Bagaimana Cara Menjalankan Amal Perbuatan Sesuai Akidah Islam

Amal perbuatan (amal) dalam Islam tidak hanya diukur dari kuantitasnya, tetapi yang paling utama adalah kualitasnya, yang sepenuhnya bergantung pada kesesuaiannya dengan fondasi keyakinan (akidah). Akidah adalah pilar utama yang menentukan apakah suatu perbuatan bernilai ibadah di sisi Allah SWT atau tidak. Tanpa akidah yang benar, bahkan perbuatan baik sekalipun bisa menjadi sia-sia di hari perhitungan.

Artikel ini akan mengupas tuntas mekanisme teologis dan panduan praktis untuk memastikan setiap langkah, ucapan, dan tindakan kita terbingkai dalam koridor akidah Islam yang murni, sehingga mencapai status Amal Saleh (Amal yang diterima).

I. Fondasi Akidah sebagai Syarat Utama Penerimaan Amal

Akidah adalah keimanan yang kokoh, tidak tergoyahkan oleh keraguan, yang tertanam di dalam hati, meliputi keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan takdir baik maupun buruk. Amal yang sah harus didasarkan pada tiga fondasi akidah utama:

1. Tauhidullah (Mengesakan Allah)

Tauhid adalah inti dari seluruh ajaran Islam dan merupakan syarat mutlak sahnya amal. Jika tauhid rusak oleh syirik (menyekutukan Allah), maka seluruh amal perbuatan pelakunya akan gugur dan tidak bernilai.

A. Tauhid Rububiyah dan Amal

Keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Penguasa, dan Pemberi rezeki. Ketika seorang Muslim beramal, ia harus meyakini bahwa segala daya dan upaya yang ia miliki adalah pemberian dari Allah semata. Keyakinan ini menghilangkan kesombongan dan perasaan berjasa pada diri sendiri.

B. Tauhid Uluhiyah dan Amal

Ini adalah aspek paling krusial yang berhubungan langsung dengan amal ibadah. Tauhid Uluhiyah berarti hanya Allah SWT saja yang berhak disembah. Amal perbuatan kita, dari salat, puasa, hingga sedekah, harus ditujukan murni hanya kepada-Nya. Menyertakan niat karena pujian manusia, ketakutan kepada makhluk, atau mencari keuntungan duniawi semata adalah bentuk syirik kecil (riya) yang dapat merusak kualitas amal, atau bahkan membatalkannya jika niat itu dominan.

C. Tauhid Asma wa Sifat dan Amal

Meyakini nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa tahrif (mengubah), ta’thil (meniadakan), takyif (mengkhayalkan bentuk), atau tamtsil (menyerupakan). Pemahaman yang benar tentang sifat Allah seperti Al-Ghafur (Maha Pengampun) mendorong kita untuk bertaubat, sementara pemahaman Al-Basith (Maha Melapangkan) mendorong kita untuk bertawakkal (berserah diri) dalam beramal.

2. Membenarkan Risalah (Nubuwwah)

Setelah tauhid, syarat kedua adalah membenarkan dan mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad SAW. Seluruh amal ibadah dan perbuatan muamalah (interaksi sosial) harus sesuai dengan petunjuk yang beliau bawa. Allah SWT telah menetapkan Rasulullah sebagai teladan (uswah hasanah). Oleh karena itu, jika suatu amal dilakukan dengan tata cara yang tidak pernah diajarkan atau dicontohkan oleh Rasulullah (Bid’ah), maka amal tersebut tertolak, meskipun niatnya baik. Akidah menuntut ketaatan total pada Sunnah.

3. Keyakinan Terhadap Hari Pembalasan (Ma'ad)

Akidah akan adanya Hari Akhir, Surga, Neraka, dan timbangan amal adalah motivasi tertinggi dalam beramal. Orang yang beramal dengan sungguh-sungguh adalah mereka yang meyakini bahwa segala perbuatannya akan dibalas setimpal. Keyakinan ini memberikan bobot spiritual yang besar pada amal, mengubah tindakan sederhana menjadi investasi abadi di akhirat.

