Konflik antara Israel dan Palestina adalah salah satu isu geopolitik paling kompleks, berlarut-larut, dan sarat emosi di dunia. Konflik ini bukan sekadar perebutan wilayah, melainkan jalinan rumit sejarah, identitas, agama, politik, dan aspirasi nasional dua bangsa yang sama-sama mengklaim hak atas tanah yang sama. Untuk memahami mengapa Israel seringkali melakukan tindakan militer di wilayah Palestina, perlu menelusuri lapisan-lapisan sejarah yang telah membentuk realitas saat ini, memahami perspektif kedua belah pihak, serta mengidentifikasi faktor-faktor pemicu eskalasi kekerasan yang berulang.
Ketegangan yang kita saksikan hari ini adalah akumulasi dari peristiwa-peristiwa selama lebih dari satu abad, yang melibatkan kekuatan kolonial, gerakan nasionalis, perang regional, dan upaya perdamaian yang seringkali gagal. Setiap tindakan, setiap serangan, dan setiap respons memiliki latar belakang historis dan politis yang mendalam, menjadikannya sangat sulit untuk diuraikan tanpa konteks yang komprehensif. Artikel ini akan mencoba membongkar berbagai dimensi konflik ini, mulai dari akar sejarahnya yang jauh, perang-perang besar yang membentuk lanskap politik, hingga isu-isu kontemporer yang terus memicu perlawanan dan respons militer.
Akar Sejarah Konflik: Klaim Atas Tanah yang Sama
Konflik ini berakar pada klaim historis dan religius yang tumpang tindih atas wilayah yang oleh orang Yahudi disebut sebagai Eretz Israel (Tanah Israel) dan oleh orang Palestina serta Muslim disebut sebagai Filastin (Palestina) atau Tanah Suci. Kedua belah pihak memiliki ikatan yang dalam dan berusia ribuan tahun dengan wilayah ini, membentuk fondasi narasi nasional mereka.
Zionisme dan Aspirasi Nasional Yahudi
Gerakan Zionisme, yang muncul pada akhir abad ke-19, adalah gerakan politik yang bertujuan untuk mendirikan dan mendukung negara Yahudi di Tanah Israel, tanah leluhur orang Yahudi. Gerakan ini lahir sebagai respons terhadap gelombang antisemitisme yang merajalela di Eropa, puncaknya adalah pogrom di Kekaisaran Rusia dan kasus Dreyfus di Prancis, yang meyakinkan banyak orang Yahudi bahwa satu-satunya solusi untuk perlindungan dan kelangsungan hidup mereka adalah dengan memiliki tanah air sendiri. Tokoh sentral dalam gerakan ini, Theodor Herzl, melalui bukunya "Der Judenstaat" (Negara Yahudi) pada tahun 1896, mengemukakan visi pembentukan negara Yahudi yang berdaulat.
Bagi para Zionis, kembali ke Tanah Israel bukan hanya sebuah keharusan politik, tetapi juga pemenuhan janji kenabian dan ikatan sejarah serta agama yang tak terputus selama ribuan tahun diaspora. Mereka melihat diri mereka sebagai bangsa yang kembali ke rumah leluhurnya, mengklaim hak atas tanah yang telah lama mereka doakan dan kenang. Migrasi awal orang Yahudi ke Palestina, yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman, dimulai pada akhir abad ke-19, semakin intensif di awal abad ke-20, dengan tujuan membangun komunitas Yahudi dan akhirnya mendirikan sebuah negara.
Nasionalisme Palestina dan Aspirasi Nasional Arab
Bersamaan dengan munculnya Zionisme, nasionalisme Arab juga berkembang di wilayah Timur Tengah, termasuk di Palestina. Penduduk Arab Palestina, yang telah mendiami wilayah tersebut selama berabad-abad, mulai mengembangkan identitas nasional mereka sendiri pada akhir Kekaisaran Ottoman. Mereka melihat diri mereka sebagai penduduk asli tanah itu, dengan warisan budaya, sejarah, dan bahasa yang kaya. Mereka menentang imigrasi Yahudi yang terus meningkat, yang mereka pandang sebagai invasi demografis dan ancaman terhadap keberadaan serta hak-hak mereka di tanah air mereka sendiri.
