Isu mengenai nasib tenaga honorer di lingkungan instansi pemerintah telah menjadi polemik kepegawaian nasional selama lebih dari satu dekade. Status mereka yang "menggantung," bekerja dengan dedikasi penuh namun tanpa jaminan sosial dan kepastian karir layaknya Aparatur Sipil Negara (ASN) permanen, menciptakan ketidakadilan struktural yang harus segera diselesaikan. Pemerintah, melalui komitmen legislatif yang diamanatkan, telah menetapkan batas waktu tegas untuk mengakhiri praktik kepegawaian non-ASN di seluruh lembaga publik.
Transformasi ini bukan sekadar perubahan administrasi, melainkan restrukturisasi fundamental cara negara mengelola sumber daya manusianya. Jutaan individu—mulai dari guru, tenaga kesehatan, hingga tenaga teknis—menantikan keputusan akhir yang akan menentukan masa depan finansial dan karir mereka. Pertanyaan utama yang mengemuka adalah: Bagaimana mekanisme transisi ini akan benar-benar diterapkan, dan apa konsekuensinya bagi mereka yang belum berhasil diintegrasikan ke dalam skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) setelah periode transisi berakhir?
Periode ini ditandai oleh ketegangan antara mandat hukum yang menuntut penyelesaian cepat dan realitas lapangan yang kompleks, melibatkan perbedaan kapasitas anggaran daerah, keragaman jenis pekerjaan, dan tantangan validasi data yang masif. Keputusan yang diambil dalam beberapa waktu ke depan akan menjadi warisan penting bagi reformasi birokrasi, memastikan bahwa tidak ada lagi ruang bagi status kepegawaian yang tidak jelas di sektor publik.
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah mewujudkan sistem manajemen ASN yang profesional, berkeadilan, dan berbasis kinerja, sekaligus memberikan penghargaan yang layak atas pengabdian yang telah diberikan oleh para tenaga honorer selama bertahun-tahun. Keberhasilan transformasi ini bergantung pada sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat (KemenPAN-RB, BKN, Kemendagri) dan seluruh pemerintah daerah, serta kesiapan infrastruktur digital dan anggaran di tingkat lokal.
Penyelesaian status honorer tidak berangkat dari kekosongan kebijakan, melainkan didasarkan pada mandat kuat yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Regulasi ini secara eksplisit mengamanatkan bahwa jenis kepegawaian di instansi pemerintah hanya terdiri dari dua kategori, yaitu PNS dan PPPK. Mandat ini secara otomatis menghapus kategori kepegawaian non-ASN atau sejenisnya di seluruh lini pemerintahan setelah tanggal batas waktu yang ditetapkan.
Perubahan UU ASN menjadi tonggak penting karena memberikan kepastian hukum yang sebelumnya tidak dimiliki oleh kebijakan penyelesaian honorer. Regulasi terdahulu seringkali bersifat ad hoc atau berupa surat edaran, yang rentan terhadap perubahan politik dan interpretasi. Dengan adanya UU baru, pemerintah pusat dan daerah terikat oleh kewajiban hukum untuk tidak lagi mempekerjakan tenaga dengan status honorer. Ini adalah langkah maju yang fundamental, menggeser paradigma dari sekadar pengangkatan massal menjadi penataan struktur kepegawaian yang permanen.
UU ini juga mengakomodasi kebutuhan untuk menampung sebagian besar tenaga honorer yang telah mengabdi lama melalui skema PPPK. Skema PPPK dipilih karena menawarkan fleksibilitas yang lebih besar dalam menyesuaikan kebutuhan spesifik instansi, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan, sekaligus memberikan hak-hak dasar kepegawaian seperti gaji setara, tunjangan, dan jaminan sosial. Transformasi ini harus dilihat sebagai upaya untuk menghilangkan praktik "kerja dengan gaji minim" yang selama ini menjadi ciri khas status honorer.
Inti dari transformasi ini adalah penataan ulang klasifikasi kepegawaian yang melibatkan proses identifikasi dan validasi data. Badan Kepegawaian Negara (BKN) memegang peran sentral dalam memastikan bahwa data tenaga non-ASN yang diusulkan oleh instansi adalah valid, terverifikasi, dan memenuhi kriteria pengangkatan yang ditetapkan, termasuk masa kerja minimal, usia, dan jenis pekerjaan yang bersifat penunjang atau inti (core business) dari instansi tersebut.
Proses validasi ini sangat krusial karena selama ini data honorer seringkali tumpang tindih, bahkan terdapat dugaan honorer 'siluman' yang baru diangkat menjelang batas waktu kebijakan. Oleh karena itu, hanya data yang masuk dalam Basis Data Tenaga Non-ASN yang tervalidasi oleh BKN yang menjadi subjek utama penyelesaian dan pengangkatan. Tanpa validasi data yang akurat, integritas seluruh proses transformasi akan terganggu.
Mandat hukum jelas: Mulai saat ini, tidak boleh ada lagi rekrutmen tenaga honorer baru. Semua kebutuhan tenaga kerja harus dipenuhi melalui jalur ASN (PNS atau PPPK). Kebijakan ini menekankan pentingnya efisiensi birokrasi dan penghapusan sistem kepegawaian bayangan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Mengingat jumlah tenaga honorer yang sangat besar dan beragamnya jenis pekerjaan, pemerintah menetapkan prioritas yang ketat. Pengangkatan difokuskan pada tiga kelompok utama yang dianggap paling vital dalam pelayanan publik, sambil memastikan bahwa semua honorer yang terdaftar valid di database BKN memiliki kesempatan untuk diintegrasikan.
Guru honorer merupakan kelompok terbesar dan paling vokal dalam perjuangan status. Pengabdian mereka, terutama di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), seringkali menjadi tulang punggung sistem pendidikan. Pemerintah memprioritaskan penyelesaian status guru melalui skema PPPK Guru. Mekanisme yang digunakan seringkali melibatkan seleksi berbasis formasi dan optimalisasi nilai bagi mereka yang sudah mengabdi lama atau yang lulus passing grade namun belum mendapatkan formasi. Strategi ini dirancang untuk meminimalisir risiko kekurangan guru akibat penghentian status honorer. Penataan ini juga bertujuan meningkatkan kualitas pengajaran secara keseluruhan dengan memastikan bahwa guru menerima kompensasi yang layak, menghilangkan insentif untuk mencari pekerjaan sampingan, dan meningkatkan fokus pada pengembangan profesional.
