Mengapa China Disebut Tiongkok: Menelusuri Akar Linguistik, Sejarah Dinasti, dan Dialek Diaspora

Perdebatan mengenai penyebutan yang tepat untuk Republik Rakyat China di Indonesia, apakah 'China', 'Cina', atau 'Tiongkok', merupakan sebuah topik yang tidak hanya melibatkan perbedaan linguistik semata, tetapi juga melibatkan lapisan-lapisan sejarah, politik, dan sensitivitas budaya yang sangat mendalam. Di antara ketiga istilah tersebut, 'Tiongkok' memiliki resonansi historis yang kuat, terutama dalam komunitas diaspora Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk di kepulauan Nusantara. Istilah ini bukan sekadar terjemahan alternatif; ia adalah cerminan dari bagaimana sebuah peradaban besar memandang dirinya sendiri di dunia, dan bagaimana pandangan tersebut ditransmisikan melalui jalur perdagangan dan migrasi berabad-abad.

Untuk memahami mengapa terminologi 'Tiongkok' diadopsi dan dipertahankan dalam narasi bahasa Indonesia, kita harus melakukan perjalanan kembali ke zaman sebelum kolonialisme mendefinisikan batas-batas geografis dan terminologi asing. Kita harus menelusuri akar kata ini hingga ke jantung peradaban Han, memahami apa yang terkandung dalam konsep "Negeri Tengah," dan bagaimana dialek-dialek di pesisir selatan menyebarkan nama tersebut, tidak melalui jalur diplomatik resmi, melainkan melalui kapal-kapal dagang yang melintasi Laut China Selatan.

I. Dua Garis Etimologi Utama: 'China' dan 'Tiongkok'

Secara garis besar, terdapat dua jalur etimologis yang berbeda untuk menyebut daratan utama peradaban ini, yang masing-masing membawa beban sejarah yang berbeda. Jalur pertama adalah jalur Barat, yang menghasilkan nama 'China' atau 'Cina'. Jalur kedua adalah jalur internal atau dialektal, yang kemudian menghasilkan nama 'Tiongkok' dalam bahasa Melayu dan Indonesia.

A. Asal Usul Kata 'China' (Jalur Barat)

Sebutan 'China' (atau 'Cina' yang merupakan serapan bahasa Melayu) diyakini berasal dari pengucapan asing yang masuk melalui Jalur Sutra. Secara umum, para ahli linguistik sepakat bahwa nama ini berakar pada nama Dinasti Qin (dibaca: Chin), dinasti pertama yang menyatukan berbagai kerajaan di daratan tersebut di bawah Kaisar Qin Shi Huang sekitar abad ketiga sebelum Masehi. Meskipun Dinasti Qin berumur pendek, pengaruhnya dalam membentuk identitas kekaisaran sangat besar, dan namanya menjadi representasi seluruh wilayah tersebut bagi orang luar.

Dari Dinasti Qin, istilah ini kemudian menyebar ke barat:

Jalur Barat ini menekankan sudut pandang eksternal; sebuah nama yang diberikan oleh peradaban lain berdasarkan apa yang mereka dengar dari pedagang atau melihat dari sejarah awal penyatuan. Ketika bangsa Eropa, terutama Belanda dan Portugis, tiba di Asia Tenggara, mereka membawa serta terminologi ini, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Melayu dan menjadi 'Cina'.

B. Asal Usul Kata 'Tiongkok' (Jalur Internal Dialek)

Sebaliknya, 'Tiongkok' adalah sebuah istilah yang berasal dari transliterasi dialek lokal, khususnya dari dialek Hokkien atau Teochew, untuk nama internal yang digunakan oleh masyarakat Han sendiri selama berabad-abad. Nama internal tersebut adalah Zhōngguó (中國).

Analisis Zhōngguó (中國):

Sehingga, Zhōngguó secara harfiah berarti "Negeri Tengah" (The Central Kingdom). Konsep ini adalah filosofi mendasar yang mendefinisikan pandangan dunia imperial, di mana peradaban Han dianggap sebagai pusat dunia yang beradab, dikelilingi oleh bangsa-bangsa 'barbar'.

