Kepatuhan pajak merupakan salah satu pilar utama dalam mendukung pembangunan dan operasional negara. Bagi setiap Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi, kewajiban tahunan untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) adalah sebuah keniscayaan. Proses ini, yang dulunya identik dengan antrean panjang dan birokrasi yang rumit, kini telah bertransformasi sepenuhnya menjadi sistem digital yang efisien dan dapat diakses dari mana saja. Artikel panduan yang komprehensif ini akan mengupas tuntas setiap aspek dan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan pelaporan SPT Tahunan Anda berjalan lancar, akurat, dan tepat waktu, mulai dari persiapan dokumen hingga proses verifikasi akhir.
SPT Tahunan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, serta harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Batas waktu pelaporan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi adalah paling lambat tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak, yang umumnya jatuh pada akhir Maret.
Pelaporan SPT bukan sekadar formalitas administrasi, tetapi memiliki dampak yang luas:
Secara umum, setiap Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan masih aktif berkewajiban melaporkan SPT, terkecuali mereka yang memenuhi kriteria tertentu untuk dikecualikan, seperti penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), atau telah mengajukan permohonan NPWP non-efektif (NE). Walaupun nihil, pelaporan tetap wajib dilakukan.
Pemilihan formulir SPT sangat krusial karena menentukan kompleksitas pengisian dan data yang harus Anda siapkan. WP OP menggunakan salah satu dari tiga jenis formulir utama:
| Formulir | Kriteria Pengguna | Metode Pelaporan Umum |
|---|---|---|
| 1770 SS (Sangat Sederhana) | WP dengan penghasilan bruto total setahun dari satu pemberi kerja (hanya karyawan) tidak melebihi Rp 60.000.000. | E-Filing (Paling cepat) |
| 1770 S (Sederhana) | WP dengan penghasilan bruto total setahun dari satu atau lebih pemberi kerja, atau penghasilan bruto total setahun melebihi Rp 60.000.000. Termasuk penghasilan lain (bunga, sewa, royalti) yang bukan dari kegiatan usaha/pekerjaan bebas. | E-Filing |
| 1770 (Lengkap/Induk) | WP yang memiliki penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas (dokter, notaris, akuntan, pedagang, freelancer), WP yang bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari, atau WP yang memperoleh penghasilan yang dikenakan PPh Final. | E-Form (Wajib menggunakan aplikasi Adobe Reader dan proses pengunggahan data). |
Formulir ini dirancang untuk kemudahan maksimal. Pengisiannya hanya mencakup tiga bagian utama: data identitas, data penghasilan (berdasarkan bukti potong 1721-A1/A2), dan daftar harta serta kewajiban. Karena WP dengan kriteria ini hanya mendapatkan penghasilan dari satu sumber dan di bawah batasan tertentu, risiko kesalahan perhitungan sangat minim.
Formulir 1770 S terdiri dari beberapa lampiran yang harus diisi secara berurutan. Jika Anda bekerja di dua perusahaan berbeda dalam satu tahun pajak, atau memiliki penghasilan tambahan dari sewa kos-kosan atau bunga deposito, Anda wajib menggunakan formulir ini. Lampiran utama meliputi:
Ini adalah formulir yang paling kompleks dan memerlukan pelaporan pembukuan atau pencatatan yang detail. WP dengan status pengusaha atau pekerja bebas harus mengisi Lampiran-lampiran yang sangat rinci, termasuk Rekapitulasi Penghasilan Bruto dari Kegiatan Usaha, Daftar PPh Pasal 25 yang telah dibayar, dan laporan keuangan komersial. Jika Anda menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), Anda harus mengisi data NPPN tersebut pada bagian terkait formulir 1770.
Kesalahan terbesar saat lapor SPT adalah memulai proses tanpa persiapan dokumen yang memadai. Kelengkapan data adalah kunci akurasi.
Dokumen ini adalah fondasi dari SPT Anda. Pastikan Anda telah menerima dan memverifikasi kebenaran datanya:
SPT mengharuskan Anda melaporkan seluruh harta dan utang yang dimiliki per 31 Desember tahun pajak terkait. Pastikan Anda mencatat data ini secara detail:
Jika Anda memiliki penghasilan lain di luar gaji yang dikenakan PPh Final, Anda harus menyiapkan bukti setornya. Contohnya, Bukti Setor PPh Final atas sewa properti, penjualan saham, atau PPh Pasal 4 ayat (2) lainnya.