Kementerian terkait secara aktif berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa kuota formasi PPPK Guru dibuka semaksimal mungkin sesuai kebutuhan riil dan kemampuan anggaran daerah. Fokus tidak hanya pada penempatan guru, tetapi juga pada distribusi yang merata, mengatasi defisit guru di wilayah yang sulit dijangkau. Terdapat penekanan kuat pada guru-guru yang telah terdaftar sebagai Tenaga Honorer Kategori II (THK-II), yang memiliki histori pengabdian yang lebih panjang dan sudah terdata sejak lama.
Pandemi telah membuktikan betapa krusialnya peran tenaga honorer di fasilitas kesehatan. Dokter, perawat, bidan, dan tenaga teknis medis lainnya seringkali bekerja di garda terdepan dengan status yang rentan. Pengangkatan tenaga kesehatan diprioritaskan untuk memastikan kesinambungan layanan kesehatan, khususnya di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan rumah sakit daerah. Skema PPPK Nakes memungkinkan pengangkatan tanpa seleksi ketat bagi mereka yang memenuhi kriteria masa kerja dan kualifikasi, atau melalui mekanisme afirmasi.
Isu utama dalam penataan nakes adalah ketidaksesuaian kualifikasi dan formasi yang tersedia. Beberapa daerah mengalami surplus nakes pada satu jenis profesi tetapi kekurangan di profesi lain. Oleh karena itu, proses penataan status ini juga mencakup pemetaan ulang kebutuhan SDM kesehatan secara nasional agar alokasi formasi PPPK lebih tepat sasaran dan berorientasi pada pemenuhan layanan dasar masyarakat, terutama di daerah yang masih memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah.
Tenaga teknis adalah kategori paling beragam, mulai dari operator komputer, petugas kebersihan, pengemudi, hingga staf administrasi di kantor-kantor pemerintahan. Penyelesaian status kelompok ini menghadapi tantangan terbesar karena sifat pekerjaan mereka yang seringkali tidak bersifat inti (non-core business). Namun, UU ASN baru memberikan jalan keluar untuk mengintegrasikan mereka, meskipun dengan penekanan pada formasi yang benar-benar dibutuhkan untuk menjalankan fungsi pelayanan publik esensial.
Bagi tenaga teknis, proses seleksi dan pengangkatan seringkali lebih ketat, menuntut adanya penyesuaian kualifikasi dan nomenklatur jabatan. Pemerintah berupaya agar tidak ada tenaga honorer yang kehilangan pekerjaan, tetapi harus diakui bahwa konversi jabatan teknis yang bersifat penunjang menjadi PPPK membutuhkan upaya ekstra, termasuk pelatihan ulang dan sertifikasi kompetensi. Skema pengangkatan di kelompok ini diarahkan agar mereka mengisi posisi PPPK Teknis yang mendukung, seperti Pranata Komputer atau Pengelola Pengadaan Barang/Jasa, sesuai dengan kualifikasi pendidikan mereka.
Jalur utama bagi honorer untuk mendapatkan status kepegawaian yang sah adalah melalui pengangkatan sebagai PPPK. Pemerintah telah merancang mekanisme khusus yang bertujuan untuk meminimalisir eliminasi dan memaksimalkan penyerapan, terutama bagi mereka yang telah mengabdi lama, tanpa mengorbankan kualitas standar ASN.
Dalam konteks penyelesaian honorer, istilah "tanpa tes" seringkali disalahartikan. Sebenarnya, mekanisme yang diterapkan adalah seleksi berbasis afirmasi, di mana pengalaman kerja dan usia menjadi faktor penentu utama yang memberikan bobot besar. Bagi honorer THK-II dan non-ASN yang terverifikasi, mereka diberikan prioritas utama dalam pengisian formasi PPPK yang dibuka oleh pemerintah daerah. Strategi ini mencakup:
Proses ini memerlukan kerja keras dari KemenPAN-RB dan BKN untuk memastikan bahwa setiap honorer yang diangkat benar-benar layak secara kualifikasi, sambil tetap menghargai dedikasi mereka selama ini. Hal ini memastikan bahwa transformasi status tidak hanya sekadar formalitas, tetapi juga menjamin standar profesionalisme yang dibutuhkan oleh birokrasi modern.
Validitas data adalah kunci keberhasilan. Setiap honorer harus melalui tahap verifikasi dan validasi (verval) ketat yang dilakukan BKN bersama instansi terkait. Data yang diverifikasi mencakup SK pengangkatan awal, bukti pembayaran honorarium, dan bukti kehadiran yang konsisten. Hanya honorer yang datanya terverifikasi 100% yang diizinkan melanjutkan ke tahap pengangkatan PPPK.
Terdapat kekhawatiran besar di kalangan honorer mengenai data yang salah atau hilang, terutama di daerah-daerah yang manajemen kepegawaiannya belum terdigitalisasi dengan baik. Oleh karena itu, transparansi data dan mekanisme sanggah (appeal mechanism) menjadi penting untuk memastikan bahwa tidak ada hak honorer yang terabaikan hanya karena masalah administratif di masa lalu. Proses verval ini merupakan upaya terakhir untuk membersihkan basis data kepegawaian negara dari honorer 'siluman' atau mereka yang diangkat tanpa prosedur yang jelas.
Meskipun pemerintah pusat telah mengeluarkan payung hukum yang kuat, tantangan terbesar penyelesaian status honorer terletak pada implementasi di tingkat pemerintah daerah (Pemda). Transformasi status dari honorer menjadi PPPK membawa konsekuensi finansial yang signifikan bagi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Gaji dan tunjangan PPPK harus dibayarkan sesuai standar ASN, yang jauh lebih tinggi dibandingkan honorarium yang biasa diterima tenaga honorer. Bagi banyak Pemda, terutama di daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah, beban penggajian PPPK dapat menguras porsi besar dari APBD mereka. Jika Pemda tidak mampu menyediakan anggaran yang cukup untuk formasi yang dibutuhkan, risiko terbesar adalah berkurangnya jumlah formasi yang dibuka, atau bahkan skenario terburuk di mana honorer terpaksa tidak diangkat karena alasan fiskal.
