Shalat adalah tiang agama, sebuah ibadah fundamental dalam Islam yang menjadi jembatan spiritual antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Ibadah ini memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan disebut sebagai amal yang pertama kali dihisab di akhirat. Namun, di tengah keutamaan dan kewajiban shalat, muncul sebuah pertanyaan kontradiktif: bagaimana mungkin seseorang yang terlihat tekun menjalankan shalat justru dapat dikategorikan sebagai pendusta agama?
Ayat Al-Qur'an yang sering dikaitkan dengan fenomena ini adalah Surat Al-Ma'un ayat 4-6: "Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat ria." Ayat ini secara gamblang menghubungkan antara shalat dengan celaka, suatu kondisi yang tentu bertolak belakang dengan tujuan ibadah itu sendiri. Kunci pemahaman terletak pada frasa "lalai dari shalatnya" dan "berbuat ria." Ini menunjukkan bahwa bukan sekadar gerakan fisik dan bacaan yang diucapkan yang menentukan sah tidaknya ibadah shalat, melainkan esensi kekhusyuan, ketundukan, dan niat di baliknya.
Kondisi "lalai dari shalatnya" tidak hanya diartikan sebagai menunda-nunda waktu shalat hingga keluar dari waktunya. Makna yang lebih dalam mencakup kelalaian dalam melaksanakan shalat itu sendiri. Seseorang yang shalat tetapi pikirannya melayang ke urusan dunia, tidak menghayati bacaan, tidak merasakan kehadirannya di hadapan Allah, maka shalatnya menjadi sekadar rutinitas tanpa makna spiritual yang mendalam. Ia hadir secara fisik, namun hatinya tidak terhubung dengan ibadahnya. Ibarat bercakap-cakap dengan seseorang namun pandangan kita tertuju ke arah lain, pesan yang disampaikan mungkin tidak sepenuhnya diterima apalagi dipahami.
Bayangkan seseorang yang setiap hari shalat lima waktu, namun dalam kesehariannya ia melakukan perbuatan yang merusak, menipu, merugikan orang lain, atau tidak peduli terhadap sesama. Shalatnya yang seharusnya menjadi pencegah perbuatan keji dan mungkar (sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Ankabut ayat 45: "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar") justru tidak memberikan efek transformatif pada dirinya. Ini menunjukkan bahwa shalatnya tidak sampai ke hatinya, tidak mengakar dalam dirinya, sehingga ia tetap kembali pada kebiasaan buruknya.
Aspek kedua yang disebutkan adalah "berbuat ria." Ria adalah melakukan ibadah, termasuk shalat, dengan tujuan untuk dilihat atau dipuji oleh manusia, bukan karena ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Orang yang ria dalam shalatnya mungkin akan berusaha shalatnya terlihat lebih khusyuk ketika ada orang lain, mengucapkan bacaan dengan lebih lantang, atau melakukan gerakan-gerakan yang menarik perhatian. Niatnya bukan lagi beribadah kepada Allah, melainkan mencari pengakuan dari makhluk-Nya.
Dalam konteks mendustakan agama, ria adalah bentuk pendustaan karena ia tidak mengakui bahwa ibadah adalah hak mutlak Allah. Ia menyekutukan Allah dalam ibadahnya, memberikan porsi kepada manusia dalam tujuan ibadahnya. Padahal, Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi: "Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh dari syirik. Barangsiapa yang beramal suatu amalan, lalu ia menyekutukan Aku dengan selain Aku, maka Aku tinggalkan ia dan sekutunya." Shalat yang diliputi ria, meskipun dilakukan oleh orang yang mengaku beragama Islam, sesungguhnya telah menodai konsep ketauhidan.
Ayat Al-Ma'un secara tegas menyatakan "celakalah" mereka. Celaka di sini bisa dimaknai sebagai kerugian dunia dan akhirat. Di dunia, shalat yang tidak benar esensinya tidak akan memberikan ketenangan jiwa, kedamaian batin, atau kekuatan moral yang seharusnya didapatkan dari kedekatan dengan Allah. Sebaliknya, kekosongan spiritual dapat memicu kegelisahan dan kesulitan dalam menghadapi cobaan hidup.
Di akhirat, konsekuensinya lebih berat. Shalat yang seharusnya menjadi penyelamat justru menjadi bumerang. Orang yang mendustakan agama, sekecil apapun bentuk pendustaannya termasuk melalui ibadah yang tidak tulus, berhak mendapatkan siksa. Pendustaan agama bukan hanya terkait dengan penolakan terhadap ajaran Islam secara terang-terangan, tetapi juga bisa berupa pengkhianatan terhadap nilai-nilai Islam dalam praktik kehidupan sehari-hari, bahkan dalam ibadah yang paling mulia sekalipun.
Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk terus-menerus mengoreksi diri, bukan hanya dalam hal ibadah shalat, tetapi juga dalam setiap amal perbuatannya. Shalat hendaknya menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan hati, dan membentuk karakter yang mulia, bukan sekadar gugur kewajiban atau alat untuk mencari pujian. Ikhlas dan kekhusyuan adalah dua kunci utama agar shalat kita benar-benar diterima dan menjadi penyelamat, bukan justru menjerumuskan kita.