*Ilustrasi menunjukkan bagaimana Lima Pilar berdiri tegak hanya ketika didasari oleh fondasi Amal Saleh (kualitas perbuatan, ikhlas, dan niat yang benar).
Dalam kerangka ajaran Islam, terdapat dua dimensi fundamental yang tidak dapat dipisahkan: dimensi keyakinan (Iman) dan dimensi perbuatan (Amal). Hubungan antara keyakinan dan perbuatan inilah yang membentuk identitas seorang Muslim sejati. Di pusat dimensi perbuatan, berdiri tegak konsep Amal Saleh—perbuatan yang baik, benar, ikhlas, dan sesuai dengan tuntunan syariat. Sementara itu, kerangka struktural yang menopang kehidupan spiritual dan praktis seorang Muslim diwujudkan melalui Lima Pilar Islam (Arkan al-Islam).
Artikel ini bertujuan untuk mengupas tuntas korelasi integral, sinergi mendalam, dan ketergantungan timbal balik antara Amal Saleh dan Lima Pilar Islam. Kita akan melihat bagaimana Pilar-pilar tersebut tidak hanya sekadar ritual formal, melainkan merupakan manifestasi tertinggi dan lahan subur bagi pelaksanaan Amal Saleh dalam berbagai aspek kehidupan—individual, sosial, spiritual, dan etis.
Secara bahasa, ‘Amal berarti pekerjaan atau perbuatan, sedangkan Saleh berarti baik, patut, dan benar. Dalam terminologi Islam, Amal Saleh memiliki makna yang lebih spesifik dan mendalam. Amal Saleh bukanlah sekadar perbuatan baik yang diakui oleh norma sosial, melainkan perbuatan baik yang memenuhi dua syarat utama:
Keterkaitan antara Iman dan Amal Saleh disebutkan berulang kali dalam Al-Qur'an. Hampir di setiap tempat Allah SWT menjanjikan surga, Dia selalu menggandengkan iman (keyakinan di hati) dengan amal saleh (perwujudan keyakinan melalui tindakan). Ini menunjukkan bahwa Amal Saleh adalah bukti nyata dan pembenaran atas klaim keimanan seseorang. Amal Saleh adalah indikator kesehatan spiritual, penyeimbang antara tuntutan dunia dan akhirat, serta kunci untuk mencapai kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
Penting untuk dipahami bahwa Pilar Islam mewakili dimensi kuantitatif atau struktural ibadah—yaitu bentuk-bentuk ibadah yang wajib, spesifik, dan terukur. Sementara itu, Amal Saleh mewakili dimensi kualitatif—yaitu kualitas, keikhlasan, dan kesempurnaan etika yang harus menyertai setiap pelaksanaan ibadah tersebut. Tanpa kualitas Amal Saleh, Pilar-pilar tersebut berisiko menjadi rutinitas mekanis tanpa makna spiritual yang mendalam.
Lima Pilar Islam adalah kerangka kerja fundamental yang menjadi landasan kehidupan seorang Muslim. Pilar-pilar ini, yang terdiri dari Syahadat, Salat, Zakat, Sawm (Puasa), dan Haji, merupakan bentuk ibadah wajib (fardhu ‘ain) yang secara sistematis melatih, membersihkan, dan meningkatkan spiritualitas serta moralitas individu. Keterhubungan Amal Saleh dengan setiap Pilar adalah mutlak.
Syahadat, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat (tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah), adalah pintu masuk utama menuju Islam. Syahadat sering dianggap sebagai amal lisan, namun esensinya jauh melampaui ucapan. Amal Saleh memainkan peran penting dalam Pilar ini melalui tiga aspek:
Amal saleh yang pertama dalam Syahadat adalah amal hati, yaitu tasdiq. Ini berarti membenarkan dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Rasul-Nya yang wajib diikuti. Jika seseorang mengucapkan Syahadat tetapi hatinya mengingkari (nifaq), maka Syahadatnya batal. Amal saleh dalam konteks ini adalah kemantapan tauhid yang murni, bebas dari segala bentuk syirik, dan kesediaan untuk menerima serta melaksanakan konsekuensi dari kesaksian tersebut.