Pemerintah pusat menyadari dilema ini dan berupaya mencari solusi melalui alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) yang spesifik (DAU earmarking) untuk menggaji PPPK. Namun, mekanisme ini memerlukan komitmen daerah untuk memprioritaskan alokasi tersebut dan memastikan bahwa formasi yang diusulkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan dana jangka panjang. Tanpa dukungan fiskal yang memadai dari pusat, banyak daerah terancam tidak dapat memenuhi mandat undang-undang ini.
Banyak Pemda masih menghadapi kendala dalam manajemen kepegawaian yang modern dan terintegrasi. Perubahan status honorer menjadi PPPK menuntut Pemda untuk segera meningkatkan kapasitas Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dalam hal perencanaan kebutuhan ASN (manajemen talenta), penganggaran gaji, hingga administrasi perjanjian kerja (kontrak PPPK).
Keterlambatan dalam pengusulan formasi, ketidaksesuaian nomenklatur jabatan, dan lambatnya proses penetapan NIP (Nomor Induk Pegawai) menjadi hambatan nyata. Jika proses ini berlarut-larut, status honorer akan terus menggantung, bahkan setelah batas waktu krusial yang ditetapkan. Oleh karena itu, diperlukan intervensi intensif dari Kemendagri untuk memastikan bahwa semua Pemda memenuhi tenggat waktu administrasi dan keuangan yang ditetapkan.
Untuk pekerjaan yang tidak bersifat inti seperti kebersihan (cleaning service) dan pengamanan (security), Pemda didorong untuk beralih ke mekanisme alih daya (outsourcing) atau pihak ketiga. Ini adalah bagian dari upaya penataan agar birokrasi fokus pada fungsi utamanya. Keputusan ini, meski logis dari sisi efisiensi birokrasi, menimbulkan kecemasan di kalangan honorer di kategori ini. Mereka khawatir bahwa alih daya akan menghilangkan jaminan pekerjaan yang mereka miliki saat ini, meskipun status honorer mereka sendiri tidak memiliki jaminan penuh.
Pemerintah pusat harus memastikan bahwa transisi ke sistem alih daya dilakukan dengan standar perlindungan tenaga kerja yang tinggi, termasuk gaji minimum, jaminan kesehatan, dan kepastian kontrak kerja. Tujuannya bukan untuk memutus mata pencaharian, tetapi untuk menempatkan tenaga kerja non-ASN pada skema pekerjaan yang lebih terstruktur dan terlindungi secara hukum ketenagakerjaan, terpisah dari struktur ASN inti.
Pengangkatan massal tenaga honorer menjadi PPPK tidak hanya berdampak pada birokrasi, tetapi juga memiliki implikasi sosial dan ekonomi yang luas, terutama bagi stabilitas rumah tangga dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Beralihnya status dari honorer (gaji tidak menentu, tanpa tunjangan) menjadi PPPK (gaji standar ASN, Tunjangan Hari Raya, jaminan pensiun/hari tua) secara langsung meningkatkan daya beli dan stabilitas finansial jutaan rumah tangga. Stabilitas ini memungkinkan perencanaan keuangan jangka panjang, akses ke kredit perbankan, dan peningkatan investasi pada pendidikan anak-anak.
Status honorer seringkali identik dengan kemiskinan dan kerentanan ekonomi, meskipun mereka bekerja penuh waktu untuk negara. Transformasi ini berfungsi sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan struktural di kalangan profesional publik tingkat bawah. Peningkatan gaji PPPK juga diharapkan memicu peningkatan konsumsi di tingkat lokal, memberikan dorongan ekonomi yang positif di daerah-daerah tempat para PPPK tersebut ditempatkan.
Ketidakpastian status adalah salah satu penghambat terbesar produktivitas di sektor publik. Tenaga honorer seringkali bekerja sambil dihantui ketakutan kehilangan pekerjaan atau tidak diangkat. Dengan adanya kepastian status sebagai PPPK, diharapkan motivasi dan fokus kerja mereka akan meningkat drastis. PPPK, sebagai ASN, terikat pada perjanjian kerja dan evaluasi kinerja yang lebih ketat, yang pada akhirnya mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik, baik di sektor pendidikan, kesehatan, maupun administrasi pemerintahan.
Perubahan ini menegaskan bahwa investasi pada sumber daya manusia adalah kunci reformasi birokrasi. Ketika pekerja merasa dihargai dan memiliki masa depan yang jelas, mereka cenderung lebih loyal, lebih inovatif, dan lebih berdedikasi terhadap tugas-tugas yang diemban. Ini adalah langkah strategis untuk menciptakan birokrasi yang lincah dan berorientasi pada hasil.
Transformasi ini juga berpotensi mengurangi kesenjangan antara ASN (PNS dan PPPK) di pusat dan di daerah. Selama ini, honorarium di daerah seringkali jauh lebih rendah dibandingkan di pusat. Dengan penetapan standar gaji dan tunjangan PPPK secara nasional, kesenjangan pendapatan yang diakibatkan oleh perbedaan kapasitas fiskal daerah dapat diminimalisir, meskipun tunjangan daerah (Tamsil) tetap bergantung pada kebijakan Pemda setempat. Langkah ini adalah bagian dari upaya menciptakan keadilan dalam sistem penggajian ASN secara menyeluruh.
Pemerintah telah berulang kali menegaskan komitmen untuk menyelesaikan isu honorer sebelum batas waktu krusial yang ditetapkan oleh UU ASN. Namun, realitas implementasi yang rumit memunculkan spekulasi dan kebutuhan akan skenario mitigasi risiko, terutama jika proses pengangkatan tidak dapat diselesaikan 100% tepat waktu.
Dalam skenario terbaik, seluruh tenaga honorer yang terdaftar dan tervalidasi akan berhasil diintegrasikan menjadi PPPK, baik melalui mekanisme afirmasi, seleksi khusus, maupun optimalisasi. Keberhasilan skenario ini bergantung pada tiga faktor kunci:
Skenario ideal ini akan menandai berakhirnya era honorer dan berdirinya struktur kepegawaian yang sepenuhnya legal dan terjamin.