Aspirasi nasional Palestina adalah untuk mendirikan negara merdeka di tanah Palestina, bebas dari dominasi asing dan menjaga identitas Arab-Palestina mereka. Mereka melihat upaya Zionis sebagai bentuk kolonialisme pemukim yang bertujuan untuk menggusur mereka dari tanah mereka. Mereka berargumen bahwa tanah tersebut adalah milik mereka berdasarkan sejarah, kepemilikan tanah, dan kehadiran demografis yang dominan selama ratusan tahun. Perlawanan terhadap Zionisme menjadi salah satu pilar utama identitas nasional Palestina.
Mandat Britania dan Deklarasi Balfour
Setelah kekalahan Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia Pertama, wilayah Palestina jatuh di bawah kendali Mandat Britania Raya. Periode Mandat ini (1920-1948) menjadi titik kritis yang mengukir garis besar konflik di kemudian hari. Pada tahun 1917, sebelum berakhirnya perang, pemerintah Britania mengeluarkan Deklarasi Balfour, sebuah pernyataan yang menjanjikan "pendirian rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina." Deklarasi ini disambut dengan sukacita oleh gerakan Zionis, namun menimbulkan kemarahan dan kekhawatiran yang mendalam di kalangan penduduk Arab Palestina, yang melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap janji-janji Britania sebelumnya tentang kemerdekaan Arab.
Selama periode Mandat, Britania dihadapkan pada tugas yang mustahil untuk memuaskan tuntutan yang saling bertentangan dari kedua komunitas. Imigrasi Yahudi meningkat tajam, terutama setelah kebangkitan Nazisme di Eropa, yang menyebabkan ketegangan yang parah dan seringkali berujung pada kekerasan antara Yahudi dan Arab. Berbagai rencana pembagian dan proposal lainnya diajukan oleh Britania, tetapi semuanya gagal karena tidak ada pihak yang bersedia berkompromi secara substansial. Situasi menjadi tidak terkendali, dan Britania akhirnya memutuskan untuk menyerahkan masalah ini kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1947.
Pembentukan Negara Israel dan Nakba (Tragedi 1948)
Pada akhir tahun 1947, PBB mengeluarkan Resolusi 181, yang mengusulkan rencana partisi atau pembagian Palestina menjadi dua negara terpisah: satu negara Arab dan satu negara Yahudi, dengan Yerusalem di bawah administrasi internasional. Rencana ini diterima oleh para pemimpin Yahudi tetapi ditolak keras oleh para pemimpin Arab dan Palestina, yang menganggapnya tidak adil karena memberikan sebagian besar tanah kepada minoritas Yahudi dan mengabaikan hak-hak penduduk Arab mayoritas.
Ketika Mandat Britania berakhir dan pasukan Britania menarik diri dari Palestina pada pertengahan tahun 1948, para pemimpin Yahudi memproklamasikan berdirinya Negara Israel. Deklarasi kemerdekaan Israel ini segera diikuti oleh invasi dari negara-negara Arab tetangga (Mesir, Yordania, Suriah, dan Irak) yang bertujuan untuk menghancurkan negara Yahudi yang baru lahir dan memulihkan Palestina sebagai negara Arab. Perang Arab-Israel pertama pun pecah.
Perang 1948, yang oleh Israel disebut sebagai Perang Kemerdekaan, dan oleh Palestina disebut sebagai "Nakba" atau "Malapetaka," memiliki konsekuensi yang sangat mendalam dan membentuk konflik hingga hari ini. Israel berhasil memenangkan perang, tidak hanya mempertahankan kemerdekaannya tetapi juga memperluas wilayahnya jauh melampaui batas yang diusulkan oleh PBB. Sebagai akibat perang ini, ratusan ribu warga Palestina terpaksa mengungsi atau diusir dari rumah mereka. Mereka menjadi pengungsi di negara-negara tetangga atau di wilayah-wilayah yang tersisa dari Palestina (Tepi Barat dan Jalur Gaza).
Nakba tidak hanya merujuk pada pengungsian massal, tetapi juga kehancuran ratusan desa Palestina dan penghapusan identitas Palestina di banyak wilayah. Bagi Palestina, ini adalah trauma kolektif yang mendefinisikan perjuangan mereka untuk kembali dan mendapatkan keadilan. Bagi Israel, ini adalah momen kelahiran bangsa yang diperjuangkan dengan keras, menegaskan hak mereka untuk eksis di tengah lingkungan yang bermusuhan.
