Penetapan Pancasila sebagai fundamen filosofis dan ideologi negara Republik Indonesia bukanlah sekadar keputusan sesaat, melainkan puncak dari sebuah proses sejarah yang panjang, melibatkan perdebatan sengit, negosiasi yang mendalam, dan kompromi luhur antara berbagai faksi pendiri bangsa. Proses ini mencerminkan semangat musyawarah untuk mencapai mufakat yang menjadi ciri khas identitas nasional. Untuk memahami kedudukan Pancasila, kita harus menelusuri secara kronologis bagaimana gagasan-gagasan kebangsaan ini disaring, dirumuskan, dan akhirnya disahkan menjadi tiang penyangga NKRI.
Sejak awal pergerakan kemerdekaan, para tokoh pendiri bangsa menyadari bahwa negara yang akan didirikan, yang majemuk dalam suku, agama, dan budaya, memerlukan landasan bersama yang mampu menyatukan semua elemen tersebut. Landasan itu harus universal namun tetap berakar pada kearifan lokal Nusantara. Pencarian dasar negara inilah yang menjadi agenda utama badan-badan persiapan kemerdekaan yang dibentuk menjelang berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia.
Secara umum, proses penetapan Pancasila terbagi menjadi tiga fase krusial: perumusan gagasan filosofis dalam Sidang BPUPKI I, penyusunan rancangan konstitusi melalui Piagam Jakarta, dan pengesahan final oleh PPKI yang menghasilkan dasar negara definitif.
Titik tolak formal perumusan dasar negara dimulai dengan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) oleh pemerintah pendudukan Jepang pada tanggal 29 April. Tugas utama badan ini, yang diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, adalah menyelidiki dan menyusun semua dasar-dasar yang diperlukan untuk sebuah negara merdeka. BPUPKI beranggotakan tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai latar belakang, yang mewakili keragaman aspirasi masyarakat Indonesia.
Kebutuhan akan dasar negara menjadi topik utama karena tanpa adanya fondasi filosofis yang kuat, negara baru tersebut dikhawatirkan akan mudah terpecah belah setelah merdeka. Para pendiri bangsa menyadari betul bahwa pertarungan ideologi, terutama antara kelompok nasionalis sekuler dan kelompok nasionalis religius (Islam), harus diselesaikan sebelum proklamasi kemerdekaan.
Sidang pertama BPUPKI berlangsung dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni. Agenda utamanya adalah mendengarkan pandangan dari para anggota mengenai apa yang seharusnya menjadi filsafat (Philosofische Grondslag) atau dasar negara Indonesia merdeka. Selama periode ini, muncul tiga tokoh utama yang menyampaikan usulan fundamental, yang kemudian menjadi bahan perbandingan dan sintesis.
Pada tanggal 29 Mei, Mohammad Yamin menyampaikan usulan yang mencakup lima poin: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Usulan Yamin ini mencerminkan kesadaran akan pentingnya menggabungkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dengan identitas kebangsaan Indonesia.
Pada tanggal 31 Mei, giliran Prof. Dr. Soepomo. Beliau mengemukakan ideologi negara integralistik, menekankan bahwa negara tidak boleh berpihak kepada golongan atau individu, melainkan menyatu dengan seluruh rakyat. Soepomo mengajukan lima dasar: Persatuan, Kekeluargaan, Keseimbangan Lahir Batin, Musyawarah, dan Keadilan Rakyat. Usulan Soepomo ini sangat dipengaruhi oleh tradisi pemikiran Jawa yang menekankan harmoni dan keselarasan sosial.
Puncak dari perdebatan perumusan dasar negara terjadi pada tanggal 1 Juni, ketika Soekarno, yang kelak menjadi Proklamator dan Presiden pertama, menyampaikan pidatonya yang fenomenal dan visioner. Pidato ini bukan hanya sekadar mengemukakan daftar prinsip, tetapi juga menawarkan suatu sintesis filosofis yang unik, yang kemudian ia namai Pancasila.