Ilustrasi Fondasi Akidah dan Amal Tauhid (Akidah Fondasi) Ikhlas (Niat) Ittiba' (Sunnah) Amal Saleh Diagram yang menunjukkan bahwa Amal Saleh (lingkaran atas) hanya berdiri tegak jika didukung oleh Ikhlas dan Ittiba' (dua pilar), yang semuanya berdiri di atas fondasi Tauhid.

Visualisasi Kerangka Amal Saleh: Niat dan Cara yang Benar, Berpijak pada Akidah Tauhid.

II. Dua Pilar Utama Penerimaan Amal (Syarat Diterimanya Amal)

Setelah fondasi akidah telah kokoh, setiap perbuatan harus memenuhi dua syarat utama agar sah dan diterima di sisi Allah SWT. Kedua syarat ini merupakan terjemahan praktis dari akidah Tauhid dan Nubuwwah.

1. Syarat Pertama: Ikhlas (Pemurnian Niat)

Ikhlas adalah memurnikan niat beramal semata-mata karena mengharapkan Wajah Allah dan pahala dari-Nya. Ini adalah manifestasi praktis dari Tauhid Uluhiyah.

A. Hakikat Ikhlas

Secara bahasa, ikhlas berarti membersihkan. Dalam konteks syariat, ikhlas berarti membersihkan perbuatan dari segala kotoran syirik, baik yang besar maupun yang kecil (Riya). Ulama mendefinisikan ikhlas sebagai tujuan utama amal: Allah semata. Perbuatan yang dilandasi ikhlas akan tetap bernilai, meskipun tidak diketahui oleh siapapun di dunia.

B. Bahaya Riya (Syirik Kecil)

Riya (melakukan amal agar dilihat dan dipuji manusia) adalah virus yang paling berbahaya bagi amal. Rasulullah SAW menyebut riya sebagai syirik kecil. Riya dapat menghapus pahala amal, bahkan bila amal itu sudah selesai dilakukan. Untuk menjaga keikhlasan, seorang Muslim harus senantiasa:

C. Niat Mentransformasi Perbuatan Mubah

Kekuatan niat yang ikhlas bahkan mampu mengubah perbuatan sehari-hari yang mubah (diperbolehkan) menjadi ibadah yang berpahala. Contohnya, makan dengan niat agar memiliki energi untuk beribadah, atau tidur dengan niat agar bisa bangun untuk salat malam, atau bekerja dengan niat mencari nafkah halal untuk keluarga agar terhindar dari maksiat.

2. Syarat Kedua: Mutaba'ah (Mengikuti Sunnah)

Mutaba’ah berarti menyesuaikan perbuatan (baik ibadah maupun muamalah) dengan tuntunan syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Ini adalah manifestasi praktis dari akidah Nubuwwah.

A. Prinsip Ittiba' vs. Bid'ah

Setiap amal ibadah yang bersifat *tawaqqufiyah* (hanya diketahui melalui dalil syariat) harus dilakukan persis seperti yang dicontohkan Rasulullah. Melakukan ibadah dengan cara baru, menambah-nambah, atau mengurangi tata caranya tanpa dasar syar'i disebut *Bid'ah* (inovasi dalam agama), dan Bid'ah adalah amal yang tertolak, sebagaimana sabda Nabi SAW: "Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak."

B. Enam Dimensi Ketaatan (Mutaba’ah)

Kesesuaian amal dengan Sunnah harus mencakup enam aspek berikut:

  1. Sebab (Sabab): Amal harus memiliki sebab syar'i yang benar. (Misalnya, tidak berpuasa sunnah pada hari raya karena itu dilarang, meskipun niatnya puasa).
  2. Jenis (Jins): Ibadah harus sesuai jenisnya (Misalnya, zakat harta harus berupa harta, bukan diganti dengan ibadah puasa).
  3. Kuantitas/Jumlah ('Adad): Jumlah rakaat salat atau tawaf harus sesuai syariat (tidak boleh menambah atau mengurangi).
  4. Tata Cara (Kaifiyah): Urutan dan metode pelaksanaan harus sesuai (Misalnya, rukun dan syarat wudhu).
  5. Waktu (Zaman): Amal harus dilakukan pada waktu yang ditetapkan (Misalnya, haji hanya pada bulan-bulan tertentu, puasa hanya di siang hari).
  6. Tempat (Makan): Amal harus dilakukan di tempat yang ditetapkan (Misalnya, thawaf hanya di sekitar Ka'bah).