Perang-Perang Besar Selanjutnya dan Pendudukan
Setelah 1948, wilayah tersebut terus diwarnai oleh konflik dan perang yang berulang, masing-masing dengan dampak yang mengubah geografi politik dan dinamika konflik.
Perang Enam Hari (Juni 1967)
Ini adalah perang yang paling signifikan dalam membentuk peta konflik modern. Dipicu oleh peningkatan ketegangan regional, penarikan pasukan perdamaian PBB dari Mesir, dan blokade Selat Tiran oleh Mesir, Israel melancarkan serangan preemptif terhadap Mesir, Suriah, dan Yordania. Dalam waktu enam hari, Israel meraih kemenangan militer yang menakjubkan, menduduki:
- Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania.
- Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir.
- Dataran Tinggi Golan dari Suriah.
Pendudukan wilayah-wilayah ini, terutama Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, memiliki konsekuensi yang sangat besar. Sejak saat itu, wilayah-wilayah tersebut, yang menjadi jantung bagi aspirasi negara Palestina, berada di bawah kendali militer Israel. Resolusi PBB 242 kemudian menyerukan penarikan Israel dari wilayah-wilayah yang diduduki sebagai imbalan atas pengakuan dan perdamaian, namun interpretasi mengenai "wilayah" mana yang harus ditarik tetap menjadi sumber perselisihan yang mendalam.
Perang Yom Kippur (Oktober 1973)
Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak pada hari suci Yahudi, Yom Kippur, untuk merebut kembali wilayah yang hilang pada 1967. Meskipun Israel pada awalnya terkejut, mereka berhasil membalikkan keadaan dan memukul mundur pasukan Arab. Perang ini, meskipun tidak mengubah batas wilayah secara signifikan, memiliki dampak psikologis yang besar dan membuka jalan bagi negosiasi perdamaian antara Israel dan Mesir yang menghasilkan Perjanjian Camp David pada 1978, di mana Mesir menjadi negara Arab pertama yang mengakui Israel dan mendapatkan kembali Semenanjung Sinai.
Intifada Pertama dan Proses Perdamaian Oslo
Selama dekade-dekade setelah 1967, kehidupan di bawah pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza menjadi semakin sulit bagi warga Palestina. Pembatasan pergerakan, penyitaan tanah untuk permukiman Israel, dan kurangnya prospek politik memicu frustrasi yang meluas. Pada akhir 1980-an, kemarahan ini meledak dalam bentuk Intifada Pertama, sebuah pemberontakan populer yang sebagian besar tidak bersenjata, melibatkan demonstrasi, pemogokan, boikot, dan pelemparan batu oleh pemuda Palestina terhadap pasukan Israel.
Intifada Pertama menarik perhatian dunia terhadap kondisi warga Palestina di bawah pendudukan dan secara signifikan meningkatkan tekanan internasional terhadap Israel. Peristiwa ini juga menyoroti kebutuhan akan solusi politik. Di tengah situasi ini, ada upaya untuk memulai proses perdamaian yang lebih formal.
Perjanjian Oslo (1993 dan 1995): Perjanjian rahasia antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang menghasilkan pembentukan Otoritas Nasional Palestina (PNA) dan pengakuan timbal balik antara Israel dan PLO. Perjanjian ini diharapkan akan menjadi kerangka kerja untuk negosiasi akhir mengenai status Tepi Barat dan Jalur Gaza, termasuk isu-isu inti seperti perbatasan, Yerusalem, permukiman, dan pengungsi. Namun, meskipun ada harapan besar, proses Oslo akhirnya runtuh karena kurangnya kepercayaan, kegagalan untuk memenuhi komitmen, peningkatan kekerasan dari kedua belah pihak, dan isu-isu status akhir yang tidak dapat diselesaikan.
