Pertanyaan mengenai penciptaan anjing sementara statusnya dalam ajaran Islam adalah haram, seringkali muncul di benak umat Muslim. Ini adalah pertanyaan yang valid dan menyentuh aspek teologis serta pemahaman tentang hikmah di balik setiap ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa status "haram" dalam Islam merujuk pada larangan mengonsumsi dagingnya, menyentuh air liur (najis mughallazah), dan beberapa hal terkait lainnya yang dijelaskan dalam syariat. Namun, status haram ini tidak berarti bahwa keberadaan anjing itu sendiri terlarang atau tidak memiliki faedah.
Allah SWT adalah Al-Khalik (Sang Pencipta) yang Maha Sempurna. Segala sesuatu yang diciptakan-Nya pasti memiliki hikmah dan tujuan, meskipun akal manusia terkadang tidak mampu menjangkaunya secara menyeluruh. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Dan Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nur [24]: 41). Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada satu pun ciptaan Allah yang sia-sia.
Anjing, sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah, memiliki peran ekologis dan sosial di alam semesta. Sejak zaman dahulu, anjing telah berperan sebagai penjaga, pemburu, dan bahkan sahabat bagi sebagian manusia. Mereka memiliki insting yang tajam, kemampuan penciuman yang luar biasa, dan loyalitas yang tinggi.
Dalam Islam, ada perbedaan mendasar antara keberadaan suatu makhluk dan bagaimana makhluk tersebut dimanfaatkan oleh manusia. Banyak makhluk yang diciptakan Allah, namun pemanfaatannya oleh manusia diatur oleh syariat. Misalnya, babi diciptakan oleh Allah, namun dagingnya diharamkan untuk dikonsumsi umat Muslim. Hal ini tidak lantas menjadikan keberadaan babi itu sendiri sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki Allah.
Demikian pula dengan anjing. Keberadaannya di alam semesta adalah bagian dari skema penciptaan Allah. Islam tidak melarang umatnya untuk berinteraksi secara umum dengan anjing, misalnya dalam konteks penjagaan rumah atau keamanan. Namun, syariat memberikan aturan mengenai kebersihan dan cara berinteraksi untuk menjaga kesucian ibadah, seperti kewajiban mencuci tujuh kali jika terkena air liurnya.
Meskipun haram untuk dikonsumsi dan ada aturan terkait kebersihannya, anjing memiliki banyak fungsi yang bermanfaat dan diakui dalam kehidupan. Dalam konteks tertentu, seperti:
Penggunaan anjing dalam peran-peran positif ini seringkali dibolehkan dalam batasan syariat, dengan tetap memperhatikan aspek kebersihan.
Konsep najis dalam Islam bertujuan untuk menjaga kebersihan fisik dan spiritual umat Muslim. Najis mughallazah (najis berat), seperti air liur anjing, memang memerlukan pensucian khusus. Namun, ini adalah panduan ibadah agar seorang Muslim tetap dalam keadaan suci saat beribadah, bukan berarti anjing itu sendiri adalah makhluk yang buruk atau dibenci.
Kita tidak bisa menyamakan status hukum suatu zat atau makhluk dengan kehendak Allah atas penciptaannya. Keberadaan anjing di alam ini adalah bukti kebesaran dan kekuasaan Allah, sementara aturan mengenai pemanfaatannya adalah bagian dari tuntunan syariat yang mengatur kehidupan manusia.
Oleh karena itu, daripada bertanya "kenapa Allah menciptakan anjing jika haram?", lebih tepatnya kita merenungkan hikmah penciptaan-Nya, memahami aturan syariat yang diberikan, dan bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan berbagai makhluk ciptaan-Nya dalam koridor ajaran Islam.
Setiap makhluk, termasuk anjing, adalah bagian dari ekosistem ciptaan Allah yang luas. Tugas kita sebagai manusia adalah untuk memahami, menghargai, dan berinteraksi dengan mereka sesuai dengan petunjuk agama yang kita anut, sambil terus mencari ilmu dan hikmah di balik setiap ketentuan-Nya.