Ilustrasi: Kucing dan Anjing yang Saling Berinteraksi
Dalam ajaran Islam, terdapat perbedaan pandangan mengenai status hukum beberapa hewan, salah satunya adalah anjing dan kucing. Pertanyaan klasik yang sering muncul adalah: mengapa anjing dianggap najis dan haram untuk disentuh atau dipelihara oleh sebagian kalangan, sementara kucing justru dipandang mulia dan bahkan dicintai?
Perbedaan ini berakar pada dalil-dalil syariat, baik dari Al-Qur'an maupun hadis Nabi Muhammad SAW. Mayoritas ulama bersepakat bahwa air liur anjing mengandung najis berat (najis mughallazah) yang mengharuskan tujuh kali basuhan, salah satunya dicampur dengan tanah. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
"Apabila seekor anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian, maka hendaknya ia membasuhnya tujuh kali." (HR. Bukhari dan Muslim)
Beberapa riwayat lain menambahkan perintah untuk membasuh salah satunya dengan tanah. Implikasi dari status najis ini adalah anjing dianggap tidak suci secara fisik, sehingga sentuhan pada bagian tubuhnya yang basah atau air liurnya dianggap menajiskan. Hal ini tentu berdampak pada praktik keseharian, termasuk dalam hal memelihara.
Namun, penting untuk dicatat bahwa status "haram" dalam konteks anjing lebih kepada keharaman memelihara dengan tujuan selain penjagaan atau berburu, serta keharaman memakan dagingnya. Mayoritas ulama memperbolehkan memelihara anjing untuk keperluan yang dibenarkan syariat, seperti menjaga ternak, rumah, kebun, atau untuk keperluan berburu, asalkan tetap menjaga kebersihan dan menghindari kontak yang menajiskan.
Berbeda dengan anjing, kucing memiliki status yang jauh berbeda dalam Islam. Kucing tidak dianggap najis. Bahkan, terdapat banyak hadis yang menunjukkan kasih sayang Nabi Muhammad SAW terhadap kucing. Kisah yang paling terkenal adalah tentang sahabat Nabi, Abu Hurairah (yang berarti "ayah seekor kucing kecil"), yang sangat menyayangi kucingnya.
Nabi Muhammad SAW sendiri pernah menunjukkan sikap kasih sayang terhadap kucing. Diriwayatkan bahwa Nabi pernah melepas jubahnya agar seekor kucing yang tertidur di atasnya tidak terganggu. Sikap ini menunjukkan bahwa kucing bukanlah hewan yang menjijikkan atau membawa kesialan, melainkan hewan yang layak mendapatkan perhatian dan kasih sayang.
Meskipun tidak ada dalil eksplisit yang menyatakan kucing itu suci secara mutlak seperti air atau tanah, namun karakteristik fisik dan perilakunya membuat ia berbeda dari anjing dalam pandangan syariat. Kucing umumnya lebih menjaga kebersihan diri, menjilati tubuhnya sendiri untuk membersihkan diri, dan jarang memiliki air liur yang dianggap menajiskan seperti anjing.
Para ulama menjelaskan beberapa alasan filosofis dan hikmah di balik perbedaan perlakuan terhadap kedua hewan ini:
Penting untuk ditekankan bahwa perlakuan terhadap hewan dalam Islam selalu didasari oleh prinsip rahmat (kasih sayang) dan keadilan. Memperlakukan hewan dengan baik, termasuk kucing, adalah bagian dari ajaran Islam. Sementara itu, memahami status hukum anjing bukan berarti membencinya, melainkan menjalankan syariat dengan benar. Bagi umat Muslim yang memelihara anjing untuk keperluan yang dibenarkan, kewajiban menjaga kebersihan diri dan lingkungan menjadi sangat penting.
Pada akhirnya, perbedaan pandangan ini mengajarkan kita untuk senantiasa merujuk pada sumber ajaran Islam dan memahami hikmah di baliknya. Baik anjing maupun kucing, keduanya adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki peran dan karakteristiknya masing-masing.