Sejarah peradaban di Nusantara adalah sejarah kontak, pertukaran, dan adaptasi yang tak terhindarkan. Jauh sebelum era modern, kepulauan ini telah menjadi titik temu peradaban dunia, bukan sebagai objek pasif, melainkan sebagai pusat maritim yang aktif menarik pedagang, utusan, misionaris, dan petualang dari berbagai penjuru bumi. Interaksi dengan bangsa asing di masa lalu bukanlah sekadar catatan pinggiran, tetapi merupakan fondasi yang membentuk struktur sosial, politik, dan budaya masyarakat lokal hingga hari ini. Memahami bagaimana interaksi ini terjadi memerlukan penelusuran melalui lapisan-lapisan sejarah yang kompleks: dari perdagangan rempah yang sunyi hingga diplomasi istana yang megah, dari penyebaran keyakinan spiritual yang damai hingga konfrontasi militer yang berdarah.
Kapal dagang melambangkan awal mula interaksi melalui jalur maritim.
Interaksi paling purba berpusat pada ekonomi dan geografi. Nusantara berada pada persimpangan jalur perdagangan global, terutama rute yang menghubungkan Asia Selatan (India) dan Asia Timur (Tiongkok). Kebutuhan dunia akan rempah-rempah—terutama cengkeh, pala, dan lada—serta hasil hutan tropis seperti kamper dan kayu gaharu, menjadi daya tarik magnetis yang pertama. Interaksi pada fase ini bersifat mutualistik dan terbatas pada pelabuhan-pelabuhan utama.
Bangsa India, baik dari sub-kontinen utara maupun selatan, adalah interaksi asing yang paling transformatif di masa pra-Islam. Mereka datang tidak hanya sebagai pedagang tetapi juga sebagai penyebar konsep politik dan kosmologi. Mekanisme interaksinya melibatkan dua teori utama yang sering diperdebatkan oleh sejarawan, yaitu teori ksatria (penaklukan) dan teori waisya (perdagangan), namun yang paling dominan adalah teori arus balik (arus balik), di mana elit lokallah yang secara aktif menarik dan mengadopsi elemen-elemen budaya asing ini.
Interaksi ini ditandai dengan:
Pengaruh India sangat mendalam. Interaksi bukan hanya pertukaran barang, melainkan pertukaran ide yang membentuk dasar pembentukan negara awal di kepulauan ini. Para pedagang India sering tinggal di permukiman khusus di dekat pelabuhan, menyediakan sarana untuk pertukaran yang lebih intens dan bertahap.
Interaksi dengan Tiongkok sangat berbeda dibandingkan dengan India. Tiongkok, di bawah berbagai dinastinya (terutama Tang, Song, dan Ming), memandang dunia luar melalui lensa sistem Tribut (Upeti). Kerajaan-kerajaan di Nusantara yang ingin berinteraksi secara resmi, diwajibkan mengirimkan utusan dan hadiah ke istana kekaisaran Tiongkok. Meskipun terlihat subordinatif, sistem tribut ini memberikan manfaat signifikan bagi kerajaan lokal:
Interaksi Tiongkok utamanya bersifat institusional dan berjenjang. Pedagang Tiongkok (sering disebut sebagai tauke di kemudian hari) juga hadir, tetapi kehadiran resmi biasanya dikelola oleh utusan kekaisaran. Barang yang dicari Tiongkok adalah rempah, mutiara, dan barang eksotis lainnya, sementara mereka membawa sutra, keramik (terutama Dinasti Song dan Yuan), dan uang logam tembaga yang menjadi alat tukar penting di Nusantara.
Kerajaan Sriwijaya di Sumatera (abad ke-7 hingga ke-13) adalah contoh paling awal dan sukses tentang bagaimana kekuatan lokal mampu mengelola dan bahkan mendominasi interaksi dengan bangsa asing. Sriwijaya tidak sekadar berdagang; mereka mengontrol jalur perdagangan vital melalui Selat Malaka dan Selat Sunda.
Untuk mengamankan posisinya, Sriwijaya menerapkan kebijakan yang ketat terhadap kapal asing:
Interaksi pada masa ini menunjukkan adanya pengakuan internasional terhadap kedaulatan maritim Nusantara. Catatan Tiongkok, serta temuan artefak di Palembang dan Jambi, mengkonfirmasi betapa intensnya lalu lintas asing di bawah kekuasaan Sriwijaya. Para pedagang asing harus beradaptasi dengan sistem hukum dan birokrasi yang ditetapkan oleh Datu (penguasa lokal).
