Bagaimana Pandangan Orang yang Mengimani Hari Akhir Terhadap Kemegahan Dunia

Kehidupan manusia senantiasa dibenturkan pada dua realitas yang saling tarik-menarik: kemegahan yang terlihat mata, yang menawarkan kenikmatan instan dan prestise sosial; dan janji keabadian yang tak kasat mata, yang menuntut pengorbanan dan kesabaran. Bagi seseorang yang telah menambatkan keyakinannya secara mendalam pada Hari Akhir—sebuah perhitungan yang akan menentukan takdir abadi—cara pandangnya terhadap gemerlap dunia akan mengalami pergeseran radikal. Kemegahan, yang bagi kebanyakan orang adalah tujuan tertinggi, tiba-tiba menjadi sekadar alat, ujian, atau bahkan ilusi fana yang berpotensi menjerumuskan.

Inti dari pandangan ini bukanlah penolakan total terhadap dunia, melainkan penolakan terhadap pemujaan dunia. Kemegahan duniawi—baik itu berupa tumpukan harta, puncak kekuasaan, atau sorotan popularitas—dianggap sebagai variabel sementara yang harus diukur menggunakan konstanta Ilahi. Orang yang beriman tidak dibutakan oleh kilauan emas; mereka melihat emas tersebut sebagai logam yang hanya bernilai jika digunakan untuk menanam benih kebaikan yang hasilnya akan dituai di negeri yang kekal. Mereka hidup di dunia, berinteraksi dengan realitasnya, namun hati dan orientasi mereka telah menetap di tempat yang jauh, melampaui cakrawala materi.

I. Fondasi Pandangan: Menggeser Skala Nilai

Pandangan terhadap kemegahan dunia ini berakar pada pemahaman teologis yang fundamental, yaitu konsep dualitas eksistensi: dunia (dunia fana) dan Akhirat (dunia abadi). Keimanan ini menciptakan sebuah "kacamata Akhirat" yang secara otomatis mengoreksi persepsi terhadap segala sesuatu yang bersifat temporal. Ketika dunia diyakini memiliki batas waktu yang sangat pendek, segala kemewahan yang ditawarkannya menjadi relatif tidak berarti.

Konsep Kehidupan sebagai Jembatan (Mazra'atul Akhirah)

Bagi orang beriman, dunia bukanlah terminal akhir, melainkan sebuah stasiun transit, sebuah ladang tempat menanam benih, atau—yang paling tepat—sebuah jembatan penyeberangan. Jembatan diciptakan untuk dilewati, bukan untuk didirikan istana di atasnya. Seseorang yang cerdas tidak akan menghabiskan seluruh sumber dayanya untuk membangun kemewahan di atas jembatan yang sebentar lagi akan ditinggalkan. Fokusnya adalah memastikan bekal perjalanan aman dan mencukupi.

Kemegahan dunia, dalam konteks jembatan ini, adalah materi bangunan yang tersedia. Jika jembatan itu terbuat dari emas murni dan berlian (kemegahan), itu tidak mengubah fungsi aslinya sebagai jalan menuju tujuan. Orang beriman menggunakan kemegahan itu sebatas yang diperlukan untuk menunjang perjalanan menuju keabadian. Mereka mungkin memiliki harta, namun harta itu berfungsi sebagai sarana untuk beramal shaleh, membantu sesama, dan menjaga kehormatan diri, bukan sebagai tujuan akhir untuk dipamerkan dan dibanggakan. Sikap ini membebaskan mereka dari perbudakan materi; mereka menguasai harta, bukan dikuasai olehnya.

Keabadian (Akhirat) Jembatan (Dunia)

Skala Jembatan: Dunia adalah jalan yang harus dilalui, bukan tempat tinggal abadi.

Prinsip Fana: Segala Sesuatu Akan Lenyap

Penghayatan terhadap kefanaan adalah senjata terkuat melawan godaan kemegahan. Orang yang beriman menyadari bahwa gedung-gedung pencakar langit yang hari ini dibanggakan, merek-merek mewah yang dipuja, dan bahkan tubuh fisik yang sehat dan bugar, semuanya tunduk pada hukum degradasi dan kehancuran. Dalam jangka waktu ribuan tahun, semua yang dibangun manusia akan kembali menjadi debu. Namun, amal baik yang dilakukan di tengah kemegahan itu akan tetap tercatat dan abadi.

