Gambar 1: Kontras visual antara lingkungan tanpa aturan (Anarki) dan lingkungan dengan aturan (Struktur).
Pernyataan Hipotetis: Dalam konteks pendidikan, aturan adalah kerangka yang mendefinisikan batas, harapan, dan konsekuensi. Aturan adalah bahasa bersama yang memungkinkan puluhan individu dengan latar belakang berbeda untuk bekerja menuju tujuan kolektif. Namun, bagaimana jika kelas tidak memiliki aturan sama sekali? Hipotesis ini membawa kita ke sebuah eksperimen sosial yang ekstrem, melampaui konsep 'sekolah demokratis' menuju wilayah anarki pedagogis murni.
Ketika kita berbicara tentang kelas tanpa aturan, kita harus membedakannya dari kelas yang memiliki aturan fleksibel atau aturan yang dibuat secara partisipatif. Kelas tanpa aturan berarti tidak ada pedoman eksplisit maupun implisit. Tidak ada waktu mulai pelajaran, tidak ada kewajiban kehadiran, tidak ada metode komunikasi yang disepakati, tidak ada sanksi, dan yang paling krusial, tidak ada harapan akademis yang ditegakkan. Kekosongan ini menciptakan sebuah vakum struktural yang dengan cepat akan diisi oleh kekuatan-kekuatan alamiah, seringkali yang paling primitif.
Tujuan utama kelas adalah pembelajaran. Pembelajaran memerlukan fokus, konsentrasi, dan alokasi sumber daya. Tanpa aturan, kerangka waktu dan prioritas menjadi tidak berarti. Jika siswa tidak diwajibkan untuk hadir, jika mereka boleh berbicara keras saat guru menjelaskan, atau jika mereka diperbolehkan bermain gawai sepanjang waktu, maka transfer pengetahuan dan pengembangan keterampilan kritis akan terhenti total. Materi kurikulum, yang dirancang untuk disampaikan secara sekuensial dan terstruktur, akan runtuh. Guru mungkin mencoba mengajar, tetapi upaya tersebut akan tenggelam dalam lautan gangguan yang tidak terkendali.
Dalam ketiadaan aturan formal yang ditegakkan oleh otoritas (guru atau sekolah), dinamika sosial manusia akan mencari struktur alternatif. Kekuatan akan bergeser dari guru ke individu-individu yang paling dominan di antara siswa. Ini bukan dominasi intelektual, melainkan dominasi sosial, fisik, atau intimidatif. Kelas akan terpecah menjadi faksi-faksi: kelompok yang berkuasa, kelompok yang berusaha belajar (tetapi terisolasi), dan kelompok yang rentan (korban intimidasi).
Hierarki yang terbentuk ini seringkali jauh lebih brutal dan sewenang-wenang daripada sistem aturan formal. Aturan formal, meskipun terkadang terasa membatasi, setidaknya bersifat universal dan dapat diprediksi. Hierarki dominasi baru ini justru didasarkan pada keinginan dan kekuatan individu yang paling lantang atau paling kuat, menciptakan lingkungan di mana rasa aman psikologis menjadi hilang sepenuhnya.
Kondisi tanpa aturan bukanlah kondisi netral; ia adalah kondisi yang memicu respons stres dan kecemasan yang ekstrem pada hampir semua partisipan—siswa, guru, dan bahkan administrator yang pasif mengizinkan situasi tersebut terjadi.
Meskipun anak remaja seringkali mengeluh tentang aturan, mereka secara paradoks sangat membutuhkan batasan dan struktur untuk merasa aman. Batasan berfungsi sebagai pagar pengaman. Ketika batasan ini hilang, muncul "Kecemasan Struktural". Siswa yang termotivasi akan merasa frustrasi karena usaha mereka tidak dihormati dan lingkungan belajar mereka dirampas. Sementara siswa yang secara perilaku menantang, tanpa adanya konsekuensi, akan memperluas batas perilaku mereka hingga menimbulkan kekerasan verbal atau fisik.
Aturan adalah fondasi keadilan. Jika aturan tidak ada, maka keadilan pun tidak ada. Apabila seorang siswa merusak properti atau mencuri milik siswa lain, dan tidak ada mekanisme atau aturan untuk mengatasinya, korban akan merasa dikhianati oleh lingkungan pendidikan. Mereka belajar bahwa sekolah adalah tempat di mana kekuatan, bukan hak, yang menentukan hasil.