Peta global yang menunjukkan posisi strategis Nusantara dalam rute maritim dunia.
Sejak abad ke-8, namun semakin intensif pada abad ke-13 dan seterusnya, interaksi dengan bangsa asing mengalami pergeseran radikal dengan kedatangan pedagang Muslim dari berbagai wilayah, terutama Persia, Arab (Hadramaut), dan Gujarat (India). Jika kontak sebelumnya lebih banyak berfokus pada komoditas dan transfer konsep politik-budaya, interaksi dengan Muslim membawa dimensi agama yang personal dan komunal.
Interaksi Muslim dengan masyarakat lokal sangat berbeda dari metode yang digunakan oleh Hindu-Buddha. Islam disebarkan melalui:
Dalam fase ini, interaksi sangat berorientasi pada Jaringan. Tidak ada satu kekuatan asing tunggal yang mendominasi; sebaliknya, terdapat jaringan perdagangan Islam yang luas, memberikan otoritas dan legitimasi kepada Kesultanan-kesultanan pesisir yang baru terbentuk. Interaksi ini juga menghasilkan Lingua Franca (Bahasa Melayu) yang diperkaya oleh kosakata Arab dan Persia, memperkuat komunikasi lintas budaya di seluruh kepulauan.
Malaka (sebelum jatuh ke tangan Portugis) merupakan model interaksi asing yang kosmopolitan. Di sana terdapat permukiman permanen bagi berbagai kelompok asing: Kapitan Tiongkok, Syahbandar India, dan komunitas Arab yang mengurus aspek hukum dan agama. Penguasa Malaka secara cerdas memanfaatkan keragaman ini untuk memastikan tidak ada satu kelompok asing pun yang terlalu dominan, sehingga Malaka tetap menjadi pusat perdagangan yang netral. Dalam sistem ini, pengawasan terhadap perilaku asing dilakukan secara ketat melalui para pejabat yang ditunjuk (seperti Syahbandar).
Sebuah interaksi tidak mungkin terjadi tanpa bahasa komunikasi yang efektif. Bahasa Melayu, yang telah lama menjadi bahasa perdagangan di Asia Tenggara, mencapai puncaknya sebagai lingua franca global pada masa ini. Bahasa Melayu adalah kunci bagaimana bangsa-bangsa asing—dari Tamil, Persia, Gujarat, hingga pedagang dari Fujian—mampu bernegosiasi dan berbaur di pelabuhan-pelabuhan Nusantara.
Bentuk bahasa yang digunakan dalam interaksi dagang seringkali disederhanakan, dikenal sebagai Melayu Pasar. Bahasa ini berfungsi sebagai jembatan, memungkinkan komunikasi esensial tentang harga, kargo, dan jadwal. Uniknya, bangsa asing seringkali belajar Melayu, sementara masyarakat lokal juga mengadopsi kosakata dari bahasa asing untuk memperkaya kosa kata teknis atau istilah pelayaran. Contohnya, banyak istilah pelayaran berasal dari bahasa Persia, sedangkan istilah administrasi agama banyak berasal dari Arab.
Pada tingkat diplomasi antara kerajaan lokal dan kekaisaran asing (khususnya Tiongkok dan kemudian Kesultanan Ottoman), komunikasi dilakukan melalui surat-surat resmi yang memerlukan juru tulis dan juru bahasa yang terampil. Surat-surat ini sering ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi (untuk korespondensi dengan kerajaan serumpun) atau dalam bahasa Arab (untuk korespondensi dengan Timur Tengah), dan terkadang dilengkapi terjemahan dalam bahasa Tiongkok atau bahasa Eropa di kemudian hari. Ini menunjukkan adanya aparatur birokrasi yang terlatih dalam mengelola hubungan luar negeri.
Interaksi dengan bangsa asing mengalami perubahan paradigma yang dramatis dengan kedatangan kekuatan maritim Eropa, dimulai oleh Portugis di awal abad ke-16, diikuti Spanyol, Inggris, dan Belanda. Jika interaksi sebelumnya bersifat simetris (perdagangan timbal balik, meskipun Tiongkok menerapkan sistem tribut yang hierarkis), interaksi dengan Eropa dengan cepat menjadi asimetris dan berorientasi pada dominasi monopoli.