Kemegahan dunia sering kali menipu karena menampilkan ilusi kekekalan atau stabilitas. Kekuatan politik terasa tak tergoyahkan sampai pergantian rezim terjadi dalam semalam. Harta terasa tak terbatas sampai krisis ekonomi melanda. Pandangan iman menembus ilusi ini dan melihat substansi sejati: kemegahan hanyalah lapisan permukaan yang mudah terkelupas. Oleh karena itu, investasi emosional dan spiritual tidak diarahkan pada lapisan permukaan ini, melainkan pada inti batin yang akan dibawa mati.

II. Mekanisme Keseimbangan: Zuhud dan Qana’ah

Untuk menjaga pandangan tetap lurus di tengah badai kemegahan, orang beriman mengadopsi dua mekanisme pertahanan utama: Zuhud dan Qana’ah. Kedua konsep ini sering disalahpahami sebagai kemiskinan atau penolakan total terhadap kenikmatan, padahal makna sejatinya jauh lebih dalam dan bersifat spiritual.

Zuhud: Melepaskan Keterikatan Hati

Zuhud (asketisme spiritual) bukanlah hidup dalam keterbatasan fisik yang ekstrem, melainkan keterbatasan emosional terhadap dunia. Orang yang zahid (berzuhud) mungkin saja kaya raya dan memiliki kemudahan materi, tetapi hatinya tidak pernah terikat pada harta tersebut. Ketika harta itu hilang, hatinya tidak ikut hancur. Ketika harta itu datang, ia tidak sombong.

Pandangan ini mengubah kemegahan menjadi alat yang netral. Jika seseorang berzuhud, ia melihat mobil mewah bukan sebagai simbol status yang harus dipertahankan mati-matian, melainkan sebagai alat transportasi yang memperlancar ibadah atau pekerjaan. Ia melihat jabatan tinggi bukan sebagai kesempatan untuk menumpuk kekayaan pribadi, melainkan sebagai tanggung jawab besar (amanah) untuk menegakkan keadilan dan melayani umat. Kebebasan sejati dari perbudakan dunia datang dari zuhud, karena ia membebaskan jiwa dari rasa takut kehilangan dan obsesi untuk mendapatkan lebih banyak.

Tanpa Zuhud, kemegahan dunia menjelma menjadi tirani yang menuntut pengabdian penuh waktu. Ia memaksa pemiliknya untuk selalu khawatir tentang bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kemegahan tersebut, mencuri waktu yang seharusnya digunakan untuk persiapan Akhirat. Orang beriman menolak tirani ini dengan menetapkan kemegahan dunia di bawah kaki, bukan di atas kepala.

Qana’ah: Rasa Cukup dan Kaya Raya Batiniah

Qana’ah (rasa cukup) adalah saudara kembar Zuhud. Jika Zuhud berkaitan dengan melepaskan keterikatan terhadap apa yang dimiliki, Qana’ah adalah kepuasan terhadap apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Ini adalah pemahaman bahwa kekayaan sejati bukanlah pada kuantitas harta yang dimiliki, melainkan pada kualitas hati yang puas.

Kemegahan dunia sering kali memicu penyakit ‘ketidakpuasan yang tak terbatas’—selalu ada mobil yang lebih baru, rumah yang lebih besar, atau jabatan yang lebih tinggi untuk dikejar. Qana’ah adalah penawarnya. Ketika seseorang merasa cukup, ia telah mengalahkan seluruh perlombaan duniawi. Ia berhenti membandingkan dirinya dengan standar kemegahan yang ditetapkan oleh masyarakat, dan mulai mengukur dirinya dengan standar ketaatan kepada Ilahi.

Bagi orang yang mengimani Hari Akhir, Qana’ah adalah kunci untuk menjaga fokus. Jika hati sudah tenteram dengan apa yang ada, energi spiritual yang besar dapat dialihkan dari pengejaran materi yang melelahkan menuju pengejaran amal yang bernilai abadi. Inilah kekayaan yang sesungguhnya: ketenangan batin di tengah hiruk pikuk kemegahan yang ditawarkan dunia.

III. Transformasi Kemegahan Duniawi Menjadi Bekal Akhirat

Bagi seorang mukmin, kemegahan dunia bukanlah hal yang haram, melainkan bahan baku yang harus diolah. Pandangan mereka tidak bersifat pasif atau fatalis, tetapi proaktif. Mereka berupaya mengubah setiap bentuk kemegahan—harta, kekuasaan, bahkan bakat—menjadi 'mata uang' yang laku di Hari Perhitungan.

A. Mengelola Kemegahan Harta (Syndrome Qarun)

Harta adalah bentuk kemegahan yang paling mudah diukur dan paling sering menggoda. Orang yang mengimani Hari Akhir melihat harta melalui lensa Amanah (kepercayaan). Harta yang dimiliki bukanlah hasil murni jerih payah pribadi, melainkan pinjaman sementara yang akan ditanyakan pertanggungjawabannya.

