Globalisasi bukan sekadar fenomena ekonomi atau kemajuan teknologi; ia adalah proses historis multidimensional yang secara fundamental merombak struktur kekuasaan dan cara kerja politik internasional. Dalam tiga dekade terakhir, percepatan interkoneksi di berbagai bidang—mulai dari perdagangan, komunikasi, keuangan, hingga migrasi—telah menciptakan jaringan kompleks yang melampaui batas-batas teritorial. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Bagaimana globalisasi mempengaruhi politik dunia, dan apa dampaknya terhadap konsep kedaulatan negara, sistem keamanan, dan tata kelola global?
Dampak globalisasi terhadap politik adalah paradoks. Di satu sisi, ia mendorong integrasi, standarisasi kebijakan, dan kerjasama antarnegara untuk mengatasi ancaman transnasional. Di sisi lain, ia memicu fragmentasi, munculnya gerakan populis yang menolak intervensi luar, dan ketidaksetaraan yang memperdalam konflik internal. Untuk memahami lanskap politik global saat ini, diperlukan analisis mendalam mengenai erosi otoritas negara, bangkitnya aktor non-negara, dan restrukturisasi geopolitik yang terjadi akibat arus global yang tak terhindarkan.
1. Erosi Konsep Kedaulatan Negara dalam Era Interdependensi
Konsep kedaulatan Westphalia, yang mendasari sistem politik modern sejak abad ke-17, berasumsi bahwa negara memiliki otoritas tertinggi dan tak terbatas di dalam batas-batas teritorialnya. Globalisasi telah menantang fondasi asumsi ini. Kedaulatan kini menjadi konsep yang permeable dan terdistribusi, bukan lagi absolut dan terpusat.
1.1. Determinasi Ekonomi dan Batasan Kebijakan Fiskal
Globalisasi finansial, ditandai dengan pergerakan modal yang sangat cepat (modal ‘panas’), membatasi kemampuan pemerintah untuk menjalankan kebijakan ekonomi domestik secara independen. Jika suatu negara mencoba menerapkan regulasi yang terlalu ketat atau pajak yang tinggi, modal dapat dengan mudah berpindah ke yurisdiksi lain. Fenomena ini menciptakan ‘perlombaan ke bawah’ (race to the bottom), di mana negara-negara terpaksa melonggarkan standar lingkungan, hak buruh, dan pajak korporasi untuk menarik investasi asing langsung (FDI).
Institusi keuangan global, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, seringkali mensyaratkan reformasi struktural yang ketat (seperti privatisasi, deregulasi, dan pemotongan subsidi) sebagai imbalan atas bantuan keuangan. Meskipun bertujuan untuk stabilitas, persyaratan ini secara efektif mengurangi ruang gerak kebijakan pemerintah yang berdaulat dalam menentukan prioritas domestiknya. Otoritas atas mata uang, yang dulunya merupakan simbol utama kedaulatan, juga terkikis oleh dominasi mata uang cadangan global dan pasar derivatif yang sangat besar.
Di wilayah Uni Eropa, misalnya, negara-negara anggota menyerahkan kedaulatan moneter mereka kepada Bank Sentral Eropa (ECB), dan kebijakan fiskal mereka tunduk pada Pakta Stabilitas dan Pertumbuhan. Meskipun ini adalah penyerahan kedaulatan yang disengaja, hal tersebut menunjukkan bahwa kedaulatan penuh hanya dapat dipertahankan melalui isolasi total, sebuah pilihan yang tidak realistis bagi sebagian besar ekonomi modern yang terintegrasi. Analisis ini membawa kita pada kesimpulan bahwa kedaulatan menjadi ‘dipertukarkan’ (fungible), dikorbankan demi partisipasi dalam sistem perdagangan dan keuangan global.
1.2. Peningkatan Peran Hukum Transnasional dan Internasional
Perjanjian perdagangan bebas multilateral dan bilateral (seperti WTO, NAFTA/USMCA) mengandung mekanisme penyelesaian sengketa (seperti ISDS - Investor-State Dispute Settlement) yang memungkinkan perusahaan multinasional menuntut pemerintah jika kebijakan baru dianggap merugikan investasi mereka. Dalam banyak kasus, pengadilan arbitrase internasional dapat membatalkan atau memaksa negara membayar kompensasi atas undang-undang yang disahkan secara demokratis, mulai dari kebijakan kesehatan masyarakat hingga regulasi lingkungan. Hal ini adalah intervensi langsung dalam proses legislatif domestik, menggeser loyalitas hukum dari konstituen nasional ke sistem komersial global.