Interaksi Portugis (setelah mencapai Malaka) berfokus pada penguasaan rute rempah melalui kekuatan militer. Mereka tidak sekadar bernegosiasi; mereka menuntut hak monopoli dan membangun benteng (faktori) sebagai basis kekuasaan. Reaksi kerajaan lokal bervariasi:
Dalam interaksi ini, bahasa yang digunakan seringkali adalah Portugis yang dipelajari secara cepat oleh juru bahasa lokal (Tukang Bahasa), atau bahasa Melayu (yang sudah menjadi lingua franca) digunakan sebagai bahasa perundingan, tetapi selalu dalam konteks tawar-menawar kekuasaan yang berat sebelah.
Interaksi dengan Belanda, terutama melalui Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), menandai fase paling sistematis dari eksploitasi dan kontrol asing. VOC, sebagai entitas korporasi yang memiliki hak untuk berperang dan membuat perjanjian, berinteraksi bukan sebagai tamu atau mitra, tetapi sebagai kekuatan hegemonik baru. Mekanisme interaksi VOC meliputi:
Di bawah kekuasaan VOC, interaksi berubah dari pertukaran budaya menjadi manajemen kekuasaan. Status pedagang asing non-Eropa (seperti Tiongkok dan Arab) juga berubah. Mereka kini berfungsi sebagai perantara ekonomi yang diizinkan oleh VOC, tetapi tetap berada di bawah kendali struktural asing yang dominan.
Rempah adalah komoditas utama yang menarik bangsa asing ke Nusantara.
Interaksi yang berlangsung selama ribuan tidak hanya meninggalkan jejak politik dan ekonomi, tetapi juga membentuk kekayaan budaya yang unik di Nusantara. Akulturasi bukanlah penyerapan total, melainkan proses penyesuaian di mana elemen asing diinterpretasikan ulang dan disinkretisasikan dengan tradisi lokal.
Pengaruh asing terlihat jelas dalam arsitektur. Sebelum Islam, candi-candi Hindu-Buddha merupakan adaptasi lokal dari motif India yang dipadukan dengan konsep Gunung Mahameru lokal. Setelah Islam, masjid-masjid awal (seperti di Demak) menghindari kubah bergaya Timur Tengah, alih-alih menggunakan atap tumpang tiga atau lima yang mencerminkan arsitektur pura atau bangunan tradisional Bali dan Jawa. Ini adalah contoh kuat bagaimana interaksi budaya diolah oleh masyarakat lokal.
Dalam seni pertunjukan, wayang, meskipun berasal dari tradisi lokal, mengadopsi epos India (Mahabharata dan Ramayana), tetapi karakternya, humornya, dan filosofi yang disampaikan sepenuhnya di-Nusantarakan. Demikian pula, keramik Tiongkok, yang datang dalam jumlah besar, tidak hanya digunakan sebagai barang dagangan, tetapi juga diintegrasikan dalam ritual atau sebagai hiasan makam.
Di pelabuhan-pelabuhan besar, sistem hukum harus mengakomodasi berbagai kelompok asing. Sistem Syahbandar (kepala pelabuhan) memiliki peran krusial. Mereka tidak hanya mengurus bea cukai tetapi juga bertindak sebagai hakim dalam sengketa antara pedagang asing dari kebangsaan yang berbeda. Ini menunjukkan kemampuan kerajaan lokal untuk membangun kerangka kerja hukum yang cukup fleksibel dan toleran untuk menampung keragaman global.
Ketika Eropa berkuasa, mereka tetap memanfaatkan struktur administrasi lokal. Belanda misalnya, sangat mengandalkan sistem Kapitan untuk mengelola komunitas Tiongkok dan Arab. Interaksi ini, meskipun represif di bawah dominasi Eropa, tetap menunjukkan adaptasi dan peran penting pemimpin komunitas asing dalam birokrasi lokal.
Masyarakat Nusantara di masa lalu mengembangkan berbagai strategi untuk memaksimalkan manfaat dari interaksi asing sekaligus meminimalkan ancaman kedaulatan. Strategi ini sangat bergantung pada periode sejarah dan kekuatan relatif kerajaan lokal.
Kerajaan yang kuat, seperti Majapahit di puncaknya, tidak pernah bergantung pada satu mitra asing. Mereka menjalin hubungan simultan dengan Tiongkok (lewat tribut), Siam, Champa, dan pedagang Arab/India. Ketika Malaka jatuh ke Portugis, banyak pedagang Muslim (Arab, India, Gujarat) memindahkan rute mereka ke Aceh, Johor, Banten, atau Makassar. Strategi ini memastikan bahwa tekanan dari satu kekuatan asing dapat diimbangi dengan pergeseran ke mitra dagang lainnya, menjaga dinamika pasar.
