalat pertama dan kedua. Dengan memahami dan menerapkan kaidah-kaidah fiqih ini secara disiplin, seorang Muslim dapat memanfaatkan keringanan syariat ini sambil memastikan ibadahnya tetap sah dan sempurna di sisi Allah SWT.
Kemudahan ini adalah bukti kasih sayang Allah, yang senantiasa menempatkan kemudahan di atas kesulitan dalam setiap perintah-Nya.