Jejak Historis Proses Kelahiran Pancasila: Pergulatan Ide dan Kompromi Agung dalam Sidang BPUPKI

Proses perumusan dasar negara bagi sebuah bangsa yang baru merdeka bukanlah sekadar penyusunan kata-kata, melainkan sebuah pertarungan ideologi, sintesis filosofis, dan puncak kompromi politik yang menentukan nasib jutaan rakyat. Dalam konteks Indonesia, fondasi filosofis itu dikenal sebagai Pancasila, dan gelanggang sejarah tempat konsep ini digodok adalah sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Kelahiran Pancasila adalah epik intelektual yang melibatkan tokoh-tokoh besar dengan latar belakang keilmuan dan keyakinan yang beragam. Mereka dipersatukan oleh satu cita-cita tunggal: meletakkan landasan yang kokoh agar negara yang akan didirikan mampu bertahan, adil, dan berdaulat. Memahami proses ini membutuhkan penyelaman mendalam ke dalam konteamen politik dan diskusi filosofis yang terjadi dari akhir bulan Mei hingga pertengahan bulan Juli.

Latar Belakang Pembentukan BPUPKI: Kebutuhan akan Filosofi Dasar

BPUPKI, atau Dokuritsu Junbi Cosakai dalam bahasa Jepang, dibentuk sebagai respons atas janji kemerdekaan dari pihak penguasa militer Jepang. Namun, kehadiran badan ini lebih dari sekadar pemenuhan janji politik; ia menjadi arena vital bagi para pemimpin bangsa untuk merumuskan struktur negara secara mendasar. Tugas utama BPUPKI adalah menyelidiki dan menyusun semua hal penting yang berkaitan dengan persiapan kemerdekaan, termasuk wilayah, bentuk negara, dan, yang paling krusial, dasar negara.

Para pendiri bangsa menyadari bahwa sebuah negara modern tidak mungkin berdiri hanya atas dasar semangat perjuangan semata. Negara membutuhkan Philosophische Grondslag atau fundamen filsafat, sebuah orientasi spiritual, moral, dan etika yang akan menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan berbangsa. Tanpa dasar ini, negara yang baru lahir rentan terhadap perpecahan ideologis atau kehancuran struktural.

Persoalan dasar negara ini bukanlah hal sepele. Ia harus mampu menjembatani berbagai perbedaan etnis, agama, dan pandangan politik yang telah lama ada di Nusantara. Dasar negara haruslah sebuah titik temu, sebuah konsensus yang disepakati oleh seluruh elemen bangsa, memastikan keberlanjutan dan persatuan di tengah keragaman yang luar biasa.

Ilustrasi Perdebatan dan Musyawarah di BPUPKI Lima figur orang yang duduk dalam lingkaran, menunjukkan proses musyawarah untuk mencapai mufakat dalam perumusan dasar negara. Arena Musyawarah
Gambar: Ilustrasi suasana musyawarah di BPUPKI, di mana berbagai ide disajikan dan diperdebatkan.

Sidang Pertama BPUPKI (Mei - Juni): Tiga Proposal Fundamental

Sidang pertama BPUPKI berlangsung dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni. Fokus utama dari sesi ini adalah mendengarkan pidato-pidato dari anggota BPUPKI mengenai apa yang seharusnya menjadi dasar filosofis negara Indonesia merdeka. Tiga tokoh utama yang memberikan usulan mendasar dan paling berpengaruh adalah Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Setiap proposal mencerminkan pandangan yang berbeda tentang hubungan antara individu, masyarakat, dan negara.

1. Gagasan Muhammad Yamin: Pilihan Dasar yang Berbasis Adat dan Hak Asasi

Pada tanggal 29 Mei, Muhammad Yamin menjadi pembicara pertama yang mengemukakan usulan dasar negara. Yamin menawarkan lima poin, yang ia sampaikan dalam dua bentuk: yang pertama secara lisan, dan yang kedua secara tertulis, meskipun versi tertulisnya sempat menjadi subjek perdebatan historis mengenai keaslian kronologisnya. Dalam usulan lisannya, Yamin menekankan pentingnya moralitas dan kedaulatan rakyat:

Kelima sila yang diusulkan oleh Yamin secara lisan adalah:

Usulan Yamin ini menekankan bahwa dasar negara harus berakar kuat pada kebudayaan dan adat ketimuran, namun tetap mengintegrasikan nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia mencoba menempatkan elemen kebangsaan sebagai pilar awal, diikuti oleh etika global dan spiritualitas, serta diakhiri dengan mekanisme politik demokrasi dan jaminan kesejahteraan sosial. Kontribusi Yamin sangat penting karena ia yang pertama kali memberikan struktur lima poin, yang kemudian menjadi pola umum dalam perumusan dasar negara.