Ketika harta dipandang sebagai amanah, kemegahan tumpukan kekayaan berubah menjadi tanggung jawab sosial yang besar. Kekayaan yang tidak didistribusikan atau digunakan untuk kebaikan bersama dianggap sebagai beban yang akan memberatkan timbangan amal kelak. Oleh karena itu, infaq, sedekah, dan zakat bukanlah sekadar kewajiban ritual, melainkan mekanisme utama untuk 'membersihkan' kemegahan duniawi agar tidak menjadi bencana di Akhirat.

Orang beriman yang kaya raya tetap menikmati kemudahan duniawi, namun kualitas kenikmatan mereka berbeda. Mereka menikmati hasil harta mereka melalui kepuasan batin saat melihat harta itu bermanfaat bagi orang lain, bukan hanya melalui kepuasan ego saat memilikinya. Mereka menghindari sindrom Qarun, yaitu sikap angkuh yang mengklaim bahwa semua kemegahan didapat murni karena kepintaran dan usaha sendiri, lupa akan sumber rezeki sejati.

B. Memanfaatkan Kemegahan Kekuasaan (Syndrome Firaun)

Kekuasaan dan jabatan adalah bentuk kemegahan yang paling memabukkan, sebab ia memberikan ilusi kontrol mutlak atas kehidupan orang lain. Sejarah dipenuhi kisah para penguasa yang terperosok ke dalam tirani karena lupa bahwa kekuasaan mereka fana.

Bagi orang beriman, kekuasaan adalah ujian tertinggi. Pandangan mereka terhadap singgasana bukan sebagai hak istimewa, melainkan sebagai 'kursi panas' yang memiliki risiko pertanggungjawaban terbesar. Kekuasaan adalah alat paling efektif untuk menegakkan keadilan (amal paling mulia) atau menyebarkan kezaliman (dosa paling besar).

Seorang pemimpin yang mengimani Hari Akhir akan menjadikan setiap keputusan kebijakan sebagai investasi Akhirat. Dia menyadari bahwa setiap penindasan, korupsi, atau pengabaian terhadap kaum lemah akan dicatat secara rinci. Kemegahan jabatan, seperti pakaian kebesaran atau pengawalan, dilihat sebagai formalitas yang melekat pada tugas, bukan sebagai identitas diri. Ketika masa jabatannya berakhir, ia harus bisa melepaskan jubah kemegahan itu tanpa merasa kehilangan identitas. Keberhasilannya diukur bukan dari lamanya berkuasa, tetapi dari kualitas keadilan yang ia tebar.

C. Menanggapi Kemegahan Ilmu dan Kecerdasan (Bahaya Keangkuhan Intelektual)

Kemegahan tidak hanya berbentuk materi. Ada juga kemegahan intelektual dan popularitas. Ilmu yang tinggi, kemampuan berdebat yang tajam, atau penemuan yang revolusioner dapat menjadi sumber keangkuhan yang mematikan spiritualitas.

Orang yang beriman melihat ilmu (baik ilmu agama maupun ilmu dunia) sebagai cahaya yang seharusnya mendekatkannya kepada Pencipta. Jika ilmu tersebut justru menghasilkan kesombongan, rasa superioritas terhadap orang awam, atau digunakan untuk membenarkan penindasan, maka ilmu itu berubah menjadi kegelapan yang menjauhkan dari Akhirat.

Mereka menjadikan kemegahan ilmu sebagai sarana dakwah, pengabdian, dan peningkatan kualitas hidup manusia secara umum. Semakin tinggi ilmunya, semakin rendah hati sikapnya, sebab ia menyadari betapa luasnya lautan ilmu yang belum ia selami, dan betapa kecilnya dirinya di hadapan Kebijaksanaan Ilahi.

Kemegahan Dunia Amal Abadi

Timbangan Abadi: Perbandingan bobot antara Kemegahan Fana dan Amal Saleh.

IV. Krisis Eksistensial di Tengah Kemegahan: Ujian Terberat

Bukanlah hal yang mudah untuk memegang teguh pandangan keabadian di tengah desakan gemerlap dunia. Kemegahan datang dengan janji kenyamanan, rasa hormat, dan kekebalan sosial. Bagi orang beriman, kemegahan ini adalah arena ujian spiritual yang paling intens, melebihi ujian kemiskinan atau kesulitan.

