Ilustrasi visualisasi pertimbangan hukum.
Pertanyaan mengenai hukum laki-laki mengenakan anting atau tindik di telinga merupakan isu yang sering muncul dalam diskusi fikih kontemporer. Dalam Islam, penetapan hukum terhadap suatu perbuatan sering kali bersandar pada dalil-dalil dari Al-Qur'an, As-Sunnah, serta ijtihad para ulama berdasarkan prinsip-prinsip syariat yang jelas.
Hukum perhiasan bagi laki-laki dan perempuan secara umum berbeda. Islam telah membedakan antara perhiasan yang diperbolehkan atau dianjurkan bagi laki-laki (seperti cincin perak) dan perhiasan yang secara tegas dikhususkan bagi wanita.
Landasan utama dalam pembahasan ini adalah hadis yang melarang laki-laki menyerupai wanita (*tasyabbuh bil-nisa*). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki." (HR. Bukhari).
Anting (perhiasan telinga) secara historis dan kultural di berbagai masyarakat, termasuk pada masa turunnya Islam, lebih identik dan merupakan ciri khas perhiasan wanita. Oleh karena itu, mayoritas ulama kontemporer menempatkan praktik mengenakan anting oleh laki-laki dalam kategori *tasyabbuh* (menyerupai).
Para ulama dari empat mazhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) umumnya cenderung pada pengharaman atau kemakruhan keras bagi laki-laki untuk memakai perhiasan yang dianggap eksklusif bagi wanita, termasuk anting.
Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, menyatakan bahwa tindik telinga untuk anting tidak diperbolehkan bagi laki-laki karena tindakan tersebut bukanlah kebiasaan mereka dan cenderung menyerupai kaum wanita. Pandangan serupa dipegang oleh banyak ulama kontemporer yang melihat bahwa jika suatu praktik kebiasaan tertentu telah ditetapkan secara jelas sebagai atribut gender, maka melanggarnya bagi gender yang berlawanan adalah pelanggaran terhadap batasan syariat.
Di era modern, batasan antara perhiasan laki-laki dan perempuan menjadi kabur di beberapa budaya Barat atau budaya populer. Beberapa pihak berargumen bahwa kini anting telah menjadi tren mode bagi pria tanpa konotasi feminin yang kuat. Namun, dalam pandangan fikih Islam, hukum cenderung mengacu pada asal-usul dan identitas syariat, bukan semata-mata tren budaya sesaat.
Para ulama yang mengharamkannya menekankan bahwa menjaga perbedaan penampilan antara laki-laki dan perempuan adalah bagian dari pemeliharaan fitrah (kecenderungan alami) yang diciptakan Allah. Jika laki-laki dibolehkan memakai apa pun yang dianggap sebagai perhiasan wanita, maka pintu untuk menyerupai wanita (dalam aspek penampilan) akan terbuka lebar.
Meskipun pandangan mayoritas adalah melarang, ada beberapa pandangan minoritas, khususnya dari ulama yang menafsirkan hadis *tasyabbuh* secara lebih sempit, yaitu hanya berlaku pada aspek yang benar-benar menjadi ciri khas mutlak tanpa pengecualian. Mereka berpendapat, jika suatu tindik dilakukan di luar konteks perhiasan (misalnya, sebagai ekspresi seni yang tidak bertujuan meniru wanita), maka mungkin ada ruang untuk keringanan.
Namun, pandangan yang paling aman dan paling banyak dipegang oleh dewan fatwa dan ulama terkemuka adalah tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian (*al-ihtiyat*). Selama suatu perbuatan secara umum dikenal sebagai perhiasan wanita, maka menjauhinya adalah jalan terbaik bagi seorang Muslim laki-laki agar terhindar dari larangan menyerupai wanita.
Secara ringkas, mayoritas ulama kontemporer dan klasik berpandangan bahwa **laki-laki memakai anting hukumnya haram atau makruh tahrim (mendekati haram)**. Dasar utamanya adalah larangan keras dalam Islam bagi laki-laki untuk meniru atau menyerupai penampilan wanita (*tasyabbuh bil-nisa*). Karena anting secara luas dianggap sebagai perhiasan yang dikhususkan bagi wanita, seorang Muslim laki-laki dianjurkan untuk menghindarinya demi menjaga identitas gender yang ditetapkan oleh syariat.