Sebagian besar Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang menggunakan formulir 1770 SS atau 1770 S akan menggunakan metode E-Filing melalui portal DJP Online. Ini adalah metode yang paling disarankan karena kemudahan, kecepatan, dan ketersediaan layanan 24 jam.
Layanan E-Filing akan memandu Anda melalui serangkaian pertanyaan interaktif untuk menentukan jenis formulir yang tepat. Untuk WP yang menggunakan 1770 S atau 1770 SS, prosesnya sangat terstruktur.
E-Filing untuk 1770 SS adalah yang tercepat, biasanya hanya memakan waktu kurang dari 5 menit jika bukti potong sudah siap.
Proses 1770 S melibatkan navigasi melalui empat bagian utama. E-Filing interaktif akan memecah formulir menjadi serangkaian pertanyaan yang mudah diikuti:
Laporkan setiap jenis penghasilan yang PPh-nya bersifat final, misalnya:
Pada bagian yang sama, laporkan penghasilan yang bukan objek pajak (misalnya warisan, bantuan, atau bagian laba dari modal yang ditanamkan).
Masukkan data bukti potong 1721-A1/A2 (atau 1721 final jika ada) secara rinci, mencakup NPWP pemotong, nama pemotong, nomor bukti potong, tanggal, dan jumlah PPh yang dipotong. Jika Anda memiliki lebih dari satu bukti potong, tambahkan satu per satu.
Ini adalah bagian yang seringkali membuat WP bingung, namun sangat penting. Data yang dilaporkan adalah penambahan dari tahun ke tahun. Jika Anda memiliki aset baru atau utang baru, masukkan data tersebut. Jika tidak ada perubahan signifikan dari tahun sebelumnya, Anda bisa memanfaatkan fitur impor data dari SPT tahun sebelumnya (jika tersedia).
Pastikan Anda tidak melaporkan Harta yang sama setiap tahun dengan nilai perolehan yang berbeda. Nilai perolehan tetap sama, kecuali ada penambahan aset baru.
Sistem E-Filing akan secara otomatis memindahkan data penghasilan (termasuk penghasilan lain yang tidak final) dan PPh yang telah dipotong ke Induk SPT. Tugas Anda adalah:
Setelah semua data terisi dan perhitungan selesai (Status: Nihil, Kurang Bayar, atau Lebih Bayar), langkah terakhir adalah persetujuan dan pengiriman:
Jika proses berhasil, Anda akan langsung menerima Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) melalui email. BPE ini wajib disimpan sebagai bukti pelaporan yang sah.
Wajib Pajak yang memiliki penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas (menggunakan formulir 1770) harus menggunakan metode E-Form (Electronic Form). Meskipun diakses melalui DJP Online, E-Form memerlukan unduhan formulir dalam format PDF yang harus diisi secara offline menggunakan aplikasi khusus (umumnya Adobe Acrobat Reader versi terbaru yang didukung DJP).
Pengisian 1770 harus dilakukan secara berurutan, dimulai dari Lampiran paling akhir hingga Induk SPT. Wajib Pajak 1770 harus memastikan data-data berikut terisi dengan benar:
Lampiran ini adalah inti dari formulir 1770. WP harus menentukan apakah menggunakan:
Jika Anda adalah UMKM yang menggunakan skema PPh Final 0,5% dari omzet (PP 23), Anda wajib mengisi data rekapitulasi pembayaran PPh Final per bulan di salah satu bagian Lampiran SPT 1770. Jumlah ini akan menjadi kredit pajak Anda.
Setelah semua lampiran (termasuk daftar harta, utang, dan PPh yang telah dipotong) terisi, data akan terintegrasi ke Induk SPT 1770. Induk ini akan menampilkan PPh Terutang, PPh yang sudah dibayar, dan hasil akhir (Kurang Bayar/Nihil).
Seperti E-Filing, Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) akan dikirimkan ke email Anda sebagai konfirmasi penerimaan SPT.