Namun, bagaimana Zhōngguó dalam Mandarin bisa berubah menjadi Tiongkok di Indonesia? Jawabannya terletak pada dialek yang paling dominan digunakan oleh para imigran awal yang berlayar ke Nusantara, yaitu dialek dari provinsi Fujian (Hokkien) dan Guangdong (Teochew/Kanton). Dalam rumpun dialek Hokkien (Fujian), pengucapan untuk Zhōngguó (中國) terdengar sangat dekat dengan Tiong Kok. Para pedagang Hokkien yang berinteraksi erat dengan masyarakat pribumi Nusantara menggunakan Tiong Kok ini untuk merujuk ke tanah air mereka.

Simbol Jalur Sutra dan Transmisi Nama Diagram yang menunjukkan pergerakan nama Tiongkok (Zhongguo) dari pusat ke pesisir (Hokkien), lalu melintasi laut menuju Asia Tenggara. ZHONGGUO HOKKIEN TIANHUA (Tiongkok)

Oleh karena itu, 'Tiongkok' adalah istilah yang tumbuh dari interaksi langsung antara imigran Tionghoa dan penduduk lokal di Nusantara, menjadikannya istilah yang lebih 'internal' dan kurang terbebani oleh konotasi kolonial yang melekat pada istilah 'Cina'.

II. Kedalaman Konsep Zhōngguó: Filosofi Negeri Tengah

Pemilihan istilah 'Tiongkok' sebagai terjemahan untuk Zhōngguó sangat penting karena membawa serta seluruh muatan filosofis yang mendasari peradaban tersebut. Zhōngguó bukan sekadar nama geografis; ia adalah sebuah konsep kosmologis dan politik yang telah ada selama ribuan tahun, jauh sebelum pembentukan negara modern. Konsep ini membantu menjelaskan mengapa istilah ini begitu penting bagi identitas Tionghoa dan mengapa diaspora secara konsisten merujuknya melalui transliterasi dialek mereka.

A. Superioritas dan Orde Kosmik

Dalam sejarah kekaisaran, Zhōngguó menggambarkan pusat peradaban yang beradab dan teratur di bawah Mandat Surga (Tian Ming). Wilayah di luar Zhōngguó dianggap sebagai daerah 'luar' atau 'pinggiran' yang dihuni oleh suku-suku yang kurang beradab (barbar). Identitas Tionghoa sangat terikat pada ide bahwa budaya, sistem pemerintahan, dan filsafat mereka adalah yang paling unggul dan harus menjadi model bagi dunia. Dengan menggunakan istilah yang berakar pada Zhōngguó, istilah 'Tiongkok' secara implisit mengakui sejarah panjang dan kebanggaan kultural yang terkait dengan konsep "Negeri Tengah" tersebut.

Konsep sentralitas ini juga tercermin dalam sistem upeti kekaisaran, di mana negara-negara tetangga wajib mengirimkan utusan dan upeti ke istana kekaisaran di Zhōngguó. Selama Dinasti Ming dan Qing, konsep ini semakin diperkuat, meskipun kekuatan kekaisaran mulai melemah dalam menghadapi ekspansi Barat. Namun, dalam benak masyarakat dan diaspora, warisan Zhōngguó tetap menjadi inti dari identitas kolektif mereka.

B. Peran Dialek Selatan dalam Transmisi

Mayoritas imigran yang tiba di Asia Tenggara berasal dari provinsi pesisir selatan, seperti Fujian, Guangdong, dan Hainan. Ini adalah wilayah di mana dialek non-Mandarin seperti Hokkien, Kanton, Hakka, dan Teochew dominan. Perlu dicatat bahwa Hokkien adalah dialek yang sangat berpengaruh dalam interaksi perdagangan maritim di Asia Tenggara. Ketika mereka berinteraksi dengan orang-orang Melayu, Batak, Jawa, atau suku-suku lain di kepulauan, mereka membawa serta nama tempat asal mereka dalam pengucapan dialek mereka sendiri.

Transliterasi Hokkien (Tiong Kok) kemudian diserap ke dalam bahasa Melayu/Indonesia karena alasan fonetik yang pragmatis. Bunyi konsonan 'Z' pada 'Zhong' (Mandarin) bukanlah bunyi yang umum atau mudah diucapkan dalam bahasa Melayu/Indonesia kuno. Sebaliknya, bunyi 'Tiong' yang dimulai dengan konsonan alveolar plosif (T) jauh lebih mudah diserap dan diucapkan. Proses ini mengukuhkan 'Tiongkok' sebagai istilah baku dalam komunikasi antaretnis di Nusantara sebelum era modern.

