Gangguan asam lambung, yang sering dikenal sebagai maag atau GERD (Gastroesophageal Reflux Disease), adalah masalah pencernaan umum yang dialami banyak orang. Rasa nyeri, panas, dan sensasi terbakar di dada atau ulu hati dapat sangat mengganggu aktivitas harian. Untuk mengatasi keluhan ini, dua golongan obat yang paling sering direkomendasikan adalah antasida dan H2 Blocker (Antagonis Reseptor H2).
Meskipun keduanya bekerja meredakan gejala asam lambung, mekanisme kerja, kecepatan onset, dan durasi efeknya sangat berbeda. Memahami perbedaan antara antasida dan H2 blocker sangat krusial agar penanganan yang dilakukan tepat sasaran.
Ilustrasi penanganan gangguan pencernaan.
Antasida adalah obat bebas yang paling cepat memberikan kelegaan ketika serangan asam lambung tiba-tiba terjadi. Fungsi utama antasida adalah menetralkan asam lambung (asam klorida) yang sudah terlanjur diproduksi dan berada di lambung.
Antasida bekerja secara langsung dengan mekanisme kimiawi. Zat aktif dalam antasida, seperti aluminium hidroksida, magnesium hidroksida, atau kalsium karbonat, bersifat basa dan bereaksi dengan asam lambung, menghasilkan air dan garam yang pH-nya netral.
Namun, kelemahan utama antasida adalah efeknya yang singkat. Setelah selesai dinetralkan, lambung akan terus memproduksi asam, sehingga gejala bisa kembali dalam waktu singkat. Dosis berlebihan dapat menimbulkan efek samping seperti konstipasi (jika mengandung aluminium) atau diare (jika mengandung magnesium).
Berbeda dengan antasida yang menetralkan, H2 blocker bekerja secara sistemik untuk mencegah asam diproduksi sejak awal. Obat ini termasuk dalam kategori penekan asam.
Di dinding lambung terdapat sel parietal yang memiliki reseptor histamin tipe 2 (H2). Ketika reseptor ini distimulasi, ia akan memerintahkan sel untuk melepaskan asam lambung. Obat golongan H2 blocker, seperti Ranitidin (walaupun banyak yang ditarik atau dibatasi penggunaannya) atau Famotidin, bekerja dengan memblokir reseptor ini.
Dengan terblokirnya reseptor H2, sinyal untuk memproduksi asam akan berkurang drastis. Ini sangat efektif untuk mencegah gejala kambuh, terutama saat malam hari atau setelah mengonsumsi makanan yang memicu asam.
Perbedaan mendasar antara kedua jenis obat ini terletak pada waktu kerja dan target operasinya:
Pemilihan obat harus didasarkan pada keparahan dan frekuensi gejala Anda.
Penting untuk dicatat bahwa bagi kasus refluks asam yang kronis dan parah, dokter sering kali meresepkan PPI (Proton Pump Inhibitor) yang bekerja lebih kuat dari H2 blocker. Antasida dan H2 blocker sebaiknya digunakan sebagai pengobatan lini pertama atau untuk gejala ringan hingga sedang.
Antasida adalah pemadam kebakaran instan untuk asam lambung, memberikan kelegaan cepat melalui netralisasi. Sementara itu, H2 blocker adalah pencegah yang bekerja lebih lambat namun lebih tahan lama dengan mengurangi sinyal produksi asam. Untuk manajemen maag yang efektif, pasien seringkali disarankan mengombinasikan keduanya: menggunakan H2 blocker secara teratur (jika perlu) dan menyimpan antasida untuk serangan asam mendadak.
Selalu konsultasikan dengan profesional kesehatan sebelum memulai pengobatan rutin, terutama jika gejala Anda memburuk atau tidak membaik setelah penggunaan obat bebas.