Dalam lingkungan beraturan, siswa dapat mengalokasikan energi kognitif mereka untuk belajar. Dalam lingkungan tanpa aturan, sebagian besar energi kognitif dihabiskan untuk memantau lingkungan, memprediksi bahaya, menavigasi konflik, dan mempertahankan diri. Ini adalah lingkungan yang menuntut kewaspadaan konstan, yang secara fundamental bertentangan dengan kondisi relaksasi yang diperlukan untuk pemikiran tingkat tinggi dan kreativitas.
Peran guru bergeser dari fasilitator dan mentor menjadi pengelola krisis dan polisi tanpa wewenang. Guru memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga ketertiban tetapi tanpa alat formal untuk menegakkannya. Mereka menghadapi dilema etika: apakah mereka harus menerapkan aturan pribadi mereka sendiri secara sewenang-wenang (yang bertentangan dengan premis "tanpa aturan"), atau membiarkan kekacauan terjadi. Hasilnya adalah kelelahan emosional yang cepat dan masif. Guru akan kehilangan motivasi, menarik diri secara emosional, dan pada akhirnya, meninggalkan profesi.
Tanpa aturan, pengajaran menjadi pertunjukan tanpa penonton. Guru tidak lagi dihormati karena otoritas keilmuannya, melainkan hanya dianggap sebagai individu lain di ruangan yang harus bersaing untuk mendapatkan perhatian. Ini merupakan erosi otoritas profesional yang sangat destruktif.
Tingkat kerusakan paling nyata dari kelas tanpa aturan terjadi pada output akademik. Seluruh sistem evaluasi dan akuntabilitas menjadi tidak relevan, karena tidak ada standar yang harus dipenuhi atau dilanggar.
Penilaian (ujian, tugas, proyek) berfungsi sebagai mekanisme umpan balik dan pengukuran keberhasilan. Jika tidak ada aturan mengenai tenggat waktu, plagiarisme, atau standar kualitas kerja, bagaimana guru dapat memberikan nilai? Jika semua nilai didistribusikan secara acak atau berdasarkan upaya yang sangat minimal, maka makna pencapaian akademik akan hilang. Siswa yang bekerja keras merasa nilai mereka didiskreditkan, sementara siswa yang malas diberi insentif untuk tidak berusaha.
Ketika tidak ada aturan mengenai kejujuran akademik (misalnya, larangan menyontek), maka nilai yang dihasilkan tidak mencerminkan pengetahuan, melainkan kemampuan siswa untuk menipu sistem. Ini merusak integritas seluruh lembaga pendidikan dan mempersiapkan siswa untuk realitas di mana keahlian tidak sepenting manipulasi.
Kurikulum adalah serangkaian aturan tentang apa yang harus dipelajari. Jika aturan kehadiran dan partisipasi runtuh, kurikulum hanya menjadi dokumen teoretis. Guru tidak bisa maju ke topik berikutnya karena prasyarat (konsep yang harus dikuasai sebelumnya) tidak terpenuhi. Kelas menjadi stagnan, terus-menerus mengulang dasar-dasar yang tidak pernah dipahami secara kolektif, atau, yang lebih umum, kelas dibubarkan oleh gangguan konstan.
Bagi mata pelajaran yang memerlukan kerja kelompok atau proyek berbasis tim, kekosongan aturan berarti kegagalan total. Siapa yang memastikan semua orang berkontribusi? Siapa yang memutuskan hasil akhir? Tanpa aturan negosiasi dan akuntabilitas timbal balik, konflik interpersonal akan memakan waktu yang seharusnya digunakan untuk produksi akademis.
| Aspek | Kelas Berstruktur (Dengan Aturan) | Kelas Tanpa Aturan (Anarki) |
|---|---|---|
| Rasa Aman | Tinggi, prediktabilitas konsekuensi. | Rendah, dipicu oleh ketidakpastian dan ancaman dominasi. |
| Fokus Kognitif | Tertuju pada materi pelajaran. | Tertuju pada manajemen konflik dan bertahan hidup sosial. |
| Akuntabilitas | Ditegakkan oleh sistem (guru/sekolah). | Non-eksisten atau ditegakkan oleh tirani mayoritas/individu kuat. |
| Pencapaian | Terukur dan diakui berdasarkan standar. | Tidak terukur, pencapaian didiskreditkan. |
Seringkali, gagasan kelas tanpa aturan disalahartikan sebagai "kebebasan pendidikan" atau "otonomi siswa". Namun, terdapat perbedaan filosofis dan praktis yang sangat besar antara kebebasan yang didukung oleh struktur (otonomi) dan kebebasan yang tidak dibatasi (anarki).