Intifada Kedua dan Pembangunan Tembok Pemisah
Kegagalan proses perdamaian Oslo dan kunjungan kontroversial Ariel Sharon ke kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem pada akhir tahun 2000 memicu Intifada Kedua (atau Intifada Al-Aqsa). Kali ini, pemberontakan jauh lebih mematikan dan terorganisir, dengan serangan bunuh diri Palestina dan respons militer Israel yang masif. Ribuan orang tewas, sebagian besar warga sipil Palestina, dan kerusakan infrastruktur di wilayah Palestina sangat parah. Periode ini ditandai dengan tingkat kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak 1948.
Sebagai respons terhadap serangan-serangan Palestina, Israel memulai pembangunan Tembok Pemisah (disebut Tembok Keamanan oleh Israel, dan Tembok Apartheid oleh Palestina) di dalam dan sekitar Tepi Barat. Israel menyatakan tembok ini penting untuk melindungi warganya dari serangan teroris. Namun, bagi warga Palestina, tembok ini adalah simbol pendudukan dan perampasan tanah, karena sebagian besar jalurnya dibangun di dalam wilayah Tepi Barat, memisahkan komunitas, mengambil lahan pertanian, dan membatasi akses warga Palestina ke sumber daya dan wilayah mereka sendiri. Pembangunan tembok ini telah dikutuk oleh Mahkamah Internasional sebagai pelanggaran hukum internasional.
Faktor-Faktor Kunci yang Memicu Konflik Saat Ini
Meskipun sejarah konflik sangat panjang, beberapa isu inti terus menjadi pemicu utama ketegangan dan kekerasan yang berulang antara Israel dan Palestina.
1. Pendudukan dan Permukiman Ilegal
Sejak 1967, Israel telah menduduki Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Meskipun Israel menarik diri dari Jalur Gaza pada pertengahan 2000-an, wilayah tersebut tetap di bawah blokade ketat dan kontrol Israel. Di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, Israel terus membangun dan memperluas permukiman Yahudi. Menurut hukum internasional, permukiman ini dianggap ilegal karena dibangun di atas tanah yang diduduki. Keberadaan dan ekspansi permukiman ini menjadi hambatan utama bagi solusi dua negara, karena mereka memfragmentasi wilayah Palestina, mengambil sumber daya, dan mengurangi lahan yang tersedia untuk negara Palestina di masa depan. Warga Palestina melihat permukiman ini sebagai upaya sistematis untuk mengukuhkan kontrol Israel dan mencegah pembentukan negara Palestina yang berdaulat.
2. Status Yerusalem
Yerusalem adalah kota yang sangat sakral bagi ketiga agama Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam. Baik Israel maupun Palestina mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota mereka. Israel mengklaim seluruh Yerusalem, termasuk bagian timur yang diduduki pada 1967, sebagai ibu kota yang "tidak terbagi dan abadi." Sementara itu, Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina di masa depan. Status Yerusalem adalah salah satu isu paling emosional dan sulit untuk diselesaikan, seringkali menjadi titik nyala kekerasan, terutama di sekitar situs-situs suci seperti kompleks Masjid Al-Aqsa/Temple Mount.
3. Blokade Jalur Gaza
Setelah Hamas memenangkan pemilihan legislatif Palestina pada tahun 2006 dan mengambil alih kendali Jalur Gaza secara efektif pada tahun 2007, Israel dan Mesir memberlakukan blokade darat, laut, dan udara yang ketat terhadap wilayah tersebut. Israel menyatakan blokade itu perlu untuk mencegah Hamas mengimpor senjata dan bahan peledak. Namun, blokade ini telah memicu krisis kemanusiaan yang parah, menghancurkan ekonomi Gaza, menyebabkan tingkat pengangguran yang sangat tinggi, membatasi akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik, dan pasokan medis, serta menjebak jutaan warga Palestina dalam apa yang sering disebut sebagai "penjara terbuka." Kondisi putus asa ini seringkali menjadi pemicu bagi kelompok-kelompok bersenjata di Gaza untuk melancarkan serangan roket terhadap Israel, yang kemudian dibalas dengan operasi militer Israel yang menghancurkan.
4. Hak Pengungsi Palestina
Masalah pengungsi Palestina, yang berjumlah jutaan di seluruh wilayah dan di diaspora, adalah warisan langsung dari perang 1948 dan konflik-konflik berikutnya. Warga Palestina menuntut "hak untuk kembali" ke rumah dan tanah mereka yang hilang, sesuai dengan Resolusi PBB 194. Israel menolak tuntutan ini, dengan alasan bahwa mengizinkan jutaan pengungsi kembali akan mengancam karakter Yahudi negara Israel. Isu ini adalah salah satu rintangan paling sulit dalam setiap upaya perdamaian.