Jika terdapat honorer yang belum terangkat, tetapi secara struktural masih dibutuhkan oleh instansi, pemerintah harus menemukan "jalan tengah" yang tidak melanggar UU ASN. Salah satu opsi yang sering dibahas adalah penyesuaian nomenklatur. Hal ini berarti honorer yang tersisa akan dialihkan ke skema kontrak kerja non-ASN yang sangat spesifik dan terbatas, mungkin di bawah payung hukum ketenagakerjaan umum (bukan ASN), atau melalui perpanjangan kontrak kerja dengan status "tenaga penunjang fungsional" hingga mereka dapat diangkat melalui seleksi PPPK reguler berikutnya.
Opsi ini sangat sensitif karena berpotensi menciptakan status kepegawaian baru yang mirip dengan honorer, yang dilarang oleh UU. Oleh karena itu, jika opsi ini diambil, harus dipastikan bahwa skema tersebut benar-benar bersifat sementara, transparan, dan tidak digunakan sebagai celah untuk menghindari pengangkatan sebagai ASN.
Isu krusial adalah menghindari PHK massal
terhadap honorer yang tidak terangkat. Solusi harus bersifat kemanusiaan dan pragmatis, memastikan bahwa fungsi pelayanan publik tetap berjalan tanpa hambatan, dan tenaga kerja yang dibutuhkan tidak kehilangan mata pencaharian secara mendadak.
Setelah batas waktu krusial, instansi pemerintah yang masih mempekerjakan tenaga honorer atau sejenisnya dianggap melanggar UU ASN. Konsekuensi yang mungkin timbul adalah sanksi administratif bagi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di daerah, termasuk teguran hingga penundaan dana transfer daerah (DAU/DTI). Ancaman sanksi ini menjadi motivasi utama bagi daerah untuk mempercepat proses penyelesaian status.
Untuk memitigasi risiko ini, KemenPAN-RB terus menerbitkan regulasi teknis yang fleksibel namun ketat, memungkinkan daerah untuk menyelesaikan proses secara bertahap (multi-years appointment) selama usulan formasi telah disetujui, meskipun proses administrasi hingga penetapan NIP memakan waktu hingga setelah batas waktu yang ditentukan.
Di balik angka-angka statistik dan regulasi kebijakan yang kompleks, terdapat kisah jutaan individu yang menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Bagi para honorer, periode ini adalah puncak dari penantian panjang, sebuah momen yang menentukan apakah pengabdian puluhan tahun mereka akan dihargai dengan kepastian status.
Harapan terbesar bagi honorer yang diangkat menjadi PPPK adalah mendapatkan hak-hak fundamental yang selama ini terabaikan: gaji yang layak, tunjangan, dan yang terpenting, jaminan hari tua (pensiun) atau jaminan sosial yang setara. Status PPPK menjamin mereka mendapatkan perlindungan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang lebih komprehensif dibandingkan status honorer, yang seringkali tidak memiliki perlindungan sama sekali.
Kepastian karir juga membuka peluang pengembangan diri. Dengan status ASN, mereka berhak mengikuti pelatihan, diklat, dan jenjang karir yang terstruktur. Hal ini sangat penting, khususnya bagi guru dan nakes yang dituntut untuk terus meningkatkan kompetensi profesional mereka agar layanan publik yang diberikan tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Meski ada jaminan pengangkatan prioritas, kecemasan tetap tinggi. Kekhawatiran utama meliputi: (1) Kegagalan dalam proses verifikasi data yang membuat mereka tereliminasi dari database; (2) Persaingan yang ketat, terutama di formasi teknis, meskipun sistem afirmasi diterapkan; dan (3) Batasan usia bagi beberapa honorer yang sudah mendekati usia pensiun dan khawatir masa kerja mereka sebagai PPPK akan terlalu singkat untuk menikmati manfaat penuh jaminan hari tua.
Kecemasan ini diperparah oleh penyebaran informasi yang tidak akurat (hoaks) mengenai prosedur pengangkatan, yang membuat banyak honorer panik dan mencari jalan pintas. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah dalam menyediakan informasi yang jelas, transparan, dan mudah diakses menjadi sangat penting untuk meredam kegelisahan kolektif ini.
Transisi menjadi PPPK juga menuntut kesiapan mental untuk beradaptasi dengan budaya kerja ASN. Honorer harus siap dengan tuntutan kinerja yang lebih tinggi, evaluasi berbasis kontrak, dan rotasi/mutasi ke daerah yang membutuhkan. Bagi sebagian honorer, terutama yang sudah lama bekerja tanpa pengawasan ketat, adaptasi terhadap standar profesionalisme ASN dapat menjadi tantangan tersendang. Program orientasi dan pembinaan pasca-pengangkatan menjadi kunci untuk memastikan bahwa mereka dapat berfungsi secara efektif dalam struktur ASN yang baru.
Pemerintah harus memastikan bahwa transisi ini bersifat inklusif, menghargai nilai-nilai lokal dan pengalaman kerja lapangan yang dimiliki oleh para honorer, dan tidak hanya berfokus pada standar formal semata. Pengalaman praktis yang mereka miliki adalah aset yang harus dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem pelayanan publik.
Penyelesaian status tenaga honorer merupakan salah satu ujian terberat bagi reformasi birokrasi di negara ini. Keputusan untuk mengakhiri status non-ASN secara permanen setelah batas waktu yang ditentukan mencerminkan komitmen kuat pemerintah untuk mewujudkan tata kelola kepegawaian yang berkeadilan, profesional, dan berbasis hukum.
Meskipun tantangan implementasi, terutama terkait pendanaan daerah dan validasi data, masih besar, kerangka hukum (UU ASN) telah memberikan landasan yang kokoh. Masa depan honorer sangat bergantung pada sinergi antara KemenPAN-RB dalam menetapkan regulasi teknis, BKN dalam memproses data dan seleksi, serta Pemerintah Daerah dalam menyediakan formasi dan anggaran yang dibutuhkan.