Pernikahan antara bangsawan lokal dengan keturunan pedagang asing (terutama Arab, Persia, atau Tiongkok) adalah cara paling efektif untuk mengintegrasikan kepentingan asing ke dalam struktur kekuasaan lokal. Anak-anak dari pernikahan ini sering menjadi pejabat penting, memastikan bahwa aset dan jaringan perdagangan keluarga asing tersebut kini tunduk pada kekuasaan istana. Hal ini memperkuat legitimasi politik lokal sekaligus memastikan aliran kekayaan dari luar.
Dalam konteks penyebaran agama, khususnya Islam, interaksi tidak hanya melibatkan pedagang, tetapi juga ulama dan intelektual. Mereka tidak datang untuk berdagang rempah, melainkan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan agama dan tasawuf. Melalui interaksi ini, konsep-konsep asing (seperti hukum syariah atau ilmu astronomi) disaring dan diajarkan, seringkali menggunakan bahasa Melayu, yang memastikan bahwa transformasi ideologis adalah proses yang dimediasi oleh elite lokal, bukan dipaksakan secara langsung.
Interaksi di wilayah timur Nusantara memiliki karakteristik khusus karena fokus utama Eropa adalah rempah-rempah eksotis. Di Maluku (Ternate dan Tidore), interaksi asing mencapai tingkat intensitas dan konflik yang ekstrem.
Kepulauan Maluku adalah satu-satunya sumber cengkeh dan pala di dunia. Ini menjadikannya target utama Portugis dan VOC. Interaksi di sini sebagian besar didominasi oleh upaya asing untuk memonopoli, yang menyebabkan penguasa lokal harus secara terus-menerus memilih antara dua kekuatan Eropa yang saling bersaing (Awalnya Portugis vs Spanyol, kemudian Belanda vs Inggris/Portugis).
Interaksi lokal sering kali melibatkan perjanjian yang disepakati di bawah todongan senjata. Meskipun para Sultan Maluku berusaha mempertahankan kedaulatan, kekuatan militer Eropa—terutama kapal dan meriam—memaksa mereka untuk berinteraksi dalam kondisi yang sangat merugikan. Interaksi ini sangat minim dalam pertukaran budaya, tetapi sangat tinggi dalam transfer teknologi perang (senjata api).
Di Sulawesi Selatan, Kesultanan Gowa-Tallo (Makassar) menjadi pelabuhan dagang bebas yang menantang monopoli VOC di Maluku. Makassar secara eksplisit menganut kebijakan pintu terbuka, menyambut pedagang dari Inggris, Denmark, Tiongkok, dan berbagai kesultanan Melayu yang menghindari Batavia. Interaksi di Makassar bersifat Multilateral.
Interaksi ini menunjukkan perlawanan cerdas. Dengan menyambut berbagai bangsa asing, Makassar memastikan bahwa tidak ada satu pun kekuatan yang dapat mendominasi harga atau politik internal mereka. Namun, strategi ini pada akhirnya memicu kemarahan VOC, yang melihat Makassar sebagai penghalang utama bagi monopoli mereka, yang berujung pada perang besar. Setelah kejatuhan Makassar, banyak pedagang Bugis dan Makassar menyebar ke seluruh kepulauan, membawa serta tradisi maritim dan kemampuan interaksi dagang mereka ke tempat baru, seperti Semenanjung Melayu dan Borneo.
Interaksi dengan bangsa asing di masa lalu adalah mesin penggerak sejarah Nusantara. Interaksi ini dimulai dari pertukaran ekonomi yang setara dengan India dan Tiongkok, berkembang menjadi hubungan diplomatik dan spiritual yang membentuk kerajaan-kerajaan klasik, dan mencapai klimaksnya dalam konflik yang berakar pada nafsu monopoli Eropa.
Pada setiap fase, masyarakat lokal menunjukkan kemampuan luar biasa untuk beradaptasi, menyerap, dan memfilter elemen-elemen asing—entah itu konsep politik Dewa Raja, dogma keagamaan, sistem hukum pelabuhan, hingga teknologi senjata api. Hasilnya adalah peradaban yang sangat kosmopolitan, di mana identitas lokal tidak pernah sepenuhnya terhapus, tetapi terus diperkaya oleh arus global yang tak pernah berhenti melintasi lautan rempah.