1. Ujian Kehilangan Rasa Lapar Spiritual

Salah satu bahaya terbesar dari kemegahan dunia adalah ia mampu menumpulkan 'rasa lapar spiritual'. Ketika seseorang tenggelam dalam kenyamanan dan kemudahan materi, dorongan untuk bersujud, berdoa larut malam, atau berjuang untuk kebaikan seringkali melemah. Kemewahan menciptakan ilusi bahwa semua kebutuhan telah terpenuhi, sehingga kebutuhan terhadap Tuhan terasa berkurang.

Orang beriman harus secara sadar melawan rasa puas diri yang ditawarkan oleh kemegahan. Mereka memahami bahwa puncak tertinggi sebuah istana mewah adalah titik terendah jika istana itu membuat pemiliknya lupa akan rumah abadi mereka. Mereka menjaga ritual ibadah bukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai 'pengisian bahan bakar' yang menjaga hati tetap terhubung dengan realitas abadi, memastikan bahwa kemegahan fisik tidak merusak kemegahan batin.

2. Jebakan Perbandingan dan Iri Hati (Hasad)

Kemegahan dunia memicu budaya perbandingan sosial. Seseorang mungkin sudah sangat berkecukupan, tetapi ia merasa miskin atau kurang sukses ketika melihat kemegahan yang dimiliki orang lain. Pandangan iman menghancurkan jebakan ini. Orang beriman melihat bahwa kekayaan sejati terletak pada rezeki yang halal dan keberkahan, bukan pada volume. Mereka memahami bahwa kemegahan yang dimiliki orang lain adalah ujian bagi orang tersebut, dan rasa iri terhadap kemegahan itu berarti iri terhadap ujian yang diberikan Tuhan.

Mereka melatih hati untuk mengucapkan syukur (Alhamdulillah) atas apa yang dimiliki dan mendoakan keberkahan bagi kemegahan yang dimiliki orang lain. Dengan demikian, mereka mengubah iri hati yang merusak menjadi motivasi positif tanpa harus menuhankan materi. Fokusnya adalah balapan amal, bukan balapan harta atau kedudukan.

3. Bahaya Tasyabbuh (Meniru Secara Buta)

Kemegahan dunia modern seringkali dikaitkan dengan gaya hidup tertentu yang menuntut kepatuhan buta terhadap tren. Orang yang mengimani Hari Akhir menghadapi tantangan untuk berinteraksi dengan kemegahan tanpa larut di dalamnya (tasyabbuh). Mereka harus mampu memilah mana aspek duniawi yang netral dan bermanfaat (misalnya, teknologi) dan mana yang secara fundamental bertentangan dengan nilai-nilai keabadian (misalnya, konsumerisme berlebihan, hedonisme, atau pemujaan diri).

Kepercayaan pada Hari Akhir memberikan filter moral yang kuat. Jika sebuah tren kemegahan menuntut pengorbanan integritas, waktu ibadah, atau sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk kaum papa, maka tren itu harus ditolak, tidak peduli seberapa "keren" atau "modern" penampilannya.

V. Penerapan Filosofi Keabadian dalam Kehidupan Sehari-Hari

Filosofi ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi termanifestasi dalam setiap keputusan kecil. Dari cara memilih pakaian hingga cara merencanakan masa depan, pandangan Akhirat menjadi kompas yang konsisten.

Keputusan Konsumsi dan Gaya Hidup

Orang beriman yang menghadapi kemegahan dunia menerapkan prinsip minimalisme fungsional. Mereka menghargai kualitas dan fungsi, tetapi menolak pemborosan dan ekses. Mereka membeli barang mewah bukan karena harga atau mereknya dapat meningkatkan status sosial, tetapi karena kualitasnya menjamin keberlanjutan atau efisiensi yang menunjang ketaatan.

Contohnya: Mereka mungkin memiliki rumah yang nyaman dan indah (menghargai estetika dan kebersihan), tetapi rumah itu tidak didesain untuk menyombongkan kekayaan (menghindari sikap boros dan pamer). Setiap ruangan dan setiap benda di rumah itu memiliki fungsi, dan surplus harta diarahkan untuk pembangunan spiritual atau sosial.

Eskalasi Kebutuhan Versus Kebutuhan Sejati: Kemegahan dunia terus-menerus mendefinisikan ulang apa itu 'kebutuhan'. Orang beriman harus mampu membedakan kebutuhan sejati (yang menunjang keberlangsungan hidup dan ibadah) dari keinginan palsu (yang hanya memuaskan ego dan nafsu). Mereka membatasi eskalasi keinginan agar tidak terperangkap dalam lingkaran setan konsumerisme yang tidak pernah berakhir.