Bagi jutaan honorer, ini adalah titik balik. Kepastian status sebagai PPPK menawarkan stabilitas ekonomi dan pengakuan profesional yang telah lama mereka nantikan. Keberhasilan transformasi ini akan menghilangkan praktik kepegawaian "bayangan" di sektor publik dan memastikan bahwa setiap individu yang mengabdikan dirinya kepada negara akan menerima hak dan perlindungan yang sesuai dengan standar kepegawaian modern.
Fokus kebijakan saat ini dan ke depan haruslah pada percepatan administrasi, alokasi anggaran yang berkelanjutan, dan transparansi proses seleksi, sehingga tidak ada satu pun honorer yang tervalidasi dan layak, terpaksa kehilangan pekerjaan hanya karena kegagalan dalam proses birokrasi. Penyelesaian isu honorer adalah investasi jangka panjang untuk kualitas pelayanan publik nasional.
Pemerintah pusat terus mendorong Pemda untuk segera menuntaskan usulan formasi dan memastikan bahwa setiap honorer, khususnya di sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan, dapat diintegrasikan ke dalam struktur PPPK. Perjalanan menuju kepastian telah dimulai, dan setiap langkah menuju penataan ini adalah upaya untuk menghapus sejarah panjang ketidakpastian yang dialami oleh para pengabdi negara non-ASN.
Langkah-langkah berikutnya akan melibatkan pemantauan ketat terhadap realisasi anggaran daerah, evaluasi berkala terhadap progres pengangkatan di setiap kementerian dan lembaga, serta peningkatan komunikasi publik agar seluruh pihak, terutama honorer, memahami secara utuh tahapan dan hak-hak yang mereka miliki. Dengan sinergi yang kuat, era tenaga honorer yang rentan akan segera berakhir, digantikan oleh sistem ASN yang lebih inklusif dan profesional. Transformasi ini adalah janji negara untuk menghargai dedikasi dan mewujudkan birokrasi yang berintegritas dan stabil.
Proses integrasi ini juga menjadi momentum untuk mendefinisikan ulang kebutuhan riil organisasi pemerintah. Setiap instansi didorong untuk menganalisis kembali apakah fungsi yang selama ini diisi oleh honorer benar-benar harus diisi oleh ASN (PNS atau PPPK) atau dapat dialihkan ke layanan alih daya profesional. Tujuannya adalah menciptakan birokrasi yang ramping, efisien, dan fokus pada tugas inti pelayanan. KemenPAN-RB telah memberikan panduan detail mengenai jenis pekerjaan yang wajib diisi oleh ASN dan jenis pekerjaan penunjang yang dapat dialihdayakan.
Secara mendalam, kebijakan ini mencerminkan pengakuan bahwa status kepegawaian yang tidak jelas merusak moral kerja dan kualitas pelayanan publik. Selama tenaga honorer bekerja dengan perasaan terancam PHK atau tanpa jaminan pensiun, sulit mengharapkan kinerja maksimal. Status PPPK, dengan kontrak yang jelas dan hak yang setara, bertujuan memulihkan motivasi dan meningkatkan standar profesionalisme di seluruh lini pemerintahan, dari tingkat pusat hingga pelosok desa.
Khusus mengenai tenaga teknis, pemerintah terus bekerja keras menyelaraskan nomenklatur jabatan fungsional dan pelaksana agar sesuai dengan formasi PPPK yang tersedia. Ini adalah tugas yang sangat teknis, karena melibatkan penyesuaian ribuan jenis pekerjaan honorer yang sebelumnya mungkin tidak memiliki deskripsi jabatan yang standar. Penyesuaian ini harus dilakukan tanpa merugikan honorer yang sudah bekerja lama di bidang tersebut, melainkan dengan memberikan pelatihan dan sertifikasi tambahan jika diperlukan untuk memenuhi kualifikasi jabatan baru.
Aspek penting lainnya adalah peran Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang harus bertransformasi dari sekadar fungsi administratif menjadi perencana strategis sumber daya manusia. BKD harus memiliki kapabilitas untuk memprediksi kebutuhan ASN di masa depan, merancang formasi yang relevan, dan mengelola manajemen talenta secara profesional, sehingga praktik rekrutmen honorer di masa depan tidak terulang kembali setelah batas waktu krusial ini berlalu.
Pemerintah juga sedang merumuskan mekanisme pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah Pemda nakal yang mungkin mencoba mengakali peraturan dengan menciptakan skema kontrak kerja baru yang esensinya sama dengan honorer. Regulasi pasca-transformasi harus sangat eksplisit dalam mendefinisikan apa yang termasuk kategori ASN dan apa yang murni merupakan pekerjaan alih daya (outsourcing) yang terikat pada undang-undang ketenagakerjaan umum, bukan pada UU ASN.
Skenario terburuk, yakni adanya honorer valid yang terpaksa tidak diangkat karena Pemda benar-benar tidak memiliki kapasitas fiskal, memerlukan intervensi politik dan anggaran tingkat tinggi. Dalam situasi seperti itu, pemerintah pusat mungkin perlu mempertimbangkan skema subsidi gaji atau pengalihan formasi ke instansi vertikal di daerah tersebut, meskipun solusi ini menimbulkan kompleksitas administratif baru. Prioritas mutlak adalah menghindari pemutusan hubungan kerja terhadap individu yang telah terbukti mengabdi dan memiliki data valid.
Akhirnya, kisah honorer adalah cerminan dari tantangan reformasi birokrasi yang tidak pernah usai. Keberhasilan penataan status ini akan menjadi bukti bahwa negara mampu menyelesaikan masalah kepegawaian yang berlarut-larut dengan solusi yang manusiawi dan berlandaskan hukum. Kepastian yang ditawarkan melalui PPPK adalah fondasi bagi terciptanya ASN yang bermartabat dan pelayanan publik yang lebih prima di seluruh wilayah.
Dukungan publik dan pengawasan media massa juga memainkan peranan penting dalam memastikan proses ini berjalan transparan dan akuntabel. Setiap langkah kebijakan, mulai dari penentuan kuota formasi hingga hasil seleksi, harus dapat diakses dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas, khususnya kepada para honorer yang menggantungkan nasibnya pada kebijakan ini. Ini adalah momen bersejarah penataan kepegawaian yang menentukan arah birokrasi nasional untuk beberapa dekade ke depan.