Amal saleh lisan adalah pengucapan Syahadat itu sendiri. Namun, perpanjangan dari amal lisan ini adalah penggunaan lisan untuk kebenaran: mengucapkan dzikir, membaca Al-Qur'an, menyeru kepada kebaikan (dakwah), dan menjauhi perkataan yang sia-sia atau fitnah. Menggunakan lisan sebagai alat untuk memperkuat tauhid adalah bentuk amal saleh yang bersumber langsung dari Pilar Syahadat.
Setelah bersyahadat, amal saleh yang paling besar adalah konsistensi dalam melaksanakan tuntutan Syahadat, yaitu menaati semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya, serta mengikuti Sunnah Rasulullah SAW. Setiap ibadah dan etika baik yang dilakukan setelah bersyahadat adalah amal saleh yang memverifikasi kebenaran Syahadat. Jika Syahadat diibaratkan sebagai akar pohon, maka seluruh Amal Saleh adalah ranting dan buahnya.
Amal Saleh mengkonkretkan tauhid. Syahadat yang diucapkan tanpa diikuti oleh kepatuhan dalam amal perbuatan, khususnya kepatuhan terhadap Pilar-pilar lainnya, hanyalah klaim kosong.
Salat adalah ibadah yang paling sentral dan merupakan tiang agama. Salat adalah perwujudan Amal Saleh yang paling terstruktur, menggabungkan niat (hati), ucapan (lisan), dan gerakan (fisik). Salat adalah amal saleh itu sendiri, tetapi kualitas Salat sangat bergantung pada Amal Saleh yang menyertainya.
Aspek terpenting dari Salat bukanlah gerakan fisik, melainkan khushu’ (kekhusyukan). Khushu’ adalah amal saleh hati yang melibatkan fokus penuh, kesadaran akan kehadiran Allah, dan kerendahan diri. Tanpa khushu’, Salat menjadi gerakan mekanis yang minim pahala. Mencapai khushu’ memerlukan mujahadah (perjuangan keras) internal, dan perjuangan ini sendiri adalah bentuk Amal Saleh yang sangat tinggi nilainya.
Aspek teknis dari Salat adalah tuma'ninah, yaitu ketenangan dan jeda yang cukup antara setiap gerakan (rukuk, sujud, duduk). Melakukan gerakan Salat dengan tergesa-gesa menghilangkan tuma'ninah. Mempertahankan tuma'ninah, meskipun membutuhkan kedisiplinan dan pengorbanan waktu, adalah amal saleh karena menjaga kesempurnaan bentuk ibadah sesuai tuntunan Nabi.
Hubungan paling signifikan antara Salat dan Amal Saleh terdapat pada dampaknya terhadap perilaku harian. Allah berfirman bahwa Salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar (fahsya wal munkar). Jika seseorang rajin Salat, tetapi perilakunya buruk, lisannya kotor, dan ia curang dalam bisnis, maka kualitas Amal Salehya dalam Salat diragukan. Mencegah diri dari kezaliman dan berbuat baik kepada sesama setelah Salat adalah buah dari Salat yang merupakan Amal Saleh sosial. Ini berarti, Salat yang diterima harus meluas dampaknya ke luar masjid, mempengaruhi etos kerja, kejujuran, dan interaksi sosial.
Amal Saleh mendefinisikan keberhasilan Salat. Jika Amal Salehya rendah (misalnya, riya' atau tidak khusyu'), maka Salat hanya menggugurkan kewajiban fardhu, namun gagal mencapai tujuan utamanya, yaitu pemurnian jiwa.
Zakat adalah ibadah harta yang berfungsi sebagai mekanisme redistribusi kekayaan. Zakat adalah bentuk Amal Saleh yang memiliki dampak sosial ekonomi paling langsung dan luas. Tujuan Zakat bukan hanya membersihkan harta si pemberi, tetapi juga membersihkan jiwa si penerima dari iri hati dan membangun solidaritas sosial.
