Dalam jagat musik tradisional Indonesia, terdapat banyak lagu yang kaya akan makna dan sejarah. Salah satunya adalah "Baras Kuning". Lagu ini, meskipun mungkin tidak sepopuler lagu-lagu pop masa kini, memiliki tempat tersendiri di hati banyak penikmat musik. Melodi dan liriknya seringkali membangkitkan nostalgia, mengingatkan pada masa lalu yang sederhana namun penuh makna. Artikel ini akan membawa Anda menyelami lebih dalam tentang lirik lagu Baras Kuning, mengungkap pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, serta mengapa lagu ini tetap relevan hingga kini.
"Baras Kuning" atau dalam beberapa daerah disebut "Beras Kuning", adalah sebuah lagu daerah yang lazim ditemui di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Selatan. Keunikan lagu ini terletak pada liriknya yang sederhana namun penuh makna filosofis dan budaya. Lagu ini seringkali dikaitkan dengan upacara adat, ritual keagamaan, atau sekadar dinyanyikan dalam suasana kebersamaan. Warna kuning pada beras dalam budaya Melayu seringkali melambangkan kesuburan, kemakmuran, dan keberkahan. Oleh karena itu, tidak heran jika lirik lagu ini banyak bercerita tentang harapan, doa, dan rasa syukur.
Keindahan lirik Baras Kuning tidak hanya pada kata-katanya, tetapi juga pada cara penyampaiannya. Melodi yang cenderung syahdu dan ritmis, seringkali diiringi oleh alat musik tradisional seperti gambus atau rebana, menciptakan suasana yang khidmat dan menghanyutkan. Lagu ini berhasil menangkap esensi kehidupan masyarakat agraris yang sangat bergantung pada hasil bumi, serta nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong yang masih kental.
Aduh dek, baras kuning tasebar di laman Aduh dek, baras kuning tasebar di laman Kacangnyo ijau kacangnyo tumbuah di jurai Kacangnyo ijau kacangnyo tumbuah di jurai Nak kemano gek duduknyo budak laje Nak kemano gek duduknyo budak laje Papan di panggang kayu di sikat Papan di panggang kayu di sikat Tigo tungku sajorangan Aduh dek, tigo tungku sajorangan Siang beraye malam beraye Aduh dek, siang beraye malam beraye Anak tigo urang tuo satu Aduh dek, anak tigo urang tuo satu Anak tigo urang tuo satu Aduh dek, anak tigo urang tuo satu Tigo tungku sajorangan Aduh dek, tigo tungku sajorangan Siang beraye malam beraye Aduh dek, siang beraye malam beraye Kite menari badendang Aduh dek, kite menari badendang Sambil beraye samo samo Aduh dek, sambil beraye samo samo
Mari kita bedah makna di balik bait-bait lagu Baras Kuning. Frasa "Baras kuning tasebar di laman" secara harfiah menggambarkan beras berwarna kuning yang tersebar di halaman. Dalam konteks budaya, ini bisa diartikan sebagai kelimpahan rezeki atau berkat yang melimpah ruah. Beras kuning sendiri seringkali disajikan dalam acara-acara penting sebagai simbol kemakmuran dan kebahagiaan. Penyebarannya di laman bisa jadi melambangkan keberkahan yang menyebar ke seluruh penjuru, dinikmati oleh seluruh keluarga atau masyarakat.
Bait "Kacangnyo ijau kacangnyo tumbuah di jurai" menambahkan nuansa visual yang khas. Kacang hijau yang tumbuh di sepanjang tepi atau di sudut-sudut tanah menggambarkan kesuburan dan kehidupan yang tumbuh subur. Kombinasi antara beras kuning dan kacang hijau menciptakan gambaran ladang atau halaman yang subur dan penuh berkah.
Bagian "Nak kemano gek duduknyo budak laje" dan "Papan di panggang kayu di sikat" mungkin terdengar kurang jelas tanpa konteks budaya yang mendalam. Namun, secara umum dapat diartikan sebagai gambaran aktivitas kehidupan. "Budak laje" bisa merujuk pada anak muda yang bersemangat atau beranjak dewasa, yang memiliki tempatnya sendiri dalam tatanan sosial. "Papan di panggang, kayu di sikat" bisa jadi merupakan metafora dari proses persiapan atau pembangunan, atau bahkan kegiatan sehari-hari yang memerlukan ketelitian.
Bait "Tigo tungku sajorangan" adalah salah satu yang paling ikonik. Tiga tungku yang digunakan bersamaan (sajo rangan) melambangkan kebersamaan, kerjasama, dan efisiensi dalam rumah tangga atau komunitas. Ini mencerminkan nilai gotong royong yang kuat. "Siang beraye malam beraye" menguatkan makna kebersamaan ini, menggambarkan aktivitas yang dilakukan secara terus-menerus, baik siang maupun malam, yang menyiratkan kerja keras dan dedikasi, mungkin dalam bercocok tanam atau kehidupan komunal lainnya.
Selanjutnya, "Anak tigo urang tuo satu" menunjukkan struktur keluarga. Tiga anak dan satu orang tua (bisa diartikan satu keluarga inti atau satu generasi) memberikan gambaran tentang anggota keluarga yang ada. Frasa ini sering diinterpretasikan sebagai doa agar keluarga senantiasa harmonis dan sejahtera, di mana anak-anak tumbuh menjadi kebanggaan orang tua.
Terakhir, "Kite menari badendang, sambil beraye samo samo" merupakan puncak dari kebersamaan yang diungkapkan dalam lagu. Menari dan bernyanyi bersama, serta melakukan "beraye" (suatu bentuk silaturahmi atau kegiatan bersama) secara kolektif, menggambarkan keharmonisan sosial dan kegembiraan hidup. Ini adalah perayaan atas berkat yang diterima dan keakraban yang terjalin.
Lagu Baras Kuning bukan sekadar kumpulan kata dan nada, melainkan sebuah cerminan nilai-nilai luhur yang dipegang teguh oleh masyarakat pendukungnya. Keberadaannya mengajarkan tentang pentingnya kesyukuran, kerja keras, kebersamaan, dan harmoni keluarga. Dalam era modern yang serba cepat ini, melodi dan lirik lagu Baras Kuning menjadi pengingat berharga untuk kembali merenungkan makna kehidupan yang sesungguhnya.
Melestarikan lagu-lagu seperti Baras Kuning adalah tanggung jawab kita bersama. Dengan terus menyanyikan, mengajarkan, dan memahami maknanya, kita turut menjaga kekayaan budaya Indonesia agar tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang. Melodi Baras Kuning akan terus bergema, membawa pesan kebaikan dan kearifan lokal yang tak lekang oleh waktu.