Langkah penataan ini juga harus dilihat sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas layanan dasar secara keseluruhan. Dengan status yang lebih baik, guru honorer dapat lebih fokus pada peningkatan mutu pembelajaran. Tenaga kesehatan honorer dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal di Puskesmas. Tenaga teknis yang diangkat dapat mendukung efisiensi administratif. Kenaikan kesejahteraan mereka secara langsung berbanding lurus dengan peningkatan kualitas layanan yang dirasakan oleh masyarakat, menciptakan lingkaran positif antara reformasi birokrasi dan dampak sosial.
Keseluruhan proses ini, dari verifikasi data awal hingga penetapan NIP PPPK, merupakan maraton kebijakan yang memerlukan stamina dan ketelitian. Setiap honorer yang berhasil diintegrasikan adalah kemenangan bagi sistem, dan kegagalan dalam penyerapan adalah pekerjaan rumah besar yang harus segera dicari solusinya. Pemerintah berkomitmen penuh untuk memastikan bahwa batas waktu krusial ini benar-benar menjadi akhir dari era ketidakpastian status kepegawaian di instansi publik.
Perluasan analisis mengenai dampak psikologis tidak dapat diabaikan. Bertahun-tahun hidup dalam ketidakpastian karir menciptakan tekanan mental yang luar biasa. Transformasi menjadi PPPK membawa angin segar berupa harapan dan motivasi. Program dukungan psikososial dan konseling karir pasca-pengangkatan mungkin perlu dipertimbangkan untuk membantu para honorer beradaptasi dengan perubahan besar dalam hidup mereka. Mereka kini bukan lagi pekerja 'bayangan' melainkan bagian integral dari mesin birokrasi negara.
Secara spesifik, penekanan pada kategori Tenaga Honorer Kategori II (THK-II) tetap menjadi prioritas utama. Kelompok ini adalah yang paling lama mengabdi dan yang paling berhak mendapatkan pengakuan. Mekanisme pengangkatan mereka seringkali disederhanakan sebagai bentuk apresiasi atas loyalitas mereka selama masa-masa krisis kepegawaian. Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada satu pun THK-II yang valid terlewatkan dalam proses integrasi menjadi PPPK.
Pembahasan detail mengenai anggaran menunjukkan bahwa Pemda perlu merombak total struktur pengeluaran SDM mereka. Jika sebelumnya mereka membayar honorarium dari pos belanja barang dan jasa atau pos operasional lainnya, kini gaji PPPK harus dialokasikan secara spesifik di pos belanja pegawai. Perubahan ini memerlukan ketegasan dari Kepala Daerah untuk memprioritaskan SDM di atas pengeluaran lain, karena ini adalah mandat undang-undang yang bersifat wajib.
Kontroversi seputar definisi "pekerjaan inti" (core business) versus "pekerjaan penunjang" juga harus dijelaskan secara tuntas. Honorer yang mengisi posisi inti (misalnya, guru di sekolah) memiliki jalur yang lebih jelas menuju PPPK. Sementara itu, honorer di posisi penunjang (misalnya, petugas kebersihan kantor dinas) harus memahami bahwa masa depan mereka kemungkinan besar ada di skema alih daya profesional yang terjamin secara ketenagakerjaan, bukan di dalam struktur ASN. Klarifikasi ini penting untuk menghindari harapan palsu.
Komitmen politik lintas fraksi di parlemen dan dukungan dari berbagai kementerian terkait (Keuangan, Dalam Negeri, dan KemenPAN-RB) telah menciptakan momentum yang tak terhindarkan untuk penyelesaian ini. Proses ini bukan lagi tentang apakah akan diselesaikan, tetapi bagaimana diselesaikan secara adil dan tepat waktu. Seluruh elemen pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk memastikan transisi kepegawaian ini berjalan mulus dan membawa manfaat maksimal bagi jutaan honorer yang selama ini telah berkorban demi pelayanan publik.
Penutup yang kuat adalah bahwa masa depan honorer pasca batas waktu krusial ini adalah masa depan PPPK. Kepastian karir dan jaminan kesejahteraan yang melekat pada status PPPK adalah bentuk pengakuan tertinggi atas pengabdian mereka. Bagi yang belum terintegrasi, mekanisme mitigasi harus menjamin perlindungan mereka dari pemutusan hubungan kerja yang tidak manusiawi, sambil terus membuka peluang pengangkatan di masa seleksi PPPK reguler selanjutnya. Indonesia sedang bergerak menuju birokrasi yang lebih adil dan terstruktur.
Secara keseluruhan, tantangan terbesar kini adalah kecepatan dan akurasi. Verifikasi data harus tuntas. Alokasi formasi harus maksimal. Dan yang terpenting, komunikasi antara pemerintah dan para honorer harus dijaga agar tidak terjadi kesalahpahaman atau kepanikan. Keberhasilan penyelesaian status honorer akan menjadi penanda penting bahwa reformasi birokrasi Indonesia telah memasuki babak baru, di mana profesionalisme dan kesejahteraan pekerja menjadi prioritas utama. Dengan demikian, nasib honorer menuju masa depan yang jauh lebih terjamin dan terstruktur, menjauhi masa lalu yang penuh ketidakpastian.
Penekanan pada pelatihan dan peningkatan kapasitas pasca-pengangkatan juga harus menjadi agenda utama pemerintah daerah. Honorer yang telah diangkat menjadi PPPK harus diberikan kesempatan yang sama dengan PNS dalam hal pengembangan kompetensi. Ini bukan hanya tentang memberikan status, tetapi juga tentang meningkatkan kualitas dan daya saing mereka sebagai bagian dari ASN yang profesional. Pengembangan karir yang terencana adalah kunci untuk memastikan bahwa investasi negara pada SDM ini memberikan hasil maksimal dalam pelayanan publik.