Jika imigrasi masif justru datang dari utara, misalnya dari Beijing atau wilayah yang menggunakan dialek Mandarin secara eksklusif, mungkin istilah yang diserap ke dalam bahasa Indonesia akan jauh lebih dekat dengan 'Conggok' atau bahkan 'Jonggok'. Namun, sejarah perdagangan dan migrasi menentukan bahwa dialek Hokkien-lah yang memainkan peran kunci dalam pembentukan terminologi ini di wilayah maritim, sehingga menghasilkan 'Tiongkok'.

III. Pergulatan Terminologi di Indonesia: Politik, Budaya, dan Assimilasi

Di Indonesia, penggunaan istilah 'Cina' dan 'Tiongkok' tidak pernah menjadi masalah linguistik murni. Sejak pertengahan abad ke-20, istilah tersebut menjadi sangat politis, mencerminkan pasang surutnya hubungan etnis dan kebijakan asimilasi negara terhadap warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.

A. Era Kolonial dan Pembentukan 'Cina'

Pada masa kolonial Hindia Belanda, istilah yang dominan digunakan dalam administrasi dan masyarakat adalah 'Cina' (atau *Chinees* dalam bahasa Belanda). Sebagaimana dijelaskan, ini berasal dari jalur Barat/Eropa. Penggunaan istilah 'Cina' pada masa ini memiliki fungsi administratif untuk memisahkan kelompok etnis Tionghoa sebagai 'Orientals' di bawah hukum kolonial, berbeda dari *Inlanders* (pribumi) dan *Europeenen* (Eropa). Meskipun istilah ini netral secara historis pada awalnya, penggunaannya dalam konteks kolonial mulai menciptakan jarak sosial dan hierarki ras.

B. Pasca Kemerdekaan dan Politik Terminologi

Setelah Indonesia merdeka, istilah 'Cina' terus digunakan, tetapi mulai mendapatkan konotasi negatif, terutama setelah peristiwa politik yang melibatkan hubungan Indonesia-RRC. Pemerintahan Orde Baru (dimulai pada pertengahan abad) secara resmi dan sistematis mengganti semua penggunaan istilah 'Tionghoa' dan 'Tiongkok' menjadi 'Cina' melalui berbagai regulasi dan kebijakan asimilasi yang ketat. Kebijakan ini bertujuan untuk menekan identitas etnis Tionghoa dan mendorong mereka untuk melebur sepenuhnya ke dalam budaya Indonesia mayoritas.

Dalam konteks ini, istilah 'Cina' dipaksakan sebagai sebutan resmi, dan bagi banyak WNI keturunan Tionghoa, istilah ini terasa merendahkan atau berkonotasi negatif, seolah-olah menggarisbawahi status mereka sebagai 'orang luar' atau minoritas yang harus diwaspadai. Sebaliknya, 'Tiongkok' (merujuk ke negara) dan 'Tionghoa' (merujuk ke etnis) menjadi istilah yang dianggap lebih netral, terhormat, dan secara budaya lebih akurat karena akarnya pada Zhōngguó.

Simbol Sejarah dan Linguistik Gulungan kertas tua mewakili sejarah panjang perdebatan terminologi antara Tiongkok dan Cina. Tiongkok (Zhongguo) Cina (Qin - Western)

C. Reformasi dan Pengembalian 'Tiongkok'

Setelah berakhirnya Orde Baru, terjadi reformasi besar-besaran dalam kebijakan publik dan budaya. Dalam upaya untuk rekonsiliasi dan menghapus diskriminasi rasial, istilah 'Cina' mulai ditinggalkan dalam dokumen resmi dan media massa, digantikan oleh 'Tiongkok' dan 'Tionghoa'. Perubahan ini dikuatkan secara resmi melalui peraturan negara yang mengakui istilah 'Tiongkok' sebagai sebutan yang lebih disukai untuk merujuk ke negara Republik Rakyat China, dan 'Tionghoa' untuk merujuk kepada suku bangsa atau kebudayaan.

Pengembalian istilah 'Tiongkok' ke dalam perbendaharaan kata resmi Indonesia bukan hanya sekadar koreksi linguistik, tetapi merupakan tindakan simbolis yang penting dalam mengakui kembali kontribusi dan keberadaan komunitas etnis Tionghoa di Indonesia tanpa stigma politik masa lalu. Hal ini menegaskan bahwa penggunaan bahasa dapat menjadi alat politik yang kuat, baik untuk menindas maupun untuk memberdayakan.