Mengukur Keberhasilan (Falah)

Dalam masyarakat yang memuja kemegahan, keberhasilan (sukses) diukur dari akumulasi harta (kekayaan bersih), kepemilikan aset, atau jabatan. Pandangan iman mengubah metrik ini secara fundamental.

Keberhasilan sejati (Falah) diukur dari tingkat ketaatan, kualitas karakter, dan dampak positif yang ditinggalkan di dunia. Seseorang yang meninggal dalam keadaan miskin tetapi memiliki catatan amal saleh dan hati yang bersih dianggap jauh lebih sukses daripada seorang miliarder yang meninggal tanpa amal dan hati yang penuh kesombongan.

Pergeseran metrik ini membebaskan orang beriman dari tekanan sosial untuk 'tampak' sukses di mata manusia, memungkinkan mereka untuk fokus pada upaya 'menjadi' baik di mata Tuhan. Kemegahan dunia menjadi indikator kinerja, bukan indikator nilai diri.

VI. Kedalaman Filosofi: Ketenangan di Tengah Ketidakpastian

Penerimaan terhadap fana dan keyakinan terhadap Akhirat memberikan ketenangan luar biasa yang tidak dapat dibeli dengan kemegahan apa pun. Ketenangan ini muncul dari pelepasan keterikatan terhadap variabel duniawi.

Kebebasan dari Ketergantungan

Ketika seseorang menempatkan seluruh harapannya pada kemegahan dunia (jabatan, popularitas, uang), ia menjadi sangat rentan. Kehilangan kemegahan berarti kehilangan identitas dan harapan. Bagi orang yang beriman, harapan dan identitas mereka berakar pada hubungan mereka dengan Yang Abadi.

Apabila kekayaan hilang, mereka berduka atas kehilangan sarana amal, tetapi tidak berduka atas kehilangan diri. Apabila kekuasaan dicabut, mereka merasa ringan dari beban tanggung jawab, bukan terhina karena kehilangan status. Kebebasan dari ketergantungan pada hal-hal fana inilah yang menjadikan mereka tahan banting (resilien) di tengah ketidakpastian ekonomi, politik, dan sosial.

Refleksi Kematian (Maut) sebagai Penyeimbang

Refleksi kematian adalah filter paling efektif untuk menguji nilai sejati kemegahan. Orang yang mengimani Hari Akhir sering merenungkan pertanyaan: "Apakah kemegahan ini akan menemaniku di liang lahat?"

Rasa takut akan maut bagi kebanyakan orang adalah karena takut kehilangan kenikmatan duniawi. Bagi orang beriman, rasa takut itu diarahkan pada apakah bekal yang dikumpulkan sudah cukup. Kemegahan dunia, yang seringkali dianggap sebagai perlindungan, tiba-tiba terlihat sangat rapuh ketika dihadapkan pada realitas kematian. Mereka memahami bahwa satu-satunya kemegahan yang berarti saat itu adalah kemegahan akhlak dan amal yang telah mereka kirimkan sebelumnya.

Cukup

Qana’ah: Cahaya Batin di tengah bayang-bayang Kemegahan Duniawi.

VII. Eksplorasi Mendalam: Kemegahan yang Diperbolehkan dan Dikehendaki

Adalah sebuah kekeliruan jika menganggap pandangan keimanan ini menuntut umatnya untuk hidup dalam kemelaratan. Sebaliknya, orang beriman didorong untuk menjadi yang terdepan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam mengumpulkan kemegahan, selama tujuan utamanya adalah memperjuangkan kebaikan dan keadilan.

Terdapat perbedaan krusial antara kemegahan yang dicintai nafsu (kemegahan hedonis) dan kemegahan yang diizinkan syariat (kemegahan fungsional dan representatif). Kemegahan yang diizinkan memiliki beberapa ciri:

1. Kemegahan sebagai Representasi Martabat Agama: Terkadang, kemegahan diperlukan untuk menunjukkan kekuatan dan martabat suatu komunitas. Misalnya, membangun fasilitas sosial yang megah dan fungsional (rumah sakit, universitas) yang menunjukkan kemampuan umat untuk berkontribusi pada peradaban. Kemegahan ini bukan untuk pamer individu, tetapi sebagai wujud kedermawanan dan kemajuan kolektif.

2. Kemegahan dalam Menjaga Kehormatan Diri: Kebersihan, kerapian, dan pakaian yang layak adalah bagian dari kemegahan diri yang dituntut oleh spiritualitas. Ini adalah bentuk syukur atas nikmat dan menjaga martabat, jauh dari kesombongan, tetapi juga jauh dari penampilan yang melarat tanpa alasan.