Otonomi adalah kemampuan untuk mengatur diri sendiri dalam batas-batas yang disepakati bersama. Sekolah-sekolah progresif atau demokratis memberikan otonomi tinggi—siswa memilih kelas, berpartisipasi dalam pembuatan aturan, dan mengelola konsekuensi. Namun, inti dari model ini adalah keberadaan aturan dasar: kesepakatan bahwa ruang harus aman, bahwa pembelajaran adalah prioritas, dan bahwa hak setiap orang harus dihormati. Otonomi membutuhkan meta-aturan—aturan tentang cara membuat dan mengubah aturan.
Kelas tanpa aturan, sebaliknya, menawarkan anarki. Anarki adalah ketiadaan aturan, yang secara intrinsik mengarah pada situasi di mana kebebasan satu orang pasti melanggar kebebasan orang lain, karena tidak ada mekanisme untuk arbitrase atau resolusi konflik yang disepakati. Kebebasan tanpa tanggung jawab adalah keistimewaan, bukan hak, dan dalam ruang publik seperti kelas, ini adalah resep untuk kegagalan sosial.
Beberapa teori radikal pendidikan, seperti yang diusulkan oleh Ivan Illich dengan konsep "Deschooling Society," mengkritik keras struktur formal. Namun, bahkan para kritikus ini umumnya tidak menganjurkan kekosongan total. Mereka menganjurkan jaringan pembelajaran yang berbeda. Dalam konteks kelas fisik, eksperimen yang berusaha mendekati kondisi tanpa aturan, seperti beberapa eksperimen sekolah bebas di masa lalu, sering kali menghadapi tantangan berat:
Kesimpulannya, kebebasan sejati dalam pendidikan bukanlah penghapusan aturan, melainkan penemuan aturan yang paling mendukung perkembangan individu, dan memastikan aturan tersebut dipahami dan dimiliki oleh komunitas.
Dampak dari kelas tanpa aturan tidak hanya terbatas pada dinamika interpersonal; ia meluas ke struktur administrasi dan menimbulkan konsekuensi hukum yang serius bagi institusi pendidikan.
Sekolah memiliki kewajiban hukum (duty of care) untuk menyediakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua siswa. Jika terjadi cedera, baik fisik maupun psikologis, di lingkungan yang secara sadar dipertahankan tanpa aturan, sekolah dan distrik pendidikan dapat dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian berat. Kekurangan aturan adalah bukti kegagalan dalam menyediakan lingkungan yang aman.
Intimidasi berkembang subur dalam ketiadaan aturan. Jika tidak ada aturan yang mendefinisikan perilaku yang tidak dapat diterima, dan tidak ada konsekuensi yang ditegakkan, sekolah tidak memiliki alat untuk melindungi korban. Kegagalan melindungi siswa adalah pelanggaran hukum yang serius di banyak yurisipasi.
Sekolah menggunakan sumber daya publik. Jika kelas tidak memiliki aturan, pengeluaran untuk gaji guru, fasilitas, dan materi kurikulum menjadi pemborosan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang tua yang membayar pajak atau biaya sekolah akan menuntut pertanggungjawaban ketika investasi mereka menghasilkan kekacauan dan nol output akademik.
Dalam skenario nyata, sebuah kelas yang benar-benar tanpa aturan tidak akan bertahan lama. Pihak administrasi akan dipaksa untuk campur tangan, tetapi sifat intervensi ini akan menjadi brutal. Intervensi mungkin berupa penutupan kelas, pemecatan guru, atau penerapan serangkaian aturan baru yang sangat kaku sebagai reaksi terhadap kekacauan yang terjadi. Ini sering disebut sebagai "efek pendulum"—dari anarki ke otoritarianisme yang ekstrem.