5. Keamanan Israel
Dari perspektif Israel, semua tindakan militernya, termasuk serangan terhadap Gaza atau operasi di Tepi Barat, adalah tindakan pertahanan diri yang sah. Israel menghadapi ancaman keamanan yang nyata dari kelompok-kelompok bersenjata Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam, yang menolak keberadaan Israel dan sering meluncurkan serangan roket, mortir, atau infiltrasi ke wilayah Israel. Ancaman-ancaman ini, ditambah dengan pengalaman historis penindasan dan genosida terhadap Yahudi, menempatkan keamanan sebagai prioritas utama bagi pemerintah dan warga Israel. Mereka berargumen bahwa serangan militer adalah respons yang diperlukan untuk melindungi warga sipil mereka.
6. Perpecahan Politik Palestina
Perpecahan antara faksi-faksi politik Palestina, terutama antara Fatah (yang mendominasi Otoritas Palestina di Tepi Barat) dan Hamas (yang menguasai Jalur Gaza), telah melemahkan posisi Palestina dalam negosiasi dan menghambat pembangunan negara. Kurangnya pemerintahan yang bersatu dan konsensus nasional di antara warga Palestina membuat upaya perdamaian menjadi lebih sulit dan memungkinkan Israel untuk menerapkan kebijakan "bagi dan taklukkan."
7. Kekerasan Berulang dan Siklus Konflik
Sejak pendudukan 1967, telah terjadi siklus kekerasan yang berulang. Israel melakukan operasi militer di Gaza atau Tepi Barat, seringkali sebagai respons terhadap serangan roket atau tindakan militan Palestina. Operasi-operasi ini seringkali menyebabkan korban sipil yang tinggi dan kerusakan infrastruktur yang parah di Palestina, yang kemudian memicu kemarahan, frustrasi, dan aksi balas dendam lebih lanjut dari kelompok-kelompok Palestina. Siklus ini terus berlanjut, dengan setiap eskalasi kekerasan memperdalam jurang kebencian dan mempersulit solusi.
Perspektif Masing-Masing Pihak
Untuk benar-benar memahami konflik, penting untuk melihatnya dari sudut pandang kedua belah pihak, yang seringkali sangat berbeda dan saling bertentangan.
Perspektif Israel
Dari sudut pandang Israel, negara mereka didirikan sebagai tempat berlindung bagi orang Yahudi setelah berabad-abad penganiayaan dan Holokaus. Mereka melihat hak mereka untuk hidup aman di tanah leluhur mereka sebagai hak yang tidak dapat diganggu gugat. Tindakan militer Israel sering digambarkan sebagai tindakan defensif yang diperlukan untuk melindungi warga sipil dari serangan teroris dan roket yang dilancarkan dari wilayah Palestina. Mereka menunjuk pada penolakan beberapa kelompok Palestina untuk mengakui hak Israel untuk eksis sebagai bukti ancaman eksistensial. Keamanan perbatasan, perlindungan warganya, dan menjaga karakter Yahudi negara adalah prioritas utama. Permukiman di Tepi Barat dilihat oleh banyak orang Israel sebagai bagian dari klaim historis dan keamanan mereka, meskipun pemerintah Israel mengakui bahwa ini adalah isu sensitif dalam negosiasi. Mereka juga berargumen bahwa Yerusalem harus tetap menjadi ibu kota Israel yang bersatu karena signifikansi historis dan religiusnya bagi Yudaisme.
Israel juga berpendapat bahwa mereka telah berulang kali menawarkan konsesi untuk perdamaian, namun ditolak oleh pihak Palestina. Mereka menyoroti bahwa penarikan mereka dari Gaza tidak menghasilkan perdamaian, melainkan peningkatan serangan roket. Oleh karena itu, bagi Israel, setiap gerakan ke arah pembentukan negara Palestina harus didahului dengan jaminan keamanan yang kuat dan pengakuan penuh atas keberadaan Israel sebagai negara Yahudi. Mereka sering menuduh pihak Palestina menghasut kekerasan dan gagal mengendalikan kelompok-kelompok ekstremis.
