Periode setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 diwarnai dengan perjuangan keras mempertahankan kedaulatan dari upaya Belanda untuk kembali berkuasa. Agresi militer Belanda, yang dikenal sebagai "Aksi Polisionil" oleh pihak Belanda, menjadi titik krusial dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam menghadapi tindakan militer ini, Indonesia tidak hanya mengandalkan kekuatan militer dan diplomasi internal, tetapi juga mencari dukungan dan intervensi dari forum internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pertanyaan besar yang sering muncul adalah: bagaimana reaksi PBB terhadap agresi militer Belanda di Indonesia?
Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun, Belanda, yang merupakan negara penjajah sebelum perang, memiliki ambisi untuk menegakkan kembali kekuasaannya di tanah air. Upaya ini berujung pada peluncuran agresi militer pertama oleh Belanda pada 21 Juli 1947. Tindakan ini memicu kecaman dari banyak negara dan segera menarik perhatian Dewan Keamanan PBB.
Pada awalnya, PBB masih merupakan organisasi yang relatif baru, baru dibentuk pada tahun 1945. Mekanisme dan pengalaman dalam menangani konflik bersenjata masih dalam tahap pembentukan. Namun, prinsip-prinsip dasar Piagam PBB, yang menekankan penyelesaian sengketa secara damai dan penolakan terhadap penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah internasional, menjadi landasan bagi respons organisasi tersebut.
Menanggapi agresi militer Belanda, berbagai negara anggota PBB, terutama negara-negara yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia, segera mengajukan masalah ini ke Dewan Keamanan. India dan Australia menjadi negara-negara yang paling proaktif dalam membawa isu ini ke forum PBB.
Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi pertamanya terkait Indonesia. Resolusi ini secara tegas meminta agar pihak Belanda menghentikan segera operasi militernya di wilayah Republik Indonesia. Selain itu, Dewan Keamanan juga menyerukan agar kedua belah pihak (Belanda dan Indonesia) menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase atau cara damai lainnya. Resolusi ini merupakan langkah signifikan, menunjukkan bahwa PBB tidak menutup mata terhadap pelanggaran prinsip-prinsip internasional yang dilakukan oleh Belanda.
Lebih lanjut, untuk memfasilitasi penyelesaian damai, Dewan Keamanan membentuk sebuah komisi yang dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) atau yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai United Nations Commission for Indonesia (UNCI). KTN bertugas untuk menengahi perundingan antara Indonesia dan Belanda, mengawasi gencatan senjata, dan memberikan saran untuk penyelesaian konflik. Pembentukan KTN ini merupakan bentuk intervensi PBB yang lebih konkret dalam upaya mendamaikan kedua belah pihak.
Reaksi PBB, meskipun pada akhirnya memberikan dorongan kuat bagi Indonesia, tidak serta merta menghentikan tindakan Belanda secara total. Agresi militer Belanda kedua yang dilancarkan pada Desember 1948 menunjukkan bahwa Belanda masih berusaha menyelesaikan masalah dengan kekuatan militer. Namun, reaksi PBB pada agresi pertama telah menciptakan landasan hukum dan politik internasional yang menguntungkan Indonesia.
Tekanan internasional yang dimobilisasi melalui PBB memberikan legitimasi bagi perjuangan Indonesia di mata dunia. Negara-negara lain menjadi lebih terbuka untuk mendukung Indonesia, baik secara diplomatik maupun materiil. PBB juga menjadi platform yang efektif bagi Indonesia untuk menyampaikan aspirasinya dan mendapatkan simpati internasional.
Namun, penting untuk dicatat bahwa kekuatan PBB pada masa itu masih memiliki keterbatasan. Keputusan Dewan Keamanan sangat dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara anggota tetapnya yang memiliki hak veto. Dalam kasus Indonesia, meskipun ada resolusi yang kuat, implementasi dan penegakannya seringkali menghadapi tantangan.
Secara keseluruhan, reaksi PBB terhadap agresi militer Belanda 1 adalah sebuah tonggak sejarah penting. Organisasi ini, meskipun masih muda, menunjukkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip perdamaian dan penolakan terhadap agresi. Upaya diplomatik dan mediasi yang dilakukan oleh PBB, melalui resolusi Dewan Keamanan dan pembentukan KTN, memainkan peran krusial dalam menekan Belanda dan pada akhirnya berkontribusi pada pengakuan kedaulatan Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa PBB dapat menjadi alat yang efektif dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional, meskipun efektivitasnya seringkali bergantung pada kerjasama dan kemauan politik dari negara-negara anggotanya.