IV. Analisis Linguistik Mendalam: Transliterasi Dialek sebagai Jembatan Budaya

Untuk benar-benar memahami fenomena 'Tiongkok', kita perlu membedah proses linguistik transliterasi dari bahasa Han Kuno hingga ke bahasa Melayu Klasik, sebuah proses yang didominasi oleh dialek-dialek non-Mandarin yang merupakan lingua franca maritim saat itu. Dialek-dialek ini sering disebut sebagai dialek Min Selatan (Hokkien, Teochew).

A. Transkripsi Hokkien (Romanisasi Pe̍h-ōe-jī)

Dalam romanisasi Pe̍h-ōe-jī (POJ) yang sering digunakan untuk menulis Hokkien, karakter Zhōng (中) diucapkan sebagai *Tiong*. Karakter Guó (國) diucapkan sebagai *Kok*. Oleh karena itu, *Zhōngguó* menjadi *Tiong Kok*. Jika kita menelusuri literatur Melayu-Tionghoa awal, kita akan menemukan konsistensi dalam penggunaan Tiong Kok ini, yang kemudian diserap oleh masyarakat lokal menjadi Tiongkok.

Perbedaan fonetik antara Mandarin standar (Putonghua) dan dialek pesisir seperti Hokkien sangat besar. Dalam Mandarin, Zhōng menggunakan inisial /ʈʂ/ atau /tɕ/, dan vokal /ʊŋ/. Dalam Hokkien, inisial tersebut sering berubah menjadi /t/ atau /tʰ/, yang menghasilkan bunyi 'Tiong'. Perubahan ini sangat umum dalam dialek non-Mandarin, di mana inisial yang kompleks dalam Mandarin sering disederhanakan menjadi konsonan plosif atau nasal yang lebih mudah. Jembatan fonetik ini adalah alasan utama mengapa 'Tiongkok' menang atas upaya transliterasi langsung Mandarin yang mungkin menghasilkan bunyi yang tidak familiar bagi penutur Melayu.

B. Konsistensi dalam Transmisi Bahasa

Perlu ditekankan bahwa 'Tiongkok' bukan merupakan istilah yang unik di Indonesia. Banyak bahasa di Asia Tenggara yang memiliki nama berbasis dialek untuk China, bukan nama berbasis 'Cina' dari Barat. Misalnya, dalam bahasa Melayu Malaysia dan Singapura, istilah *Tiongkok* juga dikenal, meskipun 'China' lebih umum digunakan dalam konteks resmi modern.

Kajian lebih lanjut tentang dialek Hakka dan Teochew menunjukkan variasi yang serupa, meskipun Hokkien yang paling berpengaruh. Dialek Teochew sering menghasilkan bunyi yang sangat mirip dengan Hokkien, memperkuat dominasi konsonan T dan vokal -ong dalam perbendaharaan kata Melayu. Konsistensi linguistik ini menunjukkan bahwa istilah 'Tiongkok' adalah hasil dari kontak bahasa yang intensif dan berkelanjutan melalui jalur maritim, menjadikannya warisan linguistik yang sangat tua, jauh lebih tua daripada serapan istilah 'Cina' dari bahasa kolonial Eropa.

Penggunaan istilah Tiongkok oleh para imigran juga menunjukkan suatu upaya untuk mempertahankan kemuliaan dan signifikansi kultural dari tanah air mereka, yang mereka sebut sebagai Negeri Tengah, sebagai warisan peradaban agung. Mereka tidak menyebut diri mereka sebagai 'orang Qin' (asal kata China), melainkan sebagai pewaris dari peradaban Zhōngguó.

V. Perbandingan dan Dampak Geopolitik Nama

Jika kita melihat bagaimana negara-negara Asia Timur lainnya merujuk pada China, kita dapat melihat pola yang memperkuat konsep Zhōngguó (Negeri Tengah) dibandingkan konsep 'Cina' (Dinasti Qin).

Dalam semua kasus di atas—Jepang, Korea, dan Vietnam—yang merupakan peradaban yang secara historis dan kultural paling dekat dengan China, mereka menggunakan varian fonetik dari nama internal *Zhōngguó*. Ini menunjukkan bahwa dalam lingkup Asia Timur, konsep 'Negeri Tengah' adalah terminologi yang dominan dan dihormati. Indonesia, meskipun secara geografis jauh, menerima versi ini (Tiongkok) melalui dialek diaspora yang berlayar ke selatan.

