Kenapa Daging Anjing Itu Haram?

Ilustrasi: Simbol larangan/penolakan

Dalam ajaran Islam, konsumsi daging anjing secara tegas dilarang atau diharamkan. Hal ini didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah (hadits Nabi Muhammad SAW). Pemahaman mengenai keharaman ini tidak hanya terbatas pada aspek ibadah, tetapi juga mencakup pertimbangan kebersihan, etika, dan kesucian.

Dasar Hukum Keharaman

Keharaman mengonsumsi daging anjing disebutkan secara eksplisit dalam beberapa hadits Nabi Muhammad SAW. Salah satu hadits yang paling dikenal diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barang siapa memelihara anjing, maka setiap hari pahala amalnya berkurang satu qirath, kecuali anjing penjaga kebun atau ternak." (HR. Muslim)

Meskipun hadits ini berbicara tentang pengurangan pahala bagi pemelihara anjing yang tidak memiliki keperluan, namun ini menunjukkan status anjing yang berbeda dari hewan peliharaan lain yang dianjurkan. Para ulama mayoritas menafsirkan bahwa larangan memakan daging anjing memiliki landasan yang lebih kuat, bahkan dianggap najis.

Selain itu, ada pula ijma' (kesepakatan) para ulama sejak zaman dahulu bahwa daging anjing adalah haram untuk dikonsumsi. Hal ini diperkuat dengan kaidah ushul fiqh bahwa segala sesuatu hukumnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dalam kasus daging anjing, terdapat dalil yang jelas mengenai keharamannya.

Status Najis Daging Anjing

Menurut mayoritas ulama Syafi'iyah, Malikiyah, dan Hanabilah (jumhur ulama), anjing termasuk hewan yang najis, baik air liur, tubuhnya, maupun sisa-sisa hidupnya. Sehingga, jika ada bagian tubuh anjing yang terkena pada makanan atau minuman, maka makanan atau minuman tersebut menjadi najis dan harus disucikan.

Dalil mengenai kenajisan anjing adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika seekor anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaklah ia mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah." (HR. Muslim)

Perintah untuk mencuci bejana yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang kotor dan sulit dihilangkan dari anjing yang mengharuskan metode pembersihan yang spesifik. Hal ini ditafsirkan sebagai indikasi kenajisan.

Pertimbangan Kebersihan dan Kesehatan

Selain dasar syariat, keharaman daging anjing juga dapat ditinjau dari aspek kesehatan dan kebersihan. Secara umum, anjing dapat menjadi vektor atau perantara berbagai penyakit zoonosis (penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia). Beberapa penyakit tersebut antara lain:

Meskipun tidak semua anjing membawa penyakit, namun potensi penularan ini menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan hukum keharaman, sebagai bentuk perlindungan kesehatan umat.

Etika dan Penghargaan terhadap Hewan

Dalam pandangan Islam, anjing memiliki peran tertentu, misalnya sebagai penjaga ternak atau rumah. Namun, dalam budaya dan tradisi Islam, anjing umumnya tidak dianggap sebagai hewan peliharaan untuk dijadikan teman bermain atau anggota keluarga seperti yang lazim di beberapa budaya lain. Keberadaan mereka lebih pada fungsi spesifik.

Memperlakukan anjing dengan kasih sayang dan tidak menyiksanya adalah bagian dari ajaran Islam. Namun, ini tidak secara otomatis mengubah status hukumnya terkait konsumsi. Keharaman daging anjing mencerminkan pandangan Islam tentang kesucian dan batas-batas interaksi manusia dengan hewan.

Perbedaan Pandangan Mazhab (Singkat)

Mayoritas ulama dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali mengharamkan memakan daging anjing dan menganggapnya najis. Namun, ada sedikit perbedaan pandangan di kalangan ulama dari mazhab Hanafi yang memandang daging anjing sebagai najis mughallazah (najis berat) yang perlu disucikan dengan cara tertentu jika terkena, namun ada sedikit perbedaan dalam penafsiran mengenai keharaman mutlaknya dibandingkan dengan jumhur.

Namun demikian, pandangan yang paling dominan dan diterima luas di kalangan umat Islam adalah bahwa daging anjing haram hukumnya untuk dikonsumsi.

Dengan demikian, keharaman daging anjing dalam Islam didasarkan pada dalil syariat yang jelas dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta diperkuat oleh pandangan para ulama dan pertimbangan kebersihan serta kesehatan. Ini merupakan bagian dari ajaran Islam yang mengatur berbagai aspek kehidupan umatnya, termasuk dalam hal makanan dan minuman.

Pelajari lebih lanjut mengenai hukum makanan dalam Islam dan anjuran untuk mengonsumsi makanan yang thayyib (baik dan halal). Anda bisa membaca literatur fiqh atau bertanya kepada ahli agama terpercaya.

🏠 Homepage