Soekarno menekankan bahwa dasar negara tidak boleh diambil dari ideologi asing secara mentah, melainkan harus digali dari akar budaya, sejarah, dan nilai-nilai luhur yang telah hidup dalam masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Ia mengajukan lima sila, yang merupakan ringkasan dari inti sari perjuangan dan cita-cita bangsa:
Dalam pidatonya yang berapi-api, Soekarno menegaskan bahwa jika kelima sila ini terlalu banyak, ia dapat diperas menjadi Trisila (Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan), dan bahkan diperas lagi menjadi Ekasila, yaitu Gotong Royong. Konsep Gotong Royong ini dianggap Soekarno sebagai intisari sejati dari kepribadian Indonesia, yang mencakup semangat kekeluargaan, kerjasama, dan kebersamaan. Meskipun ia menawarkan Trisila dan Ekasila, yang diterima secara aklamasi oleh sidang adalah rumusan lima sila yang kemudian ia beri nama "Pancasila" (Lima Dasar).
Tanggal 1 Juni pun diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, bukan karena rumusan final disahkan saat itu, melainkan karena pada tanggal inilah istilah filosofis dan kerangka dasarnya secara resmi diperkenalkan kepada forum kenegaraan tertinggi.
Ilustrasi proses musyawarah perumusan dasar negara.
Setelah sidang pertama berakhir, BPUPKI memasuki masa reses. Untuk menjembatani perbedaan pandangan yang muncul, terutama terkait masalah agama dan negara, dibentuklah Panitia Kecil yang kemudian dikenal sebagai Panitia Sembilan. Panitia ini bertugas merumuskan Mukadimah (Pembukaan) Hukum Dasar berdasarkan pidato dan usulan yang telah disampaikan sebelumnya. Anggota Panitia Sembilan adalah para tokoh kunci dari dua kubu utama: nasionalis sekuler dan nasionalis Islam.
Anggota Panitia Sembilan:
Panitia Sembilan bekerja keras dan pada tanggal 22 Juni berhasil mencapai kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Dokumen ini berfungsi sebagai naskah Pembukaan UUD dan di dalamnya termuat lima prinsip dasar negara yang sedikit berbeda dari usulan 1 Juni. Rumusan Piagam Jakarta adalah sebagai berikut:
Rumusan pertama, yang menambahkan frasa "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya," merupakan kompromi terbesar untuk mengakomodasi aspirasi kelompok Islam yang menginginkan peran agama yang eksplisit dalam dasar negara. Piagam Jakarta diterima dengan baik oleh sebagian besar anggota BPUPKI dan menjadi fondasi untuk sidang kedua.
Sidang kedua BPUPKI dilaksanakan pada tanggal 10 hingga 17 Juli. Agenda utama sidang ini adalah membahas rancangan Hukum Dasar (UUD) yang telah disiapkan oleh Panitia Sembilan. Meskipun Piagam Jakarta sudah disepakati, rancangan pembukaan ini tetap menimbulkan perdebatan, terutama terkait status tujuh kata dalam sila pertama. Kelompok nasionalis Islam merasa puas, sementara beberapa anggota non-Muslim dari wilayah Timur Indonesia, khususnya perwakilan dari daerah-daerah yang mayoritas non-Muslim, mulai menyatakan keberatan dan kekhawatiran.
Meskipun demikian, pada sidang ini BPUPKI berhasil membentuk panitia perancang UUD dan menetapkan garis besar konstitusi, termasuk bentuk negara (republik), sistem pemerintahan, dan wilayah negara. Namun, tugas BPUPKI dianggap selesai, dan badan ini dibubarkan. Setelah situasi politik global semakin memanas dengan kekalahan Jepang, dibentuklah badan baru sebagai langkah cepat menuju proklamasi.
Pada tanggal 7 Agustus, BPUPKI dibubarkan dan digantikan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai. PPKI dibentuk untuk mempercepat persiapan pemindahan kekuasaan. Anggota PPKI yang diketuai oleh Soekarno dan didampingi Mohammad Hatta, secara resmi diumumkan pada tanggal 9 Agustus.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus, tugas mendesak PPKI adalah mengesahkan konstitusi negara yang baru diproklamasikan. Malam hari setelah Proklamasi, Mohammad Hatta menerima laporan penting dan mendesak. Seorang opsir Angkatan Laut Jepang (Kaigun) menyampaikan bahwa utusan-utusan Protestan dan Katolik dari Indonesia bagian Timur sangat keberatan dengan frasa "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam sila pertama Piagam Jakarta.