Adopsi 'Tiongkok' oleh Indonesia, oleh karena itu, menempatkan bahasa Indonesia dalam sebuah kelompok terminologi yang sejalan dengan tradisi Asia Timur, alih-alih sepenuhnya mengikuti jalur etimologis kolonial Barat. Ini adalah sebuah pengakuan implisit terhadap warisan linguistik yang dibawa oleh migrasi Tionghoa, dan bukan hanya sekadar penamaan yang didiktekan oleh kekuatan Eropa.

VI. Mempertahankan Keutuhan Linguistik dan Budaya

Perjalanan istilah 'Tiongkok' dari Zhōngguó (Mandarin) ke Tiong Kok (Hokkien) dan akhirnya Tiongkok (Indonesia) merupakan sebuah studi kasus yang kaya mengenai bagaimana perdagangan dan migrasi dapat membentuk bahasa dan persepsi identitas. Penggunaan 'Tiongkok' di Indonesia sekarang berfungsi sebagai jembatan yang mengakui sejarah interaksi yang panjang dan kompleks antara dua peradaban besar di Asia Tenggara.

Dalam konteks modern, ketika Indonesia semakin menegaskan identitas multikulturalnya, penggunaan istilah yang sensitif dan akurat secara budaya menjadi semakin penting. Menghormati preferensi komunitas etnis untuk menggunakan 'Tionghoa' (untuk suku bangsa) dan 'Tiongkok' (untuk negara) adalah bagian dari upaya yang lebih besar untuk menciptakan ruang publik yang inklusif dan bebas dari warisan diskriminasi di masa lalu. Meskipun istilah 'China' dan 'Cina' masih digunakan dalam konteks tertentu—seringkali secara non-politis atau informal—istilah 'Tiongkok' kini berdiri sebagai pilihan yang dianjurkan secara resmi dan dihargai secara budaya.

Kesimpulannya, China disebut Tiongkok di Indonesia karena alasan historis-linguistik yang kuat. Nama ini adalah transliterasi dialek Hokkien dari konsep internal Tionghoa, *Zhōngguó*, yang berarti 'Negeri Tengah'. Transliterasi ini dibawa oleh pedagang maritim, diserap secara alami ke dalam bahasa Melayu, dan kemudian dihidupkan kembali di era modern untuk menghapus konotasi negatif dan politik yang telah melekat pada istilah 'Cina' yang berasal dari jalur etimologi Barat dan kolonial. Tiongkok, dalam banyak hal, adalah pengakuan atas sejarah yang diukir oleh diaspora dan pengembalian kepada terminologi yang lebih menghargai akar budaya peradaban besar tersebut.

Setiap kali istilah Tiongkok diucapkan, ia secara tidak langsung mengulang kisah perjalanan pedagang dari Fujian dan Guangdong, kisah tentang konsep 'Negeri Tengah' yang abadi, dan kisah perjuangan identitas di Nusantara. Nama tersebut bukan hanya nama, tetapi juga sebuah deklarasi sejarah budaya dan linguistik yang telah berlangsung selama berabad-abad, menjadikannya pilihan yang paling kaya makna dalam konteks Indonesia.

VII. Penelusuran Lebih Lanjut: Varian Dialek dan Konsistensi Fonetik Maritim

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai dominasi 'Tiongkok', kita harus menggali lebih dalam variasi fonetik di kawasan pesisir selatan yang menjadi gerbang utama menuju Asia Tenggara. Fokus pada Hokkien saja tidaklah cukup; konsistensi fonetik di seluruh dialek Min Selatan dan Hakka memastikan bahwa versi *Tiong Kok* atau yang serupa, terlepas dari varian spesifik, menjadi bentuk yang paling sering didengar dan diserap oleh penutur Melayu.

A. Variasi Dalam Rumpun Dialek Tionghoa Selatan

Mari kita pertimbangkan bagaimana karakter Zhōngguó (中國) diucapkan dalam beberapa dialek lain yang juga memiliki kehadiran signifikan di Indonesia:

Fakta bahwa Hokkien menempati posisi sentral dalam perdagangan maritim memastikan bahwa bentuk *Tiong Kok* menjadi versi 'standar' yang diadopsi oleh Melayu Klasik, melampaui varian fonetik lainnya. Ini adalah fenomena bahasa kontak: ketika dua kelompok bertemu, istilah yang paling sering diulang dalam konteks perdagangan dan administrasi akan menjadi dominan. Dalam konteks Nusantara, istilah ini adalah 'Tiongkok'.

