Konsep Taharah (kesucian) merupakan fondasi utama dalam ibadah seorang Muslim. Tanpa kesucian dari hadas—baik hadas kecil maupun hadas besar—maka ibadah seperti salat, tawaf, dan menyentuh mushaf Al-Qur'an tidak akan sah. Di antara jenis hadas besar yang paling sering dialami adalah hadas junub (akibat hubungan suami istri atau keluarnya mani) dan hadas haid (darah menstruasi bulanan bagi wanita).
Seringkali, seorang Muslimah dihadapkan pada situasi unik di mana ia berada dalam dua kondisi hadas besar secara bersamaan, atau salah satunya menyusul yang lain sebelum ia sempat mandi. Contoh klasik adalah ketika seorang wanita selesai dari masa haidnya, namun sebelum ia sempat melakukan mandi wajib, ia melakukan hubungan intim dengan suaminya, yang mana menyebabkan hadas junub. Dalam kondisi ini, muncul pertanyaan mendasar: Apakah diperlukan dua kali mandi wajib dengan dua niat terpisah, atau cukup satu kali mandi dengan niat yang menggabungkannya? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada pemahaman mendalam tentang prinsip Tadaakhul al-Niyyat (penggabungan niat) dalam fikih Islam.
Sebelum membahas penggabungan niat, penting untuk meninjau kembali apa yang membuat seseorang wajib mandi (Ghusl). Ghusl adalah ritual pembersihan seluruh tubuh dengan air suci, yang hukumnya wajib untuk mengangkat hadas besar. Hadas besar ini terbagi menjadi beberapa sebab, namun fokus kita adalah pada dua yang paling umum terjadi secara beriringan atau bersamaan:
Hadas junub diwajibkan berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah Al-Ma'idah ayat 6, yang menjelaskan bahwa jika seseorang berada dalam kondisi junub, maka ia harus mandi. Junub terjadi karena dua hal utama: (1) bertemunya dua khitan (hubungan seksual), meskipun tidak keluar mani, dan (2) keluarnya mani, baik disengaja (misalnya mimpi basah) maupun tidak. Kondisi ini berlaku untuk pria dan wanita.
Hadas haid adalah kekhususan bagi wanita. Kewajiban mandi setelah berhentinya darah haid disebutkan dalam hadis, dan juga dalam firman Allah SWT di Surah Al-Baqarah ayat 222: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: 'Haid itu adalah kotoran.' Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu..." Suci di sini diartikan sebagai selesainya mandi wajib setelah darah berhenti total.
Dalam kedua kondisi hadas ini, tujuannya sama: menghilangkan penghalang spiritual (hadas besar) agar diperbolehkan melakukan ibadah tertentu. Karena tujuannya sama, yaitu menghilangkan *al-hadats al-akbar* (hadas besar), maka pintu untuk menggabungkan niat dan pelaksanaan menjadi terbuka lebar, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam pandangan para fuqaha (ahli fikih).
Situasi tumpang tindihnya hadas, atau Talabbuus al-Ahdats, adalah kunci pembahasan ini. Talabbuus terjadi ketika seorang wanita memiliki lebih dari satu hadas besar, misalnya junub dan haid, dan ia ingin mengangkat semuanya dalam satu tindakan Ghusl. Ada beberapa skenario yang dapat terjadi:
Prinsip fikih yang mengatur situasi ini disebut Tadaakhul (penggabungan atau inklusi). Tadaakhul terjadi ketika pelaksanaan suatu ibadah atau ketaatan mencakup (menginklusi) pelaksanaan ibadah lain yang lebih rendah atau sejenis. Dalam konteks Ghusl, para ulama sepakat bahwa jika tujuannya adalah menghilangkan *hadats akbar*, maka menghilangkan hadas yang satu secara otomatis menghilangkan hadas lainnya, asalkan niatnya tepat.
Inti dari masalah ini adalah niat (niyyah), yang merupakan rukun (pilar) utama dalam setiap ibadah. Niat adalah maksud atau tujuan di dalam hati yang membedakan ibadah dari kebiasaan. Bagaimana niat ini harus dirumuskan ketika ada dua kewajiban Ghusl yang harus dipenuhi? Mayoritas ulama dan empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) cenderung menerima prinsip Tadaakhul dalam masalah ini, meskipun dengan sedikit perbedaan penekanan.