Inti dari dua pilar ini adalah: Ikhlas menjawab pertanyaan 'Untuk siapa aku beramal?' (Hanya untuk Allah), sementara Mutaba'ah menjawab pertanyaan 'Bagaimana cara aku beramal?' (Hanya sesuai tuntunan Rasulullah SAW). Tanpa salah satunya, amal tidak akan diterima.

III. Implementasi Akidah dalam Berbagai Jenis Amal Perbuatan

Amal perbuatan mencakup seluruh aspek kehidupan Muslim. Penerapan akidah harus terlihat nyata, baik dalam ibadah ritual maupun interaksi sosial dan hati.

1. Amal Qalbi (Amal Hati)

Amal hati adalah fondasi semua amal fisik. Akidah Islam sangat menekankan bahwa amal hati (keyakinan, niat, ketakutan, harapan) harus murni sebelum amal fisik dimulai.

A. Tawakkal (Berserah Diri)

Tawakkal adalah manifestasi Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah. Tawakkal adalah mempercayakan hasil sepenuhnya kepada Allah setelah melakukan usaha maksimal. Dalam beramal, kita harus berusaha keras (ikhtiar) tetapi tidak boleh menggantungkan hati pada hasil ikhtiar tersebut. Ketakutan akan kegagalan proyek atau kerugian bisnis harus digantikan dengan ketenangan bahwa rezeki telah ditetapkan oleh Allah.

B. Khauf dan Raja' (Takut dan Berharap)

Amal yang sesuai akidah harus diseimbangkan oleh rasa takut akan azab Allah (Khauf) dan harapan besar akan rahmat dan pahala-Nya (Raja'). Jika Khauf lebih dominan, seorang Muslim bisa putus asa dari rahmat Allah. Jika Raja' lebih dominan tanpa Khauf, ia bisa merasa aman dari makar Allah dan berani bermaksiat. Amal yang diterima adalah yang dilakukan dengan rasa takut akan dosa (sehingga menghindari maksiat) dan harapan akan diterima di sisi-Nya.

C. Sabr dan Syukur (Sabar dan Syukur)

Kedua sifat ini adalah cermin keimanan terhadap takdir (Qada dan Qadar). Sabar dalam menghadapi musibah (seperti kegagalan dalam berdakwah atau ujian ekonomi) adalah bagian dari amal. Syukur atas nikmat (kesempatan beramal, kesehatan, rezeki) adalah amal hati yang wajib dipelihara. Tanpa Sabar dan Syukur, seorang Muslim mudah protes terhadap ketetapan Tuhan, yang merusak akidah takdirnya.

2. Amal Badani (Amal Fisik/Ritual)

Ini adalah ibadah wajib seperti Shalat, Saum (Puasa), dan Hajj (Haji).

A. Salat (Tiang Agama)

Salat adalah manifestasi Tauhid yang paling nyata. Salat harus dilakukan dengan Ikhlas (niat hanya kepada Allah) dan Mutaba'ah (tata cara sesuai Rasulullah). Jika seseorang salat tetapi niatnya riya atau tata caranya tidak sesuai Sunnah (misalnya, menambah rakaat wajib), maka salatnya batal atau tidak diterima. Selain itu, salat yang diterima harus disertai khusyuk, yaitu kehadiran hati, yang juga merupakan amal qalbi.

B. Saum (Puasa)

Puasa adalah ibadah yang sangat erat kaitannya dengan keikhlasan karena puasa sulit dipamerkan. Akidah yang benar menuntut seorang Muslim menjauhi bukan hanya makanan dan minuman, tetapi juga hal-hal yang dapat merusak kualitas puasa, seperti dusta, ghibah, dan perbuatan sia-sia. Dengan demikian, puasa menjadi perisai yang membersihkan fisik dan jiwa, melatih ketaatan total.

3. Amal Maali (Amal Harta)

Meliputi Zakat, Sedekah, dan Infak.