2. Gagasan Soepomo: Negara Integralistik dan Kolektivisme

Pada tanggal 31 Mei, giliran Soepomo, seorang ahli hukum adat dan tata negara, menyampaikan pidatonya. Soepomo mengajukan konsep negara yang sangat berbeda, yang dikenal sebagai Negara Integralistik. Pandangan ini terinspirasi dari pemikiran Hegel, Spinoza, dan filosofi Timur mengenai hubungan antara individu dan masyarakat.

Soepomo berpendapat bahwa negara Indonesia tidak boleh didasarkan pada konsep liberalisme individualistik (yang menempatkan individu di atas negara) atau totalitarianisme (yang menindas individu demi negara). Sebaliknya, Indonesia harus mengadopsi konsep integralistik, di mana negara dianggap sebagai suatu kesatuan organik yang mengatasi semua golongan. Negara adalah manifestasi dari seluruh rakyat.

Dasar-dasar yang diusulkan oleh Soepomo adalah:

  1. Persatuan
  2. Kekeluargaan
  3. Keseimbangan lahir dan batin
  4. Musyawarah
  5. Keadilan sosial rakyat

Konsep integralistik Soepomo sangat kuat dalam semangat kolektivisme dan anti-individualisme Barat. Ia menekankan bahwa dalam negara integralistik, tidak ada tempat bagi hak-hak individu yang mutlak, karena kepentingan seluruh masyarakat (negara) jauh lebih penting. Pandangan ini menarik banyak dukungan dari kelompok yang khawatir bahwa demokrasi liberal ala Barat akan membawa perpecahan dan fragmentasi di tengah masyarakat yang majemuk.

3. Gagasan Soekarno: Lahirnya Pancasila sebagai Jembatan Filosofis

Puncak dari sidang pertama BPUPKI terjadi pada tanggal 1 Juni, ketika Soekarno berpidato. Pidato Soekarno dikenal monumental karena ia berhasil menyajikan sintesis yang, secara politik, paling dapat diterima oleh berbagai kelompok yang berseteru.

Soekarno menekankan bahwa dasar negara haruslah menggali dari bumi Indonesia sendiri, bukan sekadar menjiplak ideologi asing. Ia menamakan usulannya sebagai Pancasila, yang secara etimologis berarti lima dasar atau lima asas.

Lima sila yang diusulkan Soekarno, disusun dalam urutan prioritasnya saat itu, adalah:

  1. Kebangsaan Indonesia (Nasionalisme)
  2. Internasionalisme (Peri Kemanusiaan)
  3. Mufakat atau Demokrasi
  4. Kesejahteraan Sosial
  5. Ketuhanan yang Berkebudayaan

Kontribusi terbesar Soekarno adalah kemampuannya untuk menawarkan spektrum konsolidasi: mulai dari nasionalisme yang kuat, etika kemanusiaan global, demokrasi yang berbasis permusyawaratan, keadilan ekonomi, hingga spiritualitas yang menghargai keberagaman (Ketuhanan yang Berkebudayaan).

Penyederhanaan Konsep: Trisila dan Ekasila

Untuk menunjukkan fleksibilitas dan kedalaman filosofis konsepnya, Soekarno bahkan menawarkan penyederhanaan lebih lanjut:

Meskipun akhirnya yang diterima adalah bentuk Pancasila dengan lima sila, tawaran Trisila dan Ekasila ini menunjukkan bahwa konsep yang diusulkan Soekarno bersifat fleksibel dan berakar pada nilai-nilai asli Indonesia, menjadikannya jembatan bagi kelompok nasionalis sekuler dan kelompok Islam.

Masa Reses dan Tugas Panitia Sembilan: Menemukan Titik Kompromi

Setelah sidang pertama, BPUPKI memasuki masa reses. Tugas utama yang mendesak adalah menyatukan berbagai usulan yang telah disampaikan menjadi satu rumusan final. Untuk tujuan ini, dibentuklah beberapa komite, yang paling krusial adalah Panitia Sembilan.

