Bunga matahari, dengan kelopaknya yang cerah menyerupai mentari dan arah tumbuhnya yang senantiasa mengikuti pergerakan sang surya, seringkali menjadi simbol harapan, kehangatan, dan pencerahan. Dalam khazanah sastra dan seni, bunga ini kerap diangkat menjadi metafora yang kaya makna. Namun, pernahkah kita merenungkan keberadaan atau analogi bunga matahari dalam konteks kitab suci Islam, Al-Qur'an?
Meskipun Al-Qur'an tidak secara eksplisit menyebutkan nama "bunga matahari" (helianthus annuus), kita dapat menemukan banyak ayat yang berbicara tentang alam semesta, penciptaan, matahari, dan tumbuhan sebagai tanda kebesaran Allah SWT. Ayat-ayat inilah yang dapat kita jadikan lensa untuk memahami potensi makna tersirat atau analogi yang mendekati konsep bunga matahari.
Salah satu ciri paling menonjol dari bunga matahari adalah ketergantungannya pada matahari. Dalam Al-Qur'an, matahari (syams) dan cahaya (nur) disebutkan berulang kali sebagai tanda kekuasaan Allah. Surah Ar-Ra'du ayat 2 menyatakan, "Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang sebagaimana yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, dan Dia menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar sampai kepada waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (seluruh) makhluk, menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), agar kamu yakin akan pertemuan dengan Tuhanmu."
Ayat ini, bersama ayat-ayat lain seperti Surah Yunus ayat 5 yang menggambarkan bagaimana Allah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, serta Surah Al-Baqarah ayat 260 di mana Nabi Ibrahim AS bertanya kepada Allah tentang bagaimana menghidupkan yang mati dengan menunjukkan kuasa-Nya atas matahari, menegaskan bahwa matahari adalah ciptaan dan tanda kebesaran ilahi. Bunga matahari, dengan kebiasaannya "menghadap" matahari, secara inheren terhubung dengan objek yang begitu penting dalam penafsiran ayat-ayat tersebut. Ia bisa diibaratkan sebagai makhluk yang merindukan dan mencintai sumber cahayanya, sebuah analogi yang dapat menginspirasi hubungan vertikal manusia dengan Penciptanya.
Al-Qur'an juga banyak berbicara tentang tumbuhan sebagai bukti kekuasaan dan rahmat Allah. Surah Al-A'raf ayat 57 misalnya, berbunyi, "Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu negeri yang mati, lalu Kami turunkan hujan di situ, maka dengan hujan itu Kami tumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang mati, agar kamu berzikir (mengingat kebesaran Allah)."
Setiap tumbuhan, termasuk bunga matahari, adalah hasil dari proses penciptaan yang rumit, mulai dari biji yang ditanam, disirami hujan, hingga akhirnya tumbuh mekar. Keberadaan bunga matahari dengan segala keunikannya—batangnya yang kokoh, daunnya yang lebar, dan bunganya yang mempesona—adalah bukti nyata dari keanekaragaman hayati yang diciptakan Allah. Ayat-ayat yang menjelaskan bagaimana Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dari bumi memberikan gambaran bahwa setiap helai daun dan kelopak bunga adalah ayat-ayat kauniyah (ayat-ayat alam) yang patut direnungkan.
Selain itu, fenomena heliotropisme pada bunga matahari—gerakan mengikuti matahari dari timur ke barat—dapat dianalogikan dengan sifat kesabaran, keteguhan, dan orientasi spiritual. Dalam kehidupan seorang mukmin, ada kalanya kita harus "menghadap" kepada sumber kebenaran dan petunjuk, yaitu Allah SWT. Seperti bunga matahari yang terus berputar mengikuti sang surya, seorang mukmin diharapkan senantiasa menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai panduan arah hidupnya, tidak bergeser ke kanan atau ke kiri dari jalan yang lurus.
Perjuangan bunga matahari untuk terus tumbuh dan mekar di bawah teriknya matahari juga bisa menjadi metafora perjuangan dalam menegakkan kebenaran dan meraih ridha Allah. Ia tumbuh dari tanah, menghadapi segala tantangan alam, namun tetap menunjukkan keindahannya. Ini mengingatkan kita pada ayat-ayat yang menyuruh kita untuk bersabar dan teguh dalam beribadah dan berdakwah.
Jadi, meskipun "lirik bunga matahari" secara harfiah tidak tertulis dalam Al-Qur'an, esensi makna yang terkandung dalam bunga matahari—ketergantungannya pada cahaya ilahi, keindahan ciptaannya, dan gerakannya yang senantiasa berorientasi pada sumber cahaya—semuanya adalah refleksi dari ayat-ayat kauniyah yang dijelaskan dalam Al-Qur'an. Merenungkan bunga matahari dapat membuka pintu untuk lebih memahami keagungan penciptaan Allah, pentingnya cahaya Ilahi dalam kehidupan, serta perlunya keteguhan hati dalam menjalani setiap aspek kehidupan beragama.
Setiap ciptaan Allah memiliki hikmahnya. Dengan memahami Al-Qur'an, kita dapat melihat bahwa alam semesta, termasuk bunga matahari, adalah kitab terbuka yang penuh dengan tanda-tanda kebesaran-Nya, yang mengundang kita untuk terus berpikir, merenung, dan semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.