Dalam lanskap musik Melayu klasik, terdapat karya-karya yang tidak hanya memanjakan telinga, tetapi juga menyentuh relung hati dengan kedalaman makna dan puitisnya. Salah satu lagu yang patut mendapat sorotan adalah "Sembilu Berbisa" yang dibawakan dengan penuh penghayatan oleh maestro Nurdin Yaseng. Lirik lagu ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah cerminan dari pengalaman emosional yang kompleks, di mana rasa sakit, kekecewaan, dan kesedihan terjalin dalam sebuah narasi yang kuat.
Nurdin Yaseng, seorang seniman yang telah mendedikasikan hidupnya untuk musik Melayu, dikenal karena kemampuannya dalam menyampaikan nuansa emosi yang halus melalui setiap lantunan suaranya. "Sembilu Berbisa" menjadi salah satu bukti kehebatannya. Judul lagu itu sendiri sudah mengundang rasa penasaran. Kata "sembilu" seringkali diasosiasikan dengan benda tajam yang dapat melukai, sementara "berbisa" menunjukkan sesuatu yang mematikan atau sangat berbahaya. Penggabungan kedua kata ini menciptakan metafora yang kuat untuk menggambarkan luka batin yang mendalam, yang terus-menerus menyiksa jiwa.
Tema utama yang diangkat dalam lirik "Sembilu Berbisa" berkisar pada kekecewaan dalam percintaan atau hubungan yang telah kandas. Lagu ini seringkali menggambarkan perasaan seorang yang telah dikhianati atau ditinggalkan oleh orang yang dicintainya. Luka yang ditimbulkan begitu dalam, seolah-olah tertusuk oleh sembilu yang beracun, meninggalkan bekas yang sulit untuk disembuhkan. Liriknya menggambarkan rasa sakit yang terus-menerus, kerinduan yang tak terobati, dan kebingungan atas mengapa cinta yang dulu indah kini berubah menjadi sumber penderitaan.
Sayang... kemanakah kau pergi... Meninggalkan diri ini... dalam sepi... Dulu kasih sayangmu... tak terperi... Kini semua tinggal mimpi... oh sayang... Cinta yang kita bina... mengapa durjana... Telah kau lukai... dengan dusta... Hati ini terluka... bagai disayat sembilu... Sembilu berbisa... takkan mereda... Air mata berlinangan... tak tertahankan... Kenangan manis... kini menghantui... Kau berjanji setia... tapi apa jadinya... Kau tinggalkan luka... oh kasihku... Sakitnya di dada... tak terkata... Bagaikan ditikam... duri berduri... Mana mungkin diri ini... kan terlupa... Cinta yang tlah sirna... oh sayang... Kau bagai bara api... membakar diri... Tinggalkan abu... pilu di hati... Semoga kau bahagia... di sana nanti... Tapi ingatlah... janji yang kau ingkari... Sembilu berbisa... terus meluka... Dalam jiwa raga... oh sayang... Hilangkah semua... rasa cinta... Yang dulu ada... oh kasihku...
Analisis lirik ini mengungkapkan penggunaan bahasa yang kaya akan kiasan dan perumpamaan. "Bagaikan disayat sembilu", "bagai ditikam duri berduri", dan "kau bagai bara api" adalah contoh bagaimana Nurdin Yaseng (atau penulis liriknya) menciptakan gambaran yang kuat tentang penderitaan. Kata-kata ini berhasil menyampaikan intensitas rasa sakit yang dialami oleh sang tokoh dalam lagu. "Sembilu berbisa" bukan hanya metafora untuk luka emosional, tetapi juga melambangkan sifat racun dari pengkhianatan atau kehilangan yang terus-menerus merusak kebahagiaan seseorang.
Lebih jauh lagi, lagu ini juga menyentuh tema tentang janji yang diingkari. Ada rasa ketidakadilan dan kebingungan mengapa sebuah komitmen yang telah terjalin harus berakhir dengan kekecewaan. Lirik seperti "Kau berjanji setia... tapi apa jadinya..." menunjukkan adanya kejutan dan kesedihan mendalam ketika harapan dihancurkan. Meskipun ada nada kepedihan yang kuat, terkadang terselip juga doa atau harapan agar orang yang telah menyakiti menemukan kebahagiaan di tempat lain, sebuah sikap yang menunjukkan kedewasaan emosional meskipun sedang terluka.
Keberhasilan "Sembilu Berbisa" juga tidak lepas dari aransemen musik yang mendampingi liriknya. Melodi yang syahdu, iringan musik yang melankolis, ditambah dengan vokal Nurdin Yaseng yang penuh perasaan, menciptakan sebuah kesatuan karya seni yang sangat kuat. Setiap nada seolah-olah ikut merasakan kepedihan yang disampaikan melalui kata-kata. Pendengar dibawa hanyut dalam suasana kesedihan, seolah-olah mereka juga mengalami luka yang sama.
Lirik "Sembilu Berbisa" oleh Nurdin Yaseng adalah sebuah karya sastra musik yang abadi. Ia mampu menangkap esensi dari rasa sakit hati yang universal, namun menyajikannya dengan keunikan dan kedalaman khas musik Melayu. Lagu ini menjadi pengingat bahwa cinta bisa menjadi sumber kebahagiaan terbesar, namun juga bisa menjadi sumber luka terdalam. Bagi para penikmat musik Melayu, lagu ini tetap menjadi salah satu permata yang tak lekang oleh waktu, membangkitkan empati dan menjadi teman di kala hati sedang gundah.