Mazhab Syafi'i terkenal dengan ketelitiannya dalam masalah niat. Menurut pandangan utama Mazhab Syafi'i, niat harus jelas dan spesifik. Namun, dalam kasus Ghusl yang menggabungkan junub dan haid, pandangan yang kuat (yang diamalkan oleh banyak ulama Syafi'iyyah belakangan) adalah bahwa Ghusl cukup dilakukan dengan satu niat, asalkan niat tersebut mencakup tujuan yang sama, yaitu mengangkat hadas besar.
Niat yang Diterima (Pandangan Kuat Syafi'i): Cukuplah seseorang berniat: "Aku niat mandi untuk mengangkat hadas besar (raf'ul hadats al-akbar)." Karena junub dan haid sama-sama hadas besar, maka niat umum ini mencakup keduanya. Pandangan lain yang lebih hati-hati (ihtiyat) dalam mazhab ini menyarankan:
Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari, salah satu ulama Syafi'i terkemuka, menjelaskan bahwa jika seseorang meniatkan salah satu dari hadas besar tersebut, maka hadas yang lain akan terangkat juga, karena keduanya memiliki nama yang sama, yaitu hadas besar, dan maksudnya sama, yaitu memperbolehkan salat.
Mazhab Hanafi cenderung lebih longgar dan pragmatis dalam masalah niat, terutama dalam konteks Ghusl. Mereka berpandangan bahwa kewajiban Ghusl adalah menghilangkan najis hukmiyah (hadas). Jika seseorang berniat Ghusl, dan ia melakukan semua rukunnya (termasuk meratakan air), maka hadasnya terangkat, meskipun ia tidak menyebutkan secara spesifik hadas apa yang ia angkat.
Dalam konteks junub dan haid yang tumpang tindih, Mazhab Hanafi memandang bahwa niat Ghusl secara umum (seperti niat mandi untuk salat atau niat mandi membersihkan diri) sudah cukup untuk mengangkat kedua hadas tersebut. Ini karena Ghusl adalah sarana untuk membersihkan seluruh tubuh, dan ketika niat membersihkan diri diintegrasikan dengan niat ibadah, maka semua kewajiban terangkat. Intinya, jika seseorang tahu bahwa ia wajib mandi dan ia mandi, maka niatnya sudah terpenuhi.
Mazhab Maliki sepakat dengan prinsip Tadaakhul. Niat harus ada pada saat dimulainya Ghusl. Jika seorang wanita memiliki junub dan haid, cukup baginya untuk melakukan satu kali mandi dengan niat mengangkat hadas dari kedua sebab tersebut, atau niat mengangkat 'semua hadas besar' yang ia tanggung. Bagi Maliki, yang terpenting adalah niat untuk menunaikan kewajiban Ghusl yang sedang ia hadapi.
Imam Ad-Dardir dari Maliki menyatakan bahwa Ghusl dari junub, haid, dan nifas, jika diniatkan secara bersamaan dalam satu mandi, maka itu sah dan cukup untuk semuanya. Hal ini didasarkan pada keringanan syariat dan kenyataan bahwa semua jenis hadas besar tersebut berbagi prosedur pembersihan yang sama dan tujuan yang serupa.
Mazhab Hanbali juga menerima Tadaakhul. Namun, seperti Syafi'i, mereka menekankan bahwa niat harus jelas membedakan mandi wajib dari mandi biasa. Jika seseorang memiliki dua hadas, misalnya junub dan haid, dan ia hanya berniat mandi junub, maka hadas haidnya juga terangkat, dan sebaliknya, asalkan yang ia niatkan adalah Ghusl wajib.
Pandangan utama Hanbali menyatakan bahwa jika seseorang berniat Ghusl untuk menghilangkan sifat hadas besar yang melekat padanya, maka semua sebab hadas, baik junub, haid, nifas, atau lainnya, akan terangkat secara otomatis. Sebab-sebab hadas (junub atau haid) dianggap sebagai bagian dari satu kesatuan status hukum yang disebut *Hadats Akbar*.
Berdasarkan tinjauan lintas mazhab, dapat disimpulkan bahwa hukum menggabungkan niat mandi junub dan haid dalam satu kali Ghusl adalah sah dan diperbolehkan (ja'iz), bahkan dianjurkan karena alasan keringanan (taysir) dan kesederhanaan. Niat yang paling kuat dan mencakup semua adalah niat untuk mengangkat semua hadas besar yang ada pada dirinya.