Tidak semua WP memiliki kasus yang standar. Berikut adalah beberapa skenario spesifik yang memerlukan perhatian ekstra saat lapor SPT:
Perlakuan perpajakan suami istri tergantung pada perjanjian pra-nikah atau status yang dipilih:
Dalam kasus HB dan PH, kedua pihak (suami dan istri) harus memiliki NPWP dan EFIN yang aktif. Pengisian SPT Wajib Pajak suami/istri harus mencantumkan keterangan yang jelas mengenai status perpajakan tersebut.
Setelah perhitungan PPh Terutang dibandingkan dengan PPh yang sudah dipotong (kredit pajak), akan muncul salah satu dari tiga status:
PPh Terutang sama dengan PPh yang telah dipotong/dibayar. Status ini adalah yang paling sering ditemui pada WP OP karyawan. Pelaporan bisa langsung diselesaikan.
PPh Terutang lebih besar dari PPh yang telah dipotong. Ini sering terjadi jika WP memiliki dua atau lebih pekerjaan, atau memiliki penghasilan lain yang belum dipotong PPh. Jika statusnya Kurang Bayar, WP wajib:
PPh yang telah dipotong lebih besar dari PPh Terutang. Status ini umumnya terjadi karena perhitungan ulang PTKP atau kelebihan pemotongan PPh. Jika Lebih Bayar, WP dapat mengajukan permohonan restitusi (pengembalian) atau kompensasi (dipakai untuk pembayaran pajak di tahun berikutnya). SPT Lebih Bayar berpotensi memerlukan pemeriksaan oleh DJP, terutama untuk SPT 1770 S dan 1770.
Jika WP menjadi subjek pajak luar negeri (SPLN) atau subjek pajak dalam negeri (SPDN) di tengah tahun, ia harus melaporkan SPT dengan periode yang disesuaikan. WP yang keluar dari Indonesia dan menjadi SPLN harus melapor SPT Tahunan di tahun ia meninggalkan Indonesia untuk masa pajak terakhirnya sebagai SPDN.
Kepatuhan pada batas waktu adalah elemen vital dalam pelaporan SPT. DJP memberlakukan sanksi tegas bagi WP yang melanggar ketentuan pelaporan:
Wajib Pajak Orang Pribadi yang terlambat atau tidak menyampaikan SPT Tahunan dikenakan sanksi administrasi berupa denda. Berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku, denda keterlambatan pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi adalah sebesar Rp 100.000.
Denda ini akan ditagihkan melalui Surat Tagihan Pajak (STP) yang diterbitkan setelah batas waktu pelaporan berakhir. Penting untuk dicatat bahwa jika SPT yang terlambat disampaikan berstatus Kurang Bayar, selain denda Rp 100.000, WP juga dikenakan sanksi bunga atas keterlambatan pembayaran PPh Kurang Bayar tersebut.
Jika setelah melaporkan SPT Normal, WP menyadari adanya kesalahan dan mengajukan SPT Pembetulan (sebelum dilakukan pemeriksaan), tidak ada sanksi denda keterlambatan. Namun, jika SPT Pembetulan tersebut menyebabkan PPh Kurang Bayar menjadi lebih besar, WP dikenakan sanksi bunga administrasi atas jumlah kekurangan PPh yang disetor, dihitung dari jatuh tempo penyetoran awal hingga tanggal pembayaran Kurang Bayar pada SPT Pembetulan.
Jika WP dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dan perbuatan tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, WP dapat dikenakan sanksi pidana perpajakan. Sanksi ini dapat berupa denda yang besar hingga kurungan penjara, tergantung tingkat keseriusan dan niat kerugian yang ditimbulkan.
Meskipun sistem E-Filing telah canggih, beberapa kendala teknis seringkali dihadapi Wajib Pajak. Mengetahui cara mengatasinya dapat menghemat waktu berharga.
Lupa EFIN: EFIN tidak bisa dilihat kembali melalui sistem DJP Online. Anda harus mengajukan permohonan cetak ulang EFIN. Cara termudah adalah melalui email KPP terdaftar dengan melampirkan foto KTP, NPWP, dan foto diri sambil memegang KTP dan NPWP.
Lupa Password: Di laman login DJP Online, gunakan opsi "Lupa Kata Sandi". Anda akan diminta memasukkan NPWP, EFIN, dan email yang terdaftar. Link reset password akan dikirimkan ke email Anda.