Selain itu, isu-isu seperti hak asasi manusia, kejahatan perang, dan genosida telah diangkat ke tingkat yurisdiksi internasional (misalnya, Mahkamah Pidana Internasional/ICC). Meskipun penting untuk keadilan global, yurisdiksi ini menandakan penerimaan prinsip bahwa ada batas-batas universal yang harus dihormati oleh negara, bahkan jika itu berarti mengesampingkan kekebalan kepala negara yang berdaulat. Ini menunjukkan pergeseran dari kedaulatan yang mutlak (absolut) menuju kedaulatan yang bertanggung jawab (responsible sovereignty).
Ilustrasi jaringan interkoneksi global yang melampaui batas, menggambarkan kompleksitas hubungan ekonomi dan politik.
2. Transformasi Struktur Kekuatan: Dominasi Aktor Non-Negara
Jika politik dunia abad ke-20 didominasi oleh interaksi antarnegara (state-centric), maka abad ke-21 ditandai oleh pluralitas aktor. Globalisasi telah menyediakan infrastruktur (digital, finansial, logistik) bagi aktor non-negara untuk beroperasi secara efektif di arena internasional, menantang monopoli negara atas kekuasaan dan pengaruh.
2.1. Korporasi Multinasional (MNCs) sebagai Entitas Geopolitik
MNCs saat ini memiliki PDB yang lebih besar daripada banyak negara berdaulat. Mereka mengontrol rantai pasokan global, menetapkan standar teknologi, dan memindahkan kekayaan melintasi batas negara dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekuatan politik mereka diwujudkan melalui:
- Kekuatan Lobi: MNCs secara aktif mempengaruhi perumusan kebijakan domestik dan internasional, seringkali memastikan bahwa regulasi yang berpotensi merugikan (misalnya, mengenai emisi karbon atau pajak keuntungan) tidak pernah disahkan.
- Pengendalian Infrastruktur Kritis: Raksasa teknologi (seperti Google, Amazon, Meta) mengontrol infrastruktur komunikasi dan data yang vital. Keputusan mereka mengenai moderasi konten atau akses data memiliki dampak politik yang luas, bahkan dapat menentukan hasil pemilihan umum atau memicu pergolakan sosial. Ini adalah bentuk kedaulatan baru yang bersifat ekstra-teritorial.
- Arbitrase Regulasi: MNCs memanfaatkan perbedaan regulasi antarnegara untuk mengoptimalkan keuntungan. Mereka dapat mengancam untuk menarik investasi atau memindahkan operasi mereka, memaksa negara tuan rumah untuk mengakomodasi tuntutan mereka. Ini mengubah negara dari penguasa menjadi pihak yang bersaing untuk mendapatkan perkenan korporasi.
Misalnya, keputusan perusahaan teknologi besar untuk menarik layanan dari suatu negara karena alasan regulasi dapat menyebabkan kerugian ekonomi dan gangguan sosial yang signifikan, memberikan MNCs alat tawar-menawar yang setara atau bahkan melampaui kemampuan tawar-menawar diplomatik negara menengah.
2.2. Organisasi Non-Pemerintah (NGOs) dan Masyarakat Sipil Global
Globalisasi telah memfasilitasi koordinasi dan jangkauan NGOs, menciptakan ‘masyarakat sipil global’ yang bertindak sebagai pengawas (watchdog) pemerintah. Organisasi seperti Amnesty International, Human Rights Watch, atau Greenpeace menggunakan jaringan global, media sosial, dan hukum internasional untuk menekan negara agar mematuhi norma-norma tertentu.
NGOs sering berperan sebagai ‘pembuat norma’ dalam isu-isu yang tidak dapat ditangani oleh mekanisme negara, seperti perlindungan lingkungan atau hak minoritas. Mereka mendirikan koalisi transnasional dengan aktivis lokal, peneliti, dan birokrat internasional. Kekuatan mereka terletak pada legitimasi moral dan kemampuan untuk memobilisasi opini publik global, memaksa negara yang sensitif terhadap reputasi untuk mengubah perilakunya (kekuatan ‘shaming’ dan ‘naming’).