Niat yang paling dianjurkan:
"Saya niat mandi wajib untuk menghilangkan hadas junub dan hadas haid secara keseluruhan, fardhu karena Allah Ta'ala."
(Atau dalam bahasa Arab: Nawaitul ghusla li raf'il hadatsaini al-junubiyyati wal haidhi farḍan lillāhi ta'ālā.)
Penggabungan niat ini mencerminkan prinsip bahwa tujuan akhir syariat dalam hal ini adalah pencapaian kesucian total. Ketika air telah merata ke seluruh tubuh dengan niat ibadah Ghusl, maka semua kekotoran hukmiyah (hadas) harusnya terangkat, terlepas dari berapa banyak sebab hadas yang melatarbelakanginya. Mengulang mandi dua kali untuk dua hadas yang berbeda dengan rukun Ghusl yang sama adalah tindakan yang dianggap memberatkan dan tidak diperlukan dalam kerangka syariat yang memudahkan.
Meskipun pembahasan niat seringkali diiringi dengan lafal-lafal tertentu, perlu ditekankan kembali bahwa niat sesungguhnya bersemayam di dalam hati. Lafadz yang diucapkan (seperti yang sering diajarkan) hanyalah bantuan untuk memantapkan niat yang ada di dalam batin.
Niat (niyyah) dalam konteks ibadah adalah kehendak hati yang mengarahkan perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam Ghusl, niat membedakan antara mandi yang dilakukan untuk tujuan mendinginkan badan atau membersihkan kotoran fisik, dengan mandi yang bertujuan mengangkat hadas besar dan menjalankan perintah syariat.
Ketika seorang wanita menyadari bahwa ia baru saja suci dari haid, dan ia juga dalam kondisi junub, niat yang muncul di hatinya haruslah: "Aku akan mandi agar aku bisa salat, sebab aku telah suci dari haid dan junub." Kehendak hati ini sudah mencukupi, meskipun ia tidak merangkai kalimat niat yang panjang lebar.
Keumuman niat untuk 'mengangkat hadas besar' adalah konsep yang sangat kuat. Fikih memandang hadas besar (al-hadats al-akbar) sebagai satu kesatuan status yang menghalangi ibadah. Jika seseorang telah menghilangkan status tersebut—melalui satu kali Ghusl yang sempurna—maka semua penyebab yang melahirkan status tersebut ikut terhapus. Analogi yang sering digunakan adalah membersihkan debu; jika seseorang menyapu kamar, maka semua debu (baik yang dari jendela, dari baju, maupun dari luar) akan hilang dalam satu tindakan menyapu.
Mengucapkan niat (talaffuzh bi al-niyyah) adalah sunnah menurut Mazhab Syafi'i untuk membantu pemantapan hati. Bagi mazhab lain, ini tidak disyariatkan atau bahkan dianggap bid'ah oleh sebagian Hanbali jika dilakukan secara terus menerus, namun intinya adalah kerelaan hati. Dalam kasus penggabungan niat, pengucapan dapat membantu agar hati tidak ragu:
Formulasi Lengkap Penggabungan Niat:
"Nawaitul ghusla li raf'il hadatsi al-akbar min al-janabati wal haidhi farḍan lillāhi ta'ālā."
Artinya: "Aku berniat mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar dari junub dan haid, fardhu karena Allah Ta'ala."
Penggunaan kata 'al-hadats al-akbar' (hadas besar) berfungsi sebagai payung yang menaungi semua sebab (junub dan haid) di bawah satu niat yang sama, menegaskan prinsip Tadaakhul yang diterima secara luas oleh para ulama kontemporer.
Keabsahan niat gabungan harus diiringi dengan pelaksanaan Ghusl yang memenuhi semua rukun. Jika niat telah digabungkan, maka tata cara mandi tidak berbeda dari mandi wajib biasa. Kesempurnaan prosedur adalah kunci untuk memastikan kedua hadas (junub dan haid) terangkat sepenuhnya.
