Ilustrasi: Interaksi antara sistem hukum formal dan norma budaya.
Hukum Antropologi adalah cabang ilmu sosial yang secara khusus mengkaji bagaimana hukum dipahami, dipraktikkan, dan dilembagakan dalam berbagai konteks budaya di seluruh dunia. Berbeda dengan studi hukum tradisional yang cenderung berfokus pada sistem hukum negara (hukum positif), antropologi hukum membawa perspektif komparatif dan holistik. Ia melihat hukum bukan hanya sebagai seperangkat aturan tertulis, melainkan sebagai fenomena sosial yang berakar kuat dalam struktur, nilai, dan realitas budaya masyarakat tertentu.
Inti dari disiplin ini adalah pengakuan bahwa "hukum" tidak bersifat universal dalam bentuknya. Apa yang dianggap sah, mengikat, dan menjadi mekanisme penyelesaian sengketa di satu masyarakat mungkin sama sekali berbeda di masyarakat lain. Para antropolog hukum meneliti sistem hukum adat, norma-norma yang tidak terlembaga, dan bagaimana masyarakat menciptakan dan memelihara ketertiban sosial tanpa perlu intervensi negara formal.
Salah satu kontribusi terbesar antropologi hukum adalah analisis mendalam mengenai perbedaan antara hukum negara (state law) dan hukum adat atau hukum informal (customary law). Hukum negara cenderung bersifat abstrak, didasarkan pada teks formal, dan dijalankan oleh birokrasi terspesialisasi (polisi, hakim). Sebaliknya, hukum adat seringkali bersifat kontekstual, diwariskan secara lisan, dan integratif, menyatu erat dengan ritual, kekerabatan, dan kosmologi masyarakat.
Studi kasus sering menyoroti bagaimana penyelesaian sengketa di masyarakat tradisional lebih mengutamakan rekonsiliasi, pemulihan hubungan sosial, dan pemeliharaan harmoni kelompok, daripada sekadar menghukum pelaku berdasarkan aturan kaku. Misalnya, dalam banyak budaya Oseania atau Afrika, konsep ganti rugi seringkali bertujuan mengembalikan keseimbangan kosmik atau sosial yang terganggu, bukan sekadar denda finansial.
Antropologi hukum mengajukan pertanyaan mendasar: Apa fungsi hukum? Jawaban klasik seringkali berpusat pada fungsi pengendalian sosial dan pemeliharaan ketertiban. Namun, studi antropologis memperluas pandangan ini. Hukum juga berfungsi sebagai medium bagi perubahan sosial, alat legitimasi kekuasaan, atau bahkan cara bagi kelompok marginal untuk menegosiasikan identitas mereka di hadapan dominasi negara modern.
Pemahaman akan peran hukum dalam pembentukan identitas sangat krusial. Ketika hukum negara modern diterapkan pada masyarakat adat, seringkali terjadi konflik interpretasi. Hukum adat mungkin menempatkan otoritas pada tetua adat atau figur spiritual, sementara hukum negara menuntut kepatuhan pada otoritas pemerintah yang dipilih. Interaksi dinamis inilah yang menciptakan apa yang disebut hukum transnasional atau pluralisme hukum.
Di banyak negara pascakolonial, termasuk Indonesia, masyarakat hidup di bawah rezim pluralisme hukum—di mana berbagai sistem hukum (hukum nasional, hukum agama, dan hukum adat) beroperasi secara simultan dan terkadang saling tumpang tindih. Antropologi hukum sangat relevan dalam memahami dinamika ini. Mereka mengamati bagaimana individu secara strategis memilih forum hukum mana yang paling menguntungkan mereka dalam situasi tertentu.
Hukum Antropologi memaksa kita untuk bersikap kritis terhadap klaim universalitas hukum Barat. Ia mengingatkan bahwa norma yang tertulis dalam konstitusi mungkin tidak memiliki resonansi atau kekuatan normatif yang sama di tingkat akar rumput dibandingkan dengan kebiasaan yang telah dipraktikkan turun-temurun. Dengan demikian, studi ini menjadi jembatan penting antara kebijakan publik, hak asasi manusia global, dan realitas kehidupan sosial lokal. Mempelajari hukum melalui lensa budaya menawarkan kekayaan perspektif untuk menciptakan sistem keadilan yang lebih inklusif dan responsif.