Eksperimen kekacauan ini pada akhirnya akan menghancurkan reputasi sekolah. Kepercayaan masyarakat, yang merupakan modal sosial terpenting bagi lembaga pendidikan, akan hilang, menyebabkan penurunan pendaftaran dan krisis finansial jangka panjang.
Bahkan dalam upaya paling radikal untuk menghilangkan aturan, sistem sosial akan selalu menciptakan struktur internalnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan aturan bukan hanya konstruksi sosial, tetapi respons evolusioner terhadap kehidupan kelompok.
Jika guru dengan tegas menyatakan "tidak ada aturan," siswa mungkin awalnya merayakan kebebasan. Namun, ketika mereka menyadari bahwa kebebasan ini berarti kekacauan pribadi (misalnya, tidak bisa mendengar, barang hilang, tidak ada tempat duduk), mereka akan mulai membuat norma spontan. Norma ini mungkin mencakup: "Jangan berteriak saat Budi bicara," atau "Kita akan mengerjakan tugas ini bersama-sama pukul 10."
Masalahnya adalah, norma-norma spontan ini seringkali tidak transparan, tidak berlaku untuk semua, dan tidak memiliki mekanisme penegakan yang adil. Mereka adalah aturan yang ditetapkan oleh konsensus sebagian, bukan konsensus universal, dan rentan terhadap perubahan mendadak yang merugikan minoritas.
Tujuan utama pendidikan modern adalah mengajarkan siswa disiplin diri atau regulasi diri. Ironisnya, untuk mencapai disiplin diri, individu harus terlebih dahulu mengalami dan memahami manfaat dari aturan eksternal. Aturan eksternal berfungsi sebagai perancah (scaffolding) yang membantu siswa menginternalisasi batasan dan ekspektasi. Begitu batasan ini diinternalisasi, siswa tidak lagi membutuhkan aturan eksternal karena mereka telah membentuk ‘aturan internal’.
Kelas tanpa aturan menghapus perancah ini. Siswa tidak pernah belajar bagaimana mengelola waktu mereka, bagaimana memprioritaskan tugas, atau bagaimana berinteraksi secara konstruktif, karena tidak ada model atau konsekuensi yang memandu pembentukan kebiasaan positif tersebut. Mereka hanya belajar bagaimana memanfaatkan kelemahan sistem.
Setiap keputusan memerlukan biaya kognitif. Dalam lingkungan tanpa aturan, siswa harus menghabiskan waktu dan energi yang besar untuk memutuskan hal-hal mendasar: Haruskah saya datang? Kapan saya harus mulai? Apa yang akan terjadi jika saya tidak melakukannya? Aturan yang jelas mengurangi beban keputusan ini, membebaskan energi mental untuk pembelajaran kompleks.
Kritik terhadap aturan kaku adalah valid. Aturan yang tidak relevan, otoriter, atau terlalu banyak memang menghambat kreativitas dan otonomi. Namun, jawabannya bukanlah menghilangkan aturan, melainkan merancang sistem aturan yang hidup, responsif, dan memberdayakan.
Model yang ideal mungkin menerapkan prinsip aturan minimalis, yaitu hanya menetapkan aturan yang benar-benar esensial untuk keselamatan dan pembelajaran, dan membiarkan sisanya dinegosiasikan. Misalnya, hanya tiga aturan utama:
Konsekuensi dari pelanggaran harus logis dan terkait erat dengan pelanggaran itu sendiri (misalnya, jika Anda mengganggu, Anda harus membantu memulihkan fokus yang hilang).
Aturan yang paling efektif adalah yang dirancang dan dimiliki oleh mereka yang harus mematuhinya. Proses pembuatan aturan yang partisipatif mengubah aturan dari perintah otoriter menjadi kontrak sosial. Ini mengajarkan siswa tentang demokrasi, negosiasi, dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab. Bahkan jika aturan itu pada dasarnya sama dengan yang diterapkan oleh guru, kepemilikan oleh siswa secara drastis meningkatkan kepatuhan.
Dalam konteks partisipatif, aturan tidak statis; mereka dapat ditinjau ulang secara berkala, diuji efektivitasnya, dan disesuaikan berdasarkan kebutuhan yang berkembang. Inilah esensi dari lingkungan yang dinamis dan teratur.