Kajian mendalam ini menegaskan bahwa kepulauan ini tidak pernah terisolasi. Selalu menjadi simpul aktif dalam jaringan global, berinteraksi dengan dunia melalui berbagai cara: memberikan tribut, membangun aliansi pernikahan, memfasilitasi ziarah, berjuang dalam pertempuran maritim, dan pada akhirnya, menentukan nasibnya sendiri dalam menghadapi gelombang demi gelombang kedatangan bangsa asing. Warisan interaksi ini tetap hidup dalam bahasa, arsitektur, dan struktur sosial yang diwariskan hingga saat ini.
Salah satu aspek kunci dalam mengelola interaksi asing, terutama setelah masuknya Eropa, adalah pembentukan struktur perantara. Kekuatan lokal, dan kemudian VOC, menyadari bahwa mengelola ribuan pedagang Tiongkok, India, dan Arab secara individual adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu, mereka menciptakan sistem Kapitan atau pemimpin komunitas yang diakui secara resmi.
Komunitas Tiongkok adalah komunitas asing non-Eropa yang paling terorganisir dan memiliki peran ekonomi paling vital (pemungut pajak, pemilik pegadaian, pedagang opium) di bawah VOC. VOC menunjuk seorang Kapitan Cina yang bertindak sebagai perpanjangan tangan administrasi kolonial kepada komunitasnya. Kapitan bertanggung jawab atas ketertiban, pengumpulan pajak, dan bertindak sebagai hakim dalam sengketa sipil internal Tiongkok.
Interaksi antara Kapitan dengan kekuasaan asing (VOC) adalah contoh negosiasi kekuasaan yang rumit. Kapitan memperoleh legitimasi internal karena diakui oleh kekuatan super, tetapi juga harus menyeimbangkan tuntutan komunitasnya dengan kebijakan VOC yang seringkali represif. Keberhasilan sistem Kapitan menunjukkan bahwa interaksi tidak selalu langsung antara penguasa dan rakyat asing, tetapi dimediasi oleh elite komunitas yang memiliki otoritas tradisional maupun otoritas yang diberikan oleh kekuatan asing. Struktur ini mencerminkan pemisahan masyarakat berdasarkan etnis, sebuah kebijakan yang diperkuat oleh Belanda namun sudah memiliki preseden informal dalam pemukiman pelabuhan masa Hindu-Buddha dan Kesultanan.
Sebelum kedatangan Eropa, Syahbandar adalah pejabat kunci dalam interaksi asing. Syahbandar, yang sering kali berasal dari garis keturunan pedagang asing yang telah berasimilasi (seperti Gujarat atau Persia), memiliki keahlian linguistik dan pemahaman mendalam tentang praktik dagang internasional, mulai dari timbangan Persia hingga mata uang Tiongkok.
Tanggung jawab Syahbandar melampaui sekadar penarikan pajak. Mereka mengatur alokasi dermaga, memastikan keamanan gudang, menjadi juru damai dalam perselisihan antar pedagang, dan yang paling penting, menjadi penerjemah dan penasihat Raja/Sultan mengenai politik global. Keberadaan Syahbandar yang multilingual dan multikultural membuktikan betapa sentralnya Nusantara sebagai poros perdagangan global, di mana penguasa lokal harus memiliki aparatur negara yang mampu berinteraksi dengan puluhan budaya dan bahasa berbeda secara bersamaan.
Interaksi dengan bangsa asing di masa lalu tidak hanya berupa kedatangan dan penerimaan, tetapi juga melibatkan transfer pengetahuan dari Nusantara ke dunia luar.
Jauh sebelum botani Eropa mengklasifikasikan spesies, pengetahuan lokal tentang rempah, obat-obatan herbal, dan hasil hutan telah diserap oleh pedagang Arab, India, dan Tiongkok. Para naturalis Eropa, seperti Rumphius di Ambon, mendasarkan sebagian besar penelitiannya pada pengetahuan yang diwariskan secara lisan oleh masyarakat lokal atau pedagang perantara. Pengetahuan tentang Jamu, teknik budidaya, dan navigasi (seperti pelayaran berdasarkan bintang dan musim angin) adalah ilmu lokal yang ditransfer ke luar.
Kapal-kapal Nusantara (seperti jong Jawa atau perahu-perahu Bugis) dikenal karena kekuatan dan kemampuan berlayar mereka di perairan tropis yang sulit. Meskipun Eropa membawa kapal layar besar (Galeon dan Karavel), desain perahu lokal seringkali lebih cocok untuk navigasi pantai dan perairan dangkal. Teknik pembangunan kapal, penggunaan bahan baku tropis, dan sistem layar lokal juga diserap dan diadaptasi oleh beberapa bangsa asing, terutama dalam pembangunan kapal-kapal kecil di Asia Tenggara.