Keberatan ini sangat serius. Mereka mengancam bahwa jika tujuh kata tersebut dipertahankan, wilayah-wilayah Timur Indonesia yang mayoritas non-Muslim mungkin akan memilih untuk berdiri di luar Republik Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa ini memaksa Hatta untuk mengambil langkah cepat dan strategis.
Pada pagi hari 18 Agustus, sebelum Sidang PPKI dimulai, Hatta mengundang empat tokoh nasionalis Islam terkemuka: Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wachid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hasan. Dalam pertemuan singkat namun krusial itu, Hatta menjelaskan situasi darurat yang dihadapi bangsa baru. Ia menekankan bahwa demi persatuan nasional yang baru saja dicapai, tujuh kata tersebut harus dihapus.
Para tokoh Islam menunjukkan sikap kenegarawanan yang luar biasa. Meskipun mereka merasa berat karena frasa tersebut merupakan hasil kompromi yang sudah diperjuangkan, mereka sepakat untuk mengorbankan kepentingan golongan demi kepentingan bangsa dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini adalah momen krusial yang menunjukkan semangat gotong royong dan mufakat sejati yang diserukan Soekarno.
Sidang PPKI berlangsung pada tanggal 18 Agustus. Agenda utama sidang ini adalah:
Ketika membahas Pembukaan UUD, Mohammad Hatta menyampaikan perubahan mendasar pada sila pertama yang disepakati melalui negosiasi cepat sebelumnya. Frasa "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi rumusan yang lebih universal dan merangkul semua agama: "Ketuhanan Yang Maha Esa."
Dengan persetujuan bulat dari seluruh anggota PPKI, dasar negara Republik Indonesia secara resmi ditetapkan. Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus adalah:
Penetapan ini bukan hanya sekadar legalisasi teks, tetapi merupakan landasan filosofis, moral, dan politik negara baru. Pancasila secara yuridis resmi menjadi dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
Proses perumusan menghasilkan lima sila yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan (bersifat majemuk tunggal). Masing-masing sila memiliki makna filosofis yang mendalam dan menjadi pilar penopang eksistensi bangsa yang multikultural.
Perubahan dari tujuh kata menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah titik balik terpenting dalam sejarah konstitusi. Sila ini menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara ateis, tetapi mengakui keberadaan Tuhan. Namun, sila ini memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing, tanpa paksaan atau dominasi satu agama tertentu. Prinsip ini menjamin toleransi, pluralisme agama, dan menempatkan aspek moral-spiritual sebagai basis etika bernegara. Penghapusan tujuh kata mencerminkan kesediaan untuk membangun negara berdasarkan persatuan, di mana nilai-nilai ketuhanan diakui secara universal.
Sila kedua ini meletakkan martabat manusia pada posisi tertinggi. Prinsip ini menekankan pengakuan terhadap persamaan derajat, hak, dan kewajiban setiap manusia, tanpa memandang suku, ras, agama, atau golongan. Keadilan dan keberadaban menuntut perlakuan yang manusiawi, menolak segala bentuk penjajahan, diskriminasi, dan penindasan. Secara historis, sila ini merupakan penolakan tegas terhadap warisan kolonialisme yang merendahkan martabat bangsa Indonesia.
Inti dari sila ketiga adalah konsep Nasionalisme Indonesia yang bersatu, yang melampaui kepentingan suku, etnis, atau daerah. Frasa ini merupakan penegasan bahwa negara Indonesia adalah satu kesatuan yang utuh, dari Sabang sampai Merauke. Prinsip Persatuan Indonesia adalah landasan yang mengharuskan para pemimpin dan seluruh rakyat untuk selalu mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Ini adalah jawaban terhadap tantangan fragmentasi yang ditimbulkan oleh keragaman geografis dan kultural.