B. Kekuatan Kata Serapan Lama

Kata serapan yang datang dari dialek Tionghoa ke dalam bahasa Melayu dan Indonesia adalah bukti nyata kedalaman kontak ini. Banyak istilah sehari-hari yang kita gunakan, seperti *tahu, tauge, lontong* (meskipun ini perdebatan), dan banyak lagi, berasal dari Hokkien. Karena 'Tiongkok' juga merupakan kata serapan yang sangat tua dan mapan, ia memiliki legitimasi historis yang mendalam dalam kosakata Indonesia. Ini berbeda dengan 'Cina' yang merupakan serapan dari bahasa kolonial Eropa, yang hanya memiliki legitimasi administratif dan politik relatif baru.

Keputusan untuk mengembalikan 'Tiongkok' juga merupakan pengakuan terhadap warisan linguistik nusantara sendiri. Hal ini menegaskan bahwa Indonesia telah memiliki jalur komunikasinya sendiri dengan peradaban Tiongkok, yang didirikan oleh pedagang dan perantau, jauh sebelum kamus Belanda atau Portugis menentukan terminologi resmi.

VIII. Implikasi Kontemporer Penggunaan Tiongkok

Dalam lanskap geopolitik modern, di mana China (RRC) memainkan peran ekonomi dan politik global yang masif, pemilihan istilah 'Tiongkok' oleh pemerintah dan media Indonesia menjadi penting dalam konteks hubungan bilateral. Penggunaan 'Tiongkok' menunjukkan penghormatan terhadap identitas kultural dan historis negara tersebut, sejalan dengan cara negara-negara tetangga di Asia Timur merujuk padanya.

A. Sensitivitas Jurnalistik dan Akademis

Di lingkungan jurnalistik dan akademis Indonesia, ada konsensus yang semakin kuat bahwa 'Tiongkok' adalah istilah yang paling tepat untuk negara tersebut. Penggunaan yang konsisten ini membantu menghindari kebingungan dan misinterpretasi yang mungkin timbul dari penggunaan 'Cina' atau 'China'. Dalam tulisan ilmiah, pembedaan antara istilah etnis (*Tionghoa*), negara (*Tiongkok*), dan istilah geografis (*China Selatan*) seringkali harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk mempertahankan objektivitas dan sensitivitas budaya.

Para peneliti telah mencatat bahwa bahkan di wilayah-wilayah yang memiliki interaksi panjang dengan kolonial Eropa, istilah 'Tiongkok' seringkali tetap digunakan dalam bahasa sehari-hari komunitas Tionghoa, menunjukkan ketahanan linguistik dari terminologi yang berakar pada Zhōngguó ini. Transmisi lisan dari generasi ke generasi telah memastikan bahwa istilah tersebut tidak hilang meskipun ada upaya kebijakan pemerintah untuk menggantinya selama beberapa dekade.

B. Memperkuat Identitas Tionghoa-Indonesia

Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, penggunaan 'Tiongkok' sebagai nama resmi untuk tanah leluhur mereka, dan 'Tionghoa' untuk identitas mereka sendiri, adalah bagian integral dari proses penerimaan dan rekonsiliasi identitas ganda mereka. Ini memungkinkan mereka untuk merangkul warisan budaya yang kaya (yang berpusat pada konsep Zhōngguó) tanpa harus berkonotasi negatif dengan masa-masa di mana istilah 'Cina' dipaksakan sebagai alat marginalisasi.

Istilah 'Tiongkok' adalah representasi dari sejarah panjang kebesaran kekaisaran dan peradaban Han yang dikenal sebagai Negeri Tengah, sebuah sejarah yang mereka bawa sebagai bagian dari identitas mereka sebagai bangsa Indonesia. Jadi, 'Tiongkok' bukan hanya tentang etimologi; itu adalah tentang martabat dan pengakuan sejarah panjang peradaban yang telah berinteraksi dengan kepulauan Nusantara selama lebih dari seribu tahun. Penggunaannya adalah kemenangan bagi inklusivitas dan pemahaman sejarah yang lebih bernuansa di Indonesia.

Faktanya, perjalanan kata ini merupakan mikrokosmos dari hubungan Indonesia-Tiongkok: kaya, kompleks, penuh dinamika, dan akhirnya, kembali pada akar-akar interaksi yang otentik dan saling menghormati, yang dibangun di atas jalur maritim, bukan di atas meja perundingan kolonial. Dengan memilih 'Tiongkok', Indonesia memilih untuk merangkul warisan linguistiknya sendiri dan menghormati sejarah yang ditransmisikan oleh para leluhur pedagang.