Rukun adalah bagian yang jika ditinggalkan, maka Ghusl menjadi batal. Terdapat tiga rukun utama yang wajib dipenuhi, yang harus diintegrasikan dengan niat gabungan:
Meskipun rukun sudah mencukupi keabsahan, disunnahkan untuk mengikuti tata cara Rasulullah SAW (Ghusl Kamil) agar ibadah menjadi sempurna, terutama saat membersihkan diri dari hadas haid dan junub:
Penting ditekankan bahwa ketika niat telah digabungkan, pelaksanaan Ghusl ini sekaligus memenuhi kewajiban yang ditimbulkan oleh junub maupun haid. Tidak ada perbedaan prosedural mendasar antara mandi junub dan mandi haid, selain penekanan dalam mandi haid untuk membersihkan sisa-sisa darah dan penggunaan wewangian (jika tersedia) setelah selesai, mengikuti anjuran Nabi SAW kepada para sahabat wanita.
Penerimaan fikih terhadap Tadaakhul al-Niyyat bukan hanya masalah teknis niat, tetapi juga didasarkan pada prinsip fundamental syariat, yaitu menghindari kesulitan (masyaqqah) dan mengedepankan kemudahan (taysir).
Allah SWT berfirman: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu." (QS Al-Baqarah: 185). Jika syariat mewajibkan seseorang mengulang tindakan yang sama (yaitu Ghusl) hanya karena sebab hadasnya berbeda (junub dan haid), padahal rukun dan prosedurnya identik, hal ini akan menimbulkan kesulitan yang tidak perlu (haraj).
Jika seorang wanita harus mandi dua kali, ia akan membuang waktu, air, dan energi lebih banyak. Karena Ghusl adalah tindakan menyucikan seluruh tubuh, hasil akhir dari dua kali mandi akan sama persis dengan hasil satu kali mandi yang sempurna. Oleh karena itu, syariat Islam menerima penyatuan niat untuk menghindari pengulangan yang tidak substansial.
Para fuqaha menggunakan analogi Ghusl dengan ibadah lain, seperti salat. Jika seseorang masuk ke masjid saat azan, dan ia ingin menunaikan salat tahiyyatul masjid sekaligus salat qabliyah (sunnah sebelum salat fardu), ia cukup meniatkan salah satunya (atau menggabungkannya), dan ia akan mendapatkan pahala kedua-duanya, karena tujuan utamanya adalah menunaikan ibadah di waktu tersebut. Prinsip ini, yang disebut tadaakhul al-a'mal (penggabungan amalan), diterapkan juga pada Ghusl.
Mengangkat hadas besar—baik itu junub, haid, atau nifas—adalah satu kesatuan. Mengangkat salah satunya dalam satu tindakan yang valid secara otomatis mengangkat yang lain. Ini adalah pandangan yang paling menenangkan hati dan sesuai dengan semangat syariat.
Bagaimana jika selain junub dan haid, terdapat pula kewajiban mandi sunnah, seperti mandi Jum'at atau mandi Idul Fitri?
Dalam Mazhab Syafi'i, dimungkinkan untuk menggabungkan niat mandi wajib (junub/haid) dengan niat mandi sunnah (Jum'at/Idul Fitri), asalkan niat wajibnya dominan dan diniatkan pada awal Ghusl. Jika seseorang mandi wajib (junub dan haid) pada hari Jumat, dan ia juga meniatkan mandi sunnah Jumat, maka ia akan mendapatkan pahala dari keduanya, dan kewajiban hadasnya pun terangkat.
Niat Kombinasi Penuh (Wajib dan Sunnah):
"Aku niat mandi wajib untuk mengangkat hadas junub dan hadas haid, dan niat mandi sunnah Jum'at (atau Idul Fitri), fardhu dan sunnah karena Allah Ta'ala."
Hal ini diperbolehkan karena tujuan mandi sunnah adalah pembersihan tambahan, dan ketika dilaksanakan bersamaan dengan mandi wajib yang membersihkan secara total, maka tujuan sunnah tersebut tercapai. Namun, para ulama sepakat bahwa niat Ghusl wajib harus menjadi prioritas utama. Jika seseorang hanya berniat mandi sunnah (misalnya mandi Jum'at), dan ia dalam keadaan junub atau haid, Ghusl-nya tidak sah untuk mengangkat hadas wajib, karena niatnya terlalu lemah untuk mengangkat hadas besar yang wajib disucikan.