Pembentukan Panitia Kecil dan Panitia Sembilan

Awalnya dibentuk Panitia Kecil (beranggotakan delapan orang) yang bertugas mengumpulkan dan menyusun usulan-usulan. Namun, karena perbedaan pandangan yang tajam, terutama antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam, diperlukan sebuah komite yang lebih representatif untuk mencapai kompromi politik tingkat tinggi.

Maka, dibentuklah Panitia Sembilan, sebuah kelompok elite yang mencerminkan spektrum politik saat itu. Anggotanya terdiri dari lima perwakilan kelompok nasionalis dan empat perwakilan kelompok Islam. Ini adalah komposisi yang dirancang secara politis untuk memastikan bahwa rumusan yang dihasilkan akan diterima oleh kedua belah pihak.

Anggota Panitia Sembilan (lima Nasionalis dan empat Islam):

Tugas Panitia Sembilan sangat berat: merumuskan sebuah Piagam yang memuat dasar negara dan menjadi preambule bagi Undang-Undang Dasar (UUD) yang akan datang, yang mampu menyatukan kelompok yang menginginkan negara Islam dengan kelompok yang menginginkan negara sekuler murni.

Proses perumusan ini penuh ketegangan, di mana setiap kata harus dipertimbangkan secara cermat. Setelah melalui musyawarah yang panjang dan penuh pengorbanan ideologi dari kedua belah pihak, pada tanggal 22 Juni, Panitia Sembilan berhasil merumuskan rancangan Preambule UUD yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter).

Piagam Jakarta: Kompromi Tujuh Kata yang Kontroversial

Piagam Jakarta adalah puncak kompromi politik selama masa BPUPKI. Dokumen ini memuat rumusan Pancasila yang telah diubah urutan dan redaksinya, serta menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945.

Rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta adalah sebagai berikut:

  1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perbedaan paling mencolok terletak pada sila pertama: "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Tujuh kata ini—"dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya"—adalah harga yang harus dibayar oleh kelompok nasionalis demi mendapatkan dukungan kelompok Islam terhadap keseluruhan Piagam Jakarta dan struktur negara yang akan dibentuk. Bagi kelompok Islam, tujuh kata ini adalah jaminan bahwa negara akan memberikan ruang bagi pelaksanaan syariat.

Piagam Jakarta diterima oleh BPUPKI pada masa reses dan kemudian diajukan dalam sidang kedua. Dokumen ini merupakan bukti nyata bahwa dasar negara tidak lahir dari satu pandangan tunggal, melainkan dari proses musyawarah, negosiasi yang alot, dan kesediaan untuk berkompromi demi persatuan nasional. Piagam Jakarta menjadi pondasi untuk sidang BPUPKI berikutnya, khususnya dalam perumusan UUD.

Ilustrasi Lima Sila Pancasila Lima pilar atau elemen abstrak yang terhubung, melambangkan lima sila sebagai satu kesatuan fondasi negara. 1 2 3 4 5
Gambar: Representasi Lima Sila yang saling menopang dan menjadi fondasi negara, lahir dari proses negosiasi BPUPKI.

Sidang Kedua BPUPKI (Juli): Konsolidasi Institusional

Sidang kedua BPUPKI berlangsung dari tanggal 10 hingga 17 Juli. Meskipun Piagam Jakarta sudah disepakati, sidang ini berfokus pada perumusan rancangan UUD secara keseluruhan, termasuk bentuk negara, wilayah, dan struktur pemerintahan. Piagam Jakarta diserahkan dan diakui sebagai Mukadimah (Pembukaan) dari UUD rancangan tersebut.

Dalam sidang kedua, proses perumusan dasar negara dianggap sudah selesai di tingkat konseptual, meskipun redaksionalnya masih berpotensi diubah. Fokus utama adalah pada hal-hal yang lebih teknis dan struktural:

Kelompok Islam yang menerima Piagam Jakarta melalui Panitia Sembilan memastikan bahwa mereka akan terus memperjuangkan implementasi tujuh kata tersebut dalam struktur negara. Meskipun demikian, secara umum, konsensus mengenai lima prinsip dasar (Pancasila) sebagai filosofi negara telah terbentuk. Pancasila, dalam bentuk Piagam Jakarta, menjadi landasan ideologis yang disepakati untuk dibawa ke tahap persiapan kemerdekaan selanjutnya.