Bukti potong adalah tanggung jawab pemberi kerja. Jika Anda belum menerima, segera hubungi bagian HRD, keuangan, atau payroll perusahaan Anda. Bukti potong harus diterima sebelum batas waktu pelaporan SPT berakhir.
Jika perusahaan lalai memberikan bukti potong, Anda tetap bertanggung jawab untuk melaporkan penghasilan yang telah Anda terima. Anda dapat meminta data PPh yang telah dipotong ke KPP atau menghitung estimasi PPh berdasarkan slip gaji, meskipun ini tidak disarankan dan bukti potong resmi tetap harus diupayakan.
Fitur impor data harta dari tahun sebelumnya sangat membantu. Namun, jika data yang diimpor tidak sesuai atau gagal, hal ini mungkin disebabkan oleh inkonsistensi data di server DJP. Solusi terbaik adalah menghapus data yang gagal diimpor dan memasukkannya secara manual (hanya untuk item yang berbeda dari tahun sebelumnya atau aset baru).
Hal ini sering terjadi karena beberapa alasan:
Cek kembali folder spam. Jika masih tidak ada, coba ganti alamat email yang terdaftar di DJP Online melalui menu "Profil" dan ulangi permintaan token. Jika masalah berlanjut, hubungi kring pajak atau KPP.
Daftar Harta dan Kewajiban (DH dan DK) seringkali menjadi fokus perhatian DJP. Pelaporan yang akurat sangat penting untuk menghindari potensi pertanyaan di masa depan mengenai ketidakwajaran penambahan kekayaan.
Dalam daftar harta, nilai yang dicantumkan adalah Nilai Perolehan (harga beli), bukan nilai pasar saat ini. Prinsip ini berlaku untuk semua aset, mulai dari tanah, rumah, mobil, hingga perhiasan dan saham. Jika Anda membeli rumah seharga Rp 500.000.000 pada tahun 2015, maka nilai yang dicantumkan di SPT setiap tahunnya (2016, 2017, dst.) harus tetap Rp 500.000.000.
DJP telah menetapkan kode-kode harta standar. Pastikan Anda menggunakan kode yang benar (misalnya, 041 untuk Kas dan Setara Kas, 051 untuk Piutang, 061-069 untuk Investasi, 021-026 untuk Kendaraan). Penggunaan kode yang tepat memudahkan validasi data.
Pelaporan harta yang diperoleh dari warisan atau hadiah memerlukan perhatian khusus. Harta tersebut harus tetap dilaporkan di Daftar Harta, namun sumber dananya harus dicatat sebagai Penghasilan Non-Objek Pajak di Lampiran II (1770 S) atau bagian terkait (1770). Jika tidak dilaporkan sebagai Non-Objek, DJP mungkin menganggapnya sebagai penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Yang dilaporkan adalah sisa pokok utang per 31 Desember tahun pajak. Jangan masukkan total utang awal, dan jangan masukkan bunga. Utang yang harus dilaporkan mencakup pinjaman formal (KPR, Kredit Multiguna, pinjaman bank, kartu kredit) dan utang informal (utang kepada individu atau lembaga lain, asalkan jelas dan dapat dibuktikan).
Proses pelaporan SPT Tahunan lebih dari sekadar pengisian angka; ini adalah refleksi dari komitmen finansial Anda sebagai warga negara. Untuk memastikan kepatuhan yang berkelanjutan dan meminimalisir risiko pemeriksaan pajak, pertimbangkan panduan etika dan administrasi ini:
Di Indonesia, sistem perpajakan menganut asas self-assessment, di mana WP menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri. Namun, jika DJP menemukan indikasi ketidaksesuaian, WP dikenakan prinsip pembuktian terbalik. Artinya, kitalah (sebagai WP) yang harus mampu membuktikan kebenaran data yang kita laporkan, termasuk sumber penghasilan, tahun perolehan harta, dan detail utang. Oleh karena itu, simpanlah semua dokumen pendukung (bukti potong, bukti setor, kontrak, akta, kuitansi perolehan aset) setidaknya selama sepuluh tahun.