3. Kemegahan sebagai Infrastruktur Kebaikan: Jika kekayaan besar digunakan untuk mendanai proyek-proyek filantropi skala global yang membutuhkan pendanaan masif—seperti penelitian ilmiah yang bermanfaat bagi kemanusiaan, atau pembangunan pusat-pusat pendidikan yang mencerdaskan—maka kemegahan harta itu telah bertransformasi sepenuhnya menjadi alat Akhirat.

Dalam ketiga kasus ini, kemegahan hanyalah sarana amplifikasi. Semakin besar kemegahan yang dimiliki, semakin besar pula amplifikasi kebaikan yang dapat disebarkan. Namun, amplifikasi ini harus selalu diiringi dengan filter keikhlasan yang ketat, memastikan bahwa niat tetap tertuju pada Ridha Ilahi, bukan tepuk tangan manusia.

VIII. Memperkuat Pandangan: Dari Teori ke Penghayatan Hati

Pandangan mengenai kemegahan dunia ini tidak dapat dipertahankan hanya melalui pengetahuan akademis. Ia harus diinternalisasi hingga menjadi penghayatan hati yang mendalam. Proses ini memerlukan latihan spiritual yang berkelanjutan.

Latihan Periodik Mengosongkan Diri (Tajrid)

Orang beriman secara periodik melakukan latihan mengosongkan diri dari keterikatan duniawi, sering kali melalui ibadah puasa atau menahan diri dari kemewahan tertentu meskipun mampu membelinya. Latihan ini mengingatkan hati bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari materi, dan bahwa jiwa dapat bertahan—bahkan menjadi lebih kuat—tanpa kehadiran kemegahan duniawi.

Latihan ini menjamin bahwa ketika kemegahan itu hilang (baik melalui kehilangan harta, jabatan, atau kesehatan), guncangannya tidak akan merobohkan fondasi spiritual. Hati yang terlatih untuk 'hidup sederhana' meskipun memiliki 'akses mewah' adalah hati yang paling siap menghadapi ketidakpastian dunia dan paling siap menghadapi kepastian Hari Akhir.

Peran Komunitas dan Teladan

Pandangan ini diperkuat dalam komunitas yang saling mengingatkan. Ketika seseorang mulai tergelincir dan terobsesi pada kemegahan duniawi, komunitas yang sehat akan menariknya kembali dengan lembut, mengingatkan bahwa standar nilai sejati berada di luar lingkup fana. Teladan dari orang-orang saleh yang memiliki kesempatan untuk hidup mewah tetapi memilih kesederhanaan adalah penguat visual bahwa mungkin saja memiliki dunia di tangan tanpa menempatkannya di dalam hati.

Teladan ini mengajarkan bahwa pilihan kesederhanaan adalah kemewahan batiniah tertinggi. Orang yang memilih hidup sederhana padahal mampu hidup mewah telah mencapai tingkat Zuhud yang sempurna. Mereka menanggapi kemegahan dunia dengan senyum yang tenang, menyadari bahwa mereka tidak membutuhkan kilau itu untuk merasa berharga.

IX. Kesimpulan: Orientasi Tak Tergoyahkan Menuju Keabadian

Kemegahan dunia, dilihat dari kacamata iman kepada Hari Akhir, kehilangan daya magisnya yang memabukkan. Ia tidak lagi menjadi berhala yang disembah, melainkan panggung ujian yang harus dilalui dengan penuh kewaspadaan. Pandangan ini menawarkan kebebasan dari kegelisahan mengejar materi yang tak pernah usai, dan menggantinya dengan ketenangan berorientasi pada tujuan yang pasti dan abadi.

Bagi orang beriman, kemegahan dunia adalah manifestasi keindahan dan nikmat Tuhan yang harus dinikmati dan disyukuri, tetapi dengan pemahaman yang jelas: nikmat ini akan dipertanggungjawabkan dan nilainya bersifat sementara. Nilai sejati kemegahan dunia tidak terletak pada seberapa banyak yang dapat dikumpulkan, melainkan seberapa efektif kemegahan tersebut digunakan untuk menanam benih kebaikan yang akan mekar di taman keabadian.

Pada akhirnya, orang yang mengimani Hari Akhir hidup dengan paradoks yang indah: mereka bekerja keras di dunia seolah-olah akan hidup selamanya, tetapi mereka beribadah dan beramal shaleh seolah-olah akan mati esok hari. Dualitas inilah yang memungkinkan mereka berinteraksi secara optimal dengan kemegahan tanpa pernah membiarkan kemegahan itu menguasai hati mereka. Mereka adalah pengembara cerdas yang membawa bekal secukupnya, menatap lurus ke tujuan akhir, dan tidak pernah tergoda untuk berlama-lama di persinggahan yang indah, namun fana.