2.3. Jaringan Kejahatan Transnasional dan Terorisme
Sisi gelap globalisasi adalah kemudahan yang sama dalam memfasilitasi pergerakan ilegal. Jaringan teroris (seperti Al-Qaeda atau ISIS), sindikat narkoba, perdagangan manusia, dan kejahatan siber beroperasi tanpa batas, memanfaatkan sistem perbankan global, enkripsi data, dan transportasi internasional. Negara-bangsa, dengan fokus keamanan teritorialnya yang tradisional, seringkali kesulitan melawan ancaman yang bersifat tanpa wajah dan tanpa batas.
Perjuangan melawan ancaman ini memerlukan kerjasama internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang ironisnya, sering kali memerlukan penyerahan sebagian informasi dan kedaulatan pengawasan kepada badan-badan internasional. Globalisasi memaksa negara untuk memilih antara kedaulatan penuh dan keamanan efektif. Dalam banyak kasus, keamanan telah menjadi prioritas, memicu ekspansi aparatus intelijen dan pengawasan lintas batas.
3. Interdependensi Ekonomi dan Pergeseran Kekuatan Geopolitik
Globalisasi tidak hanya mengubah cara negara beroperasi, tetapi juga mengubah peta kekuatan dunia. Integrasi ekonomi telah menciptakan interdependensi yang mendalam, menjadikan konflik konvensional terlalu mahal, tetapi juga menciptakan bentuk-bentuk konflik baru yang berfokus pada kontrol atas arus (flow) teknologi dan data.
3.1. Interdependensi sebagai Senjata dan Daya Tawar
Teori Liberalisme berpendapat bahwa interdependensi ekonomi mengurangi kemungkinan perang karena biaya pemutusan hubungan (decoupling) terlalu tinggi. Namun, globalisasi telah menunjukkan bahwa interdependensi dapat digunakan sebagai alat politik atau bahkan senjata (weaponization of interdependence).
Contoh paling jelas adalah kontrol atas rantai pasokan kritis (critical supply chains). Negara-negara yang mendominasi produksi semikonduktor, obat-obatan, atau energi dapat menggunakan kendali ini untuk memaksakan kebijakan luar negeri mereka. Sanksi ekonomi, yang kini jauh lebih mudah diterapkan dan dipantau melalui sistem keuangan global (misalnya, SWIFT), telah menjadi alat politik luar negeri yang lebih umum daripada intervensi militer. Negara-negara kecil yang sangat bergantung pada ekspor komoditas tunggal menjadi sangat rentan terhadap keputusan politik pasar global yang tidak mereka kontrol.
3.2. Kebangkitan Ekonomi Global dan Tantangan Terhadap Hegemoni Barat
Salah satu dampak politik paling signifikan dari globalisasi adalah akselerasi kebangkitan negara-negara di Asia Timur dan Selatan. Transfer teknologi, modal, dan kemampuan manufaktur telah menggeser pusat gravitasi ekonomi dunia dari Atlantik Utara ke Pasifik. Secara politik, ini menantang tatanan liberal yang didirikan oleh Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II.
Munculnya blok-blok regional baru dan institusi multilateral non-Barat (seperti BRICS atau AIIB) menandakan keinginan untuk menata kembali tata kelola global yang dianggap terlalu didominasi oleh Washington dan sekutunya. Globalisasi menyediakan landasan ekonomi bagi kekuatan baru ini untuk memproyeksikan kekuatan politik mereka, menuntut revisi terhadap kuota di IMF, keanggotaan permanen di Dewan Keamanan PBB, dan peran yang lebih besar dalam penentuan norma-norma internasional.
3.3. Politik Perdagangan dan Proteksionisme Baru
Meskipun globalisasi didorong oleh semangat liberalisasi perdagangan, respons politik domestik terhadap dampak negatifnya (seperti deindustrialisasi di negara maju dan peningkatan ketidaksetaraan) telah memicu gelombang proteksionisme dan nasionalisme ekonomi. Gerakan populis, yang menargetkan globalisasi sebagai biang keladi kesulitan ekonomi rakyat, berjanji untuk "mengambil kembali kontrol" dari pasar global dan lembaga internasional.