Amal Saleh yang paling mendasar dalam Zakat adalah niat untuk membersihkan harta (tazkiyah) dari hak orang lain. Zakat memastikan bahwa harta yang tersisa adalah harta yang baik dan halal. Melaksanakan Zakat dengan kerelaan hati, tanpa mengharapkan pujian atau imbalan manusia (ikhlas), adalah kunci Amal Salehya. Jika Zakat dikeluarkan dengan terpaksa atau disertai dengan mann (mengungkit-ungkit pemberian), maka Amal Salehnya berkurang atau bahkan hilang.
Amal Saleh yang timbul dari Zakat melampaui individu. Zakat adalah pilar keadilan sosial. Pengelolaan Zakat yang transparan, efektif, dan menyasar delapan golongan yang berhak (asnaf) adalah bentuk Amal Saleh kolektif yang dilakukan oleh lembaga pengelola (Amil). Zakat yang dikelola dengan baik dapat mengangkat martabat ekonomi umat, memberikan pendidikan, dan memberdayakan masyarakat miskin, yang kesemuanya merupakan puncak dari Amal Saleh dalam dimensi kemanusiaan.
Meskipun Zakat adalah wajib (Pilar), seorang Muslim didorong untuk menambahnya dengan infaq (pengeluaran harta di jalan Allah) dan sedekah (amal sukarela). Semua ini adalah perluasan dari semangat Zakat. Melakukan sedekah secara rahasia untuk menghindari riya' adalah Amal Saleh yang lebih tinggi. Memberikan nafkah terbaik kepada keluarga (meskipun wajib) juga dihitung sebagai sedekah, menunjukkan betapa luasnya spektrum Amal Saleh yang dicakup oleh spirit Zakat.
Puasa adalah ibadah yang sangat unik karena merupakan ibadah pengendalian diri dan disiplin internal. Puasa adalah Amal Saleh yang melibatkan pengekangan hawa nafsu fisik dan moral. Kualitas Puasa sepenuhnya tergantung pada kualitas Amal Saleh yang dilakukan selama periode tersebut.
Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus. Amal Saleh terbesar dalam Puasa adalah menahan lisan dari perkataan kotor, ghibah, dusta, dan menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan. Nabi SAW bersabda, betapa banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan haus. Ini menunjukkan bahwa jika aspek Amal Saleh (kontrol diri, kesabaran) tidak terpenuhi, Pilar Puasa menjadi kering maknanya. Pengendalian diri dari perbuatan yang merusak nilai Puasa adalah jihad internal yang dihitung sebagai Amal Saleh.
Bulan Ramadan menjadi puncak aktivitas Amal Saleh. Shalat Tarawih (Qiyamul Lail) dan memperbanyak tilawah Al-Qur'an adalah amal-amal sunnah yang dianjurkan. Melaksanakan ibadah sunnah dengan penuh penghayatan, keikhlasan, dan kekhusyukan, merupakan peningkatan kualitas Pilar Puasa itu sendiri. Malam Lailatul Qadar, yang nilai ibadahnya setara seribu bulan, adalah kesempatan emas untuk memaksimalkan Amal Saleh spiritual.
Puasa menumbuhkan empati. Merasakan lapar dan haus mendorong Muslim untuk beramal saleh secara sosial, seperti memberi makan orang yang berbuka (Iftar) atau memberikan sedekah fitrah. Amal Saleh ini melengkapi Puasa, menjadikannya ibadah yang tidak hanya vertikal (kepada Allah) tetapi juga horizontal (kepada sesama manusia).
Puasa yang didasari Amal Saleh menghasilkan Taqwa. Amal Saleh adalah proses training moral dan spiritual, sementara Taqwa adalah hasil akhir dari training tersebut, sebagaimana tujuan utama Puasa disebutkan dalam Al-Qur'an.
Haji adalah pilar yang paling komprehensif, menuntut kesiapan fisik, finansial, dan spiritual. Haji merupakan kumpulan dari banyak Amal Saleh yang dilaksanakan secara sistematis dalam waktu dan tempat tertentu.
