Representasi Simbolis Narasi dan Budaya
Antropologi sastra adalah sebuah disiplin ilmu interdisipliner yang menempatkan karya sastra—baik lisan maupun tulisan—sebagai objek kajian utama yang tidak terlepas dari konteks sosial, budaya, historis, dan ritualistik di mana ia diciptakan dan dikonsumsi. Disiplin ini berupaya memahami bagaimana sastra berfungsi dalam kehidupan masyarakat, bagaimana ia merefleksikan nilai-nilai kolektif, dan bagaimana ia turut membentuk pandangan dunia (worldview) suatu kelompok etnis atau budaya tertentu.
Berbeda dengan kritik sastra tradisional yang mungkin berfokus pada nilai estetika intrinsik teks atau biografi pengarang, antropologi sastra mengambil langkah mundur untuk melihat teks sebagai artefak budaya. Teks dianalisis bukan hanya dari segi narasi atau stilistikanya, tetapi lebih dalam lagi, sebagai cerminan dari sistem kepercayaan, struktur kekerabatan, praktik adat, hingga negosiasi kekuasaan dalam masyarakat tersebut.
Kritik sastra seringkali menganalisis karya dalam ranah otonom sastra itu sendiri, fokus pada tema universal atau teknik penulisan. Sementara itu, antropologi sastra selalu menuntut kontekstualisasi yang mendalam. Ketika seorang antropolog mengkaji sebuah mitos dari suku tertentu, ia tidak berhenti pada analisis alur cerita saja. Ia akan menggali lebih jauh: Siapa yang diizinkan menceritakan mitos tersebut? Dalam upacara apa mitos itu diucapkan? Apa peran mitos itu dalam ritual inisiasi atau pernikahan? Dengan demikian, sastra dilihat sebagai bagian integral dari praktik budaya, bukan sekadar hiburan atau ekspresi pribadi.
Konsep "teks" dalam antropologi sastra juga jauh lebih luas. Ini mencakup epos lisan yang hanya diwariskan secara turun-temurun, nyanyian rakyat, peribahasa, teka-teki, hingga drama ritualistik yang melibatkan partisipasi seluruh komunitas. Keaslian dan performativitas lisan menjadi fokus penting karena makna sebuah narasi seringkali baru lengkap ketika narasi itu dipentaskan atau dilantunkan di hadapan audiens tertentu.
Pengembangan bidang ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran antropologi strukturalis, terutama dari Claude Lévi-Strauss, yang melihat mitos sebagai alat berpikir masyarakat untuk mengatasi oposisi biner dalam realitas mereka. Mitos, dalam pandangan ini, adalah cara masyarakat memproses kontradiksi (hidup/mati, alam/budaya, laki-laki/perempuan).
Tokoh penting lainnya adalah William Bascom dan Ruth Finnegan. Finnegan, khususnya, berperan besar dalam mempopulerkan studi sastra lisan dan menegaskan bahwa studi sastra tidak boleh didominasi oleh tradisi tulisan Barat. Ia menekankan pentingnya memahami fungsi sosial dari setiap genre sastra lisan.
Pendekatan ini juga sering bersinggungan dengan teori semiotika dan interpretasi hermeneutis, di mana peneliti berusaha "membaca" sistem makna yang terkandung dalam simbol-simbol yang digunakan dalam teks budaya tersebut. Setiap metafora atau simbol dalam sebuah cerita rakyat diasumsikan memiliki padanan makna yang jelas dalam sistem kosmologi budaya sumbernya.
Antropologi sastra mengidentifikasi beberapa fungsi utama sastra dalam masyarakat. Pertama, fungsi sosialisasi dan pendidikan; sastra mewariskan norma, nilai, dan pengetahuan sejarah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua, fungsi legitimasi; sastra (terutama mitos) sering digunakan untuk membenarkan tatanan sosial, hak kepemilikan tanah, atau hierarki kekuasaan yang berlaku.
Ketiga, sastra berfungsi sebagai katarsis kolektif atau mekanisme kontrol sosial. Melalui cerita-cerita yang menggambarkan konsekuensi pelanggaran norma, masyarakat dapat secara halus menegakkan kepatuhan. Keempat, sastra adalah arena untuk inovasi dan kritik sosial tersembunyi. Terkadang, di balik permukaan cerita tradisional, terdapat ruang di mana masyarakat dapat secara simbolis menantang atau mengkritik otoritas tanpa memicu konflik terbuka.
Meskipun kajian antropologi sastra pada awalnya banyak terfokus pada masyarakat non-Barat atau masyarakat adat dengan tradisi lisan yang kuat, relevansinya meluas hingga ke sastra modern dan kontemporer. Dalam konteks globalisasi, antropologi sastra membantu kita memahami bagaimana narasi-narasi migran, narasi identitas hibrida, atau bahkan literatur populer merefleksikan pergeseran dan ketegangan budaya di era informasi. Kajian ini memastikan bahwa teks yang kita baca selalu terhubung kembali dengan kemanusiaan yang kompleks dan beragam yang melahirkannya.