Perang dagang, tarif protektif, dan kebijakan ‘America First’ atau ‘Indonesia First’ adalah manifestasi dari penolakan politik terhadap aspek-aspek globalisasi. Politik dunia kini ditandai oleh tarik-menarik antara kekuatan pasar yang mendorong integrasi dan kekuatan politik domestik yang menuntut re-nasionalisasi ekonomi. Ini menciptakan ketidakpastian yang signifikan dalam hubungan internasional, karena komitmen multilateral menjadi lebih rapuh.
4. Tantangan Tata Kelola Global dan Politik Informasi
Globalisasi menciptakan masalah-masalah yang sifatnya global—perubahan iklim, pandemi, stabilitas keuangan—namun mekanisme politik yang tersedia untuk mengaturnya masih didasarkan pada sistem negara-bangsa yang terfragmentasi. Kesenjangan tata kelola (governance gap) ini menjadi sumber konflik politik dan inefisiensi.
4.1. Kesenjangan Tata Kelola dan Kebutuhan Institusi Baru
Masalah transnasional membutuhkan solusi transnasional. Misalnya, polusi karbon yang diproduksi di satu negara mempengaruhi seluruh dunia, namun tidak ada otoritas global tunggal yang dapat memaksakan ketaatan. Perjanjian seperti Persetujuan Paris bergantung pada komitmen sukarela, yang menunjukkan batasan kedaulatan dalam menghadapi ancaman eksistensial.
Politik global dipenuhi oleh upaya untuk mengisi kesenjangan ini melalui rezim internasional (seperti rezim non-proliferasi nuklir, rezim kesehatan global) yang memerlukan negosiasi yang rumit dan sering kali mandek karena perbedaan kepentingan nasional. Hasilnya adalah ‘multilateralisme yang macet’, di mana institusi yang ada tidak memiliki kekuatan untuk mengimbangi laju perubahan global.
4.2. Globalisasi Digital dan Kontrol Informasi
Internet dan media sosial adalah sarana utama globalisasi. Mereka memungkinkan gerakan protes (seperti Arab Spring) dan memfasilitasi komunikasi antar budaya. Namun, platform digital juga menjadi medan perang politik yang baru.
- Ancaman Disinformasi: Kampanye disinformasi lintas batas yang didukung negara (state-sponsored disinformation) dapat mengganggu proses demokrasi di negara lain. Intervensi asing dalam pemilihan umum melalui manipulasi media sosial telah menjadi norma baru, mengikis kepercayaan publik terhadap institusi domestik.
- Digital Authoritarianism: Negara-negara otoriter menggunakan teknologi global—AI, pengawasan digital, dan firewall canggih—untuk memperkuat kontrol domestik mereka. Mereka mengekspor model pengawasan ini ke negara lain, menciptakan blok politik-digital yang menentang prinsip kebebasan internet. Ini menunjukkan bahwa globalisasi teknologi dapat digunakan untuk menghambat, bukan hanya memajukan, demokrasi.
Isu mengenai siapa yang mengontrol dan meregulasi ruang siber—apakah pemerintah, korporasi teknologi, atau konsorsium multi-stakeholder—telah menjadi salah satu perdebatan politik paling sengit di dunia saat ini, secara fundamental mendefinisikan batas-batas kedaulatan informasi.
4.3. Krisis Demokrasi dan Populisme Global
Globalisasi, dengan janji kemakmuran yang terbukti tidak merata, telah berkontribusi pada ketidakpuasan mendalam di kalangan pekerja yang merasa ditinggalkan oleh elit global. Krisis ekonomi yang cepat menyebar (misalnya krisis keuangan global) memperburuk persepsi bahwa pemerintah nasional tidak lagi mampu melindungi warganya dari kekuatan luar. Respons politik terhadap hal ini adalah gelombang populisme, baik di negara maju maupun berkembang.
Gerakan populis ini cenderung menolak kerjasama internasional, memprioritaskan identitas nasional yang sempit, dan sering kali bersikap anti-imigran, melihat globalisasi (dan imigran) sebagai ancaman terhadap kohesi sosial. Populisme merupakan reaksi politik terhadap erosi kedaulatan yang ditimbulkan oleh globalisasi, yang pada gilirannya memperlambat dan mempersulit upaya kerjasama global.
Kedaulatan negara (perisai) yang berada di bawah tekanan dan terfragmentasi oleh kekuatan finansial, digital, dan ancaman transnasional.