Amal Saleh Haji dimulai jauh sebelum perjalanan. Persyaratan utama Haji adalah istita’ah (kemampuan), yang mencakup harta yang halal dan bekal yang cukup untuk keluarga yang ditinggalkan. Memastikan bahwa bekal Haji berasal dari sumber yang halal adalah Amal Saleh yang wajib. Selain itu, melunasi utang dan meminta maaf kepada sesama (membersihkan hubungan sosial) sebelum berangkat adalah Amal Saleh moral yang menentukan kemabruran Haji.
Setiap ritual Haji adalah Amal Saleh. Tawaf (mengelilingi Ka’bah), Sa’i (berlari kecil antara Safa dan Marwa), Wuquf (berhenti di Arafah), dan melempar jumrah adalah serangkaian Amal Saleh yang menuntut ketahanan fisik dan kesabaran. Melakukan ritual ini sesuai tuntunan Nabi (ittiba’) dan dengan niat yang murni adalah manifestasi Amal Saleh.
Haji yang ideal adalah Haji Mabrur—haji yang diterima dan tidak dicampuri dosa. Syarat Haji Mabrur bukanlah kesempurnaan teknis, melainkan kesempurnaan kualitas Amal Saleh yang menyertainya: menjauhi pertengkaran (rafats), perbuatan fasik (fusuq), dan menjaga kesopanan serta etika yang tinggi. Haji Mabrur tercermin bukan hanya saat di Tanah Suci, tetapi dalam perubahan perilaku yang berkelanjutan setelah kembali ke tanah air. Perubahan positif pasca-Haji adalah bukti bahwa Amal Saleh telah meresap ke dalam jiwa.
Keterkaitan antara iman, pelaksanaan Pilar, dan Amal Saleh yang luas (di luar Pilar) adalah tema sentral dalam wahyu. Ayat-ayat Al-Qur'an selalu mengaitkan keselamatan di akhirat dengan kombinasi keduanya. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal." (QS. Al-Kahfi: 107)
Penggunaan kata kerja 'mengerjakan' ('amilu) dalam bentuk jamak menunjukkan bahwa iman harus diekspresikan secara aktif dan konsisten. Pilar Islam adalah kerangka wajib di mana Amal Saleh harus pertama kali diterapkan, menjadi fondasi minimum yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim. Namun, Amal Saleh meluas hingga mencakup seluruh aspek etika, muamalah, dan hubungan antarmanusia.
Meskipun Pilar Islam adalah ibadah wajib, Amal Saleh mencakup juga ibadah sunnah dan etika sehari-hari yang menyempurnakan ibadah fardhu. Amal saleh di luar pilar meliputi:
Amal Saleh ini berfungsi sebagai "penambal" dan "penguat" bagi kekurangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan Pilar Islam. Jika Salat dilakukan tanpa khushu’ yang sempurna, maka kekurangannya dapat ditambal oleh sedekah tersembunyi, kebaikan kepada tetangga, atau dzikir yang konsisten.
Hubungan Amal Saleh dan Pilar Islam bersifat interdependen. Artinya, Pilar tidak akan diterima secara sempurna tanpa kualitas Amal Saleh, dan Amal Saleh tidak akan terwujud tanpa kerangka dasar yang disediakan oleh Pilar.
Pilar Islam menyediakan disiplin yang diperlukan untuk membentuk karakter Amal Saleh. Salat melatih kedisiplinan waktu dan kebersihan (fisik dan niat). Puasa melatih pengendalian diri dan kesabaran. Zakat melatih kedermawanan dan menanggulangi sifat kikir. Dengan kata lain, Pilar adalah "sekolah" yang mewajibkan seorang Muslim untuk secara rutin mempraktikkan Amal Saleh tertentu.
Sebagai contoh, kewajiban Zakat mendidik seorang Muslim untuk berpikir secara altruistik dan bertanggung jawab terhadap komunitasnya. Sifat kedermawanan yang dilatih oleh Zakat kemudian diekspresikan dalam bentuk Amal Saleh sukarela lainnya, seperti memberikan bantuan bencana atau membangun fasilitas umum. Tanpa disiplin wajib Zakat, kedermawanan bisa jadi hanya bersifat sporadis.
