Kearifan Islam

Mengapa Anjing Dianggap Haram dalam Al-Qur'an? Memahami Perspektif Islam

Pertanyaan mengenai status anjing dalam Islam, khususnya mengapa dianggap haram atau najis, seringkali muncul di kalangan umat Muslim maupun non-Muslim. Pemahaman yang benar sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman. Penjelasan ini akan mengupas tuntas dasar-dasar hukum dan hikmah di balik pandangan Islam terhadap anjing, berdasarkan ajaran Al-Qur'an dan Hadis.

Dasar Hukum dalam Al-Qur'an dan Sunnah

Meskipun Al-Qur'an tidak secara eksplisit menyebut kata "haram" untuk anjing dalam konteks makanan, ada beberapa ayat yang secara tidak langsung menunjuk pada statusnya yang kurang baik dalam pandangan Islam, terutama terkait dengan kebersihan dan kesucian.

Salah satu ayat yang sering dirujuk adalah dalam Surah Al-Ma'idah ayat 4: "Mereka bertanya kepadamu (Muhammad): 'Apakah yang dihalalkan bagi mereka?' Katakanlah: 'Yang dihalalkan bagimu adalah (makanan) yang baik-baik dan (buruan dari) binatang buas yang telah kamu ajari (dengan melatih) anjing-anjingmu (untuk berburu) yang kamu latih menurut apa yang Allah ajarkan kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atasnya; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.'"

Ayat ini, meskipun berbicara tentang berburu dengan anjing, memberikan indikasi bahwa anjing adalah hewan yang memiliki potensi najis. Para ulama menafsirkan bahwa air liur anjing adalah najis berat (najis mughallazah). Hal ini didasarkan pada beberapa hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Bukhari, di mana Rasulullah SAW bersabda:

"Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan tanah." (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan, "Sucinya bejana salah seorang dari kalian jika dijilat oleh anjing adalah dengan membasuhnya sebanyak tujuh kali, pertama kali dengan tanah." (HR. Muslim)

Perintah mencuci bejana tujuh kali, salah satunya dengan tanah, menunjukkan bahwa air liur anjing dianggap sangat kotor dan najis. Konsep najis ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga memiliki implikasi spiritual dalam Islam, di mana kebersihan diri dan lingkungan adalah bagian dari ibadah.

Hikmah dan Perspektif Ilmiah

Di balik aturan agama, seringkali terdapat hikmah yang mendalam, baik yang dapat dipahami oleh akal maupun yang merupakan bagian dari keyakinan. Dalam kasus anjing, beberapa hikmah yang sering dikemukakan meliputi:

1. Kebersihan dan Kesehatan

Dari perspektif kesehatan, anjing memang dikenal sebagai pembawa berbagai macam bakteri, virus, dan parasit yang dapat menular ke manusia. Penyakit seperti rabies, cacingan, atau infeksi kulit dapat disebabkan oleh kontak langsung atau tidak langsung dengan anjing, terutama jika kebersihannya tidak terjaga. Aturan mengenai najisnya air liur anjing dan larangan menjadikannya sebagai hewan peliharaan di dalam rumah secara umum (selain untuk keperluan tertentu seperti penjaga atau buruan) dapat dilihat sebagai upaya preventif untuk menjaga kesehatan masyarakat.

2. Potensi Najis yang Tinggi

Anjing memiliki kebiasaan menjilat, menggaruk, dan kadang-kadang mengeluarkan kotoran di sembarang tempat. Hal ini membuat mereka lebih rentan membawa najis pada tubuh dan lingkungannya. Dalam Islam, menjaga kesucian tempat ibadah (masjid) dan lingkungan tempat tinggal dari najis adalah hal yang sangat ditekankan.

3. Menjaga Kesucian Tempat Tinggal dan Ibadah

Bagi sebagian besar ulama, memiliki anjing di dalam rumah secara umum dianggap makruh (dibenci) dan mengurangi pahala ibadah (amal). Malaikat rahmat dikabarkan tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing (kecuali anjing penjaga, pemburu, atau ternak). Hal ini berkaitan dengan menjaga kesucian dan ketenangan spiritual di dalam rumah.

Pengecualian dan Nuansa Penting

Penting untuk dicatat bahwa pandangan Islam terhadap anjing tidak berarti kebencian terhadap hewan tersebut. Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang terhadap seluruh makhluk. Ada beberapa kondisi di mana memelihara anjing dibolehkan, bahkan dianjurkan, yaitu untuk keperluan yang syar'i (sesuai syariat):

Dalam kasus-kasus ini, memelihara anjing diperbolehkan, namun tetap ada anjuran untuk menjaga kebersihan dan menghindari kontak yang tidak perlu, terutama pada bagian mulutnya. Jika anjing tersebut menyentuh atau menjilat sesuatu, maka aturan menyucikan tujuh kali tetap berlaku.

Secara ringkas, pandangan Islam mengenai anjing didasarkan pada dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah yang mengindikasikan statusnya sebagai hewan yang berpotensi najis, terutama air liurnya. Hal ini selaras dengan prinsip kebersihan yang dijunjung tinggi dalam Islam dan memiliki dasar dari sisi kesehatan. Namun, Islam juga memberikan pengecualian bagi anjing yang dipelihara untuk keperluan yang bermanfaat dan sesuai syariat, sembari tetap memperhatikan aspek kebersihan dan kesucian. Pemahaman yang utuh terhadap ajaran ini akan membentuk sikap yang proporsional dan penuh kearifan.

🏠 Homepage