A. Zakat dan Penghapusan Syirik Harta

Zakat adalah kewajiban yang mengakui bahwa kepemilikan mutlak harta adalah milik Allah. Menunaikan zakat adalah perlawanan terhadap syirik harta, yaitu keyakinan bahwa harta diperoleh murni karena kemampuan pribadi. Zakat membersihkan harta dan jiwa dari sifat kikir dan kecintaan berlebihan terhadap dunia. Jika zakat ditunaikan dengan riya, nilai ibadahnya akan berkurang atau hilang, karena telah melanggar prinsip keikhlasan.

B. Prinsip Sedekah Terbaik

Sedekah yang paling diterima adalah yang dilakukan secara rahasia (untuk menjaga keikhlasan) dan dikeluarkan dari harta yang baik (thayyib) yang diperoleh secara halal. Memberi sedekah dengan harta haram, meskipun niatnya baik, adalah amal yang tertolak karena akidah Islam menuntut kejujuran dalam sumber rezeki (Tauhid Rububiyah).

4. Amal Ijtimai (Amal Sosial dan Dakwah)

Semua interaksi sosial harus berlandaskan akidah persaudaraan (ukhuwah) dan kewajiban menyampaikan kebenaran (dakwah).

A. Dakwah Ilallah (Mengajak kepada Allah)

Dakwah adalah amal perbuatan yang paling agung setelah rukun Islam. Agar diterima, dakwah harus dilakukan dengan ikhlas (tidak mengharap imbalan duniawi atau popularitas) dan sesuai Sunnah (metode dakwah yang bijak dan berlandaskan ilmu). Akidah yang benar melarang dakwah dengan kekerasan, pemaksaan, atau penghinaan, karena hal itu bertentangan dengan tuntunan Nabi SAW.

B. Silaturahim dan Akhlak Mulia

Berbuat baik kepada tetangga, menghormati orang tua, dan menjaga silaturahim adalah amal yang sangat ditekankan. Akidah menuntut seorang Muslim memiliki akhlak yang baik sebagai cerminan keimanan. Rasulullah bersabda, "Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya." Amal perbuatan berupa akhlak baik ini merupakan bukti nyata dari akidah yang tertanam di hati.

IV. Penghancur Amal dan Upaya Penyempurnaan

Seorang Muslim harus senantiasa waspada terhadap hal-hal yang dapat merusak amal yang telah susah payah ia lakukan. Kewaspadaan ini juga merupakan bagian dari pemeliharaan akidah.

1. Syirik Akbar (Syirik Besar)

Syirik besar, seperti menyembah selain Allah, meminta pertolongan kepada kuburan, atau meyakini ada kekuatan lain yang mengatur alam semesta, adalah dosa yang paling fatal. Akidah Islam menyatakan bahwa Syirik Akbar akan menghapuskan seluruh amal perbuatan pelakunya, bahkan jika ia telah melaksanakan ibadah selama puluhan tahun. (QS. Az-Zumar: 65).

2. Kufur dan Murtad

Keluar dari Islam (Murtad) membatalkan seluruh amal yang pernah dilakukan sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa fondasi akidah (keimanan) adalah prasyarat utama. Jika fondasi runtuh, bangunan amal di atasnya juga pasti runtuh.

3. Dosa yang Merusak Pahala (Al-Muhbithat)

Selain Syirik dan Kufur, terdapat dosa-dosa besar lainnya yang dapat mengurangi atau merusak pahala amal, meskipun tidak secara total membatalkannya seperti Syirik.

4. Penyempurnaan Amal Melalui Istighfar dan Taubat

Tidak ada manusia yang sempurna. Oleh karena itu, akidah Islam mengajarkan pentingnya Istighfar (memohon ampunan) setelah beramal. Ketika selesai salat, kita diperintahkan beristighfar 3 kali. Ini menunjukkan pengakuan seorang hamba bahwa amalnya pasti mengandung kekurangan, riya yang tersembunyi, atau kelalaian, dan memohon agar Allah menyempurnakannya.

Taubat yang tulus membersihkan hati dan mengembalikan amal ke status yang diterima. Taubat harus memenuhi syarat: menyesali dosa, berhenti dari dosa, berjanji tidak mengulangi, dan jika terkait hak manusia, mengembalikannya.