Sebaliknya, Amal Saleh berfungsi sebagai faktor peningkatan mutu (ihsan) dari Pilar Islam. Melakukan ibadah wajib (Pilar) dengan kualitas Amal Saleh (ikhlas, itba’, khushu’, ihsan) mengubah status ibadah dari sekadar menggugurkan kewajiban menjadi ibadah yang mencapai derajat tertinggi di sisi Allah.
Ketika seseorang melakukan Salat dengan kesadaran penuh bahwa Allah mengawasi (derajat Ihsan), ia telah membawa Amal Saleh tertinggi ke dalam Pilar Salatnya. Ketika Zakat dikeluarkan dengan hati yang lapang dan tanpa keinginan untuk pamer (jauh dari riya’), ia telah mengamalkan Amal Saleh yang memurnikan Pilar Zakatnya.
Tujuan utama dari Syariat Islam, termasuk Pilar dan dorongan untuk ber-Amal Saleh, adalah mencapai Tazkiyat an-Nafs (penyucian jiwa). Ketika Pilar Islam dilaksanakan dengan kualitas Amal Saleh yang maksimal, terjadi transformasi mendalam pada individu.
Salat dan Puasa melatih kejujuran (sidq). Seseorang yang berpuasa secara rahasia dapat saja membatalkan puasanya tanpa diketahui orang lain, tetapi ia menahan diri karena kesaksian hatinya (Amal Saleh) terhadap keagungan Allah. Kejujuran ini kemudian meluas ke dalam seluruh tindakannya (muamalah).
Semua Pilar menuntut kesabaran: sabar dalam menunaikan Salat tepat waktu, sabar menahan lapar dan syahwat saat Puasa, sabar menabung dan berkorban dalam Haji, serta sabar menahan diri dari sifat kikir saat Zakat. Kesabaran (Amal Saleh) yang terlatih melalui Pilar ini menjadi fondasi bagi pembentukan karakter takwa.
Amal Saleh sosial yang diwajibkan melalui Zakat dan dipraktikkan melalui Sedekah, didukung oleh Pilar Salat yang dilakukan secara berjamaah, dan mencapai puncaknya dalam persatuan global di Haji, memperkuat ikatan Ukhuwah Islamiyah. Pilar dan Amal Saleh adalah katalisator bagi kesatuan umat, menghilangkan perbedaan kelas, ras, dan status sosial.
Jika Pilar Islam dilaksanakan tanpa mengindahkan kualitas Amal Saleh yang menyertainya (yaitu tanpa ikhlas, tanpa itba', atau tanpa dampak moral), maka ibadah tersebut berisiko menjadi sia-sia atau hanya diterima minimalis.
Riya’ adalah penyakit terbesar yang menyerang Amal Saleh. Jika Salat, Zakat, atau bahkan Haji dilakukan dengan tujuan dilihat dan dipuji manusia, niatnya rusak, dan amal tersebut tidak memiliki nilai di sisi Allah, meskipun secara formal Pilar itu telah dilaksanakan. Hal ini menunjukkan bahwa Ikhlas—sebagai Amal Saleh hati—adalah prasyarat mutlak penerimaan ibadah.
Pilar yang dilaksanakan secara formalistik dan rutin, tanpa adanya khushu’ atau refleksi diri, akan menghasilkan kekeringan spiritual. Muslim tersebut akan memiliki identitas lahiriah (melakukan shalat, puasa), tetapi tidak memiliki kekuatan moral atau spiritual yang mampu mencegahnya dari dosa. Inilah bahaya terbesar yang mengancam seorang Muslim: terperangkap dalam rutinitas ibadah tanpa esensi Amal Saleh.
Kekeringan ini menciptakan dikotomi: Muslim yang taat secara ritual, tetapi zalim secara sosial. Dalam pandangan Islam, ibadah vertikal (Pilar) harus selalu berpasangan dengan ibadah horizontal (Amal Saleh sosial), dan kegagalan pada salah satu sisi merusak sisi yang lain.