Kemegahan dunia adalah cermin yang memantulkan kondisi batin. Jika hati terikat padanya, cermin itu memantulkan kesombongan dan kegelisahan. Jika hati terikat pada Akhirat, cermin itu memantulkan rasa syukur, tanggung jawab, dan ketenangan yang tak ternilai harganya.

***

X. Mendalami Sikap Praktis Terhadap Fenomena Kemegahan Kontemporer

Di era modern, kemegahan mengambil bentuk yang lebih kompleks dan halus, melampaui sekadar harta dan tahta. Ia merangkum data, informasi, koneksi, dan pengaruh digital. Pandangan Akhirat tetap relevan, bahkan semakin krusial, dalam menyikapi bentuk-bentuk kemegahan baru ini.

Kemegahan Digital dan Pengaruh (Digital Grandeur)

Dalam dunia digital, kemegahan diukur melalui jumlah pengikut (followers), jangkauan (reach), dan validasi publik (likes). Ini adalah bentuk kekuasaan yang sangat cepat memabukkan, memberi ilusi bahwa opini seseorang memiliki bobot universal dan abadi. Bagi orang yang mengimani Hari Akhir, kemegahan digital harus dilihat sebagai platform dakwah dan kebaikan, bukan sebagai cerminan nilai diri.

Jika seseorang memiliki jutaan pengikut, ia memiliki amanah untuk menyebarkan konten yang bermanfaat, mendidik, atau menginspirasi kebaikan. Setiap kata yang diketik dan setiap gambar yang diunggah akan memiliki bobot pertanggungjawaban yang setara dengan jangkauannya. Mereka harus berhati-hati agar kemegahan pengaruh digital tidak menjerumuskan ke dalam narsisisme, keinginan untuk disanjung, atau menyebarkan kebencian. Nilai sejati dari "popularitas" diukur bukan dari data metrik, tetapi dari apakah popularitas itu berhasil mengarahkan orang lain kembali kepada kebenaran.

Kemegahan Inovasi dan Kecepatan

Dunia modern memuja inovasi dan kecepatan. Kemegahan perusahaan teknologi besar terletak pada kemampuan mereka menciptakan solusi yang mengubah dunia dalam waktu singkat. Pandangan iman tidak menolak inovasi, tetapi menanyakan niat dan dampaknya.

Inovasi harus didorong jika ia bertujuan meringankan beban hidup manusia, memfasilitasi ibadah, atau memperbaiki kondisi lingkungan. Namun, jika kemegahan inovasi hanya bertujuan mengumpulkan kekayaan bagi segelintir orang sambil mengeksploitasi sumber daya atau pekerja, maka kemegahan itu dinilai rapuh dan etisnya dipertanyakan. Orang beriman berpartisipasi dalam inovasi dengan etos kerja yang berlandaskan keberlanjutan dan keadilan, memastikan bahwa hasil kemegahan ilmu pengetahuan dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.

Kritik terhadap Konsep 'Legacy' Duniawi

Banyak pengejar kemegahan duniawi terobsesi meninggalkan 'legacy' (warisan) abadi: nama yang dikenang, monumen yang berdiri kokoh. Obsesi ini, dari sudut pandang Akhirat, adalah upaya sia-sia untuk menciptakan keabadian palsu di dunia yang fana.

Orang beriman memahami bahwa satu-satunya warisan sejati adalah Amal Jariyah—warisan yang pahalanya terus mengalir bahkan setelah kematian. Ini bisa berupa ilmu yang bermanfaat yang diajarkan, anak saleh yang mendoakan, atau sumur yang digali dan terus digunakan. Monumen dari batu akan hancur, tetapi warisan spiritual tetap ada. Oleh karena itu, fokus mereka bukan pada seberapa besar nama mereka diukir di dunia, tetapi seberapa besar kebaikan yang mereka tanam dan tumbuh setelah mereka tiada.

XI. Dinamika Hubungan dengan Pengejar Kemegahan

Orang yang mengimani Hari Akhir hidup berdampingan dengan mereka yang menjadikan kemegahan dunia sebagai tujuan tunggal. Sikap mereka terhadap kelompok ini haruslah seimbang, bukan menghakimi, tetapi menunjukkan alternatif.

