Antropologi menawarkan lensa kritis yang mendalam untuk memahami fenomena pendidikan. Berbeda dengan pendekatan sosiologi atau psikologi yang mungkin fokus pada struktur institusional atau fungsi kognitif semata, antropologi pendidikan melihat proses belajar dan mengajar sebagai bagian integral dari budaya masyarakat pendukungnya. Pendidikan, dalam pandangan ini, bukanlah sekadar transfer informasi, melainkan sebuah mekanisme sosialisasi dan enkulturasi yang kompleks.
Fokus utama antropologi adalah bagaimana nilai-nilai, norma, mitos, dan praktik sehari-hari suatu kelompok diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui berbagai institusi—baik formal (sekolah) maupun informal (keluarga, komunitas, permainan). Ketika kita mengkaji sistem sekolah, antropolog akan bertanya: Pengetahuan apa yang dianggap berharga oleh masyarakat ini? Budaya mana yang diwakili oleh kurikulum resmi, dan budaya mana yang mungkin terpinggirkan atau diabaikan?
Konsep kunci dalam studi ini adalah enkulturasi, yaitu proses di mana seorang individu mempelajari dan menginternalisasi norma dan nilai budayanya sendiri. Sekolah, di banyak negara, berfungsi sebagai agen enkulturasi sekunder yang kuat. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)—aturan tidak tertulis tentang perilaku, hirarki, dan cara berinteraksi—seringkali memiliki dampak yang lebih besar pada pembentukan karakter sosial siswa daripada materi pelajaran formal.
Antropologi juga menyoroti keberagaman praktik pendidikan. Di masyarakat adat atau komunitas tertentu, pembelajaran seringkali berlangsung melalui partisipasi langsung (learning by doing) dalam aktivitas ekonomi atau ritual. Pengetahuan ditransfer secara kontekstual, bukan terpisah dari kehidupan sehari-hari. Bandingkan dengan model sekolah modern yang cenderung memisahkan waktu belajar dari waktu praktik kerja, sebuah dikotomi yang mungkin asing bagi banyak budaya tradisional.
Perspektif antropologis sangat peka terhadap isu kekuasaan. Institusi pendidikan sering kali mencerminkan hegemoni kelompok dominan. Misalnya, bahasa yang digunakan di kelas, standar perilaku yang dipaksakan, atau narasi sejarah yang diajarkan, semuanya dapat memperkuat posisi kelompok tertentu sambil secara halus mendiskreditkan atau menormalkan subkultur minoritas. Studi etnografi di kelas memungkinkan peneliti untuk melihat secara langsung bagaimana dinamika sosial dan bias budaya termanifestasi dalam interaksi guru-murid.
Ketika terjadi benturan budaya—misalnya antara budaya rumah siswa dengan budaya sekolah—dapat muncul masalah seperti kegagalan akademik atau alienasi. Antropologi mendorong pengakuan terhadap etnosentrisme dalam desain pendidikan dan menganjurkan pendekatan yang lebih inklusif dan adaptif terhadap konteks budaya lokal.
Memahami pendidikan melalui kacamata antropologi memberikan manfaat praktis. Ini mendorong pendidik untuk menjadi lebih sadar budaya (culturally responsive teaching). Guru perlu memahami latar belakang budaya siswa mereka, cara mereka belajar di rumah, dan bagaimana pengetahuan tersebut dapat diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran.
Lebih lanjut, antropologi pendidikan mendorong kita untuk memperluas definisi 'cerdas' dan 'berpengetahuan'. Kecerdasan spasial seorang pembuat peta tradisional, kecerdasan sosial seorang mediator konflik komunitas, atau kecerdasan praktis seorang pengrajin, semuanya adalah bentuk kompetensi yang valid yang mungkin tidak terukur oleh tes standar. Pendidikan yang ideal, menurut perspektif ini, adalah yang berhasil menyeimbangkan transmisi pengetahuan universal dengan penghargaan terhadap kekayaan kearifan lokal dan keragaman cara hidup manusia.