IX. Kesimpulan: Sintesis Terminologi dan Makna Sejarah

Keseluruhan analisis etimologi, sejarah migrasi, dan konteks politik menegaskan bahwa penggunaan 'Tiongkok' di Indonesia bukanlah sebuah kebetulan linguistik atau preferensi sepihak. Ini adalah hasil dari proses historis yang terperinci dan didominasi oleh dialek-dialek pedagang maritim.

China disebut Tiongkok karena nama tersebut adalah transliterasi Hokkien (Tiong Kok) dari nama internal peradaban itu sendiri, *Zhōngguó* (Negeri Tengah). Nama ini dibawa oleh diaspora Tionghoa yang berlayar ke Nusantara, menjadikannya istilah yang murni dan otentik dalam konteks interaksi Melayu-Tionghoa. Sebaliknya, istilah 'Cina' adalah nama yang berasal dari jalur Barat (Dinasti Qin) dan kemudian diasosiasikan dengan administrasi kolonial serta kebijakan diskriminatif. Pemulihan 'Tiongkok' di Indonesia pasca-reformasi adalah tindakan rekonsiliasi historis yang penting, mengembalikan martabat linguistik kepada istilah yang secara budaya lebih akurat dan secara sejarah lebih berakar di Asia Tenggara.

Dengan demikian, 'Tiongkok' di Indonesia tidak hanya merujuk pada sebuah entitas geografis atau politik; ia adalah artefak linguistik yang menceritakan sebuah kisah tentang diaspora, peradaban agung di pusat dunia, dan hubungan yang mendalam antara Indonesia dan warisan maritim Asia Timur.

Analisis ini menggarisbawahi kompleksitas linguistik di balik penyebutan nama sebuah negara besar. Setiap elemen dari Zhōng (tengah) dan Guó (negara) hingga transliterasi dialek (Tiong Kok) membentuk sebuah narasi yang jauh lebih kaya daripada sekadar perbedaan fonetik. Ia merupakan pengakuan terhadap kekuatan bahasa dalam membentuk dan mencerminkan identitas nasional serta hubungan antarbangsa yang telah terjalin lama.

Fakta bahwa Indonesia mempertahankan terminologi ini, bahkan setelah melalui periode di mana istilah 'Cina' dipaksakan, adalah bukti nyata ketahanan warisan linguistik yang dibawa oleh komunitas Tionghoa. Ini merupakan pengakuan bahwa jalur perdagangan dan interaksi budaya antarmanusia seringkali lebih kuat dan abadi daripada kebijakan politik yang bersifat sementara. Tiongkok akan terus menjadi sebutan yang diakui dan dihormati di Indonesia, mewakili jembatan sejarah yang tidak terputus.

Seluruh spektrum narasi sejarah yang melibatkan interaksi dagang antara berbagai dinasti Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, mulai dari Sriwijaya hingga Majapahit, juga menggunakan istilah-istilah yang merupakan adaptasi dari nama internal tersebut, alih-alih nama eksternal dari jalur Barat. Hal ini memperkuat premis bahwa Tiongkok adalah terminologi yang telah lama tertanam dalam kosakata historis Melayu. Pembakuan ini adalah cerminan dari kontak berabad-abad, bukan sekadar keputusan tata bahasa baru-baru ini.

Dalam konteks globalisasi dan meningkatnya peran RRC di dunia, pembedaan ini menjadi semakin relevan. Indonesia memilih untuk berinteraksi dengan "Negeri Tengah" (Tiongkok), sebuah konsep yang menghormati kemuliaan kultural mereka, alih-alih hanya berinteraksi dengan "Negeri Qin" (Cina) yang terkesan kuno dan asing. Penggunaan Tiongkok adalah sebuah pernyataan budaya sekaligus politik yang mendasar.

Adalah suatu hal yang luar biasa bagaimana sebuah bunyi dialek dari wilayah pesisir selatan bisa memengaruhi bahasa nasional sebuah negara kepulauan ribuan mil jauhnya, namun itulah kekuatan migrasi dan perdagangan maritim. 'Tiongkok' adalah monumen linguistik bagi para pelaut, pedagang, dan perantau yang menghubungkan dunia melalui bahasa mereka sendiri, meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada kosakata dan sejarah Indonesia.