Sikap Empati dan Peringatan

Mereka melihat pengejar kemegahan dengan rasa iba dan empati, karena mereka menyadari bahaya yang mengintai di balik kesenangan sesaat tersebut. Mereka memahami bahwa mengejar kemegahan tanpa batas adalah perjalanan yang melelahkan dan berakhir dengan kekecewaan ketika maut menjemput.

Oleh karena itu, interaksi mereka didasarkan pada nasihat yang bijaksana dan lembut. Mereka tidak mencela kemewahan yang dimiliki orang lain, tetapi mengingatkan tentang tujuan hidup yang lebih tinggi. Mereka berusaha menjadi teladan hidup, menunjukkan bahwa mungkin saja meraih keberhasilan materi sambil mempertahankan integritas spiritual, dan menunjukkan bahwa ketenangan batin yang mereka miliki jauh lebih berharga daripada kekhawatiran yang dimiliki oleh para budak kemegahan.

Menghindari Ekstremitas

Pandangan iman menolak dua ekstrem: Ekstrem hedonis (memuja semua kemegahan dunia) dan Ekstrem asketis radikal (mengharamkan semua kenikmatan duniawi secara total). Keseimbangan terletak pada mengambil yang terbaik dari dunia untuk bekal Akhirat.

Kemegahan bukanlah racun, tetapi racun menjadi racun ketika dosisnya salah. Mengambil kemegahan secukupnya untuk menunjang kehidupan dan dakwah adalah bijaksana; menimbunnya hingga melupakan pertanggungjawaban adalah kebodohan. Kehidupan seimbang (washatiyah) adalah jalan tengah yang memandang dunia sebagai mitra kerja, bukan sebagai musuh yang harus dijauhi, dan bukan pula sebagai kekasih yang harus dipuja.

XII. Kekuatan Transformasi Batin: Memperluas Cakrawala Zuhud

Untuk mempertahankan perspektif ini, seseorang harus terus menerus memperluas definisi Zuhud. Zuhud tidak hanya berlaku pada harta, tetapi juga pada waktu, emosi, dan perhatian.

Zuhud Waktu

Waktu adalah aset fana yang paling berharga. Kemegahan dunia modern seringkali mencuri waktu melalui hiburan, pertemuan sosial yang tidak perlu, dan obsesi pada berita-berita duniawi yang tidak menghasilkan amal. Orang yang beriman menerapkan Zuhud Waktu, yang berarti mereka sangat selektif dalam mengalokasikan setiap jam.

Mereka melihat waktu sebagai modal investasi Akhirat. Mereka menggunakan waktu dengan efisien untuk bekerja, beribadah, dan berinteraksi sosial yang bermakna, menghindari pemborosan waktu yang merupakan salah satu bentuk kefanaan yang paling merugikan. Bagi mereka, waktu yang dihabiskan untuk mengejar kemegahan yang tidak bermanfaat adalah kerugian yang tidak dapat dikembalikan.

Zuhud Perhatian dan Ego

Kemegahan dunia menuntut perhatian penuh dan pemujaan terhadap ego. Seseorang yang terikat pada kemegahan selalu mencari perhatian publik, validasi, dan pujian. Zuhud Perhatian adalah kemampuan untuk berbuat baik tanpa perlu pengakuan. Melakukan amal saleh secara tersembunyi, yang hanya diketahui oleh diri sendiri dan Tuhan, adalah bentuk tertinggi dari pelepasan keterikatan pada kemegahan penghargaan manusia.

Ini membebaskan mereka dari siklus emosional yang berbahaya: bahagia karena dipuji, dan sedih karena dicela. Mereka berpegangan pada kebenaran bahwa apresiasi sejati dan abadi hanya berasal dari Sang Pencipta. Kemegahan pujian manusia adalah ilusi yang cepat berlalu.

***

Dalam bentangan sejarah peradaban manusia, telah banyak imperium besar yang dibangun di atas dasar kemegahan duniawi—kekuatan militer, kekayaan tak tertandingi, arsitektur megah—yang semuanya kini telah menjadi reruntuhan dan bahan pelajaran sejarah. Pandangan iman yang teguh pada Hari Akhir mengajarkan bahwa nasib yang sama akan menimpa setiap kemegahan yang dibangun tanpa fondasi spiritual. Hanya bangunan yang didirikan di atas taqwa dan amal saleh yang akan bertahan melintasi batas waktu, menemukan bentuk keabadian yang sesungguhnya di negeri yang dijanjikan.

Inilah puncak kebijaksanaan: memandang kemegahan dunia bukan sebagai tujuan untuk dicintai, melainkan sebagai bayangan yang akan sirna, dan memastikan bahwa setiap langkah di atas bayangan itu adalah pijakan menuju cahaya keabadian.

🏠 Homepage