Pilar Islam mewakili tingkat Islam (penyerahan diri), sedangkan Amal Saleh yang dilakukan dengan kualitas tertinggi mencapai tingkat Iman (keyakinan) dan bahkan Ihsan (beribadah seolah-olah melihat Allah, atau setidaknya yakin bahwa Allah melihat kita).
Ihsan adalah puncak dari Amal Saleh. Ketika ibadah wajib (Pilar) dilakukan pada derajat Ihsan, maka ia mencapai kesempurnaan. Haji yang dilakukan dengan kepatuhan detail dan kesadaran penuh adalah Haji Mabrur. Salat yang dilakukan dengan khushu’ mendalam adalah Salat yang mencegah keburukan. Ini menunjukkan bahwa Amal Saleh adalah jembatan antara status seorang Muslim (yang menunaikan kewajiban) menuju status seorang Muhsin (yang melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya).
Tanpa Amal Saleh, Pilar Islam berisiko ditinggalkan atau diubah dari waktu ke waktu. Kesadaran mendalam akan keikhlasan dan ketaatan (Amal Saleh) memastikan bahwa seorang Muslim akan terus menjaga Salatnya meskipun dalam keadaan sulit (sakit atau bepergian). Inilah yang dinamakan istiqamah (konsistensi), yang juga merupakan bentuk Amal Saleh yang harus dijaga seumur hidup.
Istiqamah adalah hasil dari perjuangan terus-menerus (mujahadah) untuk menjaga kualitas ibadah. Hal ini berlaku bagi seluruh Pilar: Istiqamah dalam membayar Zakat (meski harta berkurang), Istiqamah dalam Puasa (meski godaan duniawi besar), dan Istiqamah dalam menjaga kesucian Syahadat (meski tekanan ideologis datang).
Untuk memahami kedalaman 5000 kata mengenai topik ini, perlu diurai detail-detail kecil yang sering terabaikan dalam pelaksanaan Pilar, namun menjadi inti dari Amal Saleh.
Amal Saleh dalam Syahadat tidak berhenti pada pengakuan lisan. Ia melibatkan wala’ wal bara’, yaitu loyalitas kepada kaum Muslimin dan berlepas diri dari kesyirikan dan praktik yang bertentangan dengan tauhid. Sikap tegas dalam memilih kebenaran, menolak kebatilan, dan berpegang teguh pada tauhid murni, meskipun menghadapi kesulitan sosial atau tekanan politik, adalah Amal Saleh yang paling berharga karena merupakan manifestasi tertinggi dari Syahadat.
Amal saleh dalam hal ini juga mencakup belajar ilmu tauhid, mengajarkannya, dan berusaha memahaminya secara mendalam agar terhindar dari kesesatan. Mengalokasikan waktu untuk mempelajari Al-Qur'an dan Sunnah adalah amal saleh intelektual yang meneguhkan Pilar Syahadat.
Salat berjamaah memberikan dimensi Amal Saleh yang unik. Amal Saleh di sini mencakup: berjalan kaki ke masjid (setiap langkah dihitung pahala), menjaga saf agar lurus dan rapat (menjaga persatuan), dan menaati Imam. Bersabar menunggu Imam, meskipun terlambat datang, dan bersikap ramah kepada sesama jamaah adalah Amal Saleh sosial yang memperkuat Pilar Salat.
Lebih jauh lagi, peran seorang Muslim dalam membangun dan memakmurkan masjid, baik melalui donasi, tenaga, atau sekadar menjaga kebersihannya, adalah perluasan dari Amal Saleh Salat. Ini mengubah Salat dari sekadar kewajiban individu menjadi motor penggerak komunitas.