5. Politik Keamanan dalam Lingkungan Transnasional
Globalisasi telah mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan ‘ancaman keamanan’. Fokus tidak lagi hanya pada invasi militer antarnegara, tetapi juga pada ancaman non-tradisional yang melintasi batas-batas geografis dan memengaruhi kelangsungan hidup populasi global. Ancaman ini menuntut respons politik dan militer yang terkoordinasi secara global.
5.1. Keamanan Kesehatan dan Pandemi Global
Penyebaran penyakit menular yang cepat adalah konsekuensi langsung dari mobilitas manusia dan integrasi rantai pasokan. Politik pandemi global menunjukkan secara jelas betapa kedaulatan nasional harus tunduk pada imperatif kesehatan global.
- Diplomasi Vaksin: Selama pandemi global, politik dunia didominasi oleh diplomasi vaksin, di mana negara-negara besar menggunakan akses terhadap pasokan medis sebagai alat pengaruh geopolitik. Ini memicu perdebatan sengit tentang etika dan keadilan global, serta peran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
- Kewajiban Pelaporan: Untuk menanggapi ancaman pandemi, negara-negara dipaksa untuk berbagi data kesehatan dan menerapkan protokol karantina yang ketat, yang sering kali melanggar kebebasan sipil domestik. Ini adalah contoh di mana ancaman non-militer memaksa negara untuk bertindak secara kolektif di luar batas-batas tradisional kedaulatan.
Kegagalan dalam tata kelola kesehatan global, di mana negara-negara menimbun sumber daya (nasionalisme vaksin), menunjukkan bahwa meskipun globalisasi menciptakan kebutuhan untuk kerjasama, kepentingan nasional sering kali masih menjadi penentu akhir perilaku politik.
5.2. Geopolitik Lingkungan dan Krisis Iklim
Perubahan iklim adalah ancaman keamanan transnasional yang paling luas jangkauannya. Dampak politiknya meliputi: migrasi iklim yang masif, konflik atas sumber daya air dan lahan yang langka, serta keruntuhan negara yang diperparah oleh bencana alam.
Kebijakan iklim menjadi politik dunia yang utama. Negara-negara berkembang menuntut keadilan iklim, berargumen bahwa negara maju memiliki tanggung jawab historis yang lebih besar untuk membiayai mitigasi dan adaptasi. Negosiasi iklim global (seperti COP) merupakan arena politik yang kompleks, mencerminkan ketegangan antara kewajiban global dan tuntutan kedaulatan ekonomi domestik untuk terus tumbuh dan berkembang. Negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim sering kali memiliki pengaruh politik paling kecil, menciptakan ketidakseimbangan struktural dalam pengambilan keputusan global.
5.3. Konflik Siber dan Perang Proksi Digital
Ruang siber, produk inti globalisasi, telah menjadi domain konflik kelima (selain darat, laut, udara, dan luar angkasa). Serangan siber yang disponsori negara terhadap infrastruktur kritis (listrik, keuangan, komunikasi) merupakan bentuk peperangan asimetris yang memungkinkan aktor kecil menargetkan negara besar tanpa pengerahan pasukan konvensional.
Hal ini menimbulkan masalah politik yang sulit: bagaimana merespons serangan siber? Apakah serangan yang menghancurkan infrastruktur digital dianggap sebagai tindakan perang yang membenarkan tanggapan militer konvensional? Karena atribusi serangan siber seringkali sulit dan kabur (seperti serangan proksi), politik keamanan global kini terperangkap dalam zona abu-abu, menuntut pengembangan norma-norma siber yang belum sepenuhnya disepakati.
6. Konflik Identitas, Homogenisasi, dan Politik Budaya Global
Globalisasi bukan hanya tentang pergerakan barang dan uang, tetapi juga gagasan, nilai, dan budaya. Perjumpaan budaya yang intensif ini memiliki implikasi politik yang mendalam, sering kali memicu respons yang bersifat protektif dan reaksioner di tingkat domestik.
6.1. Pertarungan antara Homogenisasi dan Fragmentasi
Benjamin Barber mendeskripsikan ketegangan ini sebagai "Jihad vs. McWorld." 'McWorld' melambangkan homogenisasi global yang didorong oleh konsumsi, pop culture Barat, dan kapitalisme. Hal ini menciptakan budaya global yang seragam, tetapi secara politik berisiko menghilangkan identitas lokal dan nilai-nilai tradisional.