V. Prinsip Istiqamah: Konsistensi dan Kualitas dalam Beramal

Akidah yang kuat tidak hanya ditunjukkan saat memulai amal, tetapi juga dalam konsistensi (istiqamah) menjalankannya. Istiqamah adalah amal perbuatan itu sendiri, yang memerlukan pertarungan batin terus-menerus melawan hawa nafsu dan setan.

1. Amal yang Paling Dicintai Allah

Rasulullah SAW bersabda, "Amal yang paling dicintai Allah adalah yang paling rutin (istiqamah), meskipun sedikit." Prinsip ini mengajarkan bahwa kuantitas amal yang besar tetapi hanya sesekali (misalnya, sangat rajin ibadah hanya di bulan Ramadhan) kurang bernilai dibandingkan dengan amal yang sedikit namun dilakukan secara konsisten sepanjang hidup.

A. Menjaga Konsistensi Akidah

Istiqamah dalam amal memastikan akidah tetap hidup. Rutinitas membaca Qur'an, salat berjamaah, atau puasa sunnah secara konsisten adalah penguat akidah yang mencegah hati menjadi keras dan lalai.

2. Peran Ilmu Syar'i dalam Beramal

Beramal tanpa ilmu adalah hal yang sangat ditolak dalam Islam. Ilmu (pengetahuan tentang hukum syar’i) adalah cahaya yang membimbing amal perbuatan agar selalu sesuai dengan tuntunan (Mutaba’ah). Belajar fiqih ibadah, ushul fiqih, dan tafsir Qur'an adalah amal yang sangat besar, karena ia berfungsi sebagai alat verifikasi akidah dan amal. Seseorang yang memiliki ilmu tidak akan mudah terjerumus pada bid’ah atau riya, karena ia tahu persis batas-batas syariat.

Ilmu juga membantu dalam memprioritaskan amal. Akidah yang benar mengajarkan bahwa mendahulukan yang wajib atas yang sunnah adalah lebih utama, dan mendahulukan hak orang lain (seperti menafkahi keluarga) atas ibadah sunnah yang mengabaikan tanggung jawab adalah prioritas yang benar.

3. Muhasabah (Evaluasi Diri)

Muhasabah adalah praktik mengevaluasi amal perbuatan dan niat di penghujung hari atau periode tertentu. Ini adalah mekanisme pengendalian diri yang esensial untuk menjaga kualitas akidah dan amal. Seorang Muslim harus senantiasa bertanya:

Muhasabah adalah penawar bagi kelalaian. Ia memastikan bahwa akidah tetap terjaga murni dari kotoran syahwat dan duniawi yang dapat merusak nilai amal di sisi Allah SWT.

VI. Mendalami Konsep Penerimaan (Qabul) dan Penolakan (Radd) Amal

Dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, konsep penerimaan amal adalah misteri ilahi, namun Allah telah menetapkan rambu-rambu yang jelas. Seorang Muslim harus beramal dengan sungguh-sungguh sambil selalu merasa takut amalnya ditolak, karena rasa takut inilah yang memelihara keikhlasan dan tawadhu (kerendahan hati).

1. Perbedaan antara Sah, Diterima, dan Berpahala

Penting untuk membedakan antara tiga istilah fikih dan akidah ini:

A. Sah (Shihhah)

Suatu amal dianggap sah jika memenuhi syarat dan rukun fikihnya. Contoh: Salat sah jika dilakukan dengan wudu yang benar dan menutup aurat. Salat sah mencegah kewajiban mengulanginya.

B. Diterima (Qabul)

Amal diterima jika memenuhi dua syarat akidah: Ikhlas (niat murni) dan Mutaba'ah (sesuai Sunnah). Amal yang sah (fikihnya benar) belum tentu diterima jika niatnya rusak (riya'). Penerimaan ini yang mendatangkan pahala dan kedekatan dengan Allah.

C. Berpahala (Tsawab)

Amal yang diterima akan mendatangkan pahala. Namun, tingkat pahala sangat bervariasi tergantung pada kualitas hati, kehadiran jiwa saat beramal (khusyuk), dan besarnya kesulitan yang dihadapi dalam menjalankannya.