Sistem DJP sangat memperhatikan konsistensi data dari tahun ke tahun. Jika tahun lalu Anda melaporkan aset X, tahun ini aset tersebut harus tetap muncul kecuali jika sudah dijual (dengan pelaporan PPh atas penjualan, jika ada). Begitu pula dengan saldo utang; sisa utang harus menunjukkan pengurangan logis dari tahun sebelumnya.
Jika Anda menemukan kesalahan (misalnya lupa memasukkan satu aset atau ada kelebihan PPh yang dipotong) setelah mengirimkan SPT Normal, segera lakukan Pembetulan SPT. Melakukan pembetulan atas inisiatif sendiri, sebelum DJP mengeluarkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SP2HP) atau Surat Perintah Pemeriksaan (SP2), akan mengurangi potensi sanksi yang lebih berat.
Saat melakukan pembetulan, Anda harus merujuk pada SPT Normal, kemudian mengisi ulang seluruh data dari awal, dan pada bagian status pilih "Pembetulan Ke-1". Jika ada kesalahan lagi, pilih "Pembetulan Ke-2", dan seterusnya. SPT Pembetulan ini menggantikan seluruh data SPT Normal sebelumnya.
Pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi merupakan proses wajib yang kini semakin dimudahkan oleh teknologi digital. Dengan persiapan yang matang dan pemahaman yang mendalam mengenai jenis formulir serta ketentuan perpajakan, Wajib Pajak dapat menunaikan kewajiban ini secara akurat, tepat waktu, dan bebas dari sanksi. Kunci keberhasilan terletak pada ketelitian dalam membandingkan angka pada bukti potong dengan data yang diinput ke sistem E-Filing atau E-Form, serta konsistensi pelaporan harta dan kewajiban dari tahun ke tahun.
Bagi Wajib Pajak yang berprofesi sebagai pekerja bebas (contoh: konsultan, dokter praktik mandiri, pengacara, notaris, atau desainer lepas) yang menggunakan formulir 1770, terdapat kompleksitas tambahan yang harus dipahami, terutama terkait penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).
WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diizinkan menggunakan NPPN asalkan memenuhi dua syarat utama: omzet bruto setahun tidak melebihi batas tertentu (sesuai ketentuan yang berlaku), dan WP harus memberitahukan kepada DJP dalam jangka waktu tertentu (biasanya tiga bulan pertama tahun pajak) bahwa ia memilih menggunakan NPPN.
Jika WP memilih NPPN, ia tidak perlu menyelenggarakan pembukuan lengkap layaknya WP Badan. Ia cukup menyelenggarakan pencatatan atas peredaran bruto (omzet) per bulan dan biaya yang bersifat non-biaya usaha, serta melakukan perhitungan PPh Neto menggunakan persentase NPPN yang telah ditetapkan DJP berdasarkan jenis usaha atau pekerjaan bebas dan wilayah tempat usaha.
Pada formulir 1770, terdapat lampiran khusus untuk merekapitulasi penghasilan neto dari pekerjaan bebas. WP harus:
Kegagalan untuk memberitahukan penggunaan NPPN kepada DJP secara formal dapat mengakibatkan WP diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Jika WP tidak menyelenggarakan pembukuan, DJP berhak menetapkan Penghasilan Neto-nya menggunakan perhitungan yang paling mendekati, yang seringkali merugikan WP.
Wajib Pajak usaha atau pekerjaan bebas juga memiliki kewajiban untuk membayar angsuran PPh Pasal 25 setiap bulannya. Angsuran ini merupakan pembayaran dimuka PPh Terutang tahun berjalan dan akan menjadi kredit pajak saat pelaporan SPT Tahunan 1770.
Pengisian PPh Pasal 25 yang telah dibayar ini juga harus dimasukkan secara rinci di salah satu lampiran 1770. Jika PPh Terutang tahunan lebih besar dari total PPh Pasal 25 yang telah diangsur, maka SPT akan berstatus Kurang Bayar (PPh Pasal 29).
Bukti potong PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1 atau A2) adalah dokumen yang diterbitkan oleh pihak ketiga (pemberi kerja) yang menyatakan bahwa PPh Anda telah dipotong dan disetorkan ke kas negara. Peran dokumen ini sangat fundamental dan seringkali menjadi titik validasi utama DJP.