Analisis Filosofis Masing-Masing Sila dalam Kontestasi Ide

Pancasia bukanlah sekadar daftar lima poin, melainkan sebuah sistem filosofis yang terangkai secara hierarkis dan logis. Untuk memahami betapa krusialnya proses kelahiran Pancasila di BPUPKI, kita harus memahami perdebatan di balik setiap sila.

Sila Pertama: Ketuhanan (Pergulatan Teokrasi vs. Sekularisme)

Sila pertama adalah arena pertempuran ideologi yang paling sengit. Kelompok Islam (yang diwakili oleh tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. Wahid Hasyim) bersikeras bahwa negara harus berlandaskan Islam, mengingat mayoritas penduduk adalah Muslim. Mereka menolak konsep negara sekuler murni.

Di sisi lain, kelompok nasionalis (termasuk Soekarno, Hatta, dan Yamin) berpendapat bahwa negara tidak boleh didirikan di atas fondasi agama tunggal, karena Indonesia sangat majemuk dan memiliki minoritas agama yang signifikan. Memaksakan satu agama akan merusak persatuan.

Kompromi Piagam Jakarta dengan tujuh kata tersebut adalah jalan tengah yang mencoba menghormati aspirasi kelompok Islam tanpa menjadikan Indonesia negara teokrasi Islam. Ia mengakui Ketuhanan sebagai pilar fundamental, sambil mencoba memberikan ruang hukum bagi pelaksanaan syariat bagi pemeluk Islam, namun tidak mengikat warga non-Muslim. Meskipun kompromi ini bersifat sementara, ia berhasil meredakan ketegangan dan memungkinkan proses persiapan kemerdekaan berjalan.

Sila Kedua: Kemanusiaan (Integrasi Universalitas dan Lokalitas)

Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah penolakan terhadap diskriminasi rasial dan kolonialisme yang baru saja mereka alami. Ini adalah pengakuan bahwa bangsa Indonesia adalah bagian dari keluarga besar umat manusia. Yamin menyebutnya Peri Kemanusiaan, sementara Soekarno menyebutnya Internasionalisme.

Perdebatan di sini berpusat pada seberapa jauh nilai-nilai universal (hak asasi manusia, keadilan global) dapat diintegrasikan tanpa menghilangkan identitas lokal. Para pendiri bangsa menyepakati bahwa nasionalisme Indonesia haruslah nasionalisme yang beradab, yang tidak menindas bangsa lain (chauvinisme), melainkan nasionalisme yang menuju persatuan kemanusiaan.

Sila Ketiga: Persatuan Indonesia (Melampaui Etnis dan Wilayah)

Semua tokoh setuju bahwa persatuan adalah harga mati. Soepomo menempatkannya di awal, Soekarno di tengah. Sila ini merupakan jawaban atas fragmentasi historis Nusantara dan politik 'devide et impera' kolonial. Persatuan yang dimaksud bukanlah unifikasi paksaan, melainkan kesatuan dalam keanekaragaman (Bhinneka Tunggal Ika).

Dalam konteks BPUPKI, Sila Persatuan juga sangat terkait dengan perdebatan mengenai wilayah negara, yang akhirnya disepakati mencakup seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, dengan potensi perluasan berdasarkan aspirasi historis.

Sila Keempat: Kerakyatan (Demokrasi Asli Indonesia)

Sila Kerakyatan adalah penegasan kedaulatan rakyat. Namun, Kedaulatan Rakyat yang diusulkan oleh Soekarno dan Hatta bukanlah demokrasi liberal yang mengutamakan voting mayoritas, melainkan demokrasi yang berbasis Musyawarah dan Mufakat. Ini adalah refleksi dari sistem politik adat di mana keputusan dicapai melalui perundingan panjang sampai tercapai kesepakatan bersama.

Musyawarah, yang diletakkan dalam konteks Sila Keempat, adalah mekanisme utama untuk menyelesaikan konflik ideologi yang terjadi di BPUPKI itu sendiri. Proses pengambilan keputusan di BPUPKI tidak melalui pemungutan suara, melainkan melalui negosiasi intensif dan musyawarah mufakat, yang secara filosofis menjadi praktik nyata dari sila ini.

