Pertanyaan mengenai apakah seorang wanita yang mengalami keluarnya darah—terutama terkait siklus menstruasi atau nifas—diperbolehkan untuk melaksanakan shalat merupakan salah satu topik yang sering dibahas dalam fikih wanita. Dalam ajaran Islam, ada kaidah-kaidah spesifik yang mengatur hubungan antara kondisi fisik wanita dan kewajiban ibadah, termasuk shalat.
Secara umum, ada dua kondisi utama yang membuat seorang wanita dilarang untuk melaksanakan shalat, yaitu haidh (menstruasi) dan nifas (darah setelah melahirkan). Kedua kondisi ini adalah bentuk dari hadats besar yang mengharuskan seorang wanita untuk bersuci (mandi wajib) setelah darah tersebut berhenti sebelum ia dapat kembali menunaikan shalat dan ibadah lainnya yang mensyaratkan kesucian.
Haidh adalah darah yang keluar dari rahim wanita secara alami pada waktu-waktu tertentu, biasanya bulanan. Sementara nifas adalah darah yang keluar setelah seorang wanita melahirkan. Durasi maksimal haidh dan nifas telah dijelaskan dalam literatur fikih, meskipun ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai batas waktu pastinya. Namun, inti dari larangan shalat bagi wanita yang sedang mengalami haidh atau nifas adalah karena kondisi tersebut dianggap sebagai penghalang syariat untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam ibadah shalat.
Penting untuk diingat: Selama seorang wanita masih dalam masa haidh atau nifas, ia tidak diperbolehkan shalat, puasa, menyentuh mushaf Al-Qur'an, atau melakukan tawaf. Hal ini bukan berarti ia lepas dari kewajiban agama, melainkan ada keringanan sementara dari ibadah-ibadah tersebut hingga ia suci kembali.
Dalam konteks pertanyaan "bab keluar darah apakah boleh shalat," terkadang pertanyaan ini juga mencakup kondisi keluarnya darah yang tidak terduga atau bukan bagian dari siklus haidh atau nifas yang lazim. Darah yang keluar di luar siklus haidh dan nifas ini dikenal dengan istilah istihadhah. Istihadhah adalah darah penyakit yang keluar dari rahim wanita di luar masa haidh dan nifas.
Para ulama sepakat bahwa wanita yang mengalami istihadhah tidak termasuk dalam kategori wanita yang sedang haidh atau nifas. Oleh karena itu, status hukumnya berbeda. Seorang wanita yang mengalami istihadhah tetap wajib melaksanakan shalat, berpuasa, dan menjalankan ibadah lainnya, layaknya wanita yang suci.
Namun, ada pengaturan khusus bagi wanita mustahadhah (wanita yang mengalami istihadhah). Ia perlu membedakan antara darah istihadhah dan darah haidh. Jika ia memiliki kebiasaan haidh yang jelas, maka hari-hari di mana ia biasanya haidh, ia harus menganggap darah yang keluar sebagai darah haidh dan meninggalkan shalat. Di luar hari-hari tersebut, jika keluar darah, maka itu dianggap istihadhah, dan ia wajib shalat serta berpuasa setelah membersihkan diri dan mengikat kemaluannya agar darah tidak mengalir terus menerus.
Jika seorang wanita mustahadhah tidak memiliki kebiasaan haidh yang jelas, maka ia merujuk pada kebiasaan mayoritas wanita (umumnya enam atau tujuh hari) sebagai masa haidhnya. Di luar itu, ia beristihadhah.
Keringanan bagi Mustahadhah: Ulama menyebutkan bahwa istihadhah termasuk uzur syar'i. Wanita yang mengalami istihadhah diperbolehkan untuk berwudhu setiap kali masuk waktu shalat dan shalat dengan wudhu tersebut, meskipun darah masih terus keluar. Ini adalah bentuk kemudahan dari Allah bagi hamba-Nya.
Menjawab pertanyaan "bab keluar darah apakah boleh shalat," dapat disimpulkan sebagai berikut:
Penting bagi setiap muslimah untuk memahami hukum-hukum terkait fikih wanita agar dapat menjalankan ibadahnya dengan benar dan sesuai tuntunan syariat. Jika ragu, berkonsultasi dengan ahli ilmu agama yang terpercaya adalah langkah yang bijaksana.
Dengan memahami perbedaan antara darah haidh/nifas dan istihadhah, seorang wanita dapat menjaga kewajiban shalatnya dengan baik, bahkan di tengah kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk shalat secara normal.