Oleh karena itu, fokus seorang Muslim yang beramal sesuai akidah bukanlah sekadar menyelesaikan kewajiban (sah), melainkan mencapai tingkat penerimaan (qabul) melalui pemurnian hati dan penyesuaian cara.

2. Amal yang Bernilai Jihad (Perjuangan)

Semua amal saleh memerlukan perjuangan (jihad). Jihad terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu (Jihadun Nafs) untuk memastikan niat tetap lurus dan amal tetap konsisten. Amal dianggap berkualitas tinggi jika di dalamnya terdapat elemen perjuangan:

Amal yang mengandung unsur mujahadah (perjuangan keras) ini lebih berat timbangannya di Hari Akhir, asalkan tetap dipayungi oleh akidah yang murni.

3. Mengikat Amal dengan Rasa Takut

Ulama salaf sangat menekankan pentingnya rasa takut setelah beramal. Mereka takut jika amal mereka ditolak atau jika ada dosa tersembunyi yang merusaknya. Sikap ini menghindarkan seorang Muslim dari penyakit ujub (bangga diri) atau merasa sudah pasti masuk surga karena banyaknya amal. Rasa takut ini adalah penjaga akidah yang memastikan seorang hamba selalu merasa butuh kepada Rahmat Allah.

VII. Konsekuensi dan Cakupan Luas Amal Saleh Berdasarkan Akidah

Akidah Islam tidak memisahkan amal perorangan (individual) dari amal kemasyarakatan (kolektif). Kedua jenis amal ini harus sejalan dan saling menguatkan.

1. Al-Wala' Wal-Bara' dalam Amal Sosial

Akidah Al-Wala' wal-Bara' (Loyalitas dan Pelepasan Diri) menuntut seorang Muslim loyal kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Mukminin, serta melepaskan diri dari kekafiran dan kemaksiatan. Penerapan akidah ini dalam amal sosial berarti:

2. Amal dalam Konteks Ekonomi dan Profesionalisme

Bekerja, berdagang, dan menjalankan profesi adalah amal perbuatan yang sangat bernilai jika dilandasi akidah yang benar. Akidah menuntut kejujuran (sidq), amanah (dapat dipercaya), dan keadilan ('adl).

3. Pendidikan Anak sebagai Amal Jariyah

Mendidik anak-anak di atas akidah yang murni, mengajarkan mereka Tauhid, dan membiasakan mereka beramal saleh sejak dini adalah salah satu amal jariyah (amal yang pahalanya terus mengalir) terbaik. Akidah yang ditanamkan pada anak akan menjadi bekal mereka di dunia dan akhirat, serta menjadi investasi pahala abadi bagi orang tua, bahkan setelah kematian.

Ini mencakup upaya keras memastikan anak tidak terjerumus pada syirik kecil (seperti bergantung pada jimat atau ramalan) dan syirik besar, serta mendidik mereka untuk senantiasa melaksanakan ibadah sesuai Sunnah Nabi.

VIII. Penutup: Konsistensi Akidah dan Harapan Penerimaan

Menjalankan amal perbuatan sesuai akidah Islam adalah proses seumur hidup yang memerlukan kesungguhan, ilmu, dan pemurnian hati yang berkelanjutan. Seluruh amal kita, dari yang terbesar hingga yang terkecil, harus memenuhi tiga syarat utama yang berasal dari akidah:

  1. Fondasi Akidah Tauhid: Hanya Allah yang diyakini sebagai tujuan amal dan sumber kekuatan.
  2. Ikhlas (Niat Murni): Melakukan amal hanya karena Allah.
  3. Mutaba'ah (Kesesuaian Sunnah): Melakukan amal sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW.

Dengan menjaga tiga prinsip ini, seorang Muslim tidak hanya memastikan bahwa amal perbuatannya sah secara fikih, tetapi juga diterima (maqbul) di sisi Allah SWT, dan pada akhirnya, menjadi jalan keselamatan di Hari Kiamat. Semoga Allah menerima amal kita semua dan menggolongkan kita sebagai hamba-hamba yang beramal saleh.

🏠 Homepage