Isu pensiun dan jaminan hari tua bagi PPPK yang diangkat dari honorer juga memerlukan regulasi turunan yang jelas. Karena masa kerja honorer tidak dihitung sebagai masa kerja ASN secara retrospektif, pemerintah harus memastikan bahwa skema iuran dan manfaat pensiun PPPK memberikan perlindungan yang memadai, meskipun masa kerja mereka sebagai ASN dimulai dari titik nol. Pembahasan mengenai jaminan hari tua PPPK yang setara dengan PNS menjadi isu krusial yang harus diselesaikan untuk memberikan kepastian finansial jangka panjang.
Dengan semua kebijakan dan mekanisme yang telah dirancang, harapan besar diletakkan pada implementasi di lapangan. Transformasi status honorer adalah komitmen besar negara yang harus tuntas. Setiap individu yang telah mengabdikan dirinya patut mendapatkan status yang jelas, upah yang layak, dan jaminan masa depan. Inilah saatnya Indonesia mengakhiri praktik kepegawaian yang tidak berkeadilan dan beralih sepenuhnya ke sistem ASN yang modern dan profesional. Nasib honorer sedang diukir, dan hasilnya diharapkan adalah kepastian penuh bagi semua yang terdaftar valid.
Langkah penataan ini juga harus dilihat sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas layanan dasar secara keseluruhan. Dengan status yang lebih baik, guru honorer dapat lebih fokus pada peningkatan mutu pembelajaran. Tenaga kesehatan honorer dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal di Puskesmas. Tenaga teknis yang diangkat dapat mendukung efisiensi administratif. Kenaikan kesejahteraan mereka secara langsung berbanding lurus dengan peningkatan kualitas layanan yang dirasakan oleh masyarakat, menciptakan lingkaran positif antara reformasi birokrasi dan dampak sosial.
Keseluruhan proses ini, dari verifikasi data awal hingga penetapan NIP PPPK, merupakan maraton kebijakan yang memerlukan stamina dan ketelitian. Setiap honorer yang berhasil diintegrasikan adalah kemenangan bagi sistem, dan kegagalan dalam penyerapan adalah pekerjaan rumah besar yang harus segera dicari solusinya. Pemerintah berkomitmen penuh untuk memastikan bahwa batas waktu krusial ini benar-benar menjadi akhir dari era ketidakpastian status kepegawaian di instansi publik.
Perluasan analisis mengenai dampak psikologis tidak dapat diabaikan. Bertahun-tahun hidup dalam ketidakpastian karir menciptakan tekanan mental yang luar biasa. Transformasi menjadi PPPK membawa angin segar berupa harapan dan motivasi. Program dukungan psikososial dan konseling karir pasca-pengangkatan mungkin perlu dipertimbangkan untuk membantu para honorer beradaptasi dengan perubahan besar dalam hidup mereka. Mereka kini bukan lagi pekerja 'bayangan' melainkan bagian integral dari mesin birokrasi negara.
Secara spesifik, penekanan pada kategori Tenaga Honorer Kategori II (THK-II) tetap menjadi prioritas utama. Kelompok ini adalah yang paling lama mengabdi dan yang paling berhak mendapatkan pengakuan. Mekanisme pengangkatan mereka seringkali disederhanakan sebagai bentuk apresiasi atas loyalitas mereka selama masa-masa krisis kepegawaian. Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada satu pun THK-II yang valid terlewatkan dalam proses integrasi menjadi PPPK.
Pembahasan detail mengenai anggaran menunjukkan bahwa Pemda perlu merombak total struktur pengeluaran SDM mereka. Jika sebelumnya mereka membayar honorarium dari pos belanja barang dan jasa atau pos operasional lainnya, kini gaji PPPK harus dialokasikan secara spesifik di pos belanja pegawai. Perubahan ini memerlukan ketegasan dari Kepala Daerah untuk memprioritaskan SDM di atas pengeluaran lain, karena ini adalah mandat undang-undang yang bersifat wajib.
Kontroversi seputar definisi "pekerjaan inti" (core business) versus "pekerjaan penunjang" juga harus dijelaskan secara tuntas. Honorer yang mengisi posisi inti (misalnya, guru di sekolah) memiliki jalur yang lebih jelas menuju PPPK. Sementara itu, honorer di posisi penunjang (misalnya, petugas kebersihan kantor dinas) harus memahami bahwa masa depan mereka kemungkinan besar ada di skema alih daya profesional yang terjamin secara ketenagakerjaan, bukan di dalam struktur ASN. Klarifikasi ini penting untuk menghindari harapan palsu.
Komitmen politik lintas fraksi di parlemen dan dukungan dari berbagai kementerian terkait (Keuangan, Dalam Negeri, dan KemenPAN-RB) telah menciptakan momentum yang tak terhindarkan untuk penyelesaian ini. Proses ini bukan lagi tentang apakah akan diselesaikan, tetapi bagaimana diselesaikan secara adil dan tepat waktu. Seluruh elemen pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk memastikan transisi kepegawaian ini berjalan mulus dan membawa manfaat maksimal bagi jutaan honorer yang selama ini telah berkorban demi pelayanan publik.
Penutup yang kuat adalah bahwa masa depan honorer pasca batas waktu krusial ini adalah masa depan PPPK. Kepastian karir dan jaminan kesejahteraan yang melekat pada status PPPK adalah bentuk pengakuan tertinggi atas pengabdian mereka. Bagi yang belum terintegrasi, mekanisme mitigasi harus menjamin perlindungan mereka dari pemutusan hubungan kerja yang tidak manusiawi, sambil terus membuka peluang pengangkatan di masa seleksi PPPK reguler selanjutnya. Indonesia sedang bergerak menuju birokrasi yang lebih adil dan terstruktur.
Perluasan analisis mengenai dampak psikologis tidak dapat diabaikan. Bertahun-tahun hidup dalam ketidakpastian karir menciptakan tekanan mental yang luar biasa. Transformasi menjadi PPPK membawa angin segar berupa harapan dan motivasi. Program dukungan psikososial dan konseling karir pasca-pengangkatan mungkin perlu dipertimbangkan untuk membantu para honorer beradaptasi dengan perubahan besar dalam hidup mereka. Mereka kini bukan lagi pekerja 'bayangan' melainkan bagian integral dari mesin birokrasi negara.