Sila keempat menetapkan sistem demokrasi yang khas Indonesia, yang berbeda dari demokrasi liberal Barat. Demokrasi Pancasila menekankan pada musyawarah untuk mencapai mufakat (kesepakatan bersama) yang dipimpin oleh akal sehat dan nilai-nilai etis (hikmat kebijaksanaan). Prinsip ini menolak sistem voting (adu kekuatan) sebagai satu-satunya cara pengambilan keputusan. Ia menekankan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, namun penggunaannya harus melalui saluran perwakilan dan didasari oleh semangat kekeluargaan.
Sila terakhir ini adalah tujuan hakiki dari pembangunan nasional. Keadilan sosial tidak hanya berarti keadilan hukum, tetapi juga keadilan ekonomi, politik, dan budaya. Negara berkewajiban untuk memastikan bahwa kekayaan dan sumber daya alam dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, menghilangkan kesenjangan sosial, dan memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dan menikmati hasil pembangunan. Prinsip ini menentang kapitalisme yang eksploitatif dan individualisme yang berlebihan, sekaligus menolak komunisme yang meniadakan hak milik pribadi.
Pancasila sebagai perisai dan fondasi bangsa.
Setelah pengesahan pada 18 Agustus, Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai ideologi, tetapi juga memegang peranan krusial sebagai dasar hukum negara (staatsfundamentalnorm). Kedudukannya yang berada dalam Pembukaan UUD 1945 membuatnya memiliki kekuatan hukum tertinggi dan tidak dapat diubah oleh lembaga negara manapun, kecuali melalui mekanisme pembentukan negara kembali.
Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, Pancasila menempati posisi puncak. Semua peraturan, mulai dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, hingga peraturan daerah, harus bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Ini memastikan bahwa produk hukum di Indonesia selalu memiliki dimensi moral, keadilan, dan kemanusiaan, bukan semata-mata produk kekuasaan politik sesaat.
Penetapan Pancasila menunjukkan bahwa negara Indonesia dibangun atas kesadaran kolektif untuk menyeimbangkan dualisme fundamental: spiritualitas-relijius dan nasionalisme-sekuler. Jika rumusan awal dalam Piagam Jakarta dipertahankan, potensi konflik horizontal antaragama akan sangat besar sejak awal pendirian negara. Keputusan untuk menghapus tujuh kata adalah contoh nyata dari kearifan politik para pendiri bangsa yang memilih persatuan di atas kepentingan sektarian.
Proses penetapan ini mengajarkan bahwa ideologi negara Indonesia adalah hasil dari sintesis dialektika. Ia mengambil nilai-nilai universal (kemanusiaan, keadilan) dan memadukannya dengan kearifan lokal (musyawarah, gotong royong, ketuhanan) untuk menciptakan fondasi yang unik. Pancasila bukan impor dari Barat maupun Timur, melainkan 'galian' dari bumi Indonesia sendiri, sebagaimana yang ditekankan Soekarno.
Untuk memahami sepenuhnya proses penetapan ini, penting untuk menganalisis peran tiga kelompok utama dalam BPUPKI/PPKI:
Kelompok ini berpendapat bahwa negara harus didirikan di atas prinsip kebangsaan yang inklusif, memisahkan secara formal urusan negara dari urusan agama, namun tetap mengakui nilai-nilai spiritual. Soekarno, khususnya, melalui pidatonya 1 Juni, berhasil menyajikan kerangka filosofis yang diterima oleh hampir semua pihak, yaitu lima prinsip yang dapat diterima oleh nasionalis maupun kelompok religius, karena ia menempatkan Ketuhanan sebagai sila terakhir yang berkarakter 'berkebudayaan' (toleran dan universal).
Kelompok ini berjuang agar Islam, sebagai agama mayoritas, memiliki peran yang lebih sentral dan eksplisit dalam dasar negara. Upaya ini menghasilkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Kesediaan mereka untuk melepaskan tujuh kata pada 18 Agustus adalah bukti ketaatan mereka pada prinsip persatuan dan kemufakatan, dan hal ini menjadi salah satu warisan politik paling mulia dalam sejarah Republik.
Meskipun jumlahnya kecil, suara kelompok dari Indonesia Timur (seperti perwakilan dari Ambon dan Bali) sangat menentukan. Keberatan mereka terhadap diskriminasi konstitusional yang mungkin timbul dari tujuh kata tersebut memaksa adanya revisi. Keberadaan keberatan ini memastikan bahwa Pancasila yang lahir adalah Pancasila yang benar-benar menjamin kesetaraan bagi semua warga negara, tanpa memandang latar belakang agama.