Kita dapat menyimpulkan bahwa terminologi 'Tiongkok' merupakan lapisan terpenting dari sejarah linguistik di Asia Tenggara, menolak narasi kolonial demi narasi yang lebih otentik dan lokal. Ini adalah alasan final mengapa 'China' disebut 'Tiongkok' di Indonesia—sebuah pilihan yang didasarkan pada sejarah, penghormatan, dan identitas budaya yang terjalin erat.

Sintesis antara Zhōngguó yang agung dan Tiong Kok yang pragmatis menghasilkan sebuah istilah yang kuat dan bertahan lama. Ia adalah kata yang mewakili kekaisaran, dialek, diaspora, dan rekonsiliasi, sebuah paket makna yang jauh lebih berat daripada sekadar dua suku kata. Ini menjadikan pembahasan ini bukan hanya tentang etimologi, melainkan tentang warisan sebuah peradaban besar dan penerimaannya di kancah Asia.

Tentu saja, penggunaan kata ini juga mencerminkan dinamika fonetik yang kompleks di kawasan Asia Tenggara. Bahasa Melayu, sebagai bahasa penghubung yang luwes, telah lama menyerap berbagai bunyi dari banyak bahasa lain. Kemampuannya untuk mengakomodasi bunyi Hokkien seperti 'Tiong Kok' dengan mudah menunjukkan betapa alaminya proses serapan ini terjadi. Ini bukan hanya adopsi satu kata, melainkan penggabungan seluruh sistem fonetik dialek maritim ke dalam struktur Melayu. Hal ini menciptakan sebuah preseden linguistik yang kuat yang memastikan 'Tiongkok' tetap bertahan sebagai pilihan yang paling logis dan historis bagi penutur bahasa Indonesia.

Jika kita meninjau kembali sejarah kuno pelayaran ke Nusantara, kita akan menemukan bahwa interaksi dengan para pedagang Tionghoa sudah terjalin sangat lama sebelum masa kolonial. Dalam catatan-catatan sejarah, terminologi yang digunakan untuk merujuk pada daratan utama tersebut seringkali merupakan versi transliterasi dari nama-nama internal dinasti atau wilayah, bukan serapan Barat. Dengan demikian, 'Tiongkok' memiliki legitimasi yang tidak hanya berasal dari komunitas diaspora baru-baru ini, tetapi juga dari tradisi sejarah yang sangat kuno. Ini memperkuat status 'Tiongkok' sebagai warisan budaya dan bahasa Indonesia yang sah.

Pemilihan terminologi ini juga sangat erat kaitannya dengan penghormatan terhadap identitas kultural. Bagi banyak WNI keturunan Tionghoa, nama 'Tiongkok' dan 'Tionghoa' adalah bagian dari warisan yang harus dihormati. Ketika negara memilih untuk menggunakan terminologi ini, negara secara simbolis mengakui bahwa identitas dan sejarah komunitas minoritas adalah bagian integral dari narasi nasional. Ini adalah perbedaan yang halus namun fundamental dari sekadar menggunakan nama 'Cina' yang dipaksakan dari luar. Pengakuan ini adalah elemen kunci dalam memahami mengapa 'Tiongkok' menjadi preferensi yang kuat di Indonesia.

Kajian mendalam mengenai migrasi dan linguistik menunjukkan bahwa Hokkien adalah dialek yang memiliki dampak linguistik terbesar di pelabuhan-pelabuhan utama seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Dampak ini memastikan bahwa bentuk 'Tiongkok' menyebar luas dan menjadi standar informal, bahkan ketika pemerintah kolonial dan kemudian Orde Baru berusaha memaksakan istilah lain. Ketahanan istilah ini di tingkat masyarakat menjadi faktor penentu utama dalam restorasi resmi istilah 'Tiongkok' setelah periode reformasi politik, mengakhiri ambiguitas dan stigma yang melingkupinya.

Akhirnya, keputusan Indonesia untuk kembali menggunakan 'Tiongkok' adalah sebuah pelajaran penting tentang kekuatan bahasa dan sejarah dalam menanggapi perubahan politik. Bahasa Indonesia menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi, mengoreksi sejarah, dan mengakui warisan linguistiknya yang beragam. Dengan menelusuri kembali akarnya ke Zhōngguó melalui Hokkien, 'Tiongkok' berdiri sebagai simbol persatuan budaya dan pengakuan sejarah interaksi yang jauh lebih kompleks dan berharga daripada sekadar nama geografis biasa.

🏠 Homepage