Amal Saleh yang berkaitan dengan Zakat juga mencakup pihak amil (pengelola). Amil yang jujur, profesional, dan bekerja keras memastikan Zakat didistribusikan secara efektif dan tepat sasaran. Kejujuran amil, usahanya dalam mencari pihak yang paling berhak, dan integritasnya dalam menjaga dana umat adalah Amal Saleh yang sangat berat timbangannya. Ini adalah ibadah administrasi dan manajemen yang menjadi kunci keberhasilan Pilar Zakat sebagai sistem keadilan ekonomi.
Bahkan bagi si penerima Zakat, berusaha keras untuk mandiri dan tidak bergantung terus-menerus pada Zakat, serta menggunakan dana Zakat untuk hal-hal yang produktif, juga dianggap sebagai bentuk Amal Saleh.
Puasa menuntut Amal Saleh dalam hal menjaga waktu. Sahur yang dilakukan mendekati fajar dan berbuka yang disegerakan adalah bentuk ketaatan (Amal Saleh) terhadap Sunnah Nabi. Selain itu, menjaga niat Puasa di malam hari (bagi puasa wajib) adalah Amal Saleh yang mengikat ibadah tersebut. Konsistensi dalam menjaga kebersihan waktu Puasa dari segala yang membatalkan secara spiritual (seperti marah yang berlebihan) adalah perjuangan Amal Saleh yang tanpa henti selama Ramadan.
Amal Saleh juga terlihat dalam kebiasaan makan yang tidak berlebihan saat berbuka, menghindari pemborosan, dan fokus pada ibadah daripada urusan perut. Ini adalah manifestasi Amal Saleh yang melatih pengendalian diri di luar jam puasa itu sendiri.
Haji, sebagai demonstrasi persatuan umat, memiliki Amal Saleh yang bersifat global. Berinteraksi dengan jutaan orang dari berbagai latar belakang, menjauhi pertengkaran, bersabar terhadap keramaian, dan memberikan bantuan kepada sesama jamaah yang membutuhkan adalah Amal Saleh tertinggi dalam ibadah ini. Ketika jutaan Muslim melaksanakan ritual yang sama, mengenakan pakaian yang sama (ihram), dan memiliki niat yang sama (Lillahi Ta’ala), ini adalah perwujudan kolektif dari Amal Saleh yang universal.
Kualitas Haji Mabrur sangat ditekankan karena ia mensyaratkan bahwa seluruh perjalanan dilakukan dengan etika Ihsan. Meninggalkan gosip tentang jamaah lain, menjaga lisan, dan memprioritaskan kebutuhan orang lain di tempat-tempat yang padat adalah ibadah batin (Amal Saleh) yang lebih utama daripada sekadar menyelesaikan putaran Tawaf atau Sa'i.
Hubungan antara Amal Saleh dan Lima Pilar Islam adalah hubungan kausalitas, sinergi, dan ketergantungan yang tidak terpisahkan. Pilar Islam adalah struktur fundamental, kerangka wajib, dan minimalitas ibadah yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim. Pilar-pilar ini berfungsi sebagai sarana, media, dan program pelatihan yang terstruktur.
Sementara itu, Amal Saleh adalah substansi, kualitas, keikhlasan niat, dan kepatuhan syariat yang menyertai setiap detail pelaksanaan Pilar tersebut. Tanpa Amal Saleh, Pilar hanya menjadi bentuk kosong; tanpa Pilar, Amal Saleh bisa menjadi tidak terarah dan kehilangan landasan wajibnya.
Seorang Muslim sejati harus berusaha untuk tidak hanya memenuhi kuantitas Pilar, tetapi juga memaksimalkan kualitas Amal Saleh dalam setiap rukun yang dikerjakan. Kesempurnaan iman seseorang tidak diukur dari seberapa sering ia melaksanakan ritual, melainkan dari seberapa ikhlas dan seberapa benar (saleh) amal perbuatannya dalam menunaikan kewajiban tersebut, serta seberapa luas dampak etis dan moral yang dihasilkan dalam kehidupannya sehari-hari. Hanya dengan menggabungkan komitmen terhadap Pilar dan konsistensi dalam Amal Saleh, seorang hamba dapat berharap mencapai keridaan dan janji kebahagiaan abadi dari Allah SWT.