Interaksi dengan bangsa Eropa, meskipun destruktif secara politik, juga memicu upaya konservasi naskah dan bahasa. Filolog Eropa (seperti dari Belanda dan Inggris) mulai mendokumentasikan manuskrip kuno (terutama di Jawa, Bali, dan Melayu). Meskipun motivasi awalnya seringkali untuk tujuan administrasi atau intelijen kolonial, proses ini secara tidak sengaja melestarikan khazanah literatur yang berisi catatan interaksi asing dari sudut pandang lokal, termasuk kronik-kronik raja, undang-undang, dan puisi.
Interaksi masif dengan bangsa asing juga menciptakan fenomena diaspora internal dan pembentukan identitas hibrida yang unik.
Berbeda dengan pedagang Muslim dari Gujarat yang fokus pada komoditas, komunitas Arab Hadramaut (Yaman Selatan) yang datang ke Nusantara sejak abad ke-18 (meskipun akarnya lebih tua) fokus pada penyebaran jaringan Islam yang terstruktur dan hierarkis. Mereka mendirikan permukiman kuat di Palembang, Batavia, dan Surabaya. Interaksi mereka dengan masyarakat lokal seringkali bersifat religio-genealogis, menekankan garis keturunan Nabi. Interaksi ini sangat transformatif bagi pendidikan agama Islam, memperkenalkan madrasah dan sistem pengajian yang lebih formal, yang berbeda dari sistem pesantren tradisional di Jawa.
Interaksi Tiongkok menghasilkan identitas Peranakan (Tionghoa yang lahir di kepulauan) yang menunjukkan tingkat akulturasi tertinggi. Mereka mengadopsi bahasa Melayu/lokal, mengenakan pakaian lokal (seperti sarung dan kebaya), dan mengintegrasikan kuliner lokal, sambil mempertahankan beberapa tradisi spiritual Tiongkok. Interaksi ini adalah bukti bahwa di luar konflik dan dominasi, koeksistensi jangka panjang memimpin pada fusi budaya yang mendalam. Fenomena Peranakan juga membuktikan bahwa interaksi tidak selalu memerlukan dominasi politik; banyak interaksi budaya yang paling kaya terjadi di tingkat sosial dan ekonomi.
Sepanjang sejarahnya, hubungan diplomatik kerajaan Nusantara dengan kekuatan asing didasarkan pada prinsip-prinsip yang berubah sesuai dengan keseimbangan kekuasaan.
Di bawah Majapahit (sekitar abad ke-14), interaksi dengan asing didasarkan pada konsep Mitreka Satata (mitra setara), meskipun Majapahit sendiri memproyeksikan kekuasaan ke wilayah tetangga (Nusantara). Hubungan dengan Tiongkok tetap dijalankan melalui sistem tribut yang terkelola dengan baik. Majapahit memiliki birokrasi yang sangat terperinci dalam mengelola utusan asing. Catatan Negarakertagama menyebutkan utusan-utusan dari berbagai negeri, menunjukkan Majapahit mampu mempertahankan hubungan yang teratur dan formal, memastikan bahwa kehadiran asing berada dalam kerangka yang ditetapkan oleh istana.
Setelah kemunculan Eropa, Kesultanan Aceh Darussalam menjadi model interaksi baru: menggunakan diplomasi asing untuk melawan dominasi Eropa lainnya. Aceh secara aktif mengirim utusan ke Kesultanan Ottoman di Turki, serta menjalin hubungan dengan penguasa Mughal di India, Persia, dan bahkan mencoba aliansi dengan Belanda dan Inggris secara bergantian, untuk mengusir Portugis. Interaksi ini bersifat Reaktif dan Defensif, menggunakan aliansi asing sebagai penyeimbang terhadap ancaman eksternal. Aceh adalah contoh utama bagaimana kedaulatan dipertahankan melalui kecerdasan diplomatik lintas benua.
Secara keseluruhan, interaksi dengan bangsa asing di masa lalu tidak pernah seragam. Interaksi tersebut adalah mosaik dari persahabatan dagang, aliansi politik yang rapuh, pernikahan strategis, peperangan ideologis, dan konflik militer yang pahit. Setiap interaksi meninggalkan jejak, membentuk apa yang kini dikenal sebagai peradaban kepulauan yang kaya dan adaptif.