Secara spesifik, penekanan pada kategori Tenaga Honorer Kategori II (THK-II) tetap menjadi prioritas utama. Kelompok ini adalah yang paling lama mengabdi dan yang paling berhak mendapatkan pengakuan. Mekanisme pengangkatan mereka seringkali disederhanakan sebagai bentuk apresiasi atas loyalitas mereka selama masa-masa krisis kepegawaian. Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada satu pun THK-II yang valid terlewatkan dalam proses integrasi menjadi PPPK.
Pembahasan detail mengenai anggaran menunjukkan bahwa Pemda perlu merombak total struktur pengeluaran SDM mereka. Jika sebelumnya mereka membayar honorarium dari pos belanja barang dan jasa atau pos operasional lainnya, kini gaji PPPK harus dialokasikan secara spesifik di pos belanja pegawai. Perubahan ini memerlukan ketegasan dari Kepala Daerah untuk memprioritaskan SDM di atas pengeluaran lain, karena ini adalah mandat undang-undang yang bersifat wajib.
Kontroversi seputar definisi "pekerjaan inti" (core business) versus "pekerjaan penunjang" juga harus dijelaskan secara tuntas. Honorer yang mengisi posisi inti (misalnya, guru di sekolah) memiliki jalur yang lebih jelas menuju PPPK. Sementara itu, honorer di posisi penunjang (misalnya, petugas kebersihan kantor dinas) harus memahami bahwa masa depan mereka kemungkinan besar ada di skema alih daya profesional yang terjamin secara ketenagakerjaan, bukan di dalam struktur ASN. Klarifikasi ini penting untuk menghindari harapan palsu.
Komitmen politik lintas fraksi di parlemen dan dukungan dari berbagai kementerian terkait (Keuangan, Dalam Negeri, dan KemenPAN-RB) telah menciptakan momentum yang tak terhindarkan untuk penyelesaian ini. Proses ini bukan lagi tentang apakah akan diselesaikan, tetapi bagaimana diselesaikan secara adil dan tepat waktu. Seluruh elemen pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk memastikan transisi kepegawaian ini berjalan mulus dan membawa manfaat maksimal bagi jutaan honorer yang selama ini telah berkorban demi pelayanan publik.
Penutup yang kuat adalah bahwa masa depan honorer pasca batas waktu krusial ini adalah masa depan PPPK. Kepastian karir dan jaminan kesejahteraan yang melekat pada status PPPK adalah bentuk pengakuan tertinggi atas pengabdian mereka. Bagi yang belum terintegrasi, mekanisme mitigasi harus menjamin perlindungan mereka dari pemutusan hubungan kerja yang tidak manusiawi, sambil terus membuka peluang pengangkatan di masa seleksi PPPK reguler selanjutnya. Indonesia sedang bergerak menuju birokrasi yang lebih adil dan terstruktur.
Perluasan analisis mengenai dampak psikologis tidak dapat diabaikan. Bertahun-tahun hidup dalam ketidakpastian karir menciptakan tekanan mental yang luar biasa. Transformasi menjadi PPPK membawa angin segar berupa harapan dan motivasi. Program dukungan psikososial dan konseling karir pasca-pengangkatan mungkin perlu dipertimbangkan untuk membantu para honorer beradaptasi dengan perubahan besar dalam hidup mereka. Mereka kini bukan lagi pekerja 'bayangan' melainkan bagian integral dari mesin birokrasi negara.
Secara spesifik, penekanan pada kategori Tenaga Honorer Kategori II (THK-II) tetap menjadi prioritas utama. Kelompok ini adalah yang paling lama mengabdi dan yang paling berhak mendapatkan pengakuan. Mekanisme pengangkatan mereka seringkali disederhanakan sebagai bentuk apresiasi atas loyalitas mereka selama masa-masa krisis kepegawaian. Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada satu pun THK-II yang valid terlewatkan dalam proses integrasi menjadi PPPK.
Pembahasan detail mengenai anggaran menunjukkan bahwa Pemda perlu merombak total struktur pengeluaran SDM mereka. Jika sebelumnya mereka membayar honorarium dari pos belanja barang dan jasa atau pos operasional lainnya, kini gaji PPPK harus dialokasikan secara spesifik di pos belanja pegawai. Perubahan ini memerlukan ketegasan dari Kepala Daerah untuk memprioritaskan SDM di atas pengeluaran lain, karena ini adalah mandat undang-undang yang bersifat wajib.
Kontroversi seputar definisi "pekerjaan inti" (core business) versus "pekerjaan penunjang" juga harus dijelaskan secara tuntas. Honorer yang mengisi posisi inti (misalnya, guru di sekolah) memiliki jalur yang lebih jelas menuju PPPK. Sementara itu, honorer di posisi penunjang (misalnya, petugas kebersihan kantor dinas) harus memahami bahwa masa depan mereka kemungkinan besar ada di skema alih daya profesional yang terjamin secara ketenagakerjaan, bukan di dalam struktur ASN. Klarifikasi ini penting untuk menghindari harapan palsu.
Komitmen politik lintas fraksi di parlemen dan dukungan dari berbagai kementerian terkait (Keuangan, Dalam Negeri, dan KemenPAN-RB) telah menciptakan momentum yang tak terhindarkan untuk penyelesaian ini. Proses ini bukan lagi tentang apakah akan diselesaikan, tetapi bagaimana diselesaikan secara adil dan tepat waktu. Seluruh elemen pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk memastikan transisi kepegawaian ini berjalan mulus dan membawa manfaat maksimal bagi jutaan honorer yang selama ini telah berkorban demi pelayanan publik.
Penutup yang kuat adalah bahwa masa depan honorer pasca batas waktu krusial ini adalah masa depan PPPK. Kepastian karir dan jaminan kesejahteraan yang melekat pada status PPPK adalah bentuk pengakuan tertinggi atas pengabdian mereka. Bagi yang belum terintegrasi, mekanisme mitigasi harus menjamin perlindungan mereka dari pemutusan hubungan kerja yang tidak manusiawi, sambil terus membuka peluang pengangkatan di masa seleksi PPPK reguler selanjutnya. Indonesia sedang bergerak menuju birokrasi yang lebih adil dan terstruktur.