Terlepas dari seberapa demokratis sebuah kelas, aturan tentang keselamatan, pelecehan, dan diskriminasi harus tetap tegas dan tidak dapat dinegosiasikan. Ini adalah pilar etika yang melindungi hak asasi setiap individu di ruangan. Semua kebebasan berpendapat dan bertindak harus berhenti di titik di mana ia mengancam keselamatan atau martabat orang lain.
Pendidikan yang berhasil adalah keseimbangan yang rapuh antara kebebasan untuk bereksplorasi dan batas yang diperlukan untuk menjaga eksplorasi tersebut tetap konstruktif. Kelas tanpa aturan adalah eufemisme untuk lingkungan yang berbahaya secara emosional dan secara akademis mandul. Kebebasan sejati dalam pendidikan hanya dapat ditemukan melalui aturan yang bijaksana, adil, dan ditegakkan secara konsisten.
Melampaui kekacauan sehari-hari, skenario kelas tanpa aturan memunculkan pertanyaan eksistensial mengenai bagaimana individu dipersiapkan untuk dunia nyata, yang notabene adalah dunia yang diatur secara ketat oleh hukum, norma, dan etiket profesional.
Siswa yang lulus dari lingkungan tanpa aturan akan menghadapi kejutan budaya yang parah saat memasuki dunia kerja atau institusi pendidikan tinggi. Dunia kerja menuntut kepatuhan pada prosedur, tenggat waktu, hierarki, dan standar etika. Jika siswa tidak pernah mengalami konsekuensi dari ketidakpatuhan, mereka akan rentan terhadap kegagalan serius dalam karir profesional mereka. Mereka mungkin menafsirkan setiap permintaan atasan atau kolega sebagai batasan yang tidak perlu terhadap kebebasan mereka, sehingga menghambat kemampuan mereka untuk berkolaborasi dan berkontribusi secara efektif.
Disiplin, dalam pengertiannya yang paling murni, adalah keterampilan yang memungkinkan keberhasilan. Tanpa disiplin yang dipelajari dan diinternalisasi melalui interaksi dengan aturan, prospek jangka panjang siswa sangat suram. Mereka akan memiliki pengetahuan yang sangat sporadis dan keterampilan sosial yang buruk dalam menavigasi struktur formal.
Aturan kelas seringkali mencerminkan prinsip-prinsip moral yang lebih luas—kejujuran (aturan anti-menyontek), rasa hormat (aturan berbicara), dan tanggung jawab (aturan pengumpulan tugas). Dengan menghilangkan aturan, kita menghilangkan wadah di mana prinsip-prinsip ini dapat dipraktikkan dan diuji. Pendidikan karakter tidak terjadi dalam vakum; ia terjadi ketika individu membuat pilihan moral di bawah tekanan dan mengalami konsekuensi dari pilihan tersebut.
Dalam kelas anarki, moralitas seringkali digantikan oleh oportunisme. Siswa belajar bahwa yang terpenting adalah apa yang bisa mereka dapatkan tanpa tertangkap, bukan apa yang benar untuk dilakukan. Ini adalah pelajaran yang sangat berbahaya untuk dibawa ke masyarakat.
Guru adalah model peran. Salah satu fungsi terpenting guru adalah memodelkan bagaimana bertindak dalam lingkungan yang diatur oleh kesepakatan. Jika guru tidak menegakkan aturan, mereka secara implisit mengajarkan bahwa ketertiban tidak penting, dan bahwa harapan dapat diabaikan tanpa biaya. Modeling perilaku yang bertanggung jawab dan etis adalah inti dari pengajaran. Kelas tanpa aturan merampas guru dari kesempatan untuk melakukan modeling ini, meninggalkan siswa tanpa kompas moral atau sosial yang jelas.
Ironi terbesar dari kelas tanpa aturan adalah bahwa kekosongan itu sendiri menjadi bentuk hukuman yang paling kejam. Meskipun awalnya terdengar seperti pembebasan, ketiadaan batasan segera berubah menjadi beban yang tidak tertahankan bagi jiwa manusia yang mendambakan makna dan keteraturan.
Siswa yang berjuang untuk fokus, yang mungkin memiliki Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau kesulitan belajar lainnya, sangat bergantung pada struktur eksternal yang konsisten. Bagi mereka, aturan kelas adalah alat bantu yang sangat diperlukan. Kelas tanpa aturan adalah lingkungan hipersensitif yang terus-menerus memicu gangguan dan mematikan semua peluang mereka untuk sukses akademik. Ini adalah hukuman melalui pembiaran.