Reaksi terhadap 'McWorld' adalah 'Jihad' (dalam konteks ini, merujuk pada segala bentuk perlawanan fundamentalis atau partikularistik). Gerakan politik ini bertujuan untuk menegaskan kembali identitas lokal, agama, atau etnis yang unik sebagai respons terhadap ancaman asimilasi budaya global. Secara politik, ini termanifestasi dalam penguatan partai-partai berbasis agama, gerakan nativis, dan kebijakan yang bertujuan melindungi bahasa atau tradisi nasional (misalnya, melalui kuota konten media).
Dampak politiknya adalah peningkatan konflik identitas, di mana politik luar negeri tidak lagi hanya dipandu oleh kepentingan material (ekonomi/militer) tetapi juga oleh nilai-nilai. Negara-negara menjadi lebih sensitif terhadap kritik internasional yang menyentuh masalah budaya atau agama, membuat diplomasi menjadi lebih rumit dan rentan terhadap misinterpretasi.
6.2. Politik Migrasi dan Multikulturalisme
Mobilitas global yang ditingkatkan oleh globalisasi (baik karena faktor ekonomi, konflik, atau iklim) telah mengubah demografi banyak negara, terutama di Barat. Secara politik, migrasi memicu perdebatan sengit mengenai batas-batas penerimaan, asimilasi, dan biaya sosial.
Politik migrasi sering kali menjadi titik fokus bagi populisme dan nasionalisme. Partai-partai sayap kanan menggunakan ketakutan akan erosi identitas nasional dan tekanan terhadap layanan publik untuk mendapatkan dukungan. Kebijakan perbatasan, meskipun merupakan simbol kedaulatan inti, kini menjadi sumber ketegangan internasional, memaksa negara-negara untuk bernegosiasi atau berkonflik mengenai tanggung jawab bersama dalam mengelola arus pengungsi dan migran ekonomi.
Pada akhirnya, globalisasi memaksa setiap negara untuk bernegosiasi ulang identitas politiknya di tengah arus budaya dan manusia yang terus bergerak. Apakah suatu negara dapat mempertahankan kedaulatannya atas batas budaya dan informasi, sama pentingnya dengan mempertahankan batas teritorial.
7. Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Global yang Terfragmentasi
Globalisasi telah mengantarkan politik dunia ke dalam era yang ditandai oleh kompleksitas, interdependensi yang rapuh, dan otoritas yang tersebar. Dampak utamanya adalah pergeseran dari sistem yang sepenuhnya didominasi oleh negara-bangsa menuju sistem multi-aktor, di mana kedaulatan negara bukanlah akhir dari permainan politik, melainkan salah satu variabel yang dinegosiasikan.
Dampak utama globalisasi terhadap politik dunia dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Redistribusi Kekuasaan: Kekuasaan menyebar secara vertikal (ke institusi supranasional dan sub-nasional) dan horizontal (ke MNCs, NGOs, dan jaringan kriminal). Negara kini harus berbagi panggung politik dengan aktor lain, terutama di bidang finansial dan teknologi.
- Definisi Ulang Keamanan: Ancaman keamanan telah bergeser dari konflik antarnegara menjadi ancaman transnasional non-militer (pandemi, siber, iklim). Hal ini memaksa negara untuk memilih multilateralisme demi kepentingan keamanan domestik.
- Polarisasi Politik Domestik: Ketidaksetaraan yang dihasilkan oleh globalisasi memicu reaksi populis dan nasionalis, yang pada gilirannya menghambat kemampuan sistem internasional untuk beradaptasi terhadap tantangan global.
Politik dunia di masa depan akan didominasi oleh ketegangan antara kekuatan yang mendorong integrasi global (teknologi, pasar) dan kekuatan politik yang menuntut kedaulatan kembali (nasionalisme, populisme). Negara yang berhasil adalah mereka yang mampu memanfaatkan manfaat globalisasi sambil memitigasi risiko domestiknya, menemukan keseimbangan antara otonomi nasional dan kewajiban internasional. Kegagalan untuk menyeimbangkan tuntutan ini berpotensi menyebabkan fragmentasi lebih lanjut, menciptakan dunia yang lebih kaya namun juga lebih tidak stabil secara politik.