Perspektif Palestina
Warga Palestina melihat Israel sebagai kekuatan pendudukan yang terus-menerus merampas tanah mereka, menghancurkan rumah mereka, membatasi kebebasan bergerak mereka, dan menolak hak mereka untuk menentukan nasib sendiri di tanah air mereka sendiri. Mereka menganggap pendudukan sebagai ilegal dan permukiman sebagai pencurian tanah yang sistematis. Bagi mereka, Nakba bukan hanya peristiwa di masa lalu, tetapi proses berkelanjutan dari penggusuran dan marginalisasi.
Warga Palestina percaya bahwa mereka memiliki hak yang tidak dapat dicabut untuk mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, dan agar para pengungsi dapat kembali ke rumah mereka. Mereka melihat perlawanan bersenjata sebagai respons yang sah terhadap pendudukan dan ketidakadilan yang mereka alami, meskipun Otoritas Palestina secara resmi menolak kekerasan. Mereka menyoroti penderitaan manusia akibat blokade Gaza, pembatasan pergerakan di Tepi Barat, dan kekerasan yang seringkali menimpa warga sipil Palestina. Mereka berargumen bahwa klaim keamanan Israel seringkali digunakan sebagai alasan untuk memperluas kontrol dan menekan aspirasi nasional Palestina. Mereka juga menuntut pengakuan atas narasi historis mereka dan pengalaman mereka sebagai korban konflik.
Konflik di Era Modern: Siklus Eskalasi dan Krisis Kemanusiaan
Dalam beberapa dekade terakhir, konflik ini seringkali bermanifestasi dalam siklus kekerasan yang berulang, terutama di Jalur Gaza. Setiap kali ada serangan roket dari Gaza ke Israel, atau ketika Israel melakukan operasi penangkapan di Tepi Barat yang memicu perlawanan, respons militer seringkali sangat tidak proporsional. Operasi militer besar-besaran oleh Israel di Gaza, seperti yang terjadi pada tahun-tahun tertentu, seringkali menyebabkan kehancuran yang meluas, ribuan korban jiwa, sebagian besar warga sipil Palestina, dan memicu krisis kemanusiaan yang mendalam. Infrastruktur penting seperti rumah sakit, sekolah, dan pasokan air seringkali menjadi sasaran tidak langsung atau rusak akibat serangan udara dan darat.
Situasi di Tepi Barat juga terus memburuk, dengan peningkatan frekuensi bentrokan antara pemukim Israel, warga Palestina, dan tentara Israel. Pos pemeriksaan militer yang tak terhitung jumlahnya membatasi pergerakan warga Palestina, memisahkan komunitas, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Kekerasan pemukim terhadap warga Palestina, seringkali tanpa akuntabilitas yang memadai, juga menjadi pemicu utama ketegangan. Peristiwa di Yerusalem Timur, khususnya di lingkungan seperti Sheikh Jarrah atau di sekitar situs-situs suci, juga seringkali memicu protes yang kemudian berujung pada bentrokan kekerasan.
Dampak konflik terhadap kehidupan sehari-hari warga Palestina sangat menghancurkan. Pembatasan pergerakan, penghancuran lahan pertanian, kurangnya akses ke pasar, pendidikan, dan perawatan kesehatan, serta ancaman terus-menerus akan kehilangan rumah atau tanah mereka, menciptakan kondisi hidup yang sangat sulit dan tidak stabil. Di sisi Israel, ancaman serangan roket dan kekerasan juga menimbulkan kecemasan dan trauma di antara populasi sipil, meskipun skala dampaknya jauh berbeda.
Upaya Perdamaian dan Tantangan Menuju Solusi
Meskipun konflik ini telah berlangsung selama lebih dari satu abad, banyak upaya telah dilakukan untuk mencapai perdamaian yang abadi. Namun, semua upaya ini telah dihadapkan pada rintangan yang sangat besar.
Solusi Dua Negara
Solusi dua negara (two-state solution) adalah kerangka kerja yang paling banyak diterima secara internasional, menyerukan pembentukan negara Palestina merdeka berdampingan dengan Israel. Ide ini didasarkan pada Resolusi PBB dan hukum internasional. Namun, implementasinya menghadapi tantangan yang luar biasa, termasuk:
- Permukiman: Ekspansi permukiman Israel di Tepi Barat secara efektif memecah belah wilayah yang akan menjadi negara Palestina, membuat negara yang berdaulat secara geografis tidak mungkin terwujud.