Siswa berprestasi dihukum karena ambisi mereka diabaikan. Keinginan mereka untuk belajar dan unggul dihancurkan oleh lingkungan yang tidak menghargai usaha. Mereka mungkin akan memutuskan untuk "turun level" agar sesuai dengan kekacauan di sekitar mereka, atau, dalam kasus yang lebih baik, mereka akan menarik diri sepenuhnya secara mental, menciptakan "kelas virtual" mereka sendiri di kepala mereka yang terlepas dari realitas fisik ruang kelas.
Salah satu pelajaran terpenting dalam kehidupan adalah memahami batasan orang lain dan bagaimana batasan kita berinteraksi dengan batasan mereka. Kelas tanpa aturan mencegah pembelajaran ini. Siswa tidak pernah belajar menunda kepuasan, menghargai ruang pribadi, atau bernegosiasi. Mereka akan memasuki kehidupan dewasa dengan pola pikir egosentris, yakin bahwa dunia harus menyesuaikan diri dengan keinginan mereka, bukan sebaliknya.
Oleh karena itu, kelas yang "tidak memiliki aturan" bukanlah surga kebebasan, melainkan medan pelatihan untuk individualisme ekstrem yang merusak, di mana yang terkuat bertahan dan yang lemah dihancurkan tanpa kompensasi atau perlindungan. Ini adalah antitesis dari tujuan pendidikan, yang seharusnya meningkatkan kemampuan setiap individu untuk berkembang dalam komunitas.
Hipotesis mengenai bagaimana jika kelas tidak memiliki aturan membawa kita pada kesimpulan yang jelas: aturan bukanlah alat penindasan, melainkan ekspresi mendasar dari kepedulian. Ketika seorang guru menetapkan aturan, ia berkata kepada siswanya:
Aturan berfungsi sebagai janji bahwa lingkungan belajar akan stabil, dapat diprediksi, dan adil. Ini adalah infrastruktur yang memungkinkan kreativitas, eksplorasi, dan, yang paling penting, pertumbuhan pribadi dan akademik terjadi. Jika infrastruktur ini hilang, maka seluruh bangunan pendidikan runtuh.
Pencarian untuk kebebasan dalam pendidikan harus berfokus pada fleksibilitas metodologi dan otonomi dalam konten, bukan pada penghapusan kerangka kerja perilaku. Aturan, ketika dirancang dengan bijak dan ditegakkan dengan empati, adalah pembebas sejati, memungkinkan semua anggota komunitas untuk melepaskan energi dari perjuangan sosial menuju pengejaran pengetahuan dan pemahaman.
Kelas tanpa aturan adalah konsep yang menarik secara filosofis, tetapi mustahil untuk diterapkan secara manusiawi. Hasil akhirnya adalah anarki sosial, kemandulan akademik, dan kehancuran psikologis bagi semua yang terlibat. Pendidikan memerlukan batas; batas menghasilkan fokus, dan fokus adalah prasyarat bagi pencapaian yang bermakna.
Maka, pertanyaan "bagaimana jika kelas tidak memiliki aturan" dijawab dengan tegas: akan terjadi kegagalan sistematis yang menggarisbawahi mengapa aturan, dalam bentuknya yang paling dasar, adalah elemen yang tidak dapat dinegasikan dalam setiap lingkungan kolektif yang bertujuan untuk perkembangan positif.
Untuk memahami sepenuhnya bencana dari kelas tanpa aturan, kita harus menganalisis dinamika mikro-sosial yang terjadi dari jam ke jam. Bayangkan sebuah hari sekolah biasa tanpa jam pelajaran, tanpa kode berpakaian, dan tanpa larangan penggunaan media sosial.
Ruang kelas, yang dirancang untuk pembelajaran terstruktur, akan mengalami perubahan fungsi. Meja dan kursi akan digunakan untuk membangun benteng, bermain permainan fisik yang berbahaya, atau menjadi area tidur. Siswa akan mengklaim sudut-sudut tertentu sebagai wilayah mereka, dan pergeseran teritorial ini akan menjadi sumber utama konflik. Guru tidak berhak meminta penataan ulang karena tidak ada aturan tentang pemanfaatan ruang publik.