Angka "PPh yang dipotong" pada 1721-A1 adalah jumlah yang sudah dibayarkan oleh perusahaan Anda ke negara. Angka ini harus sama persis dengan angka yang Anda masukkan dalam kolom kredit pajak di SPT Tahunan Anda. Jika terjadi selisih (misalnya karena salah input), sistem E-Filing akan menolak atau DJP akan meminta klarifikasi, karena data pemotongan PPh yang dimiliki perusahaan harus sama dengan data yang dipegang oleh DJP.
Apabila Anda mendapatkan penghasilan dari sumber lain yang belum dipotong PPh (misalnya, pekerjaan freelance dari individu atau perusahaan non-WP), penghasilan ini wajib Anda tambahkan pada bagian penghasilan lain-lain di Induk SPT (khusus 1770 S atau 1770) dan menghitung PPh Terutang atas penghasilan tersebut secara mandiri. Penambahan penghasilan yang belum dipotong inilah yang seringkali menyebabkan SPT Tahunan berstatus Kurang Bayar.
Jika hasil perhitungan SPT Tahunan Anda menunjukkan status Kurang Bayar (KB), Anda tidak bisa melanjutkan proses submit E-Filing atau E-Form sebelum PPh Pasal 29 tersebut dibayarkan. Pembayaran harus dilakukan sebelum batas akhir pelaporan (31 Maret).
Kode billing adalah kode identifikasi pembayaran pajak yang wajib dibuat sebelum menyetor ke bank atau kantor pos. Pembuatan kode billing dapat dilakukan melalui:
Pastikan kode billing dibuat dengan benar, menggunakan kode jenis setoran untuk PPh Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi (biasanya 411125 – 200). Tahun pajak yang tercantum juga harus benar.
Pembayaran dilakukan menggunakan kode billing yang sudah dibuat. Setelah pembayaran sukses, Anda akan menerima bukti penerimaan negara yang memuat Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). NTPN ini adalah bukti sah bahwa pajak telah disetor. NTPN inilah yang kemudian wajib dimasukkan ke dalam kolom SPT di DJP Online atau E-Form.
Tanpa memasukkan NTPN yang valid, SPT yang berstatus Kurang Bayar tidak dapat diajukan (submit) dan dianggap belum dilaporkan, yang berujung pada sanksi denda keterlambatan.
Keamanan dan kerahasiaan data perpajakan adalah hak Wajib Pajak. Beberapa langkah administrasi dan pengamanan yang perlu diperhatikan:
Jika ada perubahan data pribadi (alamat, nomor telepon, status perkawinan, atau alamat email) yang digunakan untuk akses DJP Online, segera perbarui melalui menu "Profil" di DJP Online. Alamat email yang aktif sangat vital, mengingat semua komunikasi penting (token verifikasi, BPE, surat pemberitahuan) dikirim melalui email.
Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) yang dikirimkan oleh DJP setelah proses E-Filing atau E-Form selesai adalah pengganti sah dari tanda terima fisik yang dulu diberikan oleh KPP. BPE harus diarsipkan dengan baik (baik secara digital maupun dicetak) dan disimpan setidaknya selama lima tahun. BPE ini mencantumkan Nomor Tanda Terima Elektronik (NTTE) yang merupakan bukti tunggal bahwa Anda telah menunaikan kewajiban pelaporan.
Meskipun sebagian besar proses pelaporan membutuhkan browser dan/atau aplikasi khusus (E-Form), DJP terus mengembangkan layanan mobile untuk mempermudah akses informasi dan pembayaran. Selalu gunakan aplikasi atau saluran resmi DJP untuk menghindari risiko penipuan atau kebocoran data pribadi.
Berikut adalah daftar periksa terperinci yang wajib Anda ikuti untuk meminimalkan kesalahan yang paling sering terjadi saat melaporkan SPT:
Dengan mematuhi setiap langkah yang diuraikan secara mendalam dalam panduan ini, Anda telah memastikan bahwa kewajiban perpajakan Anda terpenuhi dengan integritas dan akurasi, mendukung prinsip kepatuhan pajak yang baik, serta menghindarkan diri dari risiko sanksi dan pemeriksaan yang tidak perlu. Pelaporan SPT Tahunan yang tepat waktu dan benar adalah investasi dalam ketenangan administrasi finansial Anda.