Sila Kelima: Keadilan Sosial (Pondasi Ekonomi Kerakyatan)

Sila Kesejahteraan Sosial (atau Keadilan Sosial) adalah sila yang paling sering dihubungkan dengan kritik terhadap kapitalisme Barat dan eksploitasi kolonial. Para pendiri bangsa menolak sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elite.

Keadilan Sosial, sebagaimana diperjuangkan oleh Hatta, harus mencakup pemerataan ekonomi dan penghapusan kemiskinan. Dalam sidang-sidang BPUPKI, ini termanifestasi dalam perdebatan tentang sistem ekonomi kekeluargaan dan peran negara yang aktif dalam mengelola sumber daya vital untuk kemakmuran bersama. Ini adalah jaminan bahwa kemerdekaan bukan hanya milik politik, tetapi juga milik ekonomi rakyat kecil.

Transformasi Final Pasca BPUPKI: Pengesahan dan Penghapusan Tujuh Kata

Meskipun Piagam Jakarta adalah hasil dari BPUPKI, proses kelahiran Pancasila baru benar-benar tuntas pada tanggal 18 Agustus, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, di dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Klimaks historis terjadi ketika Mohammad Hatta menerima laporan mengenai keberatan dari wakil-wakil Indonesia Timur terhadap tujuh kata dalam sila pertama. Mereka khawatir tujuh kata tersebut akan menyebabkan perpecahan antara umat beragama dan mengancam persatuan yang baru saja dicapai.

Dalam sebuah tindakan yang menunjukkan kebesaran jiwa dan prioritas persatuan di atas segalanya, kelompok Islam yang diwakili oleh tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. Wahid Hasyim, setelah negosiasi singkat namun sangat menentukan dengan Hatta, menyepakati penghapusan tujuh kata tersebut.

Pada 18 Agustus, rumusan final Pancasila yang disahkan menjadi:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penghapusan tujuh kata tersebut bukanlah akhir dari kontestasi ideologi, melainkan pengukuhan komitmen tertinggi para pendiri bangsa terhadap Persatuan Indonesia. Keputusan ini menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang sungguh-sungguh terbuka dan inklusif bagi semua golongan, etnis, dan agama di Nusantara.

Warisan Proses BPUPKI: Pilar Demokrasi dan Toleransi

Proses kelahiran Pancasila di BPUPKI adalah cerminan dari tradisi musyawarah yang mendalam dan kesediaan untuk berkompromi yang luar biasa. BPUPKI mengajarkan bahwa fondasi sebuah negara yang kokoh harus dibangun melalui dialog, pengakuan atas perbedaan, dan kemampuan para pemimpin untuk mengesampingkan kepentingan golongan demi kepentingan yang lebih besar.

Tanpa keberanian Soekarno dalam mengusulkan sintesis lima poin yang menjembatani ideologi Barat (sekuler) dan Timur (teologis), tanpa ketegasan Soepomo dalam mengingatkan tentang pentingnya negara kolektif, dan tanpa keikhlasan pemimpin-pemimpin Islam yang merelakan tujuh kata demi keutuhan bangsa, Pancasila mungkin tidak akan pernah terwujud dalam bentuknya yang sekarang.

Pancasila, sebagai hasil dari perdebatan intensif di BPUPKI dan penyempurnaan di PPKI, adalah dokumen hidup. Ia adalah Wegweiser (penunjuk jalan) dan Leitstar (bintang pemandu) yang menunjukkan bagaimana bangsa yang begitu plural dapat menemukan satu titik pijak yang sama. Ia menjadi warisan yang abadi: bukti bahwa Indonesia didirikan bukan atas dasar kemenangan satu kelompok atas kelompok lain, melainkan atas dasar kesepakatan agung dari seluruh komponen bangsa.

Oleh karena itu, setiap sila dari Pancasila mengandung jejak perdebatan historis, kompromi politik, dan kedalaman filosofis yang luar biasa. Mempelajari prosesnya di BPUPKI adalah kunci untuk memahami mengapa Pancasila tetap relevan dan tak tergantikan sebagai dasar filosofis Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga hari ini dan masa depan.

🏠 Homepage