Dalam ketiadaan etiket komunikasi yang disepakati, bahasa di kelas akan menjadi semakin kasar, pribadi, dan ofensif. Tidak ada aturan mengenai apa yang boleh dikatakan atau kapan boleh disela. Diskusi (jika ada) akan didominasi oleh individu yang paling agresif, sementara siswa yang pendiam tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk menyumbangkan ide. Kata-kata kasar, ejekan, dan penghinaan akan menjadi hal yang lumrah, tanpa mekanisme untuk meminta maaf atau melakukan reparasi sosial.
Ketika struktur resmi hilang, siswa akan menciptakan ritual mereka sendiri yang seringkali merusak atau membuang waktu. Ini bisa berupa tantangan yang bodoh, taruhan yang konyol, atau ritual pengujian batas kesabaran guru. Ritual ini berfungsi sebagai pengganti struktur, tetapi fokusnya adalah pada kekuasaan dan gangguan, bukan pada pembelajaran. Ini membuang waktu kolektif dan menciptakan preseden negatif untuk hari-hari berikutnya.
Setiap hak datang dengan kewajiban. Hak untuk belajar dalam lingkungan yang tenang membutuhkan kewajiban untuk tidak mengganggu orang lain. Kelas tanpa aturan adalah tempat di mana hak diklaim secara agresif tanpa mengakui adanya kewajiban timbal balik. Guru sendiri menghadapi dilema hak dan kewajiban. Mereka memiliki hak untuk mengajar, tetapi kewajiban mereka untuk menyediakan pendidikan berkualitas menjadi tidak mungkin untuk dipenuhi.
Pendekatan ini merusak pemahaman siswa tentang kewarganegaraan. Kewarganegaraan yang efektif memerlukan pengakuan bahwa kebebasan pribadi berakhir di titik di mana ia melukai atau membatasi kebebasan orang lain. Kelas anarki adalah miniatur masyarakat yang gagal, mengajarkan bahwa hanya kekuatan dan egoisme yang dihitung.
Dalam ekonomi, ada konsep "Tragedi Kepemilikan Bersama" (Tragedy of the Commons), di mana sumber daya bersama (seperti padang rumput) dieksploitasi dan dihancurkan karena setiap individu bertindak demi kepentingan diri sendiri tanpa batasan. Ruang kelas adalah properti bersama. Tanpa aturan yang membatasi eksploitasi (misalnya, aturan tentang kebersihan, merawat buku, menghormati waktu), sumber daya bersama ini—ketenangan, bahan pelajaran, dan waktu guru—akan segera terkikis hingga tidak ada yang tersisa.
Siswa yang ingin belajar akan menjadi korban utama dari tragedi ini. Mereka adalah pihak yang paling dirugikan ketika waktu kelas digunakan oleh sedikit individu yang mengabaikan kepentingan kolektif. Mereka kehilangan kesempatan pendidikan tanpa kompensasi.
Aturan bukanlah tentang hukuman; mereka adalah alat untuk mengembangkan empati. Ketika seorang siswa melanggar aturan, dan konsekuensi diterapkan, diskusi yang menyertainya (jika dilakukan dengan benar) memaksa siswa tersebut untuk mempertimbangkan dampak tindakannya terhadap orang lain. Misalnya, aturan "angkat tangan saat ingin berbicara" memaksa siswa untuk menyadari bahwa guru tidak dapat mendengar semua orang sekaligus dan bahwa ada orang lain yang juga ingin didengar. Ini adalah pelajaran empati praktis.
Di kelas tanpa aturan, tindakan tidak memiliki gema sosial. Siswa dapat bertindak egois tanpa harus menghadapi konsekuensi yang terstruktur atau refleksi yang dipandu. Akibatnya, perkembangan kemampuan mereka untuk mengambil perspektif orang lain terhambat, yang merupakan kegagalan pendidikan yang jauh lebih besar daripada sekadar kegagalan kurikulum.
Kesimpulannya, studi mendalam tentang "bagaimana jika kelas tidak memiliki aturan" memperkuat argumen bahwa struktur, batasan, dan ekspektasi yang jelas adalah prasyarat untuk kebebasan sejati, keselamatan psikologis, dan kesuksesan akademik. Kebebasan tanpa struktur adalah anarki, dan anarki dalam lingkungan pendidikan hanya akan menghasilkan kebebasan untuk gagal.