- Yerusalem: Perselisihan mengenai status Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina tetap menjadi isu yang tidak dapat diselesaikan.
- Perbatasan: Bagaimana garis perbatasan akan ditarik, terutama mengingat keberadaan permukiman dan Tembok Pemisah.
- Keamanan: Kekhawatiran Israel akan keamanan jika negara Palestina dibentuk, dan permintaan Palestina untuk kedaulatan penuh tanpa gangguan militer Israel.
- Pengungsi: Masalah hak kembali pengungsi Palestina.
- Kepemimpinan: Kurangnya kepemimpinan yang kuat dan bersatu di pihak Palestina, serta kurangnya kemauan politik di pihak Israel untuk membuat konsesi yang signifikan.
Solusi Satu Negara
Sebagai alternatif, beberapa pihak mengusulkan solusi satu negara, di mana semua penduduk di Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza hidup dalam satu entitas politik yang sama dengan hak-hak yang setara. Namun, solusi ini juga menghadapi tantangan besar. Bagi Israel, ini akan mengakhiri karakter Yahudi negara mereka. Bagi Palestina, ada kekhawatiran tentang dominasi demografis dan politik oleh Yahudi. Solusi ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana identitas nasional dan warisan sejarah kedua bangsa dapat diakomodasi secara adil dalam satu negara.
Peran Masyarakat Internasional
Masyarakat internasional, termasuk PBB, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara Arab, telah berulang kali mencoba memediasi atau mendorong proses perdamaian. Namun, intervensi mereka seringkali terbatas oleh kepentingan geopolitik, kurangnya kesatuan di antara aktor-aktor internasional, dan kegagalan untuk memberikan tekanan yang cukup pada kedua belah pihak untuk berkompromi secara substansial. Bantuan kemanusiaan ke Palestina, meskipun penting, tidak dapat menggantikan solusi politik yang langgeng.
Kesimpulan: Sebuah Konflik Tanpa Akhir yang Terlihat?
Pertanyaan "kenapa Israel menyerang Palestina?" tidak memiliki jawaban tunggal yang sederhana. Serangan dan operasi militer Israel adalah manifestasi dari konflik yang jauh lebih dalam, berakar pada klaim historis yang tumpang tindih, perjuangan untuk penentuan nasib sendiri, dan perang-perang yang telah membentuk wilayah tersebut. Ini adalah konflik yang dipicu oleh kombinasi faktor sejarah, politik, agama, keamanan, dan kemanusiaan yang kompleks.
Israel melihat tindakannya sebagai respons yang sah terhadap ancaman keamanan dan sebagai upaya untuk mempertahankan keberadaannya di tengah lingkungan yang tidak bersahabat. Warga Palestina melihat tindakan Israel sebagai kelanjutan dari pendudukan, penindasan, dan perampasan hak-hak dasar mereka. Kedua belah pihak memiliki narasi mereka sendiri, yang seringkali tidak sejalan dan sulit untuk direkonsiliasi.
Selama isu-isu inti seperti pendudukan, permukiman, status Yerusalem, hak pengungsi, dan keamanan tidak diselesaikan secara adil dan komprehensif, siklus kekerasan kemungkinan besar akan terus berlanjut. Mencapai perdamaian yang abadi tidak hanya membutuhkan kompromi yang menyakitkan dari kedua belah pihak, tetapi juga dukungan yang konsisten dan berkeadilan dari komunitas internasional. Ini adalah perjuangan yang berkelanjutan untuk keadilan, pengakuan, dan hak asasi manusia, yang dampaknya terasa jauh melampaui batas-batas Timur Tengah.
Memahami konflik ini bukan berarti harus memihak, melainkan untuk mengakui kompleksitas yang mendasarinya dan dampak kemanusiaan yang mendalam yang ditimbulkannya. Hanya dengan pemahaman yang mendalam tentang akar penyebab dan perspektif kedua belah pihak, kita dapat berharap untuk berkontribusi pada dialog yang lebih konstruktif menuju masa depan yang lebih damai.