Pertanyaan mengenai status hukum liur anjing dalam Islam seringkali muncul dan menimbulkan diskusi. Mayoritas ulama sepakat bahwa liur anjing dikategorikan sebagai najis mughallazhah (najis berat). Hal ini didasarkan pada beberapa dalil naqli (dalil dari Al-Qur'an dan Hadits) serta penalaran para ahli hukum Islam. Pemahaman yang benar mengenai hal ini penting bagi seorang Muslim dalam menjaga kesucian diri dan ibadahnya.
Dasar utama penetapan hukum ini bersumber dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Apabila ada salah seorang di antara kalian menjilatnya (anjing) bejana (makan atau minum) maka hendaknya ia membasuhnya sebanyak tujuh kali, dan salah satunya dengan tanah." (HR. Muslim).
Najis mughallazhah adalah tingkatan najis yang paling berat dalam fikih Islam. Sifatnya yang berat ini menjadikan pensuciannya memerlukan cara khusus. Selain liur anjing, beberapa mazhab juga memasukkan najis babi ke dalam kategori ini karena dianggap memiliki kemiripan dalam tingkat kekotoran dan bahaya. Namun, secara spesifik hadits yang disebutkan di atas secara eksplisit menyebutkan anjing.
Proses pensucian yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah:
Ada beberapa perspektif mengenai hikmah di balik penetapan hukum ini, meskipun tujuan utama ibadah adalah ketaatan kepada Allah SWT, bukan semata-mata mencari hikmahnya. Namun, pemahaman hikmah dapat memperkuat keyakinan.
1. Aspek Kesehatan dan Kebersihan: Anjing, seperti hewan lain, dapat membawa berbagai macam kuman, bakteri, dan virus. Liur mereka dapat menjadi media penularan penyakit. Di masa lalu, ketika pengetahuan medis belum secanggih sekarang, larangan ini merupakan bentuk perlindungan kesehatan yang bijak dari Allah melalui syariat-Nya. Meskipun tidak semua penyakit menular melalui liur anjing, penetapan hukum ini bersifat umum untuk kehati-hatian.
2. Menjaga Kesucian Ibadah: Ibadah dalam Islam, seperti shalat, menuntut kesucian dari najis. Jika seorang Muslim terkena liur anjing dan tidak menyucikannya dengan benar, maka pakaian atau badannya dianggap tidak suci, yang dapat membatalkan shalatnya. Dengan adanya larangan ini, umat Islam dianjurkan untuk berhati-hati dalam berinteraksi dengan anjing agar tidak terperosok dalam kenajisan yang dapat mengganggu ritual ibadahnya.
3. Perbedaan Perlakuan Terhadap Hewan: Islam memiliki pandangan yang berbeda terhadap hewan. Anjing memiliki kedudukan yang istimewa dalam syariat, yang membuatnya berbeda dengan hewan peliharaan lain seperti kucing. Keistimewaan ini bukan berarti menzalimi anjing, melainkan pengaturan interaksi yang didasarkan pada kemaslahatan dan kemudaratan.
Apabila seorang Muslim tidak sengaja terkena liur anjing, baik di pakaian, badan, maupun peralatannya, ia wajib menyucikannya sesuai dengan tuntunan syariat.
Prosedur umum pensuciannya adalah:
Penting untuk dicatat bahwa perbedaan pendapat mungkin ada di kalangan ulama mengenai detail teknis pensucian atau mengenai apakah najis ini berlaku pada seluruh bagian anjing atau hanya liurnya saja. Namun, pandangan mayoritas dan yang paling berhati-hati adalah menganggap liurnya sebagai najis mughallazhah.
Pada akhirnya, penetapan hukum ini adalah wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, untuk menjaga kebersihan, kesehatan, dan kesucian ibadah. Dengan memahami dalil dan hikmahnya, seorang Muslim dapat menjalankan agamanya dengan lebih baik dan penuh keyakinan. Jika ada keraguan, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli agama yang terpercaya.