Setiap kelompok tersebut memberikan kontribusi yang tidak ternilai harganya, dan Pancasila lahir dari proses tarik-menarik dan kompromi yang sangat dewasa dan bertanggung jawab. Ini adalah proses yang menuntut keberanian politik untuk melepaskan sebagian tuntutan demi meraih tujuan yang lebih besar: kedaulatan dan keutuhan negara.
Penetapan Pancasila pada 18 Agustus bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari upaya terus-menerus untuk menjadikannya ideologi yang hidup (ideologi terbuka). Setelah kemerdekaan, Pancasila dihadapkan pada tantangan berat, termasuk pemberontakan ideologis yang mencoba menggantinya (seperti DI/TII, PKI), serta tantangan interpretasi dalam era modernisasi.
Pancasila telah membuktikan dirinya sebagai perekat bangsa. Meskipun UUD 1945 pernah digantikan oleh Konstitusi RIS dan UUD Sementara (UUDS 1950), nilai-nilai Pancasila selalu dipertahankan sebagai dasar negara. Ketika Indonesia kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden, hal itu semakin menguatkan kedudukan Pembukaan UUD—tempat Pancasila berada—sebagai sumber hukum tertinggi yang bersifat permanen.
Penetapan yang melalui mekanisme BPUPKI dan PPKI memberikan legitimasi historis yang tak terbantahkan. Hal ini memastikan bahwa Pancasila adalah konsensus nasional yang dibentuk oleh wakil-wakil seluruh rakyat Indonesia pada saat negara didirikan. Tidak ada ideologi lain yang memiliki proses penetapan dan persetujuan seluas dan sedalam Pancasila dalam sejarah politik Indonesia.
Setiap sila, mulai dari Ketuhanan Yang Maha Esa hingga Keadilan Sosial, merupakan penjabaran dari janji kemerdekaan yang harus terus diwujudkan. Ketuhanan menjamin moralitas; Kemanusiaan menjamin hak asasi; Persatuan menjamin keutuhan wilayah; Kerakyatan menjamin demokrasi; dan Keadilan Sosial menjamin kemakmuran bersama. Proses penetapan historis tersebut mengajarkan bahwa menjaga Pancasila adalah menjaga kesepakatan agung para pendiri bangsa yang memilih jalan tengah, jalan musyawarah, untuk memastikan Indonesia tetap bersatu dan berdaulat.
Dengan demikian, proses penetapan Pancasila sebagai dasar negara adalah sebuah narasi epik mengenai pengorbanan, kompromi, dan pencarian identitas nasional yang berhasil menemukan titik temu antara tradisi, agama, dan cita-cita modern. Inilah yang menjadikan Pancasila tidak hanya sekadar lima prinsip, melainkan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Kesinambungan nilai-nilai Pancasila dalam setiap periode sejarah Indonesia, dari perjuangan kemerdekaan hingga era reformasi, membuktikan bahwa fondasi filosofis ini telah diletakkan dengan sangat kokoh melalui mekanisme konstitusional dan penerimaan politik yang tulus oleh seluruh komponen bangsa. Hal ini mengukuhkan Pancasila sebagai ideologi yang relevan sepanjang masa.
Penghargaan terhadap proses penetapan historis ini penting untuk dipahami agar generasi penerus menyadari bahwa Pancasila adalah hasil jerih payah, bukan pemberian. Ia adalah produk dari kecerdasan kolektif dan kemauan untuk bersatu di tengah perbedaan yang sangat mendalam. Keberhasilan dalam merumuskan dan menetapkan Pancasila adalah fondasi yang memungkinkan kemajemukan Indonesia tetap berdiri tegak sebagai satu kesatuan negara bangsa.
Penetapan ini menegaskan sifat inklusif negara Indonesia. Negara yang didirikan bukan untuk satu golongan atau agama saja, melainkan untuk semua. Semangat mufakat 18 Agustus yang menghapus tujuh kata tersebut menjadi warisan abadi yang mendefinisikan karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi toleransi dan persatuan di atas segala-galanya.