Diskusi fikih modern semakin memperkuat pandangan Tadaakhul. Para ulama kontemporer, yang fokus pada fiqh al-muyassir (fikih yang memudahkan), cenderung menekankan bahwa yang terpenting adalah status hukum, bukan penyebabnya.
Hadas besar (junub, haid, nifas) harus dilihat sebagai satu kategori tunggal dalam fikih Taharah. Status seseorang adalah muhdits akbar (orang yang berhadas besar). Begitu status ini dihapus melalui satu kali Ghusl yang sah, ia kembali ke status thahir (suci).
Jika ada lima sebab hadas (misalnya: junub, haid, nifas, mati, dan masuk Islam), dan kelimanya terjadi secara berdekatan, seseorang tidak perlu mandi lima kali. Cukup satu kali Ghusl dengan niat menghilangkan status hadas besar, maka seluruh hadas akan terangkat. Ini adalah pandangan yang sangat kuat yang dipegang oleh banyak ulama Hanbali dan disetujui oleh Komisi Fatwa di berbagai negara Muslim.
Beberapa literatur fikih klasik membahas konsep Tawaqquf, yaitu apakah sahnya Ghusl junub bergantung pada berakhirnya haid, atau sebaliknya. Dalam kasus junub menyusul haid (di mana darah haid telah berhenti), tidak ada Tawaqquf; mandi harus segera dilakukan. Karena kedua sebab hadas tersebut menuntut tindakan Ghusl yang sama, maka pelaksanaan Ghusl yang dilakukan untuk salah satunya sudah memadai bagi yang lain.
Kondisi di mana Tawaqquf terjadi adalah jika darah haid belum berhenti. Jika darah haid masih mengalir, maka Ghusl junub tidak wajib dilakukan, karena wanita tersebut tetap tidak diperbolehkan salat atau berpuasa karena adanya darah haid. Namun, jika ia tetap mandi (misalnya karena alasan kebersihan atau mandi sunnah), ia tetap wajib berniat Ghusl junub. Ketika darah haidnya berhenti, ia wajib mengulang Ghusl untuk niat haid. Tetapi dalam konteks yang kita bahas—di mana kedua hadas besar sudah siap diangkat (haid sudah selesai)—Tawaqquf tidak berlaku, dan penggabungan niat adalah solusi yang sah.
Untuk memudahkan praktik sehari-hari, seorang Muslimah yang menghadapi kondisi tumpang tindih hadas (junub dan haid) cukup berpegangan pada panduan ringkas berikut:
Meskipun niat dapat digabungkan, prosedur pembersihan harus tetap sangat teliti. Dalam Ghusl haid, ada penekanan khusus untuk memastikan bahwa sisa-sisa darah (jika ada) telah dihilangkan sepenuhnya sebelum mandi. Mandi yang tidak menyingkirkan najis 'ainiyah (bekas darah) terlebih dahulu akan membuat air Ghusl (meskipun suci) tidak mampu mengangkat hadas secara sempurna.
Disunnahkan pula bagi wanita yang mandi haid untuk menggunakan kapas (atau sejenisnya) yang telah diberi wewangian (misalnya musk) untuk diusapkan pada tempat keluarnya darah, sebagai penutup dan pembersih spiritual, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Pandangan mayoritas ulama dan mazhab fikih memberikan kemudahan (taysir) bagi umat Islam dalam melaksanakan Ghusl ketika terjadi tumpang tindih hadas besar, seperti junub dan haid. Prinsip Tadaakhul al-Niyyat memungkinkan seorang Muslimah untuk menunaikan kewajiban dua kali Ghusl hanya dalam satu kali pelaksanaan mandi yang sempurna.
Kekuatan niat terletak pada kehendak hati untuk membersihkan diri dari status hukum 'hadas besar'. Selama niat tersebut ada dan diiringi dengan pemenuhan rukun Ghusl yang teliti—terutama meratakan air ke seluruh tubuh—maka hadas junub dan hadas haid akan terangkat secara simultan, memungkinkan wanita tersebut kembali menunaikan ibadah wajibnya dengan hati yang tenang dan suci.
Pemahaman yang mendalam mengenai niat ini menegaskan bahwa syariat Islam tidak bertujuan untuk mempersulit, melainkan untuk memberikan jalan bagi umatnya untuk mencapai kesucian dengan cara yang paling